• Tidak ada hasil yang ditemukan

penyelesaian sengketa hukum waris antara hukum adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "penyelesaian sengketa hukum waris antara hukum adat"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM WARIS ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM DI (DESA MAUBASA TIMUR KECAMATAN NDORI

KABUPATEN ENDE)

SKRIPSI

OLEH : SUSIANTI AGO NPM. 21601012009

UNIVERSITAS ISLAM MALANG FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM 2020

(2)

PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM WARIS ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM DI (DESA MAUBASA TIMUR KECAMATAN NDORI

KABUPATEN ENDE)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Malang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana (S1)

Pada Program Studi Hukum Keluarga Islam

Oleh : SUSIANTI AGO NPM. 21601012009

UNIVERSITAS ISLAM MALANG FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM 2020

(3)

ABSTRAK

Ago, Susianti. 2020. Penyelesaian Hukum Waris Antara Hukum Adat dan Hukum

Islam di Desa Maubasa Timur Kecamatan Ndori Kabupaten Ende Flores Nusa Tenggara Timur. Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Malang. Pembimbing 1 : Drs. H. Ahmad Subekti, M.Ag.

Pembimbing 2: Dr. Dzulfikar Rodafi, Lc., MA.

Kata kunci : Waris, Perempuan, adat.

Indonesia memiliki penduduk dengan berbagai macam agama, adat, dan budaya sehingga terdapat berbagai sistem hukum waris yang berlaku, yaitu sistem hukum waris Barat, sistem hukum waris Islam, dan sistem hukum waris Adat. Masing-masing sistem hukum waris tersebut berbeda pegaturannya. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka sistem kewarisan diatur sesuai dengan sistem hukum waris Islam yang terdapat dalam KHI dan ketentuannya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.

Meskipun aturan kewarisan dalam Islam sudah jelas, namun praktiknya di masyarakat masih belum tersosialisasi dengan baik.

Agar penelitian lebih valid, maka peneliti mengarahkannya pada jenis penelitian empiris. peneliti mangambil lokasi penelitian di masyarakat muslim Desa Maubasa Timur, Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Alasan pengambilan lokasi, pertama karena dilokasi ini dalam pembagian warisnya masih menggunakan hukum adat. Kedua karena banyaknya masyarakat yang beragama islam akan tetapi, masih menggunakan hukum adat dalam hal pembagian warisan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan hukum waris Didesa Maubasa Timur, pembagian harta warisan menurut hukum adat dan hukum islam, serta mengetahui pembagian harta menurut hukum adat dan hukum islam. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi yaitu pengamatan, metode wawancara berupa tanya jawab dan metode dokumentasi berupa catatan-catatan dan foto.

Hasil penelitian adalah (1) pelaksanaan hukum waris di desa maubasa timur, berbeda penerapannya yaitu seorang anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan dari kedua orang tuanya dikarenakan dia sudah mempunyai suami dan suaminya tersebutlah yang harus menafkahi kelurganya.(2) pembagian harta menurut hukum adat dan hukum islam yaitu menurut hukum adat seorang anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan sedangkan menurut hukum islam anak dari siahli waris yang meninggal tersebut masing-masing wajib mendapat bagiannya. (3) kedudukan anak menurut hukum adat dan hukum islam sama yaitu anak perempuan tidak memiliki andil dalam membuat keputusan karena seorang perempuan dinggap lemah dan mudah dimanfaatkan.

Saran yang perlu dipertimbangkan adalah hendaknya di desa tersebut lebih memprihatikan perempuan karena pada dasarnya penerapan hukum islam dan hukum adat berbeda. Sebagaimana kita ketahui didesa tersebut mayoritas masyarakatnya beragama islam.

(4)

ABSTRACT

Ago, Susianti. 2020. Settlement of Inheritance Law between Customary Law and Law

Islam in Maubasa Timur Village, Ndori District, Ende Flores Regency, East Nusa Tenggara.

Thesis, Islamic Family Law Study Program, Faculty of Islamic Religion, Islamic University of Malang. Advisor 1: Drs. H. Ahmad Subekti, M.Ag. Supervisor 2: Dr. Dzulfikar Rodafi, Lc., MA.

Key words: Inheritance, women, custom.

Indonesia has a population of various religions, customs, and cultures so that there are various systems of inheritance law that apply, namely the Western inheritance law system, the Islamic inheritance law system, and the Adat inheritance law system. Each inheritance law system has different regulations. Because the majority of Indonesia's population is Muslim, the inheritance system is regulated in accordance with the Islamic inheritance law system contained in the KHI and its provisions are derived from the Al-Quran and Hadith. Even though the rules of inheritance in Islam are clear, the practice in society is still not well socialized.

In order for the research to be more valid, the researcher directs it to the type of empirical research. The researcher took the research location in the Muslim community of East Maubasa Village, Ndori District, Ende Regency, Flores, East Nusa Tenggara. The reason for taking the location was firstly because in this location the distribution of inheritance still used customary law. Second, because many people are Muslim, however, they still use customary law in the distribution of inheritance.

The purpose of this research is to describe the implementation of inheritance law in the village of Maubasa Timur, the distribution of inheritance according to customary law and Islamic law, and to know the distribution of assets according to customary law and Islamic law. The data collection procedure was carried out by the observation method, namely observation, the interview method in the form of questions and answers and the documentation method in the form of notes and photos.

The results of the research are (1) the implementation of inheritance law in the village of Maubasa timur, the application is different, namely a daughter does not get an inheritance from her parents because she already has a husband and her husband has to support her family. (2) distribution of assets according to customary law and Islamic law, that is, according to customary law, a girl does not get an inheritance, while according to Islamic law, the child of the deceased heir is obliged to receive his share. (3) The position of children according to customary law and Islamic law is the same, that is, girls do not have a share in making decisions because a woman feels weak and easy to use.

(5)

Suggestions that need to be considered are that the village should pay more attention to women because basically the application of Islamic law and customary law is different. As we know, in this village the majority of people are Muslim.

(6)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian

Sejarah hukum waris telah lama dikenal manusia, secara turun temurun manusia telah menurunkan harta miliknya kepada keturunannya. Jaman dulu bukan hanya menurunkan harta saja tetapi juga kerajaannya. Sebelum turunnya Agama Islam, orang-orang Arab Jahiliah telah mengenal adanya hak untuk pusaka dan mempusakai yang dalam pembagiannya mereka berpegang teguh pada tradisi.

Bagi Bangsa Arab Jahiliah perempuan dan anak-anaknya tidak boleh mendapatkan warisan, anak-anak yang boleh mendapatkan warisan dari ayahnya hanya mereka-mereka yang menang dalam perang, hal itu sesuai dengan kebiasaan mereka yang suka berperang. Mereka dalam mencari nafkah selain berdagang juga merampas harta benda dari suku-suku bangsa yang mereka taklukkan. Wanita bagi jahiliah tidak mendapat warisan, baik harta peninggalan suaminya maupun harta peniggalan ayahnya, dengan alasan bahwa kaum wanita tidak sanggup membunuh musuh dan tidak sanggup memperoleh harta rampasan. (Bahder, 1997 :50).

Setelah datangnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, turun ayat- ayat Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum waris. Ayat-ayat tersebut antara lain : Surat An-Nisa’ ayat (11) yang merupakan sumber hukum yang menetapkan bahwa wanita juga berhak mendapatkan waris

ُُمُكي ِصوُي

ُُلُثُ هنُهَلَفُ ِنْيَتَنْثٱَُق ْوَفًُءٓاَسِنُ هنُكُنِإَفُُۚ ِنْيَيَثنُ ْلْٱُ ِ ظَحُُلْثِمُ ِرَكهذلِلُُْۖمُكِدََٰل ْوَأُٓىِفُُ هللَّٱُ

ًُةَد ِح ََٰوُ ْتَناَكُنِإ َوُُۖ َك َرَتُاَمُاَث

نِإُ َك َرَتُاهمِمُ ُسُدُّسلٱُاَمُهْنِ مٍُد ِح ََٰوُِ لُكِلُِهْي َوَبَ ِلْ َوُُۚ ُفْصِ نلٱُاَهَلَف

ُِهِ مُ ِلَِفُُها َوَبَأُٓۥُهَث ِر َو َوٌُدَل َوُۥُههلُنُكَيُْمهلُنِإَفٌُُۚدَل َوُۥُهَلَُناَكُ

(7)

ُُكُؤٓاَباَءُُۗ ٍنْيَدُ ْوَأُٓاَهِبُى ِصوُيٍُةهي ِص َوُِدْعَبُ ۢنِمُُۚ ُسُدُّسلٱُِهِ مُ ِلَِفٌُة َوْخِإُٓۥُهَلَُناَكُنِإَفُُُۚثُلُّثلٱ

ُْمُهُّيَأُ َنو ُرْدَتُ َلَُْمُكُؤٓاَنْبَأ َوُْم

ُ

اًميِكَحُاًميِلَعُ َناَكَُ هللَّٱُ هنِإُُِۗ هللَّٱُ َنِ مًُةَضي ِرَفُُۚاًعْفَنُْمُكَلُ ُب َرْقَأ Artinya : “Allah mensyariatkan kepadamu tentang pembagian warisan untuk anak-

anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. jika dia anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah harta yang ditinggalkan. Dan untuk kedua ibu- bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia yang meninggal mempunyai anak. Jika dia yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya saja maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut diatas setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau setelah dibayar utangnya.

Tentang orang tuamu dan anak-anakmu kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

Ahli waris dalam pembagian harta secara Islam umumnya tidak hanya satu pihak. Berikut adalah cara pembagian harta warisan dalam Islam, khususnya yang ditujukan kepada anak dan ayah dari orang yang meninggalkan warisan.

1. Warisan ke Anak Perempuan

Baik anak laki-laki maupun perempuan mendapat porsi dalam pembagian warisan dalam hukum Islam. Apabila dalam keluarga tersebut pewaris hanya meninggalkan satu anak perempuan, cara pembagian warisannya menjadi berbeda.

Ahli waris yang merupakan anak perempuan tunggal tersebut berhak memperoleh setengah dari total harta yang ditinggalkan oleh pewaris, yang notabene dalam hal ini lebih ditekankan kepada sosok ayahnya.

Apabila terdapat dua atau lebih anak perempuan yang merupakan ahli waris, sebanyak dua pertiga warisan wajib diserahkan kepada mereka. Dari nilai dua pertiga total warisan tersebut, nantinya dibagi rata antara setiap anak perempuan.

(8)

2. Warisan ke Istri atau Janda

Seorang istri dari seseorang yang ditinggalkan berhak mendapatkan porsi tersendiri dalam pembagian warisan. Pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris dalam keluarga yang ditinggalkan.

Seorang istri berhak menerima seperempat dari total nilai harta yang ditinggalkan apabila dalam rumah tangga mereka tidak dikaruniai anak. Namun, apabila ada anak yang ditinggalkan orang yang meninggal tersebut, sang janda hanya memperoleh seperedelapan bagian dari total nilai harta yang ditinggalkan.

3. Warisan ke Ayah

Ayah dari seseorang yang meninggalkan warisan menjadi pihak yang berhak menerima harta yang ditinggalkan seseorang tersebut. Porsi warisan ke ayah cukup besar, mencapai sepertiga bagian dari total warisan yang ditinggalkan sang anak. Namun, porsi tersebut bisa diterima dengan syarat, tidak ada anak dari rumah tangga yang dijalani seseorang yang meninggal tersebut.

Apabila seseorang yang meninggalkan harta warisnya memiliki keturunan, ayah dari orang tersebut mendapat porsi lebih kecil. Besarannya sebanyak seperenam dari total nilai warisan yang ditinggalkan.

4. Warisan ke Ibu

Ibu dari seseorang yang meninggal dan memiliki harta peninggalan juga memiliki hak atas porsi nilai warisan yang ditinggalkan. Besarannya pun bergantung dari ada tidaknya keturunan dari seseorang yang meninggal tersebut.

Dalam hukum Islam, apabila seseorang yang tidak memiliki meninggal dan memiliki harta warisan, ibu dari orang tersebut berhak atas sepertiga dari total nilai

(9)

harta yang ditinggalkan. Jika ada anak dari orang yang meninggal tersebut, ibu tersebut hanya menerima seperenam dari total warisan.

5. Warisan ke Anak Laki-laki

Pembagian porsi nilai warisan akan berbeda jika orang yang meninggal memiliki anak laki-laki. Dalam hukumnya, anak laki-laki tersebut memiliki hak lebih besar dibandingkan total warisan yang diperoleh oleh saudara-saudara perempuannya. Porsi nilai warisan anak laki-laki yang diatur dalam hukum Islam besarnya mencapai dua kali lipat dibandingkan total nilai warisan yang diterima anak-anak perempuan.

Akan tetapi apabila seseorang yang meninggal tersebut hanya memiliki anak tunggal laki-laki, anak tersebut berhak atas setengah dari total nilai warisan ayahnya. Baru sisanya dibagi-bagi ke pihak lain yang berhak sesuai hukum Islam yang berlaku.

Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan, pada pokoknya dikenal 3 (tiga) macam sistem keturunannya yaitu :

a. Sistem Patrilinial, yaitu pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan, dimana seseorang itu menghubungkan dirinya kepada ayah dan seterusnya kepada ayahnya ayah sampai pada suatu titik nenek moyangnya yang laki-laki, dan karenanya mereka menganggap semuanya termasuk satu clean yang patrilinial.

(10)

b. Sistem Bilateral, dimana setiap orang selalu menghubungkan dirinya kepada ibunya ibu dan karenanya semua mereka menganggap termasuk clan ibunya.

c. Sistem Bileteral atau Parental, dimana setiap orang merasa mempunyai hubungan baik melalui garis Bapak maupun garis Ibu, disini tidak termasuk clan , suku atau tripe seperti dalam sistem patrilinial dan matrilinial. (Mohd. Idris, 2006:95).

Menurut Asas 836 dan 899 pasal yang sebagai Ahli Waris, (harus sudah lahir) pada saat terbukanya warisan. Asas tersebut selanjutnya harus ditafsirkan bahwa orang yang akan mewarisi selain dari pada ia telah ada (telah lahir), ia pun harus masih ada (masih hidup) pada saat matinya pewaris. Karenanya saat kematian dan kelahiran seseorang sangat penting dan dapat bersifat sangat menentukan. Saat tersebut menentukan siapa saja yang berhak mewaris dan sejak kapan hak dan kewajiban pewaris berpindah kepada ahli waris. Disamping itu, saat meninggalkannya pewaris mempunyai pengaruh yang penting sekali berhubung dengan ketentuan (pasal 1083), bahwa tiap ahli waris, setelah diadakan pembagian dan pemecahan warisan dianggap menerima langsung pada saat pewaris mati. Jadi disini ada dikenal tindakan hukum yang berlaku surut. (terugwerkende kracht).

Ketentuan yang demikian itu berlaku pula bagi pembeli barang warisan menurut pasal 1076 B.W.

Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluraristis, karena saat ini berlaku tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

(11)

Hukum Waris Adat meliputi keseluruhan asas, norma dan keputusan/ketetapan hukum yang bertalian dengan proses penerusan serta pengendalian harta benda (materiil) dan harta cita (nonmaterill) dari generasi berikutnya,c.q.ahli waris. Hukum waris adat yang berlaku diIndonesia sangat beraneka ragam tergantung pada daerahnya. Dalam kewarisan adat ini ada yag bersifat patrilineal. Hal ini menunjukan adanya perbedaan-perbedaan daerah hukum adat yang satu dengan lainnya, yang berkaitan dengan kekeluargaan dengan jenis serta status yang akan diwariskan. Hukum waris Islam dirumuskan sebagai

“perangkat ketentuan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktu ia meninggal dunia”. Sumber pokok hukum waris islam adalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi, kemudian Qias (analogon) dan ijma’

(kesamaan pendapat).

Hukum modifikasi adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum umumnya dibidang hukum harta kekayaan karena kematian seseorang, yaitu pengalihan harta yang ditinggalkan si mayit beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak ketiga. (J Satrio 1990:21).

1. Menurut R. Subekti

Seperti halnya dengan hukum perkawinan, begitu pula hukum waris diIndonesia masih beraneka ragam. Disamping hukum waris menurut hukum adat, berlaku hukum waris menurut hukum agama islam dan hukum waris menurut

(12)

KUHP Perdata (Burgerlijk wetbommok). Hukum waris diIndonesia berbeda-beda, antara lain:

a. Adanya hukum waris islam yang berlaku untuk segolongan penduduk Indonesia.

b. Adanya hukum waris menurut hukum perdata barat yang berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk pada hukum perdata barat.

Ketentuan mengenai siapa saja sebagai ahli waris menurut sistem hukum waris BW, Islam, dan Adat berbeda-beda, namun pada garis besarnya yang dijadikan dasar penentu ahli waris adalah adanya pertalian perkawinan dan pertalian darah.

Didalam pasal 832 BW ditentukan bahwa menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah pada keluarga sedarah, baik sah ataupun diluar kawin, dan suami atau istri yang hidup lama.

2. Menurut sistem hukum waris BW ada empat golongan ahli waris.

a. Golongan pertama, terdiri dari suami atau istri dan keturunannya;

b. Golongan kedua, terdiri dari orang tua saudara dan keturunannya;

c. Golongan ketiga, terdiri dari ahli waris dalam garis lurus keatas;

d. Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang sampai derajat keenam.

Keempat golongan ahli waris tersebut dengan ketentuan bahwa golongan pertama menutup hak waris golongan kedua dan seterusnya. Jadi langkah awal yang perlu diketahui ialah apakah ada suami atau istri yang masih hidup, kemudian diurut kebawah yaitu anak-anak dan cucu-cucu. Apabila golongan pertama tidak

(13)

ada sama sekali, baru ditampilkan golongan kedua, jika golongan kedua tidak ada, maka dapat diajukan golongan ketiga dan demikian seterusnya. Kalau sampai golongan keempat juga tidak ada maka harta warisan dikuasai negara. Dalam keadaan tertentu golongan keempat dapat mewarisi bersama golongan ketiga.

Sistem Hukum waris Islam tidak mengenal penggolongan ahli waris.

Hazairin membagi ahli waris menurut Al-qur’an kedalam tiga jenis, yaitu dzawit-

‘lfaraid, dzawit-‘Iqarabat dan mawali. Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebut ada tiga macam ahli waris yaitu: Dzawil Furud, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 192 KHI. Ahli waris ini antara lain : ayah, ibu, janda, duda, anak perempuan. Bagian mereka masing-masing sudah ditentukan menurut Al- qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.

1. Ashabah

Disebut didalam pasal 193 KHI ahli waris ini antara lain: anak laki-laki, baik sendiri maupun bersama-sama anak perempuan, dan kalau tidak ada anak laki- laki maka ayah sebagai ashabah. ahli waris ashabah mendapat semua harta waris ketika ia sebagai satu-satunya ahli waris, dan memperoleh sebesar sisa sesudah bagian-bagian harta waris diberikan kepada dzawil furud.

2. Mawali (ahli waris pengganti)

Terdapat didalam pasal 185 KHI. Cucu dapat mewarisi bersama anak laki- laki dan anak perempuan. Mereka tidak ditutup oleh anak laki-laki, karena berstatus menggantikan ayah/ibu mereka yang meninggal terlebih dahulu. (Wirjono Prodjodikoro, 1986:2).

Sebagaimana yang dituliskan dalam (QS. An-Nisa’ (4): 33)

(14)

ُِ لُکُیَٰلَعُ َناَکَُ ہاللُّٰ هنِاُُؕ ۡمُہَبۡي ِصَنُ ۡمُُہ ۡوُتَٰاَفُ ۡمُکُناَمۡيَاُ ۡتَدَقَعُ َنۡيِذهلاُ َوَُُؕن ۡوُب َرۡقَ ۡلَاُ َوُِنَٰدِلا َوۡلاَُک َرَتُاهمِمَُیِلا َوَمُاَنۡلَعَجٍُ لُکِلُ َو اًد ۡيِہَشٍُء ۡیَش Artinya: “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

Kedudukan hukum dari waris karena wasiat berada dalam tiga hal dari kedudukan legataris :

1. Ahli waris mempunyai saisine, legataristidak;

2. Ahli waris mempunyai hereditatis petitio, legataris tidak;

3. Ahli waris ikut memikul hutang-hutang, legataris tidak.

Pasal 1002 membenarkan asas saisine bagi ahli waris yang dipanggil dengan wasiat, yaitu sebagaimana pasal 880 membenarkannya bagi ahli waris karena kematian. kata-kata terakhir dari ayat pertama pasal 1002 mengulangi lagi aturan pasal 880. Pasal yang bersangkutan hanya menyebutkan barang-barang, hak dan aturan hukum. Kedua macam tulisan itu berarti seluruh kekayaan.

Ayat kedua pasal 1002 menyatakan bahwa pasal 881 dan pasal 882 berlaku atas ahli waris karena wasiat. Pada umumnya kedudukan hukum dari ahli waris karena wasiat sama dengan kedudukan hukum ahli waris karena kematian. Kedua kelompok itu memikul hutang dan hibah wasiat menurut perbandingan.

Apabila tidak ada persesuaian tentang soal siapa yang menjadi ahli waris dan demikian juga tentang siapa yang mempunyai saisine, dapatlah hakim memerintahkan agar harta peninggalan itu ditempatkan didalam penitipan (sequestratie). Wewenang yang demikian itu, dimiliki juga oleh hakim apabila ada

(15)

perbedaan pendapat tetang siapa yang menjadi ahli waris karena kematian (pasal 880 ayat 2). (Kasdorp, 1979:200)

Selain itu, merujuk pada beberapa ketentuan dalam Ilmu Fiqih yang lebih spesifik terkait dengan pembagian waris antara lain adalah:

1. Asal Masalah Asal Masalah adalah: اهضورفُوأُاهضرفُهنمُحصيُددعُلقأ

Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian secara benar.”

(Musthafa Al-Khin, 2013:339).

Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau dalam ilmu faraidl disebut Tashhîhul Masalah adalah: Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing ahli waris secara benar tanpa adanya pecahan.”

(Musthafa Al-khin,2013:339).

Ketentuan Asal Masalah bisa disamakan dengan masing-masing bagian pasti ahli waris yang ada. Adadur Ru’ûs (سوؤرلاُددع) Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala.Asal Masalah sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan dan digunakan apabila ahli warisnya terdiri dari ahli waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl. Sedangkan apabila para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya menjadi ashabah maka Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala/orang yang menerima warisan.

2. Siham (ماهس)

Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah dan bagian pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.

3. Majmu’ Siham (ماهسلاُعومجم)

(16)

Majmu’ Siham adalah jumlah keseluruhan siham dalam menghitung pembagian warisan:

a. Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan.

b. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak laki-laki sisa (ashabah) dan seterusnya.

c. Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24.

d. Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan seterusnya.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Berdasarkan konteks di atas , maka penelitian di desa maubasa timur kecamatan ndori kabupaten ende untuk mengetahui lebih jauh mengenal hokum waris di desa tersebut. dengan mengambil judul: PENYELESAIAN HUKUM WARIS ANTARA HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM (studi kasus Desa Maubasa Timur Kecamatan Ndori kabupaten ende).

Menurut KUH Perdata, prinsip dari kewarisan adalah :

1. Harta warisan baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihaklain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 832 KUHPerdata).

2. Adanya hubungan darah diantara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri dari sipewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka

(17)

masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/istri tersebut merupakan ahli waris dari pewaris.

Ada tiga macam tanah menurut tradisi suku Lio diantaanya : 1. Tanah atas usaha nenek moyang

Tanah atas usaha nenek moyang didapat dari perebutan sebuah bidang tanah. Masing-masing kelompok diketuai oleh ketua suku daerah masing-masing.

perselisihan antara kedua suku saling beradu kekuatan satu sama lainnya. Ketua adat bertugas mengatur strategi agar bisa mengibarkan bendera kemenangan. Dan kelompok yang menang masing-masing mendapatkan bagian, ketua suku mendapatkan harta yang lebih banyak karena telah memimpin dan mengatur strategi.

2. Tanah dari hubungan kawan-mengawin (wuru mana)

Tanah yang berasal dari hubungan kawin mengawin antara keluarga. Jika mereka mempunyai anak dan anak tersebut meninggal dirumah ibu dari istri tersebut. Maka untuk mengimbangi atas meninggalnya cucu dari ibu sisuami tersebut, maka diberikan lah sebidang tanah sebagai gantinya (kaki/tulang dari cucunya tersebut). Dan tidak bisa diambil kembali tanah tersebut cucu dari orang tua si laki-laki tersebut harus ada pertalian kembali dengan orang tua si perempuan.

Karena jika tidak orang tua dari si perempuan akan merasakan kekecewaan yang mendalam. Hubungan pertalian antara kedua belah pihak harus ada sampai kapanpun. Atau yang biasa disebut wuru (hubungan) mana (panjang). Yang berarti ketika melakukan suatu acara, maka harus mengundang sanak saudara.

(18)

3. Tanah atas usaha orang tua sendiri (hungu dubu lima bita)

Tanah yang didapat dari jika kita memberi sesuatu berupa uang yang dibutuhkan oleh orang lain, maka sebagai gantinya diberikanlah sebuah bidang tanah. Dan yang berhak menerimanya yaitu anak dari orang tuanya tersebut, baik anak laki-laki maupun seorang anak perempuan.

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana pelaksanaan hukum waris di Desa Maubasa Timur Kecamatan Ndori Kabuaten Ende ?

2. Bagaimana penyelesaian hak waris menurut hukum Adat dan hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian diatas maka tujuannya :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan hukum waris di Desa Maubasa Timur Kecamatan Ndori Kabuaten Ende ?

2. Untuk mengetahui cara penyelesaian hak waris menurut hukum Adat dan hukum Islam ?

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini berisi manfaat secara teoritis dan secara praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Menambah paham wawasan tentang perbedaan pembagian waris antara hukum Adat dan hukum Islam.

b. Dapat menjadi tujuan dasar bagi penelitian demi pengembangan substansi keilmuan yang berkaitan dengan hukum Islam sebagai gejala sosial.

(19)

2. Manfaat praktis

a. Dapat memberikan penjelasan terhadap pembagian waris antara hukum Adat dan hukum Islam.

b. Sebagai acuan atau rujukan pemahaman dalam menanggapai hal-hal warisan tidak sama dengan hukum Islam.

E. Batasan Masalah

Batasan masalah adalah ruang lingkup masalah atau upaya membatasi ruang lingkup masalah yang terlalu luas atau lebar sehingga penelitian itu lebih bisa fokus untuk di lakukan yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk ruang lingkup masalah penelitian ( Usman dan purnomo, 2008;45).

Di dalam penelitian ini, peneliti hanya memberi batasan masalah yang terjadi yaitu tentang penyelesaian sengketa hukum waris antara hukum adat dan hukum islam

F. Definisi Operasional

Dalam definisi operasional ini dapat di uraikan istilah-istilah penting dalam penelitian ini diantaranya:

1. Hukum Islam

Yaitu peraturan-peraturan atau norma-norma yang di buat dengan tujuan untuk mengatur seluruh sendi tingkah laku manusia yang berhubungan dengan kehidupan berdasarkan Al- qura’an dan Hadist. Yang berarti syariat yang di perintahkan oleh Allah untuk umat-nya yang memerintahkan Nabi Muhamad SAW

(20)

yang berhubungan dengan perbuatan yang harus dan wajib ditaati oleh setiap muslim.

2. Hukum Adat

Yaitu sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia.

Hukum adalah sumber hukum asli Indonesia. Sumber hukumnya adalah peraturan- peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.

(21)

BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai penyelesaian antara hukum adat dan hukum islam, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan hukum waris di desa maubasa timur berbeda dengan hukum islam yaitu seorang perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan dikarenakan seorang perempuan disebut ana wa’u atau anak keluar yang sudah bukan tanggung jawab orang tuannya lagi. Sang anak akan diserahkan sepenuhnya ke sang suami, dan kebutuhannya akan dipenuhi oleh san suami. Sang suami akan menanggung semua kebutuhan istrinya baik kebutuhan lahiriah dan batiniah.

2. Di Desa Maubasa Timur menggunakan beberapa penyelesaian adat jika terdapat problrm tetang waris, diantaranya :(1) secara kekeluargaan (2) secara Adat (3) secara Pengadilan Negara. Berbeda dengan penyelesaian secara hukum Adat yaitu menggunakan : (1)Aul (2)Rad.

B. SARAN

1. Didesa Mubasa Timur sebaiknya menggunakan hukum Islam sebagai pedoman.

Sebagaimana yang kita ketahui didesa tersebut Mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Akan tetapi karena ini sudah terjadi secara turun-temurun maka masih dipakai sampai saat ini.

2. Hukum Adat di Desa Maubasa Timur, sebaiknya menggunakan penyelesaian hukum sesuai dengan yang ada diNegara kita yaitu secara pengadilan Agama/pengadilan negeri. Akan tetapi karena selama ini belum ada persoalan

(22)

yang terjadi soal tanah maka masyarakat disana menggunakan hukum Adat sebagai pedoman.

(23)

DAFTAR RUJUKAN

Afdol. (2003) Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil Dengan Metode Perhitungan Mudah dan Praktis. Surabaya: Airlangga University Press Al-Qur’an dan Terjemah (2017) Kementerian Agama Republik Indonesia Depok:

CV. Rabita

A. Pitlo, J.E. Kasdorp. (1979) Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Jakarta: PT. Intermasa

Bahder, & Sri W. (1997). Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan Agama

Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqah. Bandung:

Mandar Maju

J. Satrio. (1990) Hukum Waris. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Mohd. Idris. (2006) Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Islam. Jakarta: Sinar Grafik

Muhammad A. A. (1995) Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani (Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013:339).

Muharam P. (2019) Kedudukan Ahli Waris Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Perspektif Gender (Online),

(http://www.etheses.UINMalang.ic,id/15584/1/14780010.pdg) Suhrawardi, Omis, S. (2008) Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafik

Tafsir Ibnu Katsirjuz 1:465).

Wirjono P. (1986) Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: PT. Bale

Referensi

Dokumen terkait

Istilah-istilah dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri yaitu, Waris, Warisan, Pewaris, Ahli waris, Mewarisi,7 Berdasarkan