Di sebuah desa yang jauh dari keramaian dan terletak di lembah yang sunyi, kehidupan berjalan dengan damai. Namun, pada suatu malam yang kelam, kedamaian itu ternoda oleh sebuah tindakan yang gelap. Seorang wanita muda, dengan wajah lelah dan mata yang penuh
kecemasan, berdiri di tepi sungai yang mengalir deras. Di tangannya, terdapat sebuah box kayu kecil yang terbuat dari papan-papan tipis. Box itu tampak usang, dan dalam box tersebut terbaring seorang bayi yang baru saja dilahirkan.
Wanita itu, bersama dengan suaminya yang berada di belakangnya, memandang bayi tersebut dengan tatapan kosong. Mereka tahu bahwa mereka tidak mampu merawatnya, tidak bisa memberikan kehidupan yang layak bagi anak itu. Keterbatasan finansial, keadaan yang buruk, dan ketidakmampuan untuk memberi masa depan yang cerah bagi sang bayi membuat mereka mengambil keputusan yang sangat sulit.
"Ini satu-satunya jalan," kata suaminya dengan suara berat, tidak mengalihkan pandangan dari bayi itu. "Bayi ini tidak bisa hidup dalam kemiskinan seperti kita. Kita harus melepaskannya."
Wanita itu mengangguk, meskipun hatinya hancur. Ia mencium dahi bayinya untuk terakhir kalinya, merasakan kasih sayang yang tak terucapkan, namun memutuskan untuk
melepaskannya. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan box itu di atas air, di bawah cahaya bulan yang redup. Lalu, mereka berdua berbalik dan berjalan pergi, tidak pernah menoleh kembali.
Box kayu itu perlahan mengapung, terbawa arus sungai yang deras. Sungai itu berkelok-kelok melalui lembah yang gelap dan misterius, mengalir jauh dari pandangan siapa pun. Di sepanjang tepiannya, pepohonan rimbun dan semak-semak yang lebat menutupi pandangan, seolah-olah dunia ini tak lebih dari sebuah tempat tersembunyi yang hanya diketahui oleh alam dan makhluk- makhluk yang mendiami hutan itu.
Tak ada yang tahu, bahwa di kedalaman hutan, ada sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih kuat daripada manusia yang menguasai tempat ini—Naga Dewa, sang ratu ular yang tinggal di sebuah gua besar yang terletak jauh di dalam hutan itu. Naga Dewa bukanlah ular biasa. Ia adalah makhluk legendaris dengan kekuatan magis yang luar biasa, dan meskipun sebagian besar orang tak pernah mendengar namanya, ia telah hidup selama berabad-abad, menyaksikan generasi demi generasi berlalu.
Naga Dewa merasa kesepian. Dalam kesendirian yang panjang, ia merindukan kehadiran seseorang—seorang anak yang dapat ia sayangi dan rawat. Di masa lalu, ia pernah bertemu
dengan manusia, tetapi mereka selalu takut padanya, melarikan diri, atau lebih buruk lagi, berusaha membunuhnya. Oleh karena itu, Naga Dewa memilih untuk hidup jauh dari dunia manusia, mengisolasi dirinya di gua yang terlindung oleh alam.
Pada malam itu, seperti sebuah takdir yang tidak terduga, Naga Dewa sedang berada di dekat sungai, menjelajahi wilayah kekuasaannya. Ia merasakan getaran aneh dalam aliran air, suara gemericik yang berbeda dari biasanya. Melalui kegelapan malam, ia melihat sesuatu yang mengapung menuju ke arahnya—sebuah box kayu yang terbawa arus.
Dengan gerakan halus dan cekatan, Naga Dewa mendekat. Dengan ekor besar dan kuat, ia meraih box itu, menariknya perlahan ke pinggir sungai. Ketika box itu terbuka, ia melihat bayi itu. Mata bayi itu terbuka perlahan, dan meskipun tubuhnya lemah, ia mulai menangis dengan suara kecil yang menggema di malam hutan.
Naga Dewa tidak merasa takut atau terganggu. Ia merasa sebuah tarikan yang tak terjelaskan dalam hatinya. Meskipun ia adalah seekor ular raksasa, yang kebanyakan dianggap menakutkan oleh manusia, hatinya yang lembut merasakan suatu perasaan yang berbeda. Bayi ini, yang begitu rapuh dan tak berdaya, seolah-olah membutuhkan perlindungannya.
"Kenapa kamu dibuang di sini anak kecil?" bisik Naga Dewa dengan suara lembut, meskipun tak ada manusia yang bisa mendengarnya. Dalam hatinya, ia tahu bahwa bayi ini tidak pantas mendapat nasib seperti ini.
Dengan hati-hati, Naga Dewa menggunakan ekornya untuk mengangkat bayi itu, membawanya masuk ke dalam gua yang besar dan nyaman. Gua itu adalah tempat yang penuh dengan
keajaiban alam—suasana yang aman dan terlindung dari dunia luar. Naga Dewa memeriksa bayi itu lebih dekat. Meski tubuh bayi itu tampak sangat rapuh dan pucat, Naga Dewa merasakan kekuatan yang aneh mengalir dalam diri bayi tersebut.
Dalam beberapa hari ke depan, Naga Dewa merawat bayi itu dengan penuh perhatian. Ia
memberi susu dari binatang hutan yang ia tangkap—dari rusa, kelinci, hingga domba liar. Naga Dewa menggunakan ilmu sihirnya untuk memastikan bayi itu tetap sehat, memanaskan tubuhnya ketika udara malam terasa dingin. Ia juga membungkus bayi itu dalam kain lembut yang ia temukan di sekitar gua.
Rian, demikian Naga Dewa memberinya nama, mulai tumbuh dengan cepat. Dalam beberapa bulan, tubuhnya yang mungil menjadi lebih kuat, dan ia mulai belajar menggerakkan tubuhnya dengan lebih lincah. Namun, meskipun hidup dalam keindahan dan kedamaian gua, ia merasakan ada sesuatu yang kurang—rasa penasaran tentang dunia luar, tentang kehidupan yang ada di luar gua yang gelap ini.
Naga Dewa yang melihat perubahan itu tidak merasa khawatir. Ia tahu bahwa suatu saat nanti, Rian akan menjadi lebih besar dan lebih ingin tahu tentang dunia luar. Tetapi ia juga tahu bahwa dunia itu tidak selalu ramah. Ia sendiri telah cukup lama mengamati, melihat bagaimana manusia sering kali takut pada hal-hal yang mereka tidak mengerti. Apa yang akan terjadi jika Rian suatu hari harus bertemu dengan mereka?, pikir Naga Dewa. Akankah mereka menerima Rian atau justru melukai anakku?
Namun, untuk saat ini, Naga Dewa memutuskan untuk menikmati masa-masa awal kehidupan Rian. Ia mengajarinya tentang alam sekitar—tentang pohon-pohon yang bisa dimakan, tentang binatang-binatang hutan, dan bagaimana cara hidup selaras dengan dunia yang lebih besar. Rian tumbuh dengan penuh rasa ingin tahu dan kecerdasan yang luar biasa, tetapi ia masih belum mengerti betapa besar dunia di luar sana.
Hanya satu hal yang sangat jelas bagi Naga Dewa: Rian adalah anaknya.
Dengan kasih sayang yang dalam, Naga Dewa melanjutkan perannya sebagai ibu, membimbing anaknya untuk tumbuh dengan baik di tengah hutan yang jauh dari jangkauan manusia. Namun, dalam hati Naga Dewa, ia tahu bahwa dunia luar tidak selalu ramah, dan kehadiran Rian di sana bisa menjadi masalah besar.
Namun untuk saat ini, mereka berdua hidup dalam keheningan yang damai, tanpa menyadari bahwa takdir mereka akan segera diuji.
Usia Rian sudah menginjak tujuh tahun. Waktu berlalu begitu cepat, dan meskipun ia tumbuh besar dan kuat di dalam gua bersama Naga Dewa, ada perasaan kosong yang mulai tumbuh dalam hatinya. Sejak pertama kali dibawa oleh Naga Dewa, Rian merasa aman dan dilindungi, namun seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan adanya jarak antara dirinya dan dunia di luar gua.
Naga Dewa, meskipun penuh kasih sayang terhadap Rian, tidak bisa menggantikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang anak. Rian mulai merasa kesepian. Ia sering melihat binatang-binatang hutan yang bermain di sekitar gua, bergerombol dalam kelompok mereka, saling berinteraksi dengan penuh kegembiraan. Tetapi dirinya, meski telah diperlakukan dengan penuh kasih oleh Naga Dewa, tidak pernah benar-benar memiliki teman.
Rian sering bertanya-tanya tentang dunia luar. Dalam perjalanan singkatnya bersama Naga Dewa di sekitar hutan, ia kadang melihat manusia, terutama anak-anak desa yang terletak di tepi sungai. Dari jauh, ia sering mengamati mereka bermain, tertawa, atau bahkan saling bertengkar dengan riang. Ada keinginan kuat dalam diri Rian untuk mendekat, untuk bisa bergabung dalam dunia mereka.
Suatu hari, setelah beberapa waktu mengamati mereka dari balik pepohonan yang rimbun, Rian memberanikan diri. Pagi itu, ia merasa hatinya begitu penuh dengan keinginan untuk berteman.
"Aku harus pergi," pikirnya, "Aku ingin tahu seperti apa rasanya bermain bersama teman-teman sejati."
Dengan hati-hati, Rian meninggalkan gua, melangkah keluar menuju jalan setapak yang menuju desa. Suara aliran sungai yang berirama mengiringinya, dan angin pagi yang segar membelai wajahnya. Namun, ia tidak tahu apa yang akan terjadi di sana. Dunia luar ini begitu asing baginya, dan meskipun Naga Dewa sering menceritakan tentang manusia, ia tidak pernah benar- benar mengerti bagaimana rasanya berinteraksi dengan mereka.
Perjalanan menuju desa itu tidak jauh, hanya beberapa kilometer melalui hutan yang lebat. Rian melewati pohon-pohon besar, rumput yang tinggi, dan batu-batu besar yang tersebar di jalan setapak. Sambil berjalan, ia mencoba mengingat semua yang diajarkan oleh Naga Dewa. Sang ular raksasa selalu mengingatkannya untuk berhati-hati dengan manusia, karena mereka tidak selalu baik. Tapi Rian merasa bahwa ia bisa menjadi berbeda, bahwa ia bisa menunjukkan kepada mereka bahwa ia bukanlah ancaman.
Ketika Rian akhirnya tiba di desa, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. Ia melihat anak-anak yang sedang bermain bola di tanah terbuka. Mereka berlarian dengan ceria, tertawa, dan
tampaknya tidak menyadari kedatangan Rian. Ia merasa jantungnya berdebar-debar, dan meskipun ada sedikit rasa takut, ada juga rasa gembira yang menyelimuti hatinya.
Rian perlahan mendekati mereka. Salah satu anak yang lebih besar, seorang anak laki-laki dengan rambut cokelat pendek dan mata yang tajam, melihatnya. Anak itu berhenti bermain dan memandang Rian dengan tatapan yang agak bingung.
"Hei, siapa kamu?" tanya anak itu dengan suara curiga. Rian merasa sedikit terkejut, tapi ia berusaha tersenyum dan menjawab dengan ramah, "Aku Rian, aku tinggal di dekat sini, di hutan."
Anak-anak yang lain berhenti bermain dan mulai mendekat. Mereka saling berbisik, melihat Rian dengan tatapan aneh. Ada yang merasa penasaran, ada juga yang tampak ragu. Salah seorang gadis kecil dengan rambut panjang dan mata besar, berbisik kepada temannya. "Apakah dia anak hutan?"
Rian merasa sedikit cemas. "Aku bukan anak hutan," jawabnya, "Aku hanya... hanya ingin berteman."
Anak laki-laki yang pertama tadi mengangkat alisnya. "Berteman?" katanya dengan suara mencemooh. "Kamu anak siapa? Kamu tidak punya orang tua kan? Kenapa kamu tinggal di hutan sendirian? Apa kamu tidak takut sama ular-ular di sana?"
Rian terdiam, dan hatinya sedikit terluka. Ia mengingat semua yang telah diajarkan oleh Naga Dewa, bagaimana mereka selalu mengajarkan bahwa tidak ada yang harus ditakuti jika kita mengenal dunia dengan baik. Namun, kata-kata anak itu terasa tajam, seakan menghujam langsung ke dalam hatinya yang rapuh.
"Aku tidak sendirian," jawab Rian dengan suara lebih rendah, "Aku tinggal dengan ibuku di sana."
"Ah, ibu kamu itu ular, kan?" tanya seorang anak perempuan dengan tawa kecil. "Kamu pasti anak ular! Hahaha."
Anak-anak yang lain ikut tertawa mendengar ejekan itu. Rian merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya. Ia tahu bahwa mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ejekan
mereka tetap menyakitkan. "Aku bukan anak ular," bisiknya dengan suara bergetar, "Ibu aku bukan ular."
Tapi tak ada yang mendengarkan. Anak-anak itu hanya semakin tertawa, menertawakan cara Rian berbicara, cara dia bergerak, bahkan pakaian yang ia kenakan. "Kamu pasti aneh, hidup di hutan dengan ular. Kami tidak mau bermain dengan anak seperti kamu!" seru salah seorang dari mereka, dan mereka semua mulai tertawa lebih keras.
Rian merasa hatinya hancur. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Selama ini, Naga Dewa selalu mengajarkannya bahwa dia adalah bagian dari dunia ini, meskipun ia berbeda. Namun di sini, di tengah anak-anak desa itu, Rian merasa sangat terasing. Mereka menolaknya hanya karena dia berbeda.
Dengan rasa malu yang luar biasa, Rian berbalik dan berlari menjauh dari mereka. Ia merasa air matanya hampir jatuh, tetapi ia berusaha keras untuk menahannya. Kakinya berlari begitu cepat, menuju ke arah hutan dan gua Naga Dewa. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah dunia ini terlalu besar dan tidak ramah untuk anak sepertinya.
Saat ia memasuki gua, Naga Dewa sudah menunggunya, tubuh besar ular itu tampak melingkar di tengah gua yang gelap. Wajah Naga Dewa yang besar dan penuh kebijaksanaan menatapnya dengan cemas. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang salah, dan Rian pasti telah menghadapi
pengalaman yang tidak menyenankan di dunia luar.
"Rian, apa yang terjadi?" tanya Naga Dewa dengan suara lembut, mencoba mendekati.
"Mengapa wajahmu begitu sedih?"
Rian hanya bisa menangis. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya di balik tangan kecilnya. "Ibu, mereka... mereka mengejek aku," isaknya, "Mereka bilang aku anak ular. Mereka tidak mau berteman denganku karena aku tidak punya orang tua yang normal. Aku hanya ingin seperti mereka Ibu. Aku hanya ingin diterima."
Naga Dewa terdiam, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut anak angkatnya. Rasa marah mulai tumbuh dalam dadanya. Telinga besar Naga Dewa bergetar, dan matanya yang tajam bersinar dengan api kemarahan yang terpendam. Ia telah lama menyaksikan bagaimana manusia memperlakukan hal-hal yang mereka anggap berbeda dengan ketakutan dan
kebencian. Tetapi kini, ia merasakan sesuatu yang lebih dalam: ini bukan sekadar penolakan terhadap seorang anak, tetapi penolakan terhadap dirinya, ibunya.
"Anakku, dunia luar tidak tahu siapa dirimu," kata Naga Dewa dengan suara yang dalam, melingkupi setiap kata dengan rasa kasih sayang dan perlindungan. "Mereka tidak tahu bahwa kamu lebih dari yang mereka lihat. Kamu bukanlah anak biasa. Kamu adalah anakku, dan aku akan melindungimu dari segala bentuk kebodohan mereka."
Rian menunduk, merasa tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya ingin menjadi bagian dari dunia itu—dunia yang ia lihat dengan penuh rasa ingin tahu setiap kali ia mengamati anak-anak desa bermain dari kejauhan. Namun, sekarang semuanya terasa mustahil. "Aku hanya ingin diterima, Ibu," katanya dengan suara kecil. "Aku tidak ingin membuat mereka takut. Aku hanya ingin punya teman."
Naga Dewa menghela napas, tubuhnya yang besar bergerak perlahan mendekati Rian. Dengan lembut, ia melingkarkan ekornya di sekitar tubuh anaknya, memberikan rasa hangat dan perlindungan yang selama ini ia berikan. "Anakku," kata Naga Dewa, suaranya penuh empati,
"aku tahu bahwa dunia luar itu bisa kejam. Mereka tak tahu tentang kamu. Mereka hanya melihat apa yang tampak di luar, bukan siapa yang kamu sebenarnya. Tapi mereka akan belajar Rian.
Mereka akan belajar."
Rian merasa sedikit tenang saat mendengarkan kata-kata ibunya. Namun, meski begitu, ada perasaan yang masih mengganjal di dalam dirinya—perasaan tidak diterima, yang membuat hatinya terus diliputi kebingungan.
Tetapi Naga Dewa, meskipun menyayangi Rian, juga tidak bisa mengabaikan rasa marah yang menggelora dalam dirinya. Ketika ia mendengar tentang bagaimana anak-anak desa
memperlakukan anaknya, perlakuan itu tampak seperti penghinaan bagi keberadaannya. Dunia yang penuh dengan kebodohan dan ketakutan ini tak akan pernah mengerti arti kasih sayang sejati. Naga Dewa tahu bahwa dunia itu membutuhkan pelajaran.
"Rian," suara Naga Dewa terdengar berat, penuh tekad, "mereka harus membayar atas apa yang telah mereka lakukan. Mereka tidak bisa memperlakukanmu seperti itu. Aku akan membuat mereka tahu siapa yang sebenarnya mereka hadapi."
Rian terkejut mendengar keputusan yang begitu tegas dari ibunya. Ia menatap Naga Dewa dengan mata besar, merasa cemas. "Ibu... apakah kamu akan menghukum mereka?" tanyanya, suara gemetar. "Aku tidak ingin ada yang terluka."
Naga Dewa menyentuh kepala Rian dengan lembut. "Tidak anakku. Aku tidak akan membunuh mereka. Tapi mereka harus memahami bahwa tidak ada yang bisa memperlakukanmu begitu saja. Mereka harus tahu bahwa siapa pun yang menghina anakku, akan menghadapi
konsekuensinya."
Rian merasa bimbang. Ia ingin agar dunia luar menerima dirinya, namun ia juga tak ingin ibunya melakukan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain. "Ibu aku hanya ingin mereka mengerti. Aku ingin mereka tahu bahwa aku bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Aku hanya ingin berteman."
Naga Dewa merenung sejenak. Ia mengerti perasaan Rian. Anaknya hanya menginginkan kedamaian dan penerimaan, bukan kebencian dan ketakutan. Namun, dalam hati Naga Dewa, rasa perlindungannya terhadap Rian melebihi segalanya. Dunia luar ini, dengan segala
kebodohan dan ketakutannya terhadap hal yang tak mereka pahami, telah menunjukkan dirinya sebagai tempat yang tak ramah.
"Mungkin," kata Naga Dewa pelan, "ada cara lain untuk mengajarkan mereka. Aku tidak akan membuat mereka takut, tetapi aku akan membuat mereka mengerti."
Pada malam itu, Naga Dewa merencanakan sesuatu yang besar. Ia mulai menggunakan kekuatan magisnya untuk memperlihatkan kepada penduduk desa siapa sebenarnya Rian—bukan hanya sebagai anak yang dibuang, tapi sebagai anak dari Naga Dewa, ratu ular yang menguasai hutan ini.
Dengan kekuatan alam dan sihirnya, Naga Dewa menciptakan sebuah ilusi yang luar biasa. Ia mengundang anak-anak desa ke hutan pada malam yang gelap, tanpa mereka sadari. Ilusi yang ditunjukkan kepada mereka adalah gambaran Rian yang berubah menjadi sosok yang lebih besar dan lebih kuat—seperti sebuah makhluk mistis yang dihormati dan ditakuti.
Anak-anak itu, yang semula menganggap Rian hanya sebagai anak aneh dari hutan, mulai merasakan ketakutan yang luar biasa. Mereka melihat bagaimana Rian yang kecil kini tampak seperti sosok yang lebih besar dan penuh kekuatan—bukan hanya manusia biasa, tetapi anak dari entitas yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih misterius dari yang pernah mereka bayangkan.
Di tengah hutan yang gelap, mereka mendengar suara gemuruh dari dalam tanah, dan pohon- pohon yang bergerak seakan mengikuti kekuatan yang mengalir dari Naga Dewa. Para anak desa berdiri dengan ketakutan, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka hanya bisa melihat sosok Rian yang sekarang tampak seperti anak yang memiliki kekuatan besar, dilindungi oleh entitas yang jauh lebih besar.
Ketika mereka mulai merasakan ketakutan yang mencekam, Naga Dewa muncul dari balik bayang-bayang, menatap mereka dengan tatapan yang penuh makna. "Sekarang, kalian mengerti siapa anakku," kata Naga Dewa dengan suara dalam yang menggema, "Jangan pernah menghina dia lagi. Jangan pernah menolak siapa pun hanya karena mereka berbeda."
Setelah itu, ilusi mulai memudar, dan anak-anak desa, yang terdiam karena ketakutan, perlahan- lahan mundur. Mereka tidak tahu apa yang baru saja mereka alami, namun rasa takut yang luar biasa itu akan tertanam dalam benak mereka.
Rian, yang melihat semuanya dari kejauhan, merasa kebingungannya semakin dalam. Ia tidak tahu apakah cara seperti ini adalah yang terbaik. Ia hanya ingin diterima, tetapi dengan cara yang penuh rasa takut seperti itu, ia merasa semakin terasingkan.
Namun, yang terpenting baginya adalah pesan yang disampaikan oleh ibunya: jangan pernah dihina hanya karena berbeda.
Keheningan malam itu begitu terasa. Hutan yang sebelumnya sunyi dan penuh kedamaian kini diselimuti oleh atmosfer yang berbeda. Di balik bayang-bayang pepohonan yang menjulang tinggi, Rian duduk termenung, mencoba mencerna apa yang telah terjadi. Ilusi yang diciptakan oleh Naga Dewa begitu nyata dan menakutkan, membuat anak-anak desa merasa ketakutan yang luar biasa. Meskipun Rian tidak ikut serta dalam hal itu, dampak dari apa yang telah terjadi membuat hatinya kembali penuh dengan kebingungan.
Rian ingin sekali mendapatkan penerimaan dari teman-temannya, tetapi ia tidak pernah ingin membuat mereka takut. Itu bukan cara yang dia inginkan. Tetapi di sisi lain, ia juga tidak bisa mengabaikan rasa sakit hati yang ditinggalkan oleh ejekan dan penolakan mereka.
Di dalam gua, Naga Dewa sedang merenung, menatap ke luar gua yang gelap. Matanya yang besar tampak berkilau, menunjukkan rasa marah yang belum padam. "Mereka harus tahu siapa kamu, anakku. Mereka tidak bisa terus menghina dan meremehkanmu begitu saja," kata Naga Dewa dengan suara yang dalam dan penuh tekad. Namun, meski kata-kata itu terdengar penuh kasih, ada sesuatu yang lebih besar yang tersirat di baliknya—rasa perlindungan yang begitu kuat terhadap anaknya, yang kadang bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap.
Rian, yang mendengar suara ibunya, mengangkat kepala dan mendekat. "Ibu," katanya dengan suara ragu, "aku... aku ingin mereka mengerti siapa aku, tapi aku tidak ingin mereka takut padaku. Aku tidak ingin mereka... benci aku." Suaranya terdengar lemah, dan matanya yang besar penuh kebingungan.
Naga Dewa berbalik, menatap anaknya dengan tatapan penuh kasih. "Anakku mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka takut akan hal yang tidak mereka pahami. Dunia ini penuh dengan kebodohan, dan kamu adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari yang mereka bisa bayangkan. Mereka harus diajari untuk menghargai perbedaan. Mereka harus tahu apa artinya memiliki kekuatan yang bisa melindungi mereka, bukan menakut-nakuti mereka."
Rian menggigit bibirnya. "Tapi Ibu... Aku ingin memiliki teman. Aku ingin bisa tertawa bersama mereka, bukan membuat mereka takut."
Naga Dewa terdiam sejenak, merenung. "Aku tahu anakku. Aku tahu itu. Tapi dunia ini tidak selalu adil. Mereka yang menghina dan menolak kamu harus belajar. Mereka tidak bisa terus seperti ini." Naga Dewa menghela napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. "Aku membuat mereka mengerti Rian. Tapi kamu tidak perlu merasa bersalah. Semua ini bukan salahmu. Mereka yang harus belajar."
Malam itu, Rian tidur dengan perasaan tidak tenang. Ia tidak tahu apakah tindakan ibunya benar.
Apakah dunia luar harus diajari dengan cara seperti itu? Ia merasa terjebak di antara keinginan untuk diterima dan kasih sayang yang begitu besar dari ibunya yang penuh dengan kekuatan.
Pagi berikutnya, desa mulai terbangun dengan suasana yang berbeda. Warga desa, yang semalam masih terkejut dengan peristiwa aneh yang mereka alami, mulai saling berbicara tentang kejadian tersebut. Beberapa mengatakan bahwa mereka hanya melihat halusinasi, sementara yang lain merasa bahwa mereka telah melihat sesuatu yang nyata dan menakutkan. Mereka semua
berbicara dengan suara penuh ketakutan, terutama tentang Rian—anak yang mereka anggap aneh dan berbeda.
Namun, mereka semua setuju pada satu hal: kejadian semalam adalah peringatan. Mereka merasa ada kekuatan besar yang mengintai mereka, dan mereka tahu bahwa mereka harus berhati-hati.
Di tengah-tengah kebingungannya, Rian berjalan kembali ke desa. Ia ingin tahu apakah kejadian semalam telah mengubah pandangan anak-anak desa tentang dirinya. Ia ingin mencari teman- teman baru, dan kali ini, ia berharap mereka akan lebih memahami dirinya.
Namun, ketika ia sampai di dekat pinggiran desa, ia melihat kelompok anak-anak yang sedang bermain di dekat sungai. Mereka tidak tampak seperti biasa—mereka tampak lebih cemas dan terkejut, berbicara dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. Begitu mereka melihat Rian mendekat, mereka terdiam. Beberapa anak terlihat saling berbisik, dan ada yang terlihat menghindar.
Anak laki-laki yang sebelumnya mengejeknya, dengan mata yang penuh rasa takut, berkata,
"Hei... kamu... apa yang terjadi semalam? Apakah itu benar-benar kamu? Kami... kami melihat sesuatu yang sangat besar dan mengerikan... Kamu... kamu beneran anak ular?"
Rian merasa cemas. Ia hanya ingin berbicara dengan mereka, tetapi kini mereka tampak sangat takut. "Aku bukan anak ular," kata Rian pelan, berusaha meyakinkan mereka. "Aku hanya ingin berteman dengan kalian. Aku hanya ingin bermain seperti teman-teman lainnya."
Anak perempuan yang tadi menertawakannya, kali ini tampak lebih ragu. "Kami... kami tidak tahu apa yang harus kami pikirkan Rian. Semalam... itu sangat menakutkan. Apa yang terjadi itu... tidak wajar. Kami takut."
Rian menunduk, merasakan kesedihan yang semakin mendalam. "Aku tidak ingin menakut- nakuti kalian," kata Rian dengan suara lembut. "Aku tidak ingin kalian takut padaku. Aku hanya ingin diterima seperti anak-anak lainnya."
Namun, anak-anak itu tidak bisa melanjutkan percakapan lebih jauh. Mereka tampak terjebak antara rasa takut dan rasa ingin tahu. Mereka tidak tahu apakah mereka harus percaya pada apa yang mereka lihat semalam, atau apakah mereka harus menjauhkan diri dari Rian untuk
selamanya.
Melihat mereka pergi dengan hati yang berat, Rian merasa hatinya semakin hancur. Mereka masih takut. Tak ada yang benar-benar mengerti dirinya. Ia hanya ingin merasa seperti anak biasa, yang bisa berlari dan tertawa bersama teman-temannya. Namun, kenyataan bahwa dunia luar tidak bisa menerima dirinya membuatnya merasa semakin terasing.
Rian kembali ke hutan, mencari Naga Dewa di gua yang jauh di dalam. Ia merasa bingung dan lelah, dan ia tahu bahwa ia perlu berbicara dengan ibunya.
"Ibu," kata Rian saat masuk ke dalam gua, "aku merasa sangat kesepian. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dengan perasaan ini. Aku hanya ingin merasa seperti anak biasa."
Naga Dewa mengangkat kepalanya, matanya yang penuh kebijaksanaan menatap Rian dengan penuh perhatian. "Anakku, aku tahu ini sangat sulit untukmu. Dunia ini belum siap untukmu.
Mereka tidak mengerti apa yang mereka lihat. Tapi percayalah, suatu saat nanti, mereka akan mengerti. Mereka akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Kamu akan menemui orang-orang yang bisa menerima perbedaan Rian."
Rian mengangguk perlahan, tetapi hatinya masih penuh dengan kebingungan. Ia merasa kesepian dan terasing, meskipun Naga Dewa ada di sana untuknya. Ia ingin dunia luar menjadi tempat yang ramah dan menerima dirinya, tanpa ketakutan dan kebencian. Namun, sepertinya perjalanan untuk mendapatkan itu masih sangat panjang.
Dengan tatapan yang penuh kasih, Naga Dewa berkata, "Percayalah anakku. Ini belum berakhir.
Kita akan menghadapi lebih banyak hal. Dunia luar akan melihatmu dengan cara yang berbeda suatu hari nanti. Aku akan selalu berada di sampingmu. Kamu tidak pernah benar-benar sendirian."
Rian terdiam, meresapi kata-kata ibunya. Meski hatinya masih terluka, ia merasa sedikit tenang, karena ia tahu bahwa tidak ada yang bisa merenggut kasih sayang yang dimilikinya dari Naga Dewa. Tetapi, rasa kesepian yang mendalam tetap ada, dan Rian tahu bahwa ini hanya awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah hidupnya—dan mungkin seluruh desa.
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan Rian tetap bergolak. Di dalam hatinya, ada keinginan yang kuat untuk diterima oleh dunia luar, tapi semakin ia mencoba mendekat, semakin
besar rasa terasing yang ia rasakan. Anak-anak desa yang dulu sempat berbicara dengannya kini semakin menjauh. Bahkan yang paling ramah di antara mereka pun mulai menghindar, dan saat mereka berbicara, mereka berbicara dengan bisikan yang penuh ketakutan.
Keheningan itu semakin berat bagi Rian. Ia menginginkan tertawa bersama anak-anak yang lain, bermain bersama mereka di sepanjang sungai, dan bahkan sekadar berbicara tentang hal-hal kecil seperti siapa yang paling cepat berlari atau siapa yang paling pintar memanjat pohon. Tetapi semuanya terasa hilang dalam sekejap, seperti kabut yang lenyap ditelan matahari.
Pagi itu, Naga Dewa tampak lebih cemas dari biasanya. Ia tahu bahwa hati anaknya sedang hancur. Rian masuk ke dalam gua dengan langkah lesu, wajahnya yang biasanya cerah kini tampak muram. Ia mengangkat kepala sedikit saat melihat Naga Dewa, namun matanya yang lelah segera kembali terfokus pada tanah.
"Ibu," suara Rian terdengar pelan, penuh keputusasaan. "Aku tidak bisa seperti ini. Aku merasa semakin sendirian. Mereka semua takut padaku. Mereka tidak mau ada hubungannya dengan aku. Aku hanya ingin berteman Ibu. Tapi mereka... mereka terus menganggap aku berbeda. Aku merasa seperti monster." Suara itu pecah, dan Rian menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
Naga Dewa mendekat dan dengan lembut melingkarkan ekornya di sekitar tubuh Rian, memberikan kenyamanan dalam diam. Ia merasakan kesedihan yang mendalam dari anaknya.
"Anakku, aku tahu ini sulit. Aku tahu dunia luar tidak adil. Tapi kamu tidak bisa berharap dunia akan menerima kita dengan mudah. Mereka belum siap untuk memahami siapa kita. Mereka takut pada apa yang tidak mereka pahami."
Rian mengangguk perlahan, tetapi dalam hatinya, ia merasa semakin hancur. "Aku tahu Ibu. Tapi aku hanya ingin merasakan apa yang mereka rasakan—memiliki teman, memiliki tempat di dunia ini. Mereka tidak melihatku, mereka hanya melihat... ular. Mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya."
Naga Dewa menghela napas panjang. "Dunia ini memang keras anakku. Tapi itu bukan berarti kamu harus menyerah. Kamu harus menunjukkan pada mereka siapa kamu. Jangan biarkan mereka membuatmu merasa kecil hanya karena kamu berbeda. Kita akan membuat mereka mengerti."
Namun, Rian tidak tahu lagi apakah ia bisa bertahan dalam keadaan ini. Ia hanya ingin kedamaian, tetapi kedamaian yang diinginkannya tampaknya semakin jauh dari jangkauan.
Sementara itu, di desa, ketegangan semakin terasa setelah anak-anak yang baru saja bertemu dengan Rian, melapor ke orang tua mereka. Penduduk desa berkumpul di balai desa untuk membicarakan kecemasan tersebut.
Di tengah-tengah kecemasan itu, seorang anak lelaki bernama Dwi yang dulu sangat membenci Rian, mulai merasakan ada sesuatu yang salah. Dwi adalah anak yang keras kepala, selalu merasa dirinya lebih baik daripada yang lain, dan sering memimpin teman-temannya untuk mengejek Rian. Namun, setelah kejadian semalam, Dwi merasa ada sesuatu yang lebih besar dari yang ia perkirakan. Meskipun ia tetap berusaha menghindari Rian, ada rasa takut yang terus menghantuinya.
Pada suatu sore, Dwi berjalan sendirian di sekitar sungai, berusaha menjauh dari keramaian desa.
Tiba-tiba, ia melihat sosok yang tak asing lagi—Rian, yang sedang duduk di atas batu besar di tepi sungai, menatap air dengan mata kosong. Dwi merasa cemas, tetapi ada sesuatu yang menariknya untuk mendekat. Seiring langkahnya mendekat, ia melihat Rian menoleh, seolah sudah mengetahui kehadirannya.
"Rian..." suara Dwi terdengar ragu. "Aku... aku hanya ingin bicara."
Rian menatapnya dengan bingung, sedikit terkejut. "Apa yang kamu inginkan?" jawabnya pelan, seolah tak percaya bahwa Dwi ingin berbicara dengannya.
Dwi menghela napas panjang, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. "Aku... aku tahu aku sering mengejekmu, dan aku tahu itu salah. Aku... aku minta maaf." Matanya yang biasanya penuh rasa bangga dan sombong kini tampak penuh kebingungan dan rasa bersalah. "Aku takut...
aku takut dengan apa yang kami lihat waktu itu. Aku takut kalau kamu... kalau kamu benar-benar anak dari ular besar. Tapi sekarang aku... aku nggak tahu apa yang harus dipikirkan."
Rian terdiam sejenak, meresapi kata-kata Dwi. Rasa bingungnya semakin dalam. "Aku... aku bukan anak ular. Aku hanya ingin menjadi bagian dari kalian. Aku tidak ingin menakut-nakuti siapa pun. Aku hanya ingin diterima."
Dwi mengangguk pelan, tetapi rasa takut yang mendalam masih ada di matanya. "Aku tidak tahu apakah orang lain bisa menerima kamu Rian. Mereka masih takut. Mereka nggak bisa mengerti."
Setelah beberapa detik terdiam, ia melanjutkan dengan suara lebih lembut, "Tapi aku... aku akan berusaha untuk tidak takut padamu. Aku janji."
Rian menatap Dwi dengan mata yang penuh harap. "Kamu janji?" tanyanya pelan, seolah-olah berharap kata-kata itu bisa membawa harapan baru. Dwi mengangguk dengan sungguh-sungguh.
Namun, ketika Dwi pergi, Rian tetap merasa kesepian. Meskipun Dwi minta maaf, ia tahu bahwa tidak semua anak-anak desa akan berubah dalam sekejap. Ketakutan yang tertanam dalam hati mereka lebih dalam dari yang ia kira. Meskipun Dwi tidak lagi menghindarinya, masih ada begitu banyak yang harus dilakukan untuk mengubah pandangan seluruh desa. Namun setidaknya ia merasa lega bahwa ia akan segera bisa diterima oleh teman-temannya.
Keesokan harinya, Naga Dewa tampak semakin gelisah. Ia semakin merasa takut kalau dunia luar semakin tidak siap menghadapi kenyataan tentang siapa sebenarnya Rian. Tak lama setelah matahari terbenam, Naga Dewa memutuskan untuk melakukan langkah besar.
Dengan kekuatan magisnya, ia mengubah suasana di sekitar desa menjadi gelap dan mencekam.
Hutan yang sebelumnya damai kini tampak mengerikan, pohon-pohon bergerak seakan hidup, dan suara-suara aneh mulai terdengar dari kedalaman hutan. Naga Dewa ingin mengirim pesan yang jelas kepada penduduk desa—bahwa ada sesuatu yang sangat besar dan kuat di luar sana, dan mereka harus menghormati apa yang mereka takuti.
Ketika kabar tentang kejadian ini mulai tersebar di desa, Rian merasa cemas. Ia tahu bahwa ibunya telah mengambil langkah yang besar. Ia tahu bahwa Naga Dewa tidak akan pernah membiarkan dirinya disakiti oleh orang di luar sana apalagi mendengar kecemasan di desa yang semakin tinggi. Namun, di sisi lain, Rian merasa ketakutan—takut bahwa tindakan ibunya mungkin malah memperburuk keadaan.
Dalam kebingungannya, Rian kembali ke gua, mencari Naga Dewa. "Ibu... kenapa kamu melakukan ini? Apa yang kamu lakukan kemarin belum cukup Ibu?" tanyanya dengan suara yang gemetar.
Naga Dewa menatapnya dengan penuh kasih, namun juga dengan tekad yang tak tergoyahkan.
"Aku melakukan ini untuk melindungimu anakku. Aku tahu dunia luar semakin tidak siap menerimamu".
Rian memadamkan tekad Naga Dewa, “Sudah cukup, Ibu. Aku telah berteman baik dengan salah seorang anak desa itu. Bahkan dia yang menghampiriku terlebih dahulu dan meminta maaf. Aku salut padanya, dan dia berjanji akan menjadi temanku dan mengajak teman-temannya untuk bermain denganku,” belanya.
“Ibu tidak perlu bertindak lebih jauh lagi. Aku sudah jauh merasa lebih tenang dan menanti bermain bersama mereka,” lanjutnya.
“Anakku, apa kamu merasa yakin dengan mereka? Kamu yakin mereka tidak akan mengejekmu lagi?”, tanya Naga Dewa dengan penuh kekhawatiran. “Aku yakin Ibu. Lagi pula kalau mereka menyakitiku lagi, aku bisa meminta tolong kepadamu. Biarkan mereka menerimaku perlahan- lahan Ibu,” jawab Rian.
“Beri tahu aku jika kamu merasa sedih anakku. Dan tetaplah berhati-hati dengan dunia luar. Aku akan selalu melindungimu”, sejak saat itu amarah yang dirasakan Naga Dewa mulai memudar. Ia membiarkan anaknya kembali ke desa dengan kewaspadaan. Ia juga selalu mengawasinya agar anaknya tidak merasa dicemooh lagi.
Sementara itu di desa, setelah kejadian Dwi yang meminta maaf kepada Rian dan berjanji tidak akan takut padanya, dia menceritakan pertemuannya itu dengan Rian kepada teman-teman sebayanya. Dwi menjelaskan betapa baiknya Rian karena tidak ingin menyakiti teman-temannya lagi. Setelah itu, mereka pun akhirnya bisa bermain bersama. Rian merasa sangat senang
akhirnya keinginannya untuk bisa bermain bersama anak-anak desa terwujud. Warga desa yang melihat situasi itu merasa sedikit lega karena mereka tak perlu cemas yang berlebihan melihat Rian, bocah kecil hutan itu bersenang-senang tanpa memendam kesedihan yang bisa membuat sang ibu marah. Pun Naga Dewa yang merasa hatinya tenang melihat anaknya tertawa bahagia.