Volume 3 Indonesian Notary
12-31-2021
Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Proses Peradilan Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Proses Peradilan Notaris Di Pengadilan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Notaris Di Pengadilan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019)
Nomor 22/PUU-XVII/2019)
M. Hendri Kurniawan [email protected]
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/notary
Part of the Commercial Law Commons, Contracts Commons, Land Use Law Commons, and the Legal Profession Commons
Recommended Citation Recommended Citation
Kurniawan, M. Hendri (2021) "Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Proses Peradilan Notaris Di Pengadilan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019)," Indonesian Notary: Vol. 3, Article 20.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss4/20
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
Cover Page Footnote Cover Page Footnote
Dody Rajasa Waluyo, Kewenangan Notaris Selaku Pejabat Umum, Media Notariat (Menor) Edisi Oktober- Desember 2001, hlm. 63. Syafran Sofyan, “Notaris “Openbare Amtbtenaren”,”
https://www.jimlyschool.com/baca/9/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/ diakses 05 Juli 2021. Indonesia, Perbuahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014,TLN 5491, Ps. 1 angka (1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), Ps. 1868. Tan Thong Kie, Buku 1 Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2000), hal. 162. A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Alumni: Bandung, 1983), hlm.
64. Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, (Dunia Cerdas: Jakarta Timur, 2013), hlm.8. Habib Adjie, Muhammad Hafidh, dan Zul Fadli, Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Mengenai Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), (Duta Nusindo:
Semarang, 2016), hlm. 5. Djoko Sukisno, 2008, “Pengambilan Foto Copi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris,” Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM, Vol 20 No 1, Yogyakarta, hlm. 51. Herdy Laban Nariwo Pihang, Rachmad Safa’at, Sucipto, “Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Memberikan Persetujuan Kepada Penegak Hukum Ketika Memeriksa Notaris Yang Diduga Melakukan Pelanggaran Hukum Pidana Saat Menjalankan Jabatanannya Sebagai Notaris (Studi Kasus Di Majelis Kehormatan Notaris, Jakarta),” Jurnal Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang, hlm.
4-6. Tim Advertorial Hukum Online, “Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris Menjawab Kebingungan Notaris” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5707c339a0416/keberadaan-majelis-kehormatan- notaris-menjawab-kebingungan-notaris/ , diakses 05 Juli 2021. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum DAN Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 Tentang Tugas Dan Fungsi, Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Dan
Pemberhentian, Struktur Organisasi, Tata Kerja, Dan Anggaran Majelis Kehormatan Notaris,
Permenkumham No. 17 Tahun 2021, LN No. 212 Tahun 2021, Ps. 3 ayat (1) huruf a. Ibid., Ps. 3 ayat (2).
Ibid., Ps. 22. Ibid., Ps. 3 ayat (1) huruf b. Ibid., Ps. 3 ayat (3) Ibid., Ps. 24. Herdy Laban Nariwo Pihang, Rachmad Safa’at, Sucipto, “Peran Majelis Kehormatan Notaris ...,” hlm. 8. Habib Adjie, Memahami: Majelis Pengawas Notaris (MPN) Dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN), (Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm.
42. Irra Chrisyanti Dewi, Manajemen Kesekretariatan, (Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya, 2011), hlm. 20.
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 98. Udi Hermawan, Munsyarif Abdul Chalim, “Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah Dalam
Memberikan Persetujuan Terhadap Pemanggilan Notaris Oleh Penegak Hukum,” Jurnal Akta, Vol. 4 No. 3, Fakultas Hukum UNISSULA 2017, hlm. 452. Gian Semet, “Proses Penyidikan Terhadap Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta Oleh Notaris,” Lex Et Societatis, Vol 3 No. 7. Fakultas Hukum Unsrat 2015, hlm.
39. Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 22/PUU-XVII/2019.
NOTARIS DI PENGADILAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XVII/2019)
M. Hendri Kurniawan [email protected]
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai peran Majelis Kehormatan Notaris dalam Proses Peradilan Notaris di Pengadilan berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris dan pertimbangan hakim yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019. Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris dipandang oleh pemohon dapat mempersulit proses peradilan terhadap Notaris di Pengadilan.salah satu kewenangan tersebut adalah, dalam kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat- surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Majelis Kehormatan Notaris melalui kewenangannya pada dasarnya tidak mempersulit proses peradilan terhadap Notaris.
terdapat aturan yang memuat tentang jangka waktu bagi Majelis Kehormatan Notaris untuk memberikan izin atau menolak permohonan terhadap proses persidangan Notaris, yang berupa pengambilan fotokopi minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta Akta, maupun pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Kata kunci: Notaris, Majelis Kehormatan Notaris, Peradilan.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Notaris adalah pejabat umum yang berhak membuat akta Autentik sebagai alat pembuktian yang sempurna. Notaris adalah kepanjangan tangan Negara dimana ia menunaikan sebagian tugas negara dibidang hukum perdata. Negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum dalam bidang hukum privat kepada warga negara yang telah melimpahkan sebagaian wewenangnya kepada Notaris untuk membuat akta Autentik. Oleh karena itu, ketika menjalankan tugasnya, Notaris wajib diposisikan sebagai pejabat umum yang mengemban tugas.1 Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik.2
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutya disebut sebagai UUJN) yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN.
Kemudian ketentuan mengenai jabatan Notaris diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut sebagai UUJN Perubahan) dan yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN Perubahan atau berdasarkan undang-undang lainnya.3 Di dalam Pasal 15 UUJN Perubahan diatur tentang kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik. Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan membuat akta otentik4 mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
1 Dody Rajasa Waluyo, Kewenangan Notaris Selaku Pejabat Umum, Media Notariat (Menor) Edisi Oktober-Desember 2001, hlm. 63.
2 Syafran Sofyan, “Notaris “Openbare Amtbtenaren”,”
https://www.jimlyschool.com/baca/9/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/ diakses 05 Juli 2021.
3 Indonesia, Perbuahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014,TLN 5491, Ps. 1 angka (1).
4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), Ps. 1868.
Akta yang telah dibuat oleh Notaris maupun dihadapan Notaris merupakan salah satu bukti otentik yang sangat sempurna, dalam akta ini tentunya terkandung segala sesuatu yang berkaitan dari masing-masing pihak yang membuat akta dengan segala akibat yang harus dipertanggungjawabkan.5 Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus mampu memberikan kepastian dalam hukum kepada masyarakat yang menggunakan jasa Notaris melalui akta yang dibuatnya dengan cara menjaga rahasia baik itu dari isi akta maupun keterangan yang didengar oleh Notaris.6
Keberadaan jabatan Notaris sebagai salah satu pejabat umum sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas di Indonesia. Dalam perkembangannya masyarakat Indonesia dalam melakukan suatu perbuatan, perjanjian ataupun penetapan maka akan lebih memilih untuk menggunakan jasa Notaris karena produk (dalam hal ini akta) yang dikeluarkan oleh seorang Notaris merupakan suatu alat bukti tertulis yang bersifat otentik dan dianggap sebagai alat bukti yang sempurna. Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya negara untuk menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat.7
Dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum, tidak jarang Notaris mengalami permasalahan. Salah satu permasalahan yang lazim terjadi adalah permasalahan Notaris dengan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris. Notaris bisa saja dituntut di depan pengadilan atas akta yang telah dibuatnya. Hal ini dibuktikan dengan cukup banyaknya putusan mengenai perkara tuntutan hukum terhadap Notaris.
Notaris yang dapat dituntut di pengadilan adalah Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan lainnya yang tidak berkaitan dengan pelanggaran jabatan Notaris. hal ini dikarenakan, penyelesaian sengketa yang disebabkan oleh pelanggaran kode etik atau pelanggaran jabatan Notaris, dilesesaikan oleh Majelis Pengawas Notaris. majelis Pengawas Notaris adalah satu-satunya lembaga yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa terkait pelanggaran kode etik atau pelanggaran jabatan Notaris.
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris, Majelis Kehormatan Notaris (MKN) adalah salah satu badan baru yang dibentuk memiliki kewenangan dalam melakukan pembinaan terhadap Notaris serta memiliki kewajiban berupa pemberian persetujuan maupun penolakan terkait pemanggilan Notaris maupun pengambilan fotokopi dari akta minuta yang dalam hal ini berhubungan dengan proses pidana. MKN memberikan persetujuan maupun
5 Tan Thong Kie, Buku 1 Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2000), hal. 162.
6 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Alumni: Bandung, 1983), hlm. 64.
7 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, (Dunia Cerdas: Jakarta Timur, 2013), hlm.8.
penolakan terkait pengambilan fotokopi akta minuta serta pemanggilan terhadap Notaris untuk hadir dalam proses pemeriksaan terkait proses pidana. Majelis Kehormatan Notaris terdiri dari 7 orang yang terdiri dari 1 Ketua, 1 Wakil Ketua, dan 5 anggota.
Kehadiran Majelis Kehormatan Notaris didasarkan pada Pasal 66 dan 66A UUJN Perubahan. Kewenangan dari Majelis Kehormatan Notaris ini adalah untuk menggantikan kewenangan dari Majelis Pengawas Daerah dalam hal memberikan persetujuan atau penolakan pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk kepentingan penyidikan dan peradilan.8
Pasal 66 ayat (1) UUJN diubah dan kemudian ditambahkan ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:
1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat- surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.
4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
Pasal 66 ayat (1) UUJN Perubahan ini kemudian mengalami uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi ini disebabkan oleh penggugat berpendapat bahwa Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 c.q. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena tidak berkeinginan pulih dari substansi inkonstitusionalnya, di mana justru setelah direvisi pun, kewajiban notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan tetap saja diberlakukan tidak sama di hadapan hukum, maka tentu bertentangan dengan kewajiban notaris sebagai warga negara seperti dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Justru setelah hasil revisi semakin telak menyulitkan aparatur penegakan hukum.
8 Habib Adjie, Muhammad Hafidh, dan Zul Fadli, Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Mengenai Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), (Duta Nusindo: Semarang, 2016), hlm. 5.
Penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam penelitian ini, mengenai bagaimana peran Majelis Kehormatan Notaris dalam kewenangannya dalam proses peradilan terhadap Notaris, serta pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 22/PUU-XVII/2019 yang berhubungan dengan Pasal-pasal dalam UUJN Perubahan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis memutuskan untuk menulis penelitian yang berjudul “Peran Majelis Kehormatan Notaris dalam Proses Peradilan Notaris di Pengadilan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019)”
1.2. Permasalahan
Pokok permasalahan yang dibahas dalam jurnal ini adalah peran Majelis Kehormatan Notaris dalam proses peradilan Notaris di Pengadilan, serta pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XVII/2019 yang berkaitan dengan Pasal-pasal dalam UUJN Perubahan.
1.3. Sistematika Penulisan
Jurnal ini dibagi menjadi tiga bagian utama demi mempermudah pembaca untuk memahami jurnal ini. Bagian pertama adalah pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, permasalahan, argumentasi penulis, dan sistematika penulisan jurnal secara singkat. Kemudian bagian kedua adalah pembahasan yang mana menguraikan mengenai kasus posisi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019, peran Majelis Kehormatan Notaris dalam proses peradilan Notaris di Pengadilan, serta pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019. Bagian ketiga adalah simpulan dan saran.
2. PEMBAHASAN 2.1. Kasus Posisi
Pemohon Tuan G mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi terhadap Pasal yang terdapat dalam UUJN Perubahan.
Permohonan bertanggal 12 Maret 2019 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 12 Maret 2019 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 47/PAN.MK/2019 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 22/PUU-XVII/2019 pada 2 tanggal 14 Maret 2019, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 12 Maret 2019 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 5 April 2019.
Pengujian Materiil Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009), Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 75 huruf a, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU 2/2014). Namun, penelitian ini difokuskan pada uji materi terkait Pasal-pasal yang terdapat dalam UUJN
Perubahan, yaitu Pasal Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 75 huruf a, dan Pasal 79.
Tuan G adalah korban tindak pidana yang menderita kerugian materiel dan immateriel atas penyalahgunaan sebuah blangko palsu akta jual beli hak atas tanah dan sebuah akta jual beli No. 09/2016 yang dibuat oleh Notaris PPAT N Nurhayati SH, MKn tidak menurut tata cara dan tata aturan sesuai Undang- Undang, merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 66 ayat (1) dan (4), Pasal 75 huruf a, Pasal 79 UU No. 2 Tahun 2014 sebagai perubahan UU No. 30 Tahun 2004 karena Majelis Kehormatan Notaris (MKN) tidak berkenan menerbitkan surat persetujuan memeriksa notaris, akibatnya penyidik tidak dapat bekerja dengan benar, sedangkan MPW Jabar tidak membuat keputusan meski sidang etik telah diselenggarakan oleh MPW Jabar sejak tanggal 5 Juni 2018. Kerugian konstitusional juga diderita Tuan G dikarenakan tidak dibuatnya surat persetujuan memeriksa notaris oleh MKN untuk penyidik, serta tidak dibuatnya keputusan hasil sidang etik oleh Majelis Pengawas Notaris.
Alasan Pengujian Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 75 huruf a, dan Pasal 79 UU No. 2 Tahun 2014 sebagai berikut:
a. Bahwa menurut substansi dari UUJN, Peraturan Jabatan PPAT, Kode Etik Profesi Notaris, Kode Etik PPAT seyogianya bukan hanya untuk kepentingan kepastian hukum dan perlindungan bagi profesi Notaris PPAT itu saja sebagai pejabat umum sebab menurut esensi dari Ethics of Rights dan Ethics of Care di negara demokrasi besar seperti Republik Indonesia, yang paling utama sebenarnya adalah bagaimana profesi Notaris PPAT dapat memberikan jaminan atas kepastian dan perlindungan hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi seluruh masyarakat secara luas. Disinilah pentingnya optimalisasi penegakan hukum dan penegakan etika sebagai bagian dari kedudukan Notaris PPAT dalam Negara;
b. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 sangat tepat dalam pertimbangan putusannya menilai notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum seperti dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
c. Namun demikian dalam hasil revisi UU 2/2014 menurut Pemohon, Pasal 66 ayat (1) tetap bertentangan dengan Konstitusi karena hanya merubah frasa Majelis Pengawas Daerah menjadi Majelis Kehormatan Notaris sebab substansi pokoknya, justru malah makin telak menyulitkan tugas penyidik, penuntut umum, atau hakim, utamanya di seluruh daerah luar kota propinsi, sebab MKN tersebut hanya terdapat di Ibu kota propinsi, selain di Ibu kota negara;
d. Dalam kenyataan MKN selain tidak berkenan membuat surat persetujuan memeriksa notaris dan yang terjadi malah saling tunjuk menunjuk ke Majelis Pengawas Notaris Pusat (MPPN), sedangkan Ketua MPPN tidak mengambil langkah konkrit terhadap tidak
dibuatnya putusan oleh MPW Jabar meski sidang etik telah diselenggarakan sejak tanggal 5 Juni 2018 dimana Sekretaris MPW Jabar saling tunjuk menunjuk ke KPK pula, karena terkait OTT-nya terhadap Kalapas Sukamiskin, sehingga Ketua MPW Jabar yang merangkap Kakanwil Jabar turut dicopot;
e. Bahwa menurut ketentuan perundang-undangan, PPAT diharuskan menggunakan formulir/ blanko akta yang isi, bentuk dan tata cara pengisian ditetapkan oleh Kepala BPN RI. Selanjutnya terhadap kasus yang dialami oleh Pemohon, telah diserahkan kepada hakim praperadilan PN Bekasi saudara Syofia Marlianti Tambunan S.H, M.H. di persidangan sejumlah alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, diantaranya sebuah blanko akta jual beli hak atas tanah berkop Notaris PPAT aktif yang telah dikonsep/didraf secara ala kadarnya oleh Terlapor tanpa diketahui Notaris PPAT pemilik blanko, lalu digunakan untuk memperdaya Pemohon agar segera melakukan pelunasan, setelah menerima pelunasan 100%, blanko akta disembunyikan;
Bahwa kepalsuan alat bukti blanko akta jual beli hak atas tanah yang di draf secara ala kadarnya menjadi nyata dan terang karena didraf dan digunakan oleh selain pejabat umum, dan ternyata Terlapor bukan pemilik objek perjanjian dan tidak punya hubungan hukum dengan pemilik tanah tapi melakukan kebohongan dengan menyatakan dirinya sebagai pemilik tanah yang sah dan memakai akta girik No. 534/CARIU/1997 milik orang lain dan beralasan telah membeli tanah tersebut;
f. Bahwa setelah blanko akta jual beli disembunyikan lebih dari 120 hari, Terlapor baru muncul dan serahkan blanko akta jual beli ke Notaris PPAT Sukamdi, SH, MKn supaya diproses, tapi asli blanko akta jual beli tersebut malah disandera oleh saudara Sukamdi.
Selanjutnya, terlapor berakrobat mengganti blanko akta jual beli yang palsu tersebut dengan sebuah Akta No. 09/2016 yang dibuat Notaris PPAT N Nurhayati SH, MKn, tetapi tata cara pembuatan akta tersebut diduga telah sengaja melanggar UU No. 2 Tahun 2014 serta Peraturan Jabatan PPAT sehingga kehilangan daya bukti formal, terdapat sejumlah keterangan palsu, oleh karenanya patut dinilai akta otentik tersebut telah cacat hukum sejak lahir dan setiap saat berpotensi jadi objek sengketa;
g. Bahwa Akta No 09/2016 telah diresmikan dengan cara diberi nomor akta, tanggal akta, ada stempel legal formalnya dan telah ditandatangani para pihak serta Notaris PPAT N Nurhayati SH, MKn namun dalam proses pembuatannya pejabat umum secara sadar dan sengaja mencantumkan harga transaksi yang menyimpang dari total harga pembayaran sebenarnya, memisahkan tempat membuat akta bagi ke dua belah pihak, hanya satu foto dokumentasi yang tersedia tapi tidak tampak pejabat umum hadir secara fisik di hadapan pihak penjual sedang membuat akta di rumahnya, saksi-
saksi akta tidak hadir pada saat pembuatan akta, terjadi pelanggaran wilayah kerja, maka telah memenuhi unsur pidana Pasal 264 juncto Pasal 266 KUHP;
h. Berdasarkan pemeriksaan terhadap sejumlah alat bukti dan pihak yang sama yang terkait dengan terlapor, oleh PTUN Jakarta yang terdiri dari tiga (3) orang hakim, dengan putusannya Nomor:
15/P/FP/2018/PTUN-JKT tanggal 6 September 2018 menyimpulkan bahwa Notaris PPAT N.Nurhayati SH, MKn yang meresmikan akta No. 09/2016 untuk kepentingan terlapor, telah melakukan pelanggaran berat terhadap Peraturan Jabatan PPAT, sedangkan praperadilan hanya disidang oleh seorang hakim tunggal.
Pelanggaran berat tersebut karena adanya permufakatan jahat Notaris PPAT N. Nurhayati SH, MKn dengan terlapor dalam proses pembuatan Akta Notaris No. 09/2016.
2.2. Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Proses Peradilan Notaris di Pengadilan
Notaris menurut Pasal 1 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang baru, bahwa Notaris merupakan pejabat umum pembuat akta. Notaris berwenang membuat akta otentik serta memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang yang didelegasikan kepadanya.9
Notaris dalam menjalankan tugas profesinya sebagai Notaris diawasi dan dibina oleh Organisasi Notaris. Organisasi Notaris tersebut tergabung dalam satu wadah yang bernama Ikatan Notaris Indonesia (INI). Notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum harus sesuai dengan aturan hukum yang terdapat dalam Undang-undang Jabatan Notaris maupun Kode Etik yang terdapat di Organisasi Notaris. Jika melihat dari tugas dan tanggung jawab Notaris sebagai sebuah Profesi pejabat umum pembuat akta otentik. Dimungkinkan dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai Notaris, bisa saja Notaris sewaktu- waktu dipanggil oleh penegak hukum maupun terjadi pelanggaran hukum pidana dilakukan Notaris ketika melaksanakan jabatnya sebagai Notaris. Hal ini disebabkan notaris bisa saja menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.
Pelanggaran hukum Pidana yang dimaksud saat menjalankan tugas dan Jabatannya sebagai Notaris adalah membuat surat palsu atau memalsukan surat dalam akta otentik yang dibuat Notaris. Disamping itu juga memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik yang dibuat Notaris. Sedangkan mengenai Notaris bisa dipanggil sewaktu-waktu oleh penegak hukum adalah
9 Djoko Sukisno, 2008, “Pengambilan Foto Copi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris,” Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM, Vol 20 No 1, Yogyakarta, hlm.
51.
Notaris menjadi saksi terhadap setiap permasalahan hukum yang berhubungan dengan akta yang dibuatnya.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada pasal 66 sebelum adanya Judicial Rieview ke Mahkamah Konstitusi, pada pasal 66 ayat (1) menyatakan ketika Notaris dipanggil untuk proses peradilan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim maka harus dengan mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Namun dalam Undang-undang pasal 66 ayat 1 Nomor 2 tahun 2014 harus mendapat persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris. Baik dalam Undng-undang yang lama ( UU Nomor 30 Tahun 2004) maupun Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 munculnya kembali prasa pasal 66 memberikan suatu ruang bahwa Notaris yang ingin diperiksa oleh pihak Kepolisian, Penuntut Umum dan Hakim harus mendapat persetujuan dari lembaga yang ada di Organisasi Notaris yang diberi wewenang oleh Undang-undang.
Majelis Kehormatan Notaris yang mempunyai kewenangan memberikan persetujuan kepada pihak Kepolisian, Penuntut Umum, dan Hakim untuk memeriksa notaris baru dibentuk pada tahun 2016. Peraturan Menteri tersebut adalah peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 yang mengatur tentang Majelis Kehormatan Notaris. Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut dikeluarkan pada tanggal 5 februari 2016. Adapun isi dari peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut mengatur mengenai kedudukan Majelis Kehormatan Notaris, struktur organisasi dan Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris. Saat ini Majelis Kehormatan Notaris yang dibentuk tersebut baru ditingkat pusat. Sementara pada peraturan Menteri Hukum dan HAM pada pasal 2 mengamanatkan bahwa Majelis Kehormatan Notaris dibentuk di Pusat dan wilayah.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang dikeluarkan merupakan aturan pelaksana yang diamanatkan pasal 66 A oleh Udang-undang Nomor 2 Tahun 2014 untuk membetuk Majelis Kehormatan Notaris. Jika dilihat dalam Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tidak diatur mengenai pengertian Majelis Kehormatan Notaris. Disamping itu tidak diatur mengenai dimana kedudukan Majelis Kehormatan notaris berada. Pasal 91 B Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 mengamanatkan Bahwa peraturan pelaksana dari Undang-undang tersebut di bentuk paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 di undangkan. Lambatnya Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM sebagai peraturan pelaksana membuat lamanya dibentuk Majelis Kehormatan Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM seharusnya dikeluarkan satu tahun paling lambat setelah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 di undangkan. Akibat yang ditimbulkan dari terlambatnya dikeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM membuat Notaris tidak mendapat perlindungan dan kepastian hukum ketika dipanggil oleh penegak hukum. Hal ini didasarkan pada siapa yang memberikan
persetujuan kepada penegak hukum ketika Notaris dipanggil maupun di periksa penegak hukum.10
Berdasarkan Pasal 66A ayat (3) UUJN Perubahan, maka kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menerbitkan aturan teknis yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris (untuk selanjutnya disebut Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016). Terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dinilai menjadi jawaban atas keragu-raguan selama ini. Terlebih terkait dengan permintaan dari penyidik kepada notaris untuk membuka data atau informasi akta tertentu.11 Menurut Pasal 1 angka 1 Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016, yang disebut dengan Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Majelis Kehormatan Notaris terdiri atas:
a. Majelis Kehormatan Pusat,12 yang dibentuk oleh Menteri dan berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.13 Mempunyai tugas melakukan pembinaan kepada Notaris dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah, dan pembinaan kepada Majelis Kehormatan Notaris Wilayah yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah. Mempunyai fungsi melakukan sosialisasi dan pembekalan terhadap Notaris tentang tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Notaris, dan melakukan pengawasan dan
10 Herdy Laban Nariwo Pihang, Rachmad Safa’at, Sucipto, “Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Memberikan Persetujuan Kepada Penegak Hukum Ketika Memeriksa Notaris Yang Diduga Melakukan Pelanggaran Hukum Pidana Saat Menjalankan Jabatanannya Sebagai Notaris (Studi Kasus Di Majelis Kehormatan Notaris, Jakarta),” Jurnal Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang, hlm. 4-6.
11 Tim Advertorial Hukum Online, “Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris Menjawab Kebingungan Notaris” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5707c339a0416/keberadaan- majelis-kehormatan-notaris-menjawab-kebingungan-notaris/ , diakses 05 Juli 2021.
12 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum DAN Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 Tentang Tugas Dan Fungsi, Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian, Struktur Organisasi, Tata Kerja, Dan Anggaran Majelis Kehormatan Notaris, Permenkumham No. 17 Tahun 2021, LN No.
212 Tahun 2021, Ps. 3 ayat (1) huruf a.
13 Ibid., Ps. 3 ayat (2).
monitoring terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah.14
b. Majelis Kehormatan Wilayah,15 yang dibentuk oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dan berkedudukan di Ibukota Provinsi.16 Mempunyai tugas melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim, dan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan. Mempunyai fungsi menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya; dan memberikan perlindungan kepada Notaris terait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi akta.17
Peran Majelis Kehormatan Notaris terkait pemanggilan Notaris dalam pemeriksaan perkara pidana adalah sebagai berikut:18
a. Majelis kehormatan notaris berwenang untuk memberikan persetujuan sementara kepada para penegak hukum;
Berdasarkan Pasal 19 Peraturan Kementerian Hukum dan HAM Republik Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris bahwa dalam melaksanakan tugsanya Majelis Kehormatan Notaris dibantu oleh Sekretariat Majelis Kehormatan Notaris.
Dijelaskan dalam Pasal 27 Permenkumham tersebut pemberian persetujuan kepada para penegak hukum dalam pemanggilan Notaris terkait pemeriksaan perkara pidana dilakukan dalam hal adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta, belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana, adanya penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau lebih, adanya dugaan pengurangan atau penambahan atas minuta akta, dan adanya dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal (antidatum).
14 Ibid., Ps. 22.
15 Ibid., Ps. 3 ayat (1) huruf b.
16 Ibid., Ps. 3 ayat (3)
17 Ibid., Ps. 24.
18 Herdy Laban Nariwo Pihang, Rachmad Safa’at, Sucipto, “Peran Majelis Kehormatan Notaris ...,” hlm. 8.
b. Majelis kehormatan notaris melakukan persidangan pemeriksaan terlebih dahulu kepada notaris sebelum memberikan persetujuan ataupun penolakan kepada para penegak hukum.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap Notaris tersebut, Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mmbentuk Majelis Pemeriksa yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang merupakan anggota dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah.
Pemanggilan terhadap Notaris dilakukan melalui surat yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Kehormatan Wilayah.
Notaris wajib hadir memenuhi panggilan Majelis Pemeriksa dan tidak boleh diwakilkan. Dalam hal Notaris tidak hadir setelah dipanggil secara sah dan patut sebanyak 2 (kali) berturut-turut, Majelis Pemeriksa dapat mengambil keputusan terhadap permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim.19
c. Majelis kehormatan notaris dapat mendampingi Notaris dalam proses pemeriksaan perkara pidana.
Pendampingan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Notaris tersebut bersifat pasif yaitu hanya memberikan keyakinan kepada Notaris ada yang mendampingi sehingga Notaris yakin dan percaya diri ketika harus berhadapan dengan para aparat penegak hukum.
Prosedur dikenal dengan tata cara yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan akhir.20 Prosedur pemeriksaan Notaris terkait kepentingan peradilan pidana diawali dengan pengajuan surat permohonan kepada Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (MKNW) sesuai dengan wilayah tempat Notaris yang bersangkutan bekerja/bertugas. Surat permohonan terkait pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris disampaikan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia serta sesuai dengan ayat (2) harus memuat paling sedikit tentunya nama dari Notaris yang bersangkutan, alamat kantor dari Notaris yang bersangkutan, nomor akta, dan pokok perkara yang disangkakan.
Majelis Kehormatan Notaris melakukan persidangan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum penegak hukum memanggil Notaris. Peran Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan persetujuan kepada penegak hukum ketika memeriksa Notaris yang diduga melakukan pelanggaran hukum pidana saat menjalankan jabatanya.
Peran Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan persetujuan kepada penegak hukum ketika memeriksa Notaris yang diduga melakukan pelanggaran hukum pidana saat menjalankan jabatanya, jika dilihat dari aturan hukum yang mengatur tentang kewenangan Majelis Kehormatan Notaris pada Undang-undang 19 Habib Adjie, Memahami: Majelis Pengawas Notaris (MPN) Dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN), (Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 42.
20 Irra Chrisyanti Dewi, Manajemen Kesekretariatan, (Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya, 2011), hlm. 20.
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris maka terhadap peraturan tersebut sudah efektif. Yang mana aturan yang ada terhadap permintaan persetujuan pemeriksaan Notaris yang dilakukan oleh penegak hukum merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Kehormatan Notaris. Menurut Soerjono Soekanto bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat berwenang harus bersifat mengikat dan memaksa supaya tujuan pembentukan undang-undang tersebut berjalan efektif.21
Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah setelah menerima surat permohonan harus membalas surat tersebut dalam bentuk jawaban baik itu persetujuan atau penolakan dalam kurun waktu selambat-lambatnya yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak surat permohonan diterima oleh ketua MKNW. Bilamana MKNW tidak membalas maka dalam kurun waktu tersebut maka MKNW dianggap permintaan persetujuan.
MKNW setelah bersedia terkait surat permintaan yang disampaikan maka MKNW akan membentuk badan Majelis Pemeriksa, Majelis Pemeriksa terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih dari anggota yang ada pada MKNW. Sebelum proses pemeriksaan Majelis Pemeriksa akan melaksanakan proses pemanggilan terhadap Notaris terlebih dahulu. Majelis Pemeriksa diwajibkan untuk mengirimkan surat pemanggilan terhadap Notaris yang telah berisi tanda tangan dari Ketua MKNW selambat lambatnya 5 (lima) hari sebelum dilakukannya pemeriksaan.
Notaris yang menerima surat pemanggilan diwajibkan untuk hadir tanpa diwakilkan memenuhi surat panggilan dari Majelis Pemeriksa. Apabila seorang Notaris yang telah menerima surat pemanggilan sebanyak 2 (dua) kali tetap tidak memenuhi pemanggilan maka Majelis Pemeriksa dapat langsung mengambil keputusan terkait permintaan oleh para penyidik, penuntut umum, atau hakim terkait pemanggilan maupun pengambilan fotokopi akta minuta yang dimiliki oleh Notaris yang bersangkutan. Notaris yang hadir akan diperiksa oleh Majelis Pemeriksa tanpa tekanan maupun paksaan. Keterangan langsung yang didapatkan Majelis Pemeriksa pada saat proses pemeriksaan akan dicatat pada berita acara yang kemudian hasil pemeriksaan tersebut akan disampaikan kepada Ketua MKNW.
Apabila Notaris dianggap oleh Majelis Pemeriksa telah melakukan tugasnya sesuai dengan apa yang diperintahkan dan diatur oleh peraturan perundang- undangan dan dianggap tidak ada pelanggaran dalam menjalankan tugasnya terkait pembuatan akta maka Majelis Pemeriksa akan menolak permohonan pemanggilan Notaris yang telah diajukan.22
21 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 98.
22 Udi Hermawan, Munsyarif Abdul Chalim, “Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah Dalam Memberikan Persetujuan Terhadap Pemanggilan Notaris Oleh Penegak Hukum,”
Baik itu Notaris maupun akta yang dibuatnya apabila terindikasi pada tindak pidana maka Notaris akan diwajibkan untuk ikut serta memberikan keterangan dalam upaya mendapatkan kebanaran demi kelangsungan kepentingan umum Negara Indonesia sesuai dengan Pasal 170 ayat (2) KUHAP, bahwa rahasia isi akta dapat dibuka bilamana terdapat kepentingan yang lebih tinggi dan mendukung dibukanya rahasia isi akta maka hak ingkar yang dimiliki oleh Notaris dapat dikesampingkan hal ini dimaksudkan untuk lebih mementingkan kepentingan umum agar terciptanya kedamaian Negara Indonesia. Seorang Notaris yang akhirnya membuka rahasia jabatannya namun diatas kepentingan masyarakat umum tidaklah dapat diancam pada hukum pidana sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 50 KUHP bahwa, “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dapat dipidana”.
Notaris yang bersangkutan bilamana ternyata terbukti melanggar pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, maka sesuai dengan peraturan yang telah ada di Indonesia Notaris harus dikenakan sanksi. Pasal 85 UUJN menyebutkan bahwa “Sanksi yang paling ringan berupa teguran baik itu lisan maupun tertulis, sanksi lainnya dapat berupa pemberhentian sementara yaitu maksimal selama 6 bulan. Sanksi terberat dalam jabatan Notaris yaitu pemecatan terhadap jabatannya baik dengan hormat maupun tidak hormat”.23
Peran Majelis Kehormatan Notaris terhadap pemanggilan notaris oleh Penyidik Polisi, berdasar Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris jo Permenkumham Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Majelis Kehormatan Notaris, dalam pemanggilan Notaris oleh Penyidik Polisi Majelis Kehormatan Notaris memberikan persetujuan dan/atau menolak apabila Notaris dipanggil oleh Penyidik Polisi apabila terdapat dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan surat-surat Notaris dalam Penyimpanan Notaris, juga Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dapat mendampingi Notaris dalam proses pemeriksaan di hadapan penyidik polisi.
Keputusan pemberian persetujuan oleh Majelis Kehormatan Notaris dapat dijadikan objek gugatan oleh notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Sengketa Tata Usaha Negara. Jika Notaris merasa dirugikan atau hak-haknya diabaikan pada saat pemanggilan yang dilakukan oleh MKNW maka Notaris dapat menggugat MKNW ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setempat.
Jika upaya hukum Notaris yang dijatuhkan sanksi perdata, maka seluruh upaya hukum seperti yang diajarkan oleh Hukum Acara Perdata adalah menjadi upaya hukumnya, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Notaris terhadap pelanggaran atas pasal-pasal tersebut di paragraf sebelumnya adalah dengan melakukan berbagai upaya banding administratsi yang hidup dilingkungan masyarakat Notaris dan sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris.
Jurnal Akta, Vol. 4 No. 3, Fakultas Hukum UNISSULA 2017, hlm. 452.
23 Gian Semet, “Proses Penyidikan Terhadap Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta Oleh Notaris,” Lex Et Societatis, Vol 3 No. 7. Fakultas Hukum Unsrat 2015, hlm. 39.
Notaris mempunyai hak untuk mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah kepada Penyidik untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap notaris, dan selama proses gugatan berjalan dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, maka entitas peradilan (penyidik) belum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap notaris, sampai adanya Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah merupakan Objek Tata Usah Negara, sehingga Notaris memiliki hak untuk mengajukan gugatan pembatalan Persetujuan Majelis Kehormatan Wilayah yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bolehkah seorang Notaris langsung memenuhi panggilan penyidik, penuntut umum, atau hakim tanpa harus melalui mekanisme dari MKN? Bahwa panggilan yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim harus terlebih dahulu melalui mekanisme MKN merupakan fase yang harus diikuti khususnya jika akan dilakukan pemeriksaan terhadap Notaris. Kewajiban untuk melalui mekanisme dari MKN tersebut berlaku untuk penyidik, penuntut umum, atau hakim karena merupakan bagian dari hukum acara untuk panggilan terhadap Notaris, tetapi tidak berlaku bagi Notaris, sehingga jika ada Notaris yang secara ikhlas atau sukarela ingin langsung memenuhi panggilan dari penyidik, penuntut umum, atau hakim, maka hal tersebut diperbolehkan saja. Jika ada Notaris yang melakukannya, maka semuanya akan menjadi tanggung jawab dirinya sendiri dengan segala konsekuensi hukumnya.
2.3. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XVII/2019 yang berkaitan dengan Pasal-pasal dalam UUJN Perubahan
Mahkamah menimbang bahwa Tuan G mempersoalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris berpotensi menghalangi penyidikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang notaris karena adanya ketentuan di mana penyidik harus mendapatkan persetujuan dari MKN terlebih dahulu untuk dapat mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hal ini menurut Pemohon mengakibatkan terjadinya penghentian penyidikan karena penyidik terhalangi mendapatkan bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan terhadap seorang notaris.
Terhadap dalil Tuan G tersebut, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami norma Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris tersebut secara utuh dalam kaitannya dengan ketentuan lain dalam UU a quo termasuk kewenangan dari MKN. Adanya persetujuan MKN tidak bertujuan untuk mempersulit proses penyidikan atau keperluan pemeriksaan terhadap notaris karena hal tersebut telah diantisipasi dengan adanya ketentuan Pasal 66 ayat (3) yang menyatakan, bahwa
MKN dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan. Hal ini pun kemudian ditegaskan kembali pada Pasal 66 ayat (4) yang menyatakan,
“Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.” Dalil Pemohon yang menganggap bahwa Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris bersifat redundant, karena secara substansi dianggap Pemohon sama dengan Pasal 66 ayat (3) adalah tidak tepat. Menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris a quo justru merupakan penegasan bahwa MKN tidak dapat menghalangi kewenangan penyidik, penuntut umum atau hakim dalam melakukan kewenangannya untuk kepentingan proses peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris.
Terlebih lagi ketentuan pasal a quo dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada notaris sebagai pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya, khususnya melindungi keberadaan minuta sebagai dokumen negara yang bersifat rahasia.
Selain itu, jika dicermati petitum permohonan Pemohon mengenai Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris, yaitu petitum angka (6) yang pada pokoknya, meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945 karena telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 [sic!]. Menurut Pemohon justru dengan adanya revisi UU Jabatan Notaris telah menyulitkan aparatur penegakan hukum untuk memeriksa notaris. Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami substansi Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya dan bahkan mengutip nomor putusan yang salah yaitu Putusan 49/PUU-X/2013 [sic!], padahal putusan Mahkamah yang substansinya menyangkut norma pada UU Jabatan Notaris sebagaimana disebutkan Pemohon adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 bertanggal 28 Mei 2013. Menurut Mahkamah, perubahan dan tambahan norma di dalam UU Jabatan Notaris sudah tepat dan tidak bertentangan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yaitu dengan menambahkan norma pada Pasal 66 yaitu ayat (3) dan ayat (4) yang bertujuan untuk menghindarkan adanya hambatan penyidikan oleh MKN. Justru apabila permohonan Pemohon dikabulkan yaitu membatalkan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris secara keseluruhan dapat menciptakan persoalan di mana tidak adanya peran MKN dalam melakukan pembinaan notaris, khususnya dalam mengawal pelaksanaan kewajiban notaris, yang di antaranya merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan [vide Pasal 16 ayat (1) huruf f UU Jabatan Notaris].
Terhadap permohonan Tuan G yang menginginkan agar Pasal 66 ayat (4) UU Jabatan Notaris dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, justru menurut Mahkamah Pasal 66 ayat (4) sangat diperlukan dalam menciptakan kepastian hukum yang adil terhadap batas kewenangan MKN memberikan persetujuan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan pemanggilan terhadap notaris ataupun memeriksa
berkas-berkas lain untuk keperluan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) UU Jabatan Notaris adalah tidak beralasan menurut hukum.
Kemudian, Tuan G mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris karena tidak memuat frasa “dalam 7 (tujuh) hari setelah sidang etik harus segera membuat keputusan, baik Notaris terlapor hadir atau mangkir di sidang etik” (Petitum angka (4) Permohonan Tuan G) dan tidak memuat frasa “dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan” [Petitum angka (5) Permohonan Pemohon]. Namun demikian, Mahkamah tidak menemukan adanya alasan sama sekali khusus mengenai permohonan tersebut yang berkaitan dengan petitum a quo. Dalam hal ini, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar mengapa Pemohon beranggapan Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah tidak dapat menemukan keterkaitan antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah (petitum).
Berdasarkan uraian di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa Pemohon tidak dapat menerangkan alasan yang menjadi dasar bahwa norma Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian norma a quo adalah kabur (obscuur).
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas mengenai alasan yang menjadi dasar bahwa norma Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris serta keseluruhan UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian Pemohon dalam menerangkan alasan pengujian norma dan Undang-Undang a quo adalah kabur (obscuur). Sedangkan permohonan Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) UU Jabatan Notaris adalah tidak beralasan menurut hukum.
Adapun konklusi yang dinyatakan oleh Mahkamah adalah Permohonan Tuan G berkenaan dengan UU Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 UU Jabatan Notaris adalah kabur (obscuur), dan Permohonan Tuan G berkenaan dengan Pasal 66 ayat (1) dan ayat (4) UU Jabatan Notaris tidak beralasan menurut hukum.
Pada akhirnya, Mahkamah mengeluarkan putusan bahwa permohonan Tuan G berkenaan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) serta berkenaan dengan Pasal 75 huruf a dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) tidak dapat diterima, dan Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.24 3. PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1) Peran Majelis Kehormatan Notaris terkait pemanggilan Notaris dalam proses peradilan adalah memberikan persetujuan sementara kepada para penegak hukum, melakukan persidangan pemeriksaan terlebih dahulu kepada notaris sebelum memberikan persetujuan ataupun penolakan kepada para penegak hukum, serta mendampingi Notaris dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Notaris yang dipanggil oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dalam proses pemeriksaan perkara pidana dapat melakukan upaya hukum keberatan. Adapun bentuk-bentuk upaya hukum tersebut antara lain pembelaan diri saat pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa dan menggugat Majelis Kehormatan Notaris Wilayah ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
2) Majelis Kehormatan Notaris memiliki kewenangan yang berdampak cukup besar dalam proses peradilan terhadap Notaris. namun kewenangan dari Majelis Pengawas Notaris tersebut pada dasarnya tidak bertujuan untuk mempersulit proses peradilan atas Notaris.
3.2. Saran
Adapun saran-saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1) Masyarakat yang hendak mengajukan pengujian atas Pasal-pasal dalam Undang-undang, hendaknya terlebih dahulu memahami terlebih dahulu makna dari Pasal-pasal tersebut, dan Pasal-pasal setelahnya. Seperti halnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
22/PUU-XVII/2019, sesungguhnya terdapat jangka waktu bagi Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan persetujuan.
2) Hendaknya Undang-undang Jabatan Notaris lebih diperkenalkan kepada masyarakat, dikarenakan peran Notaris dalam kehidupan hukum di Indonesia sangatlah penting. Sosialisasi aturan-aturan terkait Notaris diharapkan dapat mengurangi kegagalan paham masyarakat terhadap Undang-undang tersebut.
4. DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Perbuahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014,TLN 5491.
24 Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 22/PUU-XVII/2019.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Peraturan Tugas Dan Fungsi, Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian, Struktur Organisasi, Tata Kerja, Dan Anggaran Majelis Kehormatan Notaris. Permenkumham No. 17 Tahun 2021, LN No. 212 Tahun 2021.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.
B. Buku
Adjie, Habib. Memahami: Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Bandung: PT Refika Aditama, 2017.
Adjie, Habib, Muhammad Hafidh, dan Zul Fadli. Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Mengenai Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Duta Nusindo: Semarang, 2016.
Dewi, Irra Chrisyanti. Manajemen Kesekretariatan. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya, 2011.
Kie, Tan Thong. Buku 1 Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2000.
Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Alumni: Bandung, 1983.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Sulihandari, Hartanti, dan Nisya Rifiani. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris.
Dunia Cerdas: Jakarta Timur, 2013.
C. Artikel/Jurnal
Hermawan Udi, dan Munsyarif Abdul Chalim. “Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah Dalam Memberikan Persetujuan Terhadap Pemanggilan Notaris Oleh Penegak Hukum.” Jurnal Akta Vol. 4 No. 3, Fakultas Hukum UNISSULA 2017, hlm. 449 - 454.
Pihang, Herdy Laban Nariwo, Rachmad Safa’at, dan Sucipto, “Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Memberikan Persetujuan Kepada Penegak Hukum Ketika Memeriksa Notaris Yang Diduga Melakukan Pelanggaran Hukum Pidana Saat Menjalankan Jabatanannya Sebagai Notaris (Studi Kasus Di Majelis Kehormatan Notaris, Jakarta).” Jurnal Hukum Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang.
Semet, Gian. “Proses Penyidikan Terhadap Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta Oleh Notaris.” Lex Et Societatis, Vol 3 No. 7. Fakultas Hukum Unsrat 2015, hlm. 32-40.
Waluyo, Dody Rajasa. “Kewenangan Notaris Selaku Pejabat Umum.” Media Notariat (Menor) Edisi Oktober-Desember 2001.
Sukisno, Djoko. “Pengambilan Foto Copi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris”
Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM, Vol 20 No 1, Yogyakarta.
Putusan
Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 22/PUU-XVII/2019.
D. Internet
Hukum Online, Tim Advertorial. “Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris
Menjawab Kebingungan Notaris.”
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5707c339a0416/keberadaan- majelis-kehormatan-notaris-menjawab-kebingungan-notaris/. Diakses 05 Juli 2021.
Sofyan, Syafran. “Notaris “Openbare Amtbtenaren”.”
https://www.jimlyschool.com/baca/9/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran- sofyan/. Diakses 05 Juli 2021.