Perdamaian Abadi Dalam Mimpi Immanuel Kant Oleh : Dody Saputra
Essay ini kupersembahkan untuk Adikku, A . C . N yang sedang belajar filsafat
Perang disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya perebutan tanah, konflik agama, nasionalisme, imperialisme, rasisme, dan perbudakan, dlsb. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar sejarah umat Manusia didominasi oleh sejarah peperangan antar umat Manusia.
Pertumpahan darah menjadi warna yang jelas dari gambaran sejarah dan hal ini seakan mengkonfirmasi kekhawatiran Malaikat yang tercatat di dalam Al-Qur’an bahwa umat Manusia kelak hanya akan merusak dan melakukan pertumpahan darah di muka bumi. Namun, yang perlu kita pertanyakan saat ini adalah apa itu perang?
Menurut Wattimena (2018:2), perang merupakan babak kelam dalam catatan sejarah manusia, dimana jutaan nyawa telah hilang sepanjang berbagai periode sejarah. Kekayaan budaya yang dibangun sebagai ekspresi peradaban sering kali hancur berantakan akibat dampak perang. Pada abad ke-20, dunia menyaksikan dua konflik besar, yaitu dua perang dunia yang melibatkan seluruh penjuru bumi. Moseley (2002:16) mendefinisikan Perang sebagai keadaan konflik kolektif yang terorganisir dan bersifat terbuka, dapat dibedakan dari bentuk kekerasan manusia lainnya seperti pengeroyokan dan pembunuhan, kerusuhan, dan perkelahian, meskipun di tepi-tepi perang melibatkan pola perilaku dan tingkat kekerasan yang mirip. Perang melibatkan kelompok tetapi lebih terorganisir dibandingkan kerusuhan di mana kerumunan merampok dan merusak.
Dalam sejarah umat manusia, terdapat sepuluh perang dahsyat yang mengejutkan dunia dengan ngerinya. Perang Dunia I dan II mewariskan penderitaan tak terbayangkan, dengan senjata modern dan Holocaust yang mengakibatkan kematian massal dan kekejaman yang tak terlupakan. Konflik Vietnam menghadirkan pemandangan medan perang yang mengerikan dan dampak radiasi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, sementara Perang Korea membawa pertempuran brutal dan perubahan wilayah yang cepat. Perang Saudara Rwanda mencatat genosida mengerikan, sementara konflik berkepanjangan di Suriah dan Irak menimbulkan krisis kemanusiaan dan penghancuran infrastruktur yang mendalam.
Perang di Kongo melibatkan banyak negara dan kelompok pemberontak, menciptakan ketidakstabilan politik dan krisis kemanusiaan serius. Perang di Afganistan, yang dimulai setelah serangan 11 September, melibatkan pemberontakan Taliban dan terorisme, sementara Perang Kemerdekaan Bangladesh melawan Pakistan menyisakan trauma dengan kampanye militer yang brutal terhadap penduduk sipil. Kesepuluh konflik ini menciptakan luka-luka yang mendalam dalam sejarah, menunjukkan betapa ngerinya perang dapat menghancurkan kehidupan dan meninggalkan jejak tragis di seluruh dunia.
Blattman (2022) menguraikan lima penyebab terjadinya perang. Pertama, kepemimpinan otoriter dapat mengarah pada ketidakbertanggungjawaban terhadap kepentingan masyarakat,
memungkinkan pemimpin untuk fokus pada pelestarian kekuasaan. Kedua, motivasi ideologis seperti nasionalisme dan hasrat untuk mencapai warisan yang glorius dapat menjadi pendorong untuk membayar biaya perang. Ketiga, pembuatan keputusan yang bias dan isolasi dari informasi akurat dapat menghasilkan pemahaman yang kurang akurat terhadap kompleksitas perang. Keempat, ketidakpastian seputar kekuatan musuh dan keputusan strategis dapat menyebabkan miscalculations yang signifikan. Terakhir, ketidakpercayaan terhadap dinamika kekuatan, seperti dalam kasus perubahan kekuasaan, dapat memotivasi keputusan untuk menggunakan kekerasan sebagai cara untuk melindungi keuntungan saat ini. Keseluruhan, faktor-faktor ini dapat bersama-sama membentuk konteks yang mendukung keputusan untuk terlibat dalam konflik.
Pada dasarnya, perdamaian dianggap sebagai hak esensial bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan berperan sebagai agen perdamaian dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Seperti halnya spiritualitas, yang juga dianggap sebagai hak esensial dalam kehidupan manusia. Ini berarti bahwa manusia harus hidup berdamai dengan sesama, menjaga harmoni dengan bumi, dan berdamai dengan semua makhluk ciptaan-Nya sebagai bentuk nyata dari spiritualitas perdamaian (Manuhutu, 2022:325). Dalam berbagai ayat yang terdapat di dalam Kitab suci umat beragama, diantaranya banyak yang menekankan keutamaan perdamaian, misalkan:
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9)
Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali (pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat) kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang berbuat demikian karena mencari rida Allah kelak Kami anugerahkan kepadanya pahala yang sangat besar. (An Nisa:114)
Perang dan perdamaian adalah dua kutub yang berseberangan. Namun terkadang beberapa orang menghubungkan keduanya untuk menunjukkan bahwa perang dan perdamaian tidak bisa terpisahkan. Sebuah adagium terkenal mengatahkan bahwa, “Si vis pacem parabellum” yang berarti, “Jika kamu mengingkan perdamaian maka bersiaplah untuk perang.” Hal ini membuat kita berfikir apakah sebuah nilai perdamaian harus ditempuh dengan pengorbanan darah dan penderitaan terus menerus? Dapatkah kita menciptakan perdamaian sekali untuk selamanya, bukan perdamaian temporal atau sekedar perdamaian yang hanya selingan dari peperangan.
Seorang filsuf asal Jerman telah memikirkan hal ini, ialah Immanuel Kant.
Immanuel Kant (1724-1804) adalah seorang filsuf Jerman yang memiliki kontribusi besar dalam sejarah pemikiran filosofis. Ia dikenal sebagai tokoh sentral dalam aliran filsafat Pencerahan dan etika. Karya utamanya, "Kritik der reinen Vernunft" atau "Kritik of Pure Reason," mengubah paradigma pemikiran dalam epistemologi. Selain itu, Kant juga menulis karya-karya lain seperti "Groundwork of the Metaphysics of Morals" yang membahas fondasi
etika kategorisnya. Salah satu karya penting lainnya adalah "Perpetual Peace: A Philosophical Sketch" (1795), di mana Kant membahas ide perdamaian abadi.
Gambar 1 Prepetual Peace (1975)
Dalam karyanya "To Perpetual Peace," Immanuel Kant mengemukakan dua kategori rekomendasi untuk menciptakan perdamaian abadi. Kategori pertama terdiri atas enam pasal yang harus dipenuhi untuk menciptakan perdamaian abadi, yaitu:
1. Pihak yang bersengketa harus benar-benar mengakhiri perang tanpa maksud lain selain menciptakan perdamaian.
2. Negara berdaulat tidak boleh dikuasai oleh negara lain, baik melalui pewarisan, pertukaran, pembelian, pemberian, ataupun perkawinan.
3. Tentara harus dihapuskan secara perlahan karena menjadi penyebab perang, begitu pula dengan perlombaan senjata.
4. Negara sebaiknya tidak mengandalkan hutang dalam peperangan, karena dapat memicu kebangkrutan dan okupasi.
5. Larangan mencampuri urusan pemerintahan negara lain agar tidak merusak otonomi.
6. Dalam perang harus menghormati hukum perang, melarang tindakan brutal, dan tidak menggunakan siasat licik seperti pembunuh bayaran dan racun. Semua upaya ini diarahkan untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
Kategori kedua dalam konsep perdamaian abadi Immanuel Kant mencakup tiga unsur definitive, yaitu:
1. Konstitusi sipil setiap negara harus bersifat republik untuk mencegah perang, karena keputusan untuk berperang harus mendapat persetujuan rakyat.
2. Negara-negara merdeka harus membentuk federasi negara bebas, seperti Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yang mengatur hubungan antar negara dengan menggunakan hukum bangsa yang universal. Ini diharapkan menciptakan keamanan dan perdamaian melalui aliansi. Meskipun Kant mendesain federasi negara bebas, pandangan ini dianggap radikal dan revolusioner.
3. Setiap negara harus menghargai hukum kosmopolitan dan hak universal, memungkinkan individu untuk mengunjungi atau berinteraksi dengan negara lain tanpa batasan. Meskipun Kant menggunakan istilah "civilized nations" untuk merujuk pada bangsa Eropa, pandangan ini juga mencerminkan pandangan yang sedikit rasis pada zamannya, memisahkan antara bangsa Eropa yang dianggap
"beradab" dengan bangsa non-Eropa yang dianggap "barbar". (Marsa, 2013) Kant diakhir tulisannya mengatahkan bahwa konsep perdamaian yang selama ini keliru yang dianggap sebagai perhentian sementara dari konflik, bukanlah sekadar ide kosong.
Sebaliknya, kita dihadapkan pada sebuah masalah yang secara perlahan-lahan menemukan solusinya sendiri, dan karena periode-periode di mana kemajuan tertentu terjadi menuju realisasi ideal perdamaian abadi akan selalu kita harap, menjadi semakin dekat seiring berjalannya waktu, kita harus mendekati tujuan ini. []
DAFTAR ACUAN
Blattman, C. (2022, November 10). The Five Reasons Wars Happen. Diambil Kembali Dari Modern War Institute At West Point: Https://Mwi.Westpoint.Edu/The-Five-Reasons- Wars-Happen/
Kant, I. (1975). Prepetual Peace. Guttenberg.Org. Diambil Kembali Dari
Https://Www.Gutenberg.Org/Files/50922/50922-H/50922-H.Htm#Page_106 Manuhutu, M. (2022). Perdamaian Adalah Kebutuhan Danmenjaga Perdamaian Adalah
Tanggungjawab Semua Orang. Jurnal Locus: Penelitian & Pengabdian, 1(5).
Marsa, M. (2013, Oktober 31). Review To Perpetual Peace, Immanuel Kant 1795. Diambil Kembali Dari Marsya Blog: Https://Marsyaholmes.Blogspot.Com/2013/10/Review- To-Perpetual-Peace-Immanuel-Kant.Html
Moseley, A. (2002). A Philosophy Of War. Algora Publishing.
Wattimena, R. A. (2018). Bisakah Perang Dihindari? Sejarah, Anatomi Dan Kemungkinan Perang Di Abad 21. 43.
TENTANG PENULIS
Dody Saputra, lahir pada tanggal 20 Januari 2000, merupakan sosok yang memiliki semangat dan dedikasi tinggi dalam mengekspresikan ide-idenya melalui tulisan. Saat ini, ia menetap di kota Kupang, di mana ia menemukan inspirasi dari keindahan alam dan keanekaragaman budaya sekitarnya. Dalam perjalanan studinya di sebuah perguruan tinggi swasta, ia mengambil jurusan Akuntansi, tetapi minat dan hasratnya terhadap dunia literatur tidak pernah padam.
Dody selalu menemukan waktu untuk mengeksplorasi dunia penulisan dan mengejar hasratnya dalam menulis.
Salah satu kegiatan yang menjadi hobi utama Dody adalah membaca. Ia menyadari bahwa dalam membaca terletak kekuatan untuk memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman.
Dody dengan penuh antusiasme menjelajahi karya-karya sastra dari berbagai genre dan penulis.
Hal ini memberinya inspirasi baru, mengasah keterampilan menulisnya, dan memperluas cakrawala pengetahuannya. []