RUANG LINGKUP PIDANA DAN KEKUATAN HUKUM BERLAKUNYA
TINDAK PIDANA
Beni Arbi Batubara,
S.H., M.H.
Hukum pidana mempunyai ruang lingkup pada apa yang disebut dengan peristiwa pidana /delik ataupun tindak pidana.
Peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang
yang mampu
bertanggung jawab.
Unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu:
1. Sikap tindak atau perikelakuan manusia;
2. Masuk rumusan kaedah hukum pidana (Pasal 1 ayat (1) KUHP), yakni “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melakinkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”
nullum delictum nulla poena sina praevila lege poenali;
3. Melanggar hukum, kecuali ada dasar pembenaran;
4.Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
Peristiwa pidana/delik dibedakan menjadi:
1. Delik formil yakni tekanannya ada pada sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang.
2. Delik material yakni tekanannya ada pada akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuannya.
Unsur Perumusan Delik
1.Delik dasar yang merumuskan sikap tindak atau perilaku yang dilarang;
2.Delik yang
meringankan yang merumuskan sikap tindak yang karena keadaan menjadikan keringanan hukuman;
3.Delik yang
memberatkan yang
merumuskan sikap
tindak karena diancam
hukuman yang lebih
berat.
Sikap tindak yang dapat dihukum/sanksi:
1. Perilaku manusia;
2. Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum;
3. Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum;
4. Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak tersebut.
Untuk menentukan suatu perbuatan yang dapat dipidana harus ditentukan dengan tegas dalam KUHP, dengan mendasarkan pada
Asas Legalitas,
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, berbunyi:
“Tiada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang”
(Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale).
Suatu perbuatan pidana pada seseorang, harus terdapat suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, dan dilakukan dengan cara-cara sebagaimana ditentukan dalam KUHP, misal:
Pencurian (Pasal 362 KUHP)
ada perbuatan mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain untuk dimiliki sendiri.
Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)
harus terdapat perbuatan berupa merampas jiwa orang lain.
Orang yang melakukan perbuatan melawan hukum
tidak dapat
dipertanggungjawabkan
terhadapnya atas perbuatannya, yakni anak kecil yang masih dibawah umur, orang gila (terganggu kejiwaannya) dan disability, sebagaimana terdapat didalam Pasal 44 ayat (1) KUHP:
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit tidak dapat dipidana.”
Berlakunya KUHP sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, yang disebut dengan Asas Legalitas, yang berbunyi:
“Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”, (tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya).
Artinya:
1. Ketentuan hukum pidana harus tertulis;
2. Tidak boleh dilakukan analogi;
3. Tidak boleh berlaku surut (retro aktif).
Konsekuensi asas legalitas, yakni:
1. Perbuatan yang tidak dicantumkan sebagai tindak pidana dalam undang- undang, tidak dapat dipidana;
2. Hukum pidana tidak boleh ada penafsiran analogi;
3. Analogi artinya penafsiran tidak berpegang pada bunyi peraturan, tapi pada inti atau rasio dari peraturan.
Sebagaimana tujuan hukum pidana yakni untuk menciptakan kepastian hukum dan untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari penguasa.
Diperbolehkan
menggunakan penafsiran ekstensif
apabia tujuannya untuk memperluas arti kata menurut makna pada waktu undang-undang dibentuk, tapi masih berpegang pada bunyi peraturan.
1.Penafsiran analogi
Tidak berpegang pada bunyi peraturan, melainkan pada inti atau rasio dari peraturan.
2.Penafsiran Ekstensif
Tetap berpegang pada
bunyi peraturan.
Berlakunya asas retro aktif
yang artinya tidak seorang pun yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya (tidak berlaku surut) pengecualian (pasal 1 ayat (2) kuhp):
1. Harus ada perubahan perundang-undangan mengenai suatu perubahan;
2. Perubahan itu terjadi adalah setelah perbuatan dilakukan;
3.Peraturan yang baru itu lebih
menguntungkan atau
meringankan pelaku perbuatan.