• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM INDUSTRI PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR 1863–1942

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PERKEMBANGAN ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM INDUSTRI PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR 1863–1942"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 12 Number 3 Article 1

12-31-2022

PERKEMBANGAN ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM PERKEMBANGAN ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM INDUSTRI PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR 1863–1942 INDUSTRI PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR 1863–1942

Devi Itawan

Universitas Jambi, deviitawan2@gmail.com

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/paradigma

Part of the Archaeological Anthropology Commons, Art and Design Commons, Fine Arts Commons, History Commons, Library and Information Science Commons, Linguistics Commons, and the Philosophy Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Itawan, Devi. 2022. PERKEMBANGAN ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM INDUSTRI PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR 1863–1942. Paradigma: Jurnal Kajian Budaya 12, no. 3 (December). 10.17510/

paradigma.v12i3.1068.

This Article is brought to you for free and open access by the Facutly of Humanities at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Paradigma: Jurnal Kajian Budaya by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

© Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

PERKEMBANGAN ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM INDUSTRI PERKEBUNAN DI SUMATRA TIMUR 1863–1942

Devi Itawan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sejarah, Universitas Jambi; devi.itawan@unja.ac.id

DOI: 10.17510/paradigma.v12i3.1068

ABSTRACT

This study aims to reveal the relationship between science and the plantation industry on colonial expansion in East Sumatra. In this study, science is regarded as a colonial construction, which in the context of East Sumatra was used as a tool for colonial expansion, supporting the process of surplus accumulation through the plantation industry.

This research applied the historical method, in which analysis was carried out on primary sources such as colonial scientific publications, travelogues, newspapers, and magazines.

An examination of these primary sources was conducted by analyzing the text and the context. The decolonial perspective provides an analytical framework for disentangling the colonial relations and conditions behind every scientific project and its publication in East Sumatra. It turns out that the rationale of colonial science was formulated in favor of colonial plantation industry. To conclude, it is apparent that the relationship between science and the plantation industry was intense and symbiotic. The plantation industry was able to thrive with the support of scientific rationality, and conversely, geography, geology, agronomy and health flourished with the financial support from plantation companies.

KEYWORDS Science; colonialism; plantation industry; East Sumatra.

ABSTRAK

Kajian ini menelaah hubungan antara ilmu pengetahuan dan industri perkebunan dalam konteks ekspansi kolonial di Sumatra Timur. Dalam kajian ini, ilmu pengetahuan dilihat sebagai sebuah konstruksi kolonial yang dalam konteks Sumatra Timur digunakan sebagai alat ekspansi kekuasaan sekaligus menyokong proses akumulasi primitif kolonial melalui industri perkebunan. Penelitian dilakukan dengan metode sejarah yang analisisnya didasarkan pada sumber primer yang berupa catatan perjalanan ekspedisi ke wilayah Sumatra Timur, publikasi ilmiah lembaga ilmu pengetahuan kolonial, surat kabar, dan majalah sezaman. Sumber-sumber primer tersebut ditelaah dengan membedah teks dan konteksnya. Pendekatan dekolonial mengungkapkan sebuah paradigma dalam menguraikan jalinan relasi dan kondisi kolonial yang berada di balik setiap riset dan publikasi sains yang dilakukan di Sumatra Timur. Bertolak dari pendekatan itu tampak bahwa rasionalitas sains kolonial diformulasikan dalam kepentingan industri perkebunan

(3)

koloinal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa, di Sumatra Timur, hubungan antara ilmu pengetahuan dan industri perkebunan bersifat intens dan bersimbiosis. Industri perkebunan dapat bertumbuh dengan dukungan dari rasionalitas ilmu pengetahuan dan sebaliknya, ilmu pengetahuan di bidang geografi, geologi, agronomi, dan kesehatan dapat bertumbuh berkat dukungan pendanaan dari perusahaan perkebunan.

KATA KUNCI

Ilmu pengetahuan, kolonialisme, industri perkebunan, Sumatra Timur.

1. PENDAHULUAN

Pada paruh kedua abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya ke Pulau Sumatra.

Dalam paradigma kolonial pada saat itu, Sumatra adalah masa depan bagi Hindia Belanda yang dapat menggantikan posisi Pulau Jawa yang telah berpuluh-puluh tahun dieksploitasi melalui skema ekonomi monopolistis tanam paksa. Pergeseran paradigma itu dilandasi oleh perubahan struktur ekonomi di Eropa ketika perkembangan industri manufaktur Eropa mendorong permintaan bahan-bahan mentah dari wilayah koloni. Dengan adanya perubahan-perubahan pada struktur ekonomi itu, kebijakan monopolistis tanam paksa tidak lagi relevan sehingga digantikan dengan UU Agraria 1870 yang bernafaskan liberalisme. Akibatnya, sistem ekonomi kolonial membutuhkan wilayah baru sebagai sumber eksploitasi (Pyenson 1989, 7-10).

Dalam konteks perubahan struktur ekonomi itulah, posisi Sumatra menjadi sangat penting bagi negara kolonial pada paruh kedua abad ke-19. Namun, berbeda dengan Pulau Jawa yang penduduknya telah menaklukan hutan belantaranya sejak zaman dahulu, Pulau Sumatra cenderung masih penuh dengan hutan belantara dan liarannya (Reid 2011, 2). Bagi bangsa Eropa, sebagian besar wilayah Pulau Sumatra adalah terra incognita yang penuh misteri. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk mengungkap tabir misteri Pulau Sumatra. Dalam kepentingan itulah, ilmu pengetahuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses ekspansi kekuasaan kolonial pada abad ke-19, terutama di Pulau Sumatra (Versteeg 1874).

Di wilayah pesisir timur Sumatra bagian Utara -selanjutnya disebut Sumatra Timur-, ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi bagian dari negara kolonial, tetapi juga menjadi tulang punggung dari rezim industri perkebunan kolonial. Sama seperti wilayah Pulau Sumatra lainnya, hingga paruh pertama abad ke-19, wilayah itu masih merupakan hutan belantara yang tidak dikenal oleh bangsa Eropa. Hanya sedikit hal yang diketahui oleh bangsa Eropa tentang wilayah Sumatra Timur. Satu-satunya sumber informasi tentang Sumatra Timur hanya dari catatan ekspedisi John Anderson pada tahun 1823 (Anderson 1826) dan catatan ekspedisi Residen Riau, Elisa Netscher tahun 1862. Ketika Nienhuys tiba di muara sungai Deli pada 1863, lanskap Sumatra Timur merupakan wilayah perbatasan dengan lanskap rawa-rawa yang rumah penduduknya masih sedikit di sekitar sungai, sedangkan pedalamannya ditutupi oleh hutan purba. Sebuah kondisi yang, dalam konstruksi kolonial, dipandang sebagai wilayah hutan rimba yang tidak berperadaban (Nienhuys 1901).

Selanjutnya, lanskap Sumatra Timur berubah signifikan sejak Jacobous Neinhuys memulai penanaman tembakau di Deli pada tahun 1863. Tanpa mengetahui dengan pasti kondisi tanah, Nienhuys membuka perkebunan pertamanya di sekitar wilayah Sungai Deli. Tidak disangka, tembakau yang dihasilkan di tanah- tanah hutan purba Deli berkualitas unggul dan diterima dengan sangat baik di pasar Eropa. Dari sana lahir demam penanaman tembakau di Deli. Ratusan pengusaha dan perusahaan perkebunan swasta asing mengadu nasib ke Sumatra Timur dan berlomba-lomba menebang hutan purba untuk menanam tembakau (Akbar 2018). Namun, karena minimnya pengetahuan tentang geologi dan bentang alam Sumatra Timur, tidak jarang tembakau memiliki kualitas yang berbeda dan mengecewakan. Hal itu meninggalkan tanda tanya bagi para pengusaha perkebunan. Belum lagi banjir yang sering terjadi juga menjadi tantangan utama

(4)

dalam membangun industri perkebunan di wilayah itu. Permasalahan dan tantangan alam di Sumatra Timur tersebut membutuhkan bantuan khusus dari ilmu pengetahuan (Broesma 1919).

Menjelang akhir abad ke-19, secara perlahan-lahan ilmu pengetahuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan industri perkebunan di Sumatra Timur. Pengusaha perkebunan merasa perlu mengkahiri spekulasi-spekulasi mengenai potensi dan tantangan alam Sumatra Timur untuk menciptakan jaminan stabilisasi masa depan industri perkebunan di wilayah koloni yang relatif tidak banyak diketahui seluk beluknya. Ilmu pengetahuan pula yang kemudian menentukan arah dari perkembangan industri perkebunan di Sumatra Timur melalui eksplorasi dan eskperimen, baik oleh ilmuwan perorangan maupun ilmuwan yang terlibat dalam lembaga-lembaga riset perkebunan.

Dalam konteks kolonial, ilmu pengetahuan seringkali diproduksi dalam rangka melayani kepentingan negara kolonial itu sendiri. Lewis Pyenson (1989) dan Andrew Goss (2014) telah menggarisbawahi bahwa ilmu pengetahuan menjadi alat bagi negara kolonial dalam memperluas kekuasaan di wilayah koloni. Namun demikian, dalam konteks kapital asing yang memiliki pengaruh besar, seperti di Sumatra Timur, menarik untuk dikaji relasi yang terbangun antara ilmu pengetahuan dan industri perkebunan. Artikel ini secara khusus membahas cara sains kolonial dan industri perkebunan bersimbiosis dalam sejarah ekspansi kolonial di Sumatra Timur.

Membicarakan sejarah kolonisasi Sumatra Timur memang tidak terlepas dari sejarah ekspansi perkebunan swasta asing di wilayah itu. Namun, pusat narasi dari sejarah industri perkebunan di Sumatra Timur selalu diletakkan pada kisah keberhasilan Nienhuys membuka perkebunan. Tidak banyak yang mencoba melihat kembali bagaimana ilmu pengetahuan juga dilibatkan dalam membuka tabir keliaran dan memperadabkan Sumatra Timur sehingga kemudian berkembang menjadi pusat ekonomi baru yang mampu menyaingi Pulau Jawa. Dalam konteks itulah, uraian dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan perspektif baru dalam khasanah sejarah kolonisasi di Sumatra Timur.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode sejarah dan dengan pendekatan dekolonial.

Sumber-sumber primer yang digunakan sebagai basis analisis terdiri atas catatan perjalanan ekspedisi ke wilayah Sumatra Timur, publikasi ilmiah lembaga ilmu pengetahuan kolonial, surat kabar, dan majalah sezaman. Dalam memahami dan merekonstruksi hubungan antara ilmu pengetahuan dan industri perkebunan kolonial, sumber primer itu ditelaah dengan membedah teks, konteks relasi, dan kondisi kolonial tempat naskah sumber itu tercipta. Perspektif dekolonial menyediakan kerangka analisis yang bersifat dekonstruktif terhadap hegemoni logika sains Barat yang mapan. Epistemologi dekolonial memandang Ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh kekuasaan kolonial merupakan representasi struktur pengetahuan kolonial itu sendiri yang di dalamnya terdapat hegemoni logika sains Barat, pandangan atas negeri jajahan sebagai liyan, serta ilmu pengetahuan sebagai alat kekuasaan kolonial (Loomba 2016, 85). Dalam paradigma itulah, rekonstruksi atas produksi ilmu pengetahuan kolonial di Sumatra Timur dilakukan.

2. HASIL PENELITIAN

2.1 Geografi, Geologi, dan Kolonisasi Sumatra Timur

Keterlibatan ilmu pengetahuan dalam proses ekspansi kekuasaan kolonial di Sumatra Timur telah terjadi sejak masa awal kolonisasi. Tidak banyak diketahui bahwa sebelum Nienhuys tiba di Deli, Residen Riau, Elisa Netscher pernah mengusulkan sebuah penyelidikan ilmiah untuk mengungkapkan potensi ekonomi di Sumatra Timur. Netscher yang telah melakukan ekspedisi ke Sumatra Timur pada tahun 1862 meyakini bahwa Sumatra Timur bukan sekadar hutan dan rawa, melainkan wilayah yang punya potensi ekonomi.

(5)

Namun, tidak banyak pengetahuan orang Eropa mengenai wilayah itui. Dengan demikian, diperlukan penyelidikan lebih lanjut tentang potensi sumber daya alam Sumater Timur. Sepulang dari ekspedisinya, Netscher mengirimkan surat ke Batavia untuk mengusulkan penyelidikan ilmiah ke Sumatra Timur. Surat itu kemudian mendapat respon dari Natuurkundig Genotschap en Watenschappen di Batavia, yang mana J.S.G. Gramberg bersedia melakukan ekspedisi “saintifik” tersebut (Netscher 1864).

Grambreg berangkat dari Batavia menuju Siak tepat pada tahun baru 1863. Ekspedisi itu bertujuan mengekplorasi potensi pertanian dan kekayaan alam Sumatra Timur. Ekspedisi Gramberg berhasil menelusuri wilayah di sekitar Sungai Siak yang meliputi wilayah Pekan Baru dan Bengkalis. Dalam ekspedisi itu, Gramberg sama sekali tidak sampai ke wilayah Deli dan negeri-negeri sekitarnya. Tidak begitu jelas mengapa ekspedisi Gramberg tidak sampai ke Deli. Menurut Gramberg, Deli lebih cocok dijadikan pelabuhan internasional yang akan menghubungkan pelayaran ke Penang, Singapura, Conchin-Cina, Jepang, dan Tiongkok. Menurut Gramberg, skema itu lebih tepat dan akan dikerjakan oleh pemerintah kolonial karena lokasi Deli yang strategis di Selat Malaka dan berhadapan langsung dengan Penang (Gramberg 1881).

Meskipun Gramberg tidak sampai ke Deli, tetapi ia berhasil memperoleh sampel tembakau Deli.

Gramberg mendapat tembakau Deli dari seorang pedagang Arab, bernama Said Mohammad bin Ismael, yang ia temui di wilayah Pekan Baru (Broesma 1919, 29). Tampaknya orang-orang Arab memainkan peran penting dalam perdagangan tembakau Deli sebelum masuknya perkebunan di Sumatra Timur. Kisah Nienhuys sebagai perintis perkebunan tembakau juga tidak bisa dipisahkan dari peran seorang pedagang Arab kepercayaan Sultan Deli, Abdullah Bilsagih yang sengaja datang kepadanya untuk memperkenalkan tembakau di sebuah rumah lelang di Jawa Timur (Pelzer 1985, 51).

Menurut Broesma, Bilsagih tidak datang ke Jawa Timur tanpa maksud tertentu. Menurutnya, kemungkinan yang terjadi adalah bahwa Bilsagih telah mengetahui niat dari Netscher untuk mengembangkan perekonomian Sumatra Timur, terutama setelah ekspedisi yang dilakukan oleh Gramberg (Broesma 1919, 29). Nienhuys sendiri tidak serta-merta datang ke Sumatra Timur karena percaya pada apa yang dikatakan oleh Bilsagih. Menurut Gramberg, Nienhuys akhirnya memutuskan melakukan perjalanan ke Deli karena ia telah menerima sampel tembakau Deli darinya. Sebelum berlayar ke Deli, Neinhuys terlebih dahulu singgah ke Batavia untuk mencari infomasi dan saran mengenai Sumatra Timur dan tembakau Deli kepada Gramberg (Gramberg 1881).

Setibanya Nienhuys di Deli pada Juni 1863 merupakan babak baru bagi sejarah Sumatra Timur. Ini menjadi bagian penting dari rangkaian kolonisasi wilayah itu karena berkaitan langsung dengan proses lahirnya industri perkebunan yang menjadi motor utama dari imperialisme kolonial di Sumatra Timur.

Keberhasilan Neinhuys membuka perkebunan tembakau di Deli mendorong gelombang antusiasme pembukaan perkebunan oleh pengusaha swasta asing (Pelzer 1985, 51-57). Namun, gelombang antusiasme itu terbentur dengan minimnya pengetahuan tentang bentang alam dan kondisi tanah Sumatra Timur. Alhasil, perintisan perkebunan tembakau dilakukan dengan serampangan yang mengakibatkan hutan-hutan purba dirusak secara masif (Broesma 1919, 106).

Upaya pemetaan wilayah Sumatra Timur baru pertama kali dilakukan pada tahun 1872 oleh dua ahli geografi dari dinas geografi bernama Kirsch dan Frits (Veth 1877). Sebuah peta Sumatra Timur kemudian diterbitkan oleh dinas geografi di Batavia pada tahun berikutnya. Namun demikian, dalam kepentingan pemetaan lahan-lahan perkebunan, para pengusaha perkebunan sering kali melakukan survei-survei dan membuat peta secara mandiri, seperti yang dilakukan oleh Van den Arend dan J.T. Cremer pada tahun 1876.

Hasil pemetaan kemudian dimuat dalam jurnal publikasi perkumpulan masyarakat geografi, yakni Tijdschrift van Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap pada tahun 1877.

(6)

Pada masa awal pembukaan perkebunan, perkumpulan masyarakat geografi Kerajaan Belanda yakni Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap turut berperan dalam memproduksi pengetahuan terkait Sumatra Timur. Pada tahun 1876, Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap yang ketika itu dipimpin oleh P.J. Veth melakukan ekspedisi saintifik ke wilayah Sumatra Timur, yang sebelumnya telah melakukan ekspedisi saintifik ke wilayah Sumatra Tengah. Kehadiran Veth disambut dengan baik oleh para pengusaha perkebunan, seperti P.W. Jassen dari Senembah Maatschappij dan Mr. Straatman dari Deli Maatschappij.

Dalam laporannya, Veth memberikan gambaran mengenai situasi bentang alam, sosial kemasyarakatan, potensi konflik, dan perkembangan terakhir dari industri perkebunan. Penjelasan mengenai hal-hal itu sangat fundamental bagi pemodal asing yang tertarik membuka perkebunan di Sumatra Timur (Veth 1877).

Ekspedisi P.J.Veth dan Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap tidak hanya meneliti keadaan bentang alam untuk memproduksi pengetahuan geografi praktis, tetapi juga ikut mempromosikan industri perkebunan yang baru berkembang di Sumatra Timur. P.J.Veth secara lugas menyatakan bahwa ekspedisinya ke Deli merupakan bagian dari menjawab kegelisahan mengenai masa depan industri perkebunan yang ketika itu mengalami dilema akibat Perang Sunggal dan masalah ketersediaan tanah hutan purba. Pada tahun 1870-an, Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap rutin mengadakan perkuliahan-perkuliahan dalam rangka mengurai permasalahan di Sumatra Timur, terutama terkait klasifikasi tanah dan ketersediaan lahan hutan purba yang sangat fundamental bagi industri perkebunan tembakau Deli pada saat itu. Konon, tembakau Deli berkualitas tinggi hanya bisa dihasilkan dari tanah hutan purba.

Seiring dengan meluasnya ekspansi, ketersediaan lahan hutan purba semakin menipis dan mengancam masa depan industri perkebunan (Veth 1877, 143).

Hingga tahun 1880-an, pengusaha perkebunan tidak memiliki pengetahuan tentang klasifikasi tanah di wilayah Sumatra Timur. Pemahaman mengenai kondisi tanah semakin mendesak ketika muncul ancaman penyusutan ketersediaan lahan subur akibat pembukaan lahan untuk perkebunan tembakau yang sporadis pada masa perintisan. Eksperimen-eksperimen pada lahan bekas panen tembakau dilakukan guna memperpanjang masa produksinya. Pengalaman pada akhirnya memberikan pemahaman bagi pengusaha

Gambar 1. P.J. Veth. (Sumber: Digital Collection KITLV).

(7)

perkebunan bahwa lahan yang telah ditinggal selama 8-10 tahun, lalu diolah melalui pembajakan dan pemberian pupuk guano akan mengembalikan kemampuan produksi tanah. Pada tahun 1880, ditemukan metode wisselgrond atau ladang berpindah yang memberi harapan kepada pengusaha perkebunan tembakau (Breman 1997, 81-82).

Selain dijawab melalui pengalaman, pertanyaan dan permasalahan mengenai kondisi tanah juga dijawab melalui penyelidikan saintifik. Pada tahun 1890, untuk pertama kalinya, van Bemmelen, seorang geolog, melakukan penyelidikan terhadap tanah di Deli. Dari penyelidikan itu diketahui bahwa hanya tanah di antara Sungai Wampoe dan Sungai Oelar yang dapat menghasilkan tembakau dengan kualitas terbaik. Penemuan itu sangat penting bagi pengusaha perkebunan karena berkaitan langsung dengan penguasaan tanah subur sebagai faktor produksi utama bagi perkebunan tembakau di Sumatra Timur. Penelitian itu berdampak besar terhadap peta pesebaran perkebunan di Sumatra Timur karena perkebunan tembakau terpusat di kawasan Deli, Langkat, dan sedikit wilayah Serdang; sedangkan wilayah di luar wilayah itu kemudian dikembangkan menjadi lahan perkebunan lain, seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit (Hissink 1904). Pelzer (1985, 65) dan Breman (1997, 81-82) menyatakan bahwa dengan ditemukannya metode wisselground dan penemuan dari van Bemmelen, masa-masa spekulasi dan ketidakpastian investasi di industri perkebunan di Sumatra Timur berakhir karena tanah sebagai faktor produksi utama dapat diperpanjang masa pemanfaatannya.

Pada masa selanjutnya, para pengusaha perkebunan tidak ragu melakukan investasi yang lebih besar untuk berbagai pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, kereta api, pelabuhan, dan bahkan pendanaan riset-riset lanjutan tentang perkebunan.

2.2 Agronomi dan Stabilitas Bisnis

Asosiasi Pengusaha Perkebunan (Deli Planters Vereeniging (DPV)) di Sumatra Timur benar-benar menyadari pentingnya keterlibatan ilmu pengetahuan bagi industri perkebunan sehingga mereka tidak ragu- ragu memasukan pengembangan riset-riset agronomi, agro-geologi, dan kesehatan menjadi bagian dari investasi mahal pada industri perkebunan di Sumatra Timur. Meskipun perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur bukan yang pertama memproduksi dan memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk kepentingan produksi praktis, tetapi lembaga riset perkebunan di wilayah itu tergolong sangat produktif (Gedenkboek van D.P.V.

1929). Setidaknya, ada dua faktor yang mendorong produktivitas lembaga riset perkebunan di Sumatra Timur, yaitu untuk kepentingan manajerial, kontrol alam, dan manusia di Sumatra Timur, serta untuk kepentingan ekonomi praktis.

Bisnis perkebunan tembakau dan perkebunan perenial adalah investasi yang mahal di Sumatra Timur. Dalam satu tahun periode penanaman tembakau, modal yang dialokasikan tidak sedikit. Modal itu dialokasikan untuk kerja-kerja pengaturan lingkungan, seperti membersihkan hutan, membangun kanal, dan proses penanaman, seperti pembibitan, pemupukan, mendatangkan dan mengupah kuli, serta pembangunan infrastruktur, seperti jalan, pengerukan sungai, dan jembatan. Pekerjaan tersebut tidak hanya pekerjaan yang mahal, tetapi juga penuh tantanngan dan resiko, di antaranya iklim dan cuaca yang tidak bersahabat, seperti kekeringan dan hujan lebat dapat memengaruhi kualitas panen, serangan satwa liar di hutan, seperti harimau, buaya, beruang hingga babi hutan, serta penularan penyakit tropis, seperti malaria, disentri, yang tidak hanya memengaruhi kesehatan kuli dan penduduk local, tetapi juga orang-orang Eropa.

Oleh karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengatasi tantangan-tantangan alam dan faktor sosial demi kepentingan efisiensi produksi. Untuk kepentingan tersebut, ilmu pengetahuan menawarkan alat untuk memahami dan mengontrol keduanya (Deli Maatschappij 1919).

(8)

Gagasan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam proses pertanian tembakau semakin mengemuka ketika terjadi wabah penyakit pada bibit tembakau untuk pertama kalinya pada pertengahan musim tanam April 1892. Penyakit itu menyerang bibit tembakau pada usia muda. Ketika tanaman tumbuh dua daun pertama, pada bibit muncul bintik-bintik abu-abu dan gelap. Pada mulanya bibit yang terjangkit tampak baik-baik saja, tetapi ketika ditanam, bibit segera mati. Penyakit bibit sebenarnya telah dideteksi beberapa tahun sebelumnya, tetapi pada saat itu, penyebarannya sporadis dan tidak endemis. Pada tahun 1891 dan 1892, penyakit itu menyebar hampir ke semua perkebunan tembakau dan menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pengusaha perkebunan tentang masa depan industri perkebunan tembakau di Sumatra Timur (Encyclopedia Bureau 1918). Sebenarnya, kekhawatiran mengenai masa depan industri tembakau tidak hanya disebabkan oleh penyebaran penyakit bibit, tetapi juga dipengaruhi oleh krisis tembakau yang terjadi pada waktu yang hampir bersamaan pada tahun1891 (Thee Kian Wie 1977, 8). Pada dasarnya, ketika itu pengusaha perkebunan sedang berada pada tahun-tahun ketidakpastian akibat krisis dan wabah penyakit bibit. Sementara itu, pada saat yang sama informasi ilmiah mengenai penyakit itu masih sangat sedikit sehingga menimbulkan banyak opini dan kegelisahan mengenai masa depan industri tembakau di Sumatra Timur (Deli Maatschappij 1919, 60).

J.T. Cremer yang ketika itu menjabat sebagai Komisioner Deli Maatschappij secara langsung meminta kepada Prof. Dr. Mr. Treub, direktur kebun botani ‘sLand Plantentuin di Bogor, untuk melakukan penyelidikan terhadap penyakit bibit pada tembakau di Sumatra Timur. Permintaan itu ditanggapi oleh Treub dengan mengirimkan seorang ahli botani yang telah bekerja di bawah pengawasannya, yakni Dr. van Breda de Haan. Ia membutuhkan satu tahun untuk mengamati dan menyelidiki penyakit bibit. Biaya besar yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengusaha Perkebunan untuk riset Breda de Hann memperoleh hasil yang cukup memuaskan dengan menurunnya jumlah penyakit bibit di perkebunan Sumatra Timur pada tahun berikutnya (Gedenkboek van D.P.V. 1929, 74–78).

Pengalaman penanganan penyakit bibit tembakau mendorong munculnya wacana di kalangan pengusaha perkebunan untuk memproduksi informasi saintifik tentang pertanian tembakau di Sumatra Timur secara sistematis. Kehadiran informasi ilmiah diharapkan mampu memberi rasa percaya diri dan prospek yang baik pada industri tembakau melalui teknik penanaman yang didasarkan pada uji saintifik. Wacana itu dibawa ke dalam rapat umum ke-24 asosiasi pengusaha perkebunan Deli atau Deli Planter Vereenining (DPV) pada 27 Maret 1893. Dalam rapat itu, Mr. KF Hordijk mengusulkan untuk membentuk stasiun uji coba perkebunan yang tidak hanya untuk kepentingan penangan penyakit bibit, tetapi juga untuk visi yang lebih luas lagi, yakni memperoleh informasi ilmiah fundamental terkait penanaman tembakau, seperti penyelidikan terhadap jenis tanah, metode fermentasi, pemupukan, serta iklim dan cuaca (Gedenkboek van D.P.V. 1929, 74-78).

Sedikit aneh membayangkan mengapa Deli Planters Vereeniging (DPV) yang memiliki kekuasaan besar dihadapan pemerintah kolonial cenderung terlambat menyadari perlunya pendirian laboratoriumnya sendiri, sedangkan perkebunan-perkebunan di Pulau Jawa telah terlebih dahulu memilikinya. Permasalahan besar yang menjadi pertimbangan dari Deli Planters Vereeniging (DPV) adalah alokasi dana dan ketersediaan sumber daya profesional. Pembiayaan riset adalah investasi yang mahal bagi pengusaha perkebunan karena pengusaha perkebunan harus menyediakan laboratorium beserta perangkatnya, serta mempekerjakan ilmuwan dan staf yang cakap (Gedenkboek van D.P.V. 1929, 74–78). Sebelum krisis tembakau dan kasus penyakit bibit, pengusaha perkebunan merasa tidak perlu mendirikan laboratoriumnya sendiri. Mereka hanya memanggil ilmuwan ketika terjadi masalah-masalah genting tertentu.

Stasiun uji di Sumatra Timur resmi didirikan melalui keputusan pemerintah 12 Oktober 1894 No. 12 dengan menambahkannya ke dalam Divisi VIII dari ‘sLands Plantetuin. Nama resmi dari divisi itu adalah

(9)

Laboratorium voor onderzoekingen over Deli-tabak (Laboratorium untuk penelitian tembakau Deli). Keputusan itu disertai dengan kontrak lima tahun pertama antara Deli Planters Vereeniging (DPV) dan pemerintah hingga tahun 1900. Kontrak itu kemudian diperbaharui hingga 8 tahun dan berakhir hingga pada 1908. Dana yang dibutuhkan untuk menjalankan stasiun uji coba itu berkisar antara 30.000 hingga 50.000 gulden per tahun yang diperoleh dari iuran para anggota dan non anggota DPV. Pada masa awal, stasiun uji itu hanya memiliki dua departemen yakni, botani dan kimia. Van Breda de Haan menjabat sebagai kepala stasiun uji sekaligus ahli botani, sedangkan A. van Bijlert menjadi ahli kimia. Pada perkembangan berikutnya, stasiun uji coba memiliki departemen kesehatan yang kemudian terpisah menjadi Laboratorium Patologi Medan. Dalam struktur organisasi, stasiun uji coba di Sumatra Timur merupakan cabang dari ‘sLands Plantentuin yang ada di Bogor (Gedenkboek van D.P.V. 1929, 74–78).

Dalam rentang waktu tahun 1894 sampai tahun 1906, stasiun uji coba di Sumatra Timur merupakan cabang dari ‘sLand Plantetuin yang merupakan laboratorium utama dan tetap berada di Bogor. Pendirian stasiun uji coba di Medan merupakan bagian percobaan untuk mempersiapkan stasiun uji coba yang mandiri. Pada tahun 1906, muncul wacana untuk mendirikan lembaga riset mandiri yang terpisah dari ikatan

‘sLands Plantentuin di Bogor. Para pengusaha perkebunan merasa perlu untuk melakukan kontrol lebih luas terhadap produksi informasi saintifik di perkebunan Sumatra Timur. Para pengusaha perkebunan mengklaim bahwa laboratorium yang berada di Bogor sulit dijangkau sehingga menyebabkan stagnasi pada riset-riset fundamental, seperti penyelidikan dan klasifikasi tipe tanah Sumatra Timur yang sejak awal menjadi informasi berharga untuk penentuan lahan tembakau. Untuk itu, pada 1 Juli 1906 didirikan sebuah lembaga riset perkebunan bernama Deli-Proefstation yang dijalankan oleh sebuah majelis umum yang mandiri. Namun, pada tahun 1923, Deli Planters Vereeniging (DPV) mengambil kontrol lebih luas terhadap Deli-Proefstasion dan sejak saat itu lembaga riset itu secara resmi berada di bawah DPV (Rizky 2019).

Lembaga riset itu termasuk produktif dan berhasil mengatasi permasalahan teknis dan lingkungan yang dihadapi oleh pengusaha perkebunan, seperti masalah penyakit bibit, penyakit mozaik, penurunan kualitas tanah, inspeksi bibit dan hama, dan pemupukan. Produktivitas lembaga riset itu dapat dilihat dari jurnal-jurnal ilmiah bulanan, ceramah umum, edaran resemi, laporan praktis yang terbit sejak tahun 1906 (De Sumatra Post 19 April 1933).

Gambar 2. Kompleks lembaga riset Deli-Proefstation. (Sumber: Digital Collection KITLV)

(10)

Riset-riset perkebunan terus mengalami perkembangan. Ketika perkebunan komoditas lain mulai berkembang pada awal abad ke-20, lembaga-lembaga riset untuk keperluan perkebunan baru itu juga dikembangkan. Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatra (AVROS), organisasi yang menaungi pengusaha perkebunan karet, menginsiasi pendirian stasiun uji cobanya sendiri pada tahun 1916. Dalam perkembangannya, stasiun uji coba itu tidak hanya meneliti pertanian karet, tetapi juga komoditas-komoditas andalan baru, seperti teh dan kelapa sawit (Broesma 1922, 90). Namun, sayangnya, lembaga riset itu ditutup pada pertengahan tahun 1932 karena krisis ekonomi yang mengguncang industri perkebunan di Sumatra Timur (Het Nieuws van De Dag 23 Desember 1931).

2.3 Ilmu Kesehatan dan Kuli Perkebunan

Selain riset-riset untuk kepentingan pertanian, perusahaan perkebunan juga memfasilitasi riset kesehatan.

Masalah kesehatan di perkebunan telah lama menjadi bagian dari kepentingan ekonomi perkebunan. Di wilayah perbatasan yang berpenduduk sedikit, seperti di Sumatra Timur, tenaga kerja adalah faktor produksi berharga bagi perusahaan perkebunan. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tidak mudah dan murah bagi perusahaan perkebunan untuk merekrut calon kuli-kulinya sehingga terdapat ekspektasi besar bahwa tenaga kuli-kuli itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kuli-kuli itu harus senantiasa dalam keadaan yang baik untuk bekerja.

Sejak masa pemulaan berkembangnya perkebunan di Sumatra Timur, penanganan kesehatan telah menjadi perhatian dari pengusaha perkebunan, bahkan sejak era Nienhuys. Para pengusaha perkebunan menyadari betul bahwa iklim dan lingkungan Sumatra Timur adalah tempat yang menantang bagi para pendatang (Cremer 1889, 261). Terlebih lagi kerja berat yang harus dilakukan di hutan pada masa perintisan, seperti menebang hutan, mengeringkan muara, menggali parit, membuat lahan dan bedeng. Sering kali, aktivitas itu menyebabkan luka dan penularan penyakit tropis. Di samping itu, arus migrasi para tenaga kerja memperbesar resiko penularan penyakit (Broesma 1922, 220).

Selain kepentingan menjaga kesehatan kuli, para tuan kebun kulit putih juga merasa perlu menjaga kesehatannya dari kemungkinan penularan penyakit di tropis. Bagaimana pun, lingkungan tropis adalah sesuatu yang menakutkan bagi para tuan kebun kulit putih. Dengan demikian, kesehatan adalah permasalahan fundamental yang menyokong industri perkebunan di Sumatra Timur, yang tidak hanya berfungsi untuk menjamin faktor produksi, tetapi juga sebagai jaminan keselamatan dari tuan kebun kulit putih (Cremer 1889, 261-266).

Pada masa perintisan perkebunan, penanganan kesehatan bergantung pada tenaga ahli dan peralatan dari straits settlement. Tenaga ahli kesehatan yang didatangkan ke perkebunan adalah lulusan dari Madrascollage. Jika penyakit seseorang parah, ia akan segera dirujuk ke Penang. Dokter Eropalah yang pertama kali dipekerjakan pada tahun 1871 di Deli Maatschappij (Deli Maatschappij 1919, 34-35).

Selanjutnya, perkembangan penangan kesehatan di Sumatra Timur sangat pesat. Pada tahun 1889, di Sumatra Timur telah terdapat 12 dokter Eropa. Cremer mengklaim bahwa jumlah itu sangat banyak untuk sebuah wilayah dibanding wilayah mana pun di Hindia Belanda (Cremer 1889, 263).

Pada tahun 1871, didirikan rumah sakit pertama di Deli Maatschappij atas saran dari Dr. H. Sanders Enz. Sejak saat itu, setiap perusahaan perkebunan memilki rumah sakitnya sendiri atau sistem join untuk perusahaan-perusahaan perkebunan kecil. Penangan kesehatan di Sumatra Timur dapat dikatakan cukup baik dibanding dengan wilayah lain di Hindia Belanda (Deli Matschappij 1919, 34). Berbagai endemi penyakit, seperti kolera, beri-beri, cacar, influenza mendapat penangan medis yang layak, walaupun penyakit-penyakit

(11)

itu tidak sepenuhnya hilang dari Sumatra Timur. Wabah penyakit tetap datang silih berganti (Ocshendorf 2018).

Besarnya resiko penurunan kesehatan dan penyebaran penyakit di Sumatra Timur mendorong perusahaan perkebunan membangun sistem sanitasi di lingkungan perkebunannya. Upaya-upaya preventif penularan penyakit dimulai dari menjaga kebersihan barak-barak kuli dan menyuplai air minum bersih.

Sebuah balai karantina untuk kuli-kuli yang baru didatangkan dari Tiongkok dan Pulau Jawa dibangun pertama kali pada 1883. Pembangunan karantina itu merupakan upaya untuk memutus rantai penyebaran penyakit-penyakit, seperti lepra dan kolera yang sering kali masuk bersama kuli-kuli dari Tiongkok (Broesma 1922, 224).

Meskipun penanganan kesehatan di perkebunan sejak awal telah menjadi bagian penting dari perusahaan perkebunan, tetapi pengembangan riset penyakit tropis baru dimulai menjelang akhir abad ke- 20. Dr. Schuffner yang pertama kali menyarankan agar dibangun sebuah laboratorium kedokteran untuk observasi klinis dan studi mendalam mengenai penyakit-penyakit tropis yang sering ditemukan di Sumatra Timur. Schuffner berpendapat bahwa hanya dengan penelitian yang intensiflah masalah penularan penyakit dapat diperangi atau setidaknya dikurangi. Pada awalnya, realisasi ide Schuffner itu diwujudkan dengan pembangunan laboratorium di dalam kompleks rumah sakit pusat di lingkungan Senembah Maatschappij (Senembah Maatschappij 1939, 73).

Seiring dengan semakin meningkatnya permasalahan penyakit tropis di Sumatra Timur, sebuah laboratorium patologi didirikan di Medan pada 3 Oktober 1906. Laboratorium patologi itu didirikan atas inisiatif Van Vollenhoven yang merupakan Kepala Administrasi Deli Matschappij dan C.W. Janssen yang merupakan Direktur dari Senembah Maatschapij dan Medan Tabak Mij. Pada masa awal pendiriannya, laboratorium patologi diketuai oleh dr. W.A.Kuenen yang pernah bertugas di Senembah Maatschappij (Budi Agustono 2021). Semula, laboratorium itu, secara eksklusif berada di bawah wewenang ketiga maskapai tersebut. Pada tahun 1920, intervensi Deli Planters Vereeniging (DPV) dan Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatra (AVROS) mampu menjadikan lembaga riset itu mandiri secara kelembagaan (Gedenkboek van DPV 1929, 213).

Gambar. 3 Laboratorium Patologi di Medan. (Sumber: Digital Collection KITLV).

(12)

Tugas utama dari laboratorium patologi adalah meneliti dan mendiagnosa berbagai penyakit tropis yang muncul di perkebunan-perkebunan Sumatra Timur untuk mengatasi penyebaran penyakit. Selain diagnosis dan analisis, laboratorium juga menyediakan vaksin untuk berbagai penyakit, seperti cacar tifus (Gedenkboek van DPV 1929, 216). Tugas itu terkait dengan tujuan utama penyelenggaraan fasilitas kesehatan secara umum di Sumatra Timur, yakni meningkatkan taraf kesehatan dan harapan hidup pekerja di perkebunan. Di samping itu, laboratorium patologi juga turut melakukan propoganda gaya hidup sehat dan sanitasi yang bersih, baik di lingkungan perkebunan maupun di Sumatra Timur secara umum (Budi Agustono 2021).

Pada tahun 1920-an, ada upaya besar dari perusahaan perkebunan untuk meningkatkan jumlah cadangan tenaga kerja dan tujuan itu dapat dicapai dengan meningkatkan riset-riset kesehatan. Pada dasarnya, upaya meningkatkan jumlah tenaga kerja telah menjadi tujuan dari pengembangan penanganan kesehatan dan penelitian kedokteran di perkebunan sejak awal. Akan tetapi, upaya itu semakin besar ketika perusahaan perkebunan berupaya mengontrol tingkat kematian dan kelahiran bayi di sekitar kawasan perkebunan. Laboratorium patologi mempunyai peran yang besar dalam program itu. Selain secara langsung menyelidiki secara klinis, lembaga laboratorium patologi juga memproduksi statistik kematian pekerja dan penduduk setempat. Meningkatnya perhatian perusahaan perkebunan terhadap kesehatan anak-anak dan kematian bayi merupakan bagian dari visi program kolonisasi kuli Jawa yang memiliki tujuan akhir mencadangkan tenaga kerja di sekitar kawasan perkebunan (Dr. M. Straub 1929). Program kolonisasi menjadi semakin mendesak terutama adanya kebutuhan untuk meningkatkan produksi pangan serta dihapuskannya ponale sanctie. Program kolonisasi kuli-kuli Jawa yang disokong oleh fasilitas kesehatan yang memadai diharapkan mampu mendorong pertumbuhan populasi Sumatra Timur. Dengan demikian, terdapat cukup populasi untuk membuka lahan-lahan perkebunan yang sekaligus menjadi cadangan tenaga kerja di perkebunan melalui sistem pekerja bebas (Itawan 2020) .

3. KESIMPULAN

Di Sumatra Timur, ilmu pengetahuan dan industri perkebunan kolonial memiliki hubungan yang nyata, intens, dan bersimbiosis. Di satu sisi, industri perkebunan dapat memperoleh jaminan stabilitas dari berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang geografi, geologi, agronomi hingga kesehatan. Di sisi lain, ilmu pengetahuan juga turut berkembang dari dukungan dana perusahaan perkebunan lembaga-lembaga riset yang didirikan.

Industri perkebunan dapat terus berkembang seiring dengan tersedianya jawaban-jawaban atas pertanyaan mengenai lingkungan dan tantangan teknis produksi industri perkebunan. Pada masa sebelumnya, tantangan-tantangan dijawab dengan prasangka dan pengalaman semata. Akan tetapi, secara perlahan- lahan, industri perkebunan mulai mengembangan rasionalitas untuk menggantikan asas-asas spekulasi dan ketidakpastian.

Dari sejarah ekspansi kolonial di Sumatra Timur, terlihat jelas bahwa ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang bebas nilai dan kepentingan. Di Sumatra Timur, produksi ilmu pengetahuan memiliki latar belakang kepentingan kapital dan negara kolonial. Ilmu pengetahuan diproduksi untuk kepentingan melakukan ekspansi kekuasaan kolonial serta akumulasi primitif melalui ekspansi industri perkebunan yang ekstraktif.

Dengan cara itulah, sesugguhnya praktik imperialisme kolonial dijalankan di wilayah itu. Realitas historis itu membawa sebuah pemahaman baru dalam sejarah kolonisasi di Sumatra Timur. Kolonisasi di Sumatra Timur dapat dilakukan bukan hanya melalui hegemoni politik dan ekonomi, tetapi juga hegemoni ilmu pengetahuan sebab dengan hegemoni ilmu pengetahuan, kekuasaan kolonial dapat beroperasi dengan efektif dan efisien di Sumatra Timur.

(13)

DAFTAR REFERENSI

Agustono, Budi, Junaidi & Kiki Maulana Affandi. 2021. Pathology laboratory: An institution of tropical diseases in Medan, East Sumatra, 1906–1942. Cogent Arts & Humanities 8:1.

Anderson, John. 1826. Mission to the East Coast of Sumatra, in MDCCXXIII, under the Direction of the Goverment of Prince of Wales Island: Icluding Historical and Descriptive Sketches of the Country, and Account of Commerce, Population, and the Manners and Costums of the Inhabitans, and a Visit to the Batta Canibal States in the Interior. Blackwood: London.

Akbar, Allan. 2018. Perkebunan Tembakau dan Kapitalisasi Ekonomi Sumatera Timur 1863–1930. Tamaddun 6, no. 2 [November]: 61–98.

Breman, Jan. 1997. Menjinakan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun, Kuli di Sumatera Timur pada Awal Abad ke-20. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Broesma, Roelof. 1919. Oostkust van Sumatra: De Ontluiking van Deli. Batavia: Javasche Boekhandel &

Drukkerij.

_____. 1922. Oostkust van Sumatra: De Ontluiking van Deli. Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij.

Cremer, Jacob Theodoor. 1889. Deli Schetsen: Geneeskundig Verpleging. Eigen Haard.

Deli Maatschappij. 1919. Deli Maatschappij Gedenkschrijft bij gelegenheid van het vijftig-jarig bestaan.

Disusun oleh J.F.L. de Balbian Vester. Amsterdam.

De Sumatra Post, 19 April 1933.

Encyclopedisch Bureau Oostkust van Sumatera. 1918. De Buitenzettingen Oostkust van Sumatera. Deel II.

Aflevering 3. Eerste Stuk. Semarang & Surabaya: ‘s-Gravenhage.

Gramberg, Jan Simon Gerardus. 1881. De Oostkust van Sumatera. Indische Gids.

Gedenkboek D.P.V. 1929. Gedenkboek uitgegeven ter gelegenheid van het vifjtigjraig bestaan van Deli Planters Vereeniging. Disusun oleh P.W. Modderman. Batavia: Gedrukt Bij G. Kolff.

Goss, Andrew. 2014. Belenggu Ilmu Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru. Depok: Komunitas Bambu.

Het Nieuws van De Dag, 23 Desember 1931.

Hissink, David Jacob. 1904. Een ander over Deli. Indische Mercuur, 22 November.

Itawan, Devi. 2020. The Origin of Child Healthcare in the East Coast of Sumatra. Jurnal Sejarah 16, no. 1:

71–83.

Netscher, Elisa. 1864. Togtjes in het gebied van Riouw en onderhoorighede:Landschap op Deli. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land,-en Volkenkunde, Deel XIV.

Nienhuys, Jacobous. 1903. De Vesteging der Tabakcultuur op Deli. Indische Mercuur.

Oschendrof, Frank. 2018. Colonial Corporate Social Responsibility: Company Healthcare in Java, East Sumatra and Belitung, 1910-1940. Lembaran Sejarah 14, no. 1: 83–97.

Pelzer, Karl. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Jakarta: Sinar Harapan.

Pyenson, Lewis. 1988. Empire of Reason: Exact Science in Indonesia 1840-1940. Leiden: E.J. Brill.

Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: KITLV Jakarta - Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Rizky, Mhd Aziz. 2019. Het Deli Proefstation: Pusat Penelitian Tanaman Tembakau Deli di Kota Medan.

1906–1942. Skripsi, Universitas Sumatera Utara.

Senembah Maatschappij. 1939. Senembah Maatschappij 18891939. Disusun oleh C.W. Jansesn dan H.J.

Bool.

(14)

Straub, M. 1928. Kinderstrefte ter Ootskust van Sumatra. Amsterdam: Koninklijke Vereeniging Koniaal Instituut.

Thee Kian Wie. 1977. Plantation Agriculture and Export Growth, An Economic Hitsory of East Sumatera 1863–1942. LEKNAS-LIPI: LP3ES.

Versteeg, Willem Frederik. 1875. Het Zenden Eener Wetenschappelijk Expeditie naar Sumatra. Uthrect:

J.L.Beijers.

Veth, Pieter Johannes. 1877. Het Landschap op Deli. Tijdschrift van Aardrijkskundig Genootschap. Tweede Deel.

Referensi

Dokumen terkait

ContentslistsavailableatScienceDirect Journal of Systems Architecture journalhomepage:www.elsevier.com/locate/sysarc Enhancing Internet of Things Security using Software-Defined