• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Teori Hubungan Internasional: Dominasi Teori dari Barat dan Pendekatan terhadap HI di Indonesia

N/A
N/A
19. Maria Cynthia Gultom

Academic year: 2023

Membagikan "Perkembangan Teori Hubungan Internasional: Dominasi Teori dari Barat dan Pendekatan terhadap HI di Indonesia"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

TugasReading Report- DHIP 1945 Nama : Maria Cynthia Gultom

NPM : 2206819956

Kelas : B

Bahan Bacaan : Acharya, Amitav dan Barry Buzan. “Chapter 1 : Why Is There No NonWestern International Relations Theory? An Introduction, Chapter 7 : Perceiving Indonesian Approaches to International Relations Theory” DalamNon-Western International Relations Theory: Perspectives on and beyond Asia. Abingdon: Routledge, 2010. 1-25 &

148- 173.

Perkembangan Teori Hubungan Internasional: Dominasi Teori dari Barat dan Pendekatan terhadap HI di Indonesia

Sejak zaman Perang Dunia dan Perang Dingin, konsep dari teori-teori Hubungan Internasional mulai bermunculan. Teori-teori itu merupakan hasil dari pemikiran negara Barat yang dianggap lebih maju secara keilmuan. Keberadaan teori-teori ini tidak dapat dikatakan mutlak, sebab relevansinya di berbagai negara bisa saja berbeda. Oleh karenanya, reading report ini akan mencoba menggali apa yang telah dipaparkan oleh Acharya dan Buzan di dalam buku Non-Western International Relations Theory: Perspectives on and beyond Asia.

Penulis akan menyajikannya dengan berisikan rangkuman singkat serta diakhiri kesimpulan.

Akademisi di kawasan Amerika memiliki pandangan bahwa teori adalah elaborasi antara sebab dan akibat, sedangkan akademisi di kawasan Eropa percaya bahwa teori adalah sistem disiplin ilmu. Perbedaan dari kedua pandangan tersebut menyatakan bahwa teori yang dihasilkan dapat berbeda dikarenakan rentang waktu dan lokasi yang berbeda pula. Dengan adanya perbedaan berdasarkan regional, timbul prasangka bahwa teori-teori ini tidak akan bersifat universal. Seiring waktu, teori HI membentuk dua paradigma yang nantinya akan menjadi landasan bagi teori HI lainnya yakni, realisme dan liberalisme.

Paradigma realisme mempercayai bahwa kedaulatan negara dan kekuatan baik politik maupun militer merupakan hal yang utama, sedangkan liberalisme mempercayai perdamaian akan tercapai dengan kerjasama banyak pihak. Paradigma liberalisme juga mendukung adanya individualisme, demokrasi, serta HAM. Kedua paradigma ini berkembang dan terus meluas, padahal belum tentu keduanya cocok diterapkan pada negara non-Barat. Selanjutnya, munculah lapisan-lapisan kelas masyarakat sebagai akibat dari kedua paradigma, yang pada akhirnya melahirkan teori marxisme sebagai bentuk kritik. Teori-teori dari Barat berhasil menciptakan hegemoni tersendiri dengan menggunakan hakikat Gramscian. Hal ini berakibat pada penilaian dan anggapan bahwa teori HI secara general bernuansawesternsentris.

Di Indonesia, teori HI seperti realisme dan liberalisme tidak banyak dijadikan acuan.

Hal ini pun disebabkan oleh Indonesia yang mayoritas penduduknya memiliki sifat ekstrim

(2)

kepada hal-hal berupa etnis dan budaya. Ideologi atau paradigma yang masuk sering dianggap sebagai ancaman yang bisa menggeser ideologi mula-mula. Pemerintah Indonesia pun memiliki fokus yang berbeda. Pemerintah menjadikan stabilitas nasional sebagai prioritas sehingga kurang memberikan ruang khusus kepada akademisi HI di Indonesia untuk mengembangkan teori HI. Padahal, teori HI dapat berperan aktif sebagai filter bagi Indonesia dalam menghadapi derasnya pemikiran-pemikiran yang berbeda dan bersifat mengancam ideologi Indonesia.

Fakta bahwa Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia sejauh ini tidak dimanfaatkan secara baik. Agenda-agenda kebijakan luar negeri Indonesia tidak terlalu menggambarkan adanya paham Islam yang mendominasi dalam sistem pemerintahan. Kaum intelektual dari Indonesia banyak yang memperluas ilmunya ke negara-negara Barat namun, ketika kembali ke Indonesia tidak banyak dari mereka yang berusaha mengembangkan teori HI yang bercitra Indonesia. Begitu pula dengan dengan konsep power dalam teori HI yang sebenarnya dapat dipertajam dengan memanfaatkan konsep-konsep suku di Indonesia seperti adanya suku jawa, sunda, batak, dan minang yang cukup banyak sebarannya.

Fakta bahwa teori HI non-Barat terasa sulit untuk berkembang menunjukan realita bahwa studi Hubungan Internasional masih kurang mendapatkan perhatian. Pendanaan yang masih kurang dari pemerintah pun menandakan bahwa riset teori HI bukan hal yang dianggap penting dan perlu. Akses terhadap sumber bacaan pun masih sulit untuk didapatkan, baik oleh akademisi maupun masyarakat yang memiliki ketertarikan pada Ilmu Hubungan Internasional. Akan tetapi, akademisi Hubungan Internasional di Indonesia sendiri masih terus berusaha untuk melakukan riset dan forum-forum perihal perkembangan teori HI.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dominasi teori-teori HI dari negara Barat tidak mudah untuk dihindari. Kurangnya pengembangan teori HI non-Barat menyebabkan adanya ketergantungan akademisi pada teori yang sudah ada.

Riset akan teori HI di Indonesia sendiri pun belum dijadikan salah satu prioritas oleh pemerintah, sehingga pendanaan dan sarana pengembangan pun sulit didapatkan oleh akademisi dan kaum intelektual. Hal-hal ini pun tidak jarang menjadikan Ilmu Hubungan Internasional dianggap sebagai alat negara-negara Barat untuk menyebarluaskan ideologinya.

Padahal Ilmu Hubungan Internasional dapat menjadi jalan bagi pemerintah dan negara untuk memperluas jaringan kerjasama keamanan dan bahkan ekonomi dengan negara-negara lain.

Riset akan teori HI non-Barat pun akan menjadi penanda bahwa Indonesia bukanlah negara yang tertinggal dan ‘cacat intelektual’.

Referensi

Dokumen terkait