• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan Pangan Hewani Rumah Tangga Perkotaan di Provinsi Jawa Tengah

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Permintaan Pangan Hewani Rumah Tangga Perkotaan di Provinsi Jawa Tengah "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis ke-45 UNS Tahun 2021

“Membangun Sinergi antar Perguruan Tinggi dan Industri Pertanian dalam Rangka Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka”

Permintaan Pangan Hewani Rumah Tangga Perkotaan di Provinsi Jawa Tengah

Titis Surya Maha Rianti, dan Nikmatul Khoiriyah

Prodi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Malang, Jl. MT Haryono No. 193 Malang

Abstrak

Konsumsi protein sangat penting dalam pencegahan stunting pada balita, namun akses dalam konsumsi pangan hewani sebagai sumber utama protein terkendala pada harga pangan dan pendapatan rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan pangan hewani rumah tangga perkotaan di Provinsi Jawa Tengah. Data penelitian menggunakan data sekunder yang diperoleh dari SUSENAS Tahun 2016 dengan sampel sebanyak 13.328 rumah tangga. Analisis data menggunakan pendekatan model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pangan hewani paling elastis terhadap perubahan harga adalah kelompok ikan dengan elastisitas permintaan sebesar 2.463%, diikuti daging sapi (2.410%), susu bubuk (1.416%), ayam (1.010%), dan telur (0.549%). Semua pangan hewani bersifat substitusi dengan kelompok pangan hewani lainnya, kecuali susu bersifat komplementer terhadap daging sapi. Kelompok pangan hewani yang paling sensitif terhadap perubahan pendapatan adalah daging sapi (2.219%) diikuti oleh susu, ikan dan daging ayam dengan elastisitas masing-masing sebesar 1.816%, 1.660% dan 1,336%, sehingga daging sapi merupakan pangan hewani paling mewah. Stabilitas kebijakan harga sangat penting untuk mempertahankan konsumsi pangan hewani dalam rangka pemenuhan protein sesuai angka kecukupan protein nasional.

Kata kunci: permintaan, pangan hewani, QUAIDS

Pendahuluan

Pemenuhan pangan merupakan hal penting untuk diperhatikan karena pangan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Pemenuhan pangan berkaitan dengan kualitas pemenuhan gizi pada suatu masyarakat. Pemenuhan gizi masyarakat dapat diperoleh dari pangan nabati maupun pangan hewani. Pangan hewani merupakan pangan penting sumber protein yang harus dikonsumsi oleh rumah tangga (Akaichi & Revoredo-Giha, 2014). Protein dapat diperoleh dari pengonsumsian pangan hewani berupa telur, daging ayam, daging sapi, ikan, maupun susu.

▸ Baca selengkapnya: produk non pangan dari hewani

(2)

Pemenuhan protein yang berasal dari pangan hewani dapat berdampak positif bagi kesehatan keluarga, utamanya bagi bayi, baduta, batita maupun balita (Farisni dkk., 2020).

Tingkat kecukupan protein berhubungan positif dengan pertumbuhan anak balita yang artinya semakin tinggi tingkat kecukupan protein semakin naik pertumbuhannya (Sari dkk., 2016).

Ada hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan stunting pada balita karena protein sangat penting untuk perkembangan setiap sel dalam tubuh serta menjaga kekebalan tubuh (Arsyad dkk., 2020, Santi dkk., 2021). Namun pada kenyataannya tidak semua rumah tangga dapat mengakses pangan hewani dengan mudah karena harga yang tidak menentu serta pendapatan rumah tangga yang tidak selalu meningkat.

Kenaikan harga suatu komoditas berdampak pada penurunan konsumsi barang (Aftab et al., 2015; Giwa & Choga, 2020; Ivanic & Martin, 2014). Hal ini sejalan dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa ketika harga naik maka permintaan akan turun, pun sebaliknya (Sun, 2020). Artinya kenaikan harga pada pangan hewani akan berdampak pada penurunan permintaan pangan hewani dan ketika terjadi penurunan terhadap harga pangan hewani maka permintaan akan naik. Kendati demikian permintaan akan pangan juga dipengaruhi oleh harga lain, yang artinya jika salah satu harga dari pangan hewani naik, maka konsumen dapat beralih ke pangan hewani lainnya (Giwa & Choga, 2020; Kharisma et al., 2020).

Selain harga, pendapatan rumah tangga juga berpengaruh terhadap permintaan pangan hewani (Abdulai & CroleRees, 2001; Alemayehu Seyoum et al., 2011; Amadou, 2019).

Peningkatan pendapatan rumah tangga sejalan dengan kemampuan daya beli konsumen yang meningkat serta dapat menjangkau pangan yang hewani lain. Konsumen yang pendapatannya meningkat akan mendiversifikasikan pola konsumsi makanannya dengan mengonsumsi makanan dengan harga yang relative tinggi dibandingkan jenis makanan lain termasuk pangan hewani. Mengingat kelompok pangan hewani merupakan kelompok pangan dengan harga yang relative tinggi jika dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya (Anindita et al., 2020; Khoiriyah et al., 2020; Sa’diyah et al., 2019).

Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan pangan hewani pada rumah tangga perkotaan di Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian diperoleh elastisitas permintaan pangan hewani sehingga dapat disimpulkan apakah pangan hewani bersifat elastis, inelastis atau unitary inelastic. Juga diperoleh elastisitas pendapatan masing-masing pangan hewani sehingga dapat disimpulkan apakah pangan hewani merupakan barang mewah, normal atau inferior. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menyusun kebijakan

(3)

harga atau pendapatan dalam upaya pemenuhan pangan hewani sebagai salah satu sumber protein rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah.

Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yang merupakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS (2016). Data yang dianalisis yaitu data sosio demografi (status tempat tinggal rumah tangga, konsumsi dan pengeluaran rumah tangga untuk pangan hewani. Pangan hewani yang diamati dalam penelitian ini yaitu kelompok pangan hewani telur (telur ayam ras, telur ayam kampung, dan telur itik, kelompok daging ayam (daging ayam ras dan daging ayam kampung), daging sapi, kelompok ikan segae (ikan segar, udang, cumi, kerang dll), kelompok susu (susu bubuk dan susu bayi). Penelitian dikhususkan pada rumah tangga perkotaan. Sampel dalam penelitian ini adalah 13.328 rumah tangga.

Spesifikasi model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS)

Model QUAIDS merupakan pengembangan model AIDS. AIDS ditemukan oleh Deaton and Muellbauer (1980) dibangun di atas model Rotterdam dan Translog. QUAIDS dikembangkan oleh (Banks et al., 1997). Berdasarkan analisis non-parametrik pola pengeluaran konsumen, terlihat bahwa kurva Engel memerlukan tatanan yang lebih tinggi dari logaritma pengeluaran. Model QUAIDS memiliki fitur hampir sama seperti AIDS dan mampu menangkap kelengkungan Engel. Oleh karena itu QUAIDS telah dipilih sebagai model permintaan untuk strategi empiris estimasi. Selain itu, penelitian ini memperluas model QUAIDS dengan variabel demografis untuk melihat lebih jauh peran variabel non ekonomi dalam perilaku permintaan pangan. Sebagaimana model system permintaan umumya, model AIDS ditentukan oleh besarnya food budget shares (𝑤𝑖) berikut:

𝑤𝑖𝑝𝑖𝑞𝑖

𝑚 (1)

dimana 𝑝𝑖 iadalah harga komoditi i, 𝑞𝑖 adalah jumlah komoditi i, and m adalah total pengeluaran semua komoditi yang ada dalam system permintaan, sehingga:

𝑤𝑖− 𝛼𝑖+ ∑ 𝛾𝑖𝑗𝑖𝑛𝑝𝑗 + 𝛽𝑖1𝑛 [ 𝑚

𝑎(𝑝)]

𝑘

𝑗=1 (2)

dimana 𝑝𝑗 adalah harga komoditi j dan a (p) adalah indek harga yang dipakai untuk mendeflasi total pengeluaran, dituliskan sebagai berikut:

(4)

1𝑛𝛼(𝑝) ≡ 𝛼0+ ∑ 𝛼𝑖1𝑛𝑝𝑖 +1

2𝑘𝑖=1𝑘𝑗=1𝛾𝑖𝑗1𝑛𝑝𝑖1𝑛𝑝𝑗

𝑘

𝑖=1 (3)

Sebagaimana juga Model AIDS, model QUAIDS juga perlu restriksi agar supaya konsisten dengan maksimisasi utility, yaitu:

1. Adding up: ∑𝑘𝑖=1𝛼1 = 1 ∑𝑘𝑖=1𝛽𝑖 = 0 ∑𝑘𝑖=1𝛾𝑖𝑗 = 0 ∀𝑗 (4)

2. Homogeneity: ∑𝑘𝑗=1𝛾𝑖𝑗 = 0 ∀𝑗 , dan (5)

3. Slutsky’s symmetry: 𝛾𝑖𝑗 = 𝛾𝑗𝑖 (6)

Restriksi pada teori permintaan konsumen (3), (4) dan (5) digunakan untuk mengestimasi (3) yang berarti 𝛼 (p) sebagai fungsi homogen secara linier dari harga individual. Oleh karena itu, notasi (4), (5) dan (6) dipertahankan, notasi (2) menyediakan sistem fungsi permintaan yang ditambahkan hingga total pengeluaran (∑ 𝑤𝑖 = 1), adalah homogen selama harga dan pendapatan berderajat nol sesuai teori Symmetry Slutsky (Deaton and Meullbauer,1980). Sehingga model AIDS dapat diinterpretasikan: jika harga (𝑝𝑗) dan pengeluaran riil ( 𝑚

𝛼(𝑝)) tidak berubah, maka share pengeluaran (𝑤𝑖) adalah konstan (𝛼𝑖).

Sebuah pengembangan dari model AIDS, model QUAIDS diusulkan oleh Banks et. al (1997) yaitu dengan menambahkan unsur kuadrat logaritma pengeluaran. Ini mengikuti sifat kelenturan Kurva Engel share pengeluaran rumah tangga tidak linier dan beberapa komoditi merupakan barang kebutuhan pokok serta beberapa komodiati merupakan barang mewah (Banks et al, 1997). Model QUAIDS dalam budget share adalah:

𝑤𝑖 = 𝛼𝑖+ ∑ 𝛾𝑖𝑗1𝑛𝑝𝑗+ 𝛽𝑖1𝑛 [ 𝑚

𝛼(𝑝)] +

𝐾𝑗=1

𝜆𝑖

𝑏(𝑝){1𝑛 [ 𝑚

𝛼(𝑝)]}2 (7)

Istilah sama dengan persamaan (7) dan b(p) adalah harga agregrat Cobb-Douglas, dituliskan sebagi berikut:

𝑏(𝑝) = ∏𝐾𝑗=1𝜌𝑗𝛽𝑖 (8)

To adhere to teori permintaan konsumen, kondisi adding-up juga diperlukan:

𝐾𝑗=1𝜆𝑗 = 0 (9)

Sesuai dengan tujuan penelitian yang memasukkan variable sosio demografi rumah tangga, menggunakan metode Roy (1983) berdasarkan fungsi pengeluaran (biaya) sebagi berikut:

𝑒(𝑝, 𝑧, 𝑢) = 𝑚𝑜(𝑝, 𝑧, 𝑢) × 𝑒𝑅(𝑝, 𝑢) (10)

Dimana z adalah vektor karakteristik rumah tangga, 𝑒𝑅(𝑝, 𝑢) adalah fungsi pengeluaran, dan 𝑚0(𝑝, 𝑧, 𝑢) skala fungsi pengeluaran yang dapat diperoleh dari:

𝑚𝑜

̅̅̅̅ (𝑝, 𝑧, 𝑢) = 𝑚̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑜(𝑧)𝜙(𝑝, 𝑧, 𝑢)

(5)

Dimana 𝑚0 mengukur kenaikan pengeluaran rumah tangga sebagai fungsi dari z, dan ф adalah perubahan harga terhadap barang yang dikonsumsi. Lalu, 𝑚̅̅̅̅(𝑧) adalah: 𝑜

𝑚𝑜

̅̅̅̅ (𝑧) = 1 + 𝜌𝑧 (11)

Dimana 𝜌 adalah vektor parameter yang diestimasi, ∅(𝑝, 𝑧, 𝑢) adalah parameter:

1𝑛𝜙(𝑝, 𝑧, 𝑢) = 𝜌𝑗

𝛽𝑖(∏𝐾𝑗=1𝜌𝑗𝑛𝑖𝑧−1) 𝐾𝑗=1

1

𝑢−∑𝐾𝑗=1𝜆𝑗1𝑛𝑝𝑗 (12)

Dimana ղ𝑗 menggambarkan kolom ke j dari parameter matrix ղ. Untuk menyesuaikan dengan teori permintaan konsumen, maka diperlukan penambahan lebih lanjut, sebagai berikut:

𝐾𝑗=1𝜆𝑗1𝑛𝑝𝑗+(𝛽𝑖+ ῄ𝑖𝑧)1𝑛 (13)

untuk r=1,...,s. Estimasi model QUAIDS dapat dituliskan ke dalam formula:

𝑤𝑖 = 𝛼𝑖+ ∑ 𝜆𝑗1𝑛𝑝𝑗 + [ 𝑚

𝛼(𝑝0)𝑚̅̅̅̅̅(𝑧)0 ] + 𝜆𝑖

𝑏(𝑝)𝑐(𝑝,𝑧){1𝑛 [ 𝑚

𝛼(𝑝0)𝑚̅̅̅̅̅(𝑧)0 ]}2+ 𝜀

𝐾𝑗=1 (14)

Dimana 𝑐(𝑝, 𝑧) = ∏𝐾𝑗=1𝜌𝑗𝑛𝑖𝑧 (15)

Parameter yang dihasilkan dari model QUAIDS digunakan untuk menghitung elastisitas harga (own-price elasticity) baik Hicksian maupun Marshallian, elastisitas pengeluaran (expenditure elasticity) dan elastisitas harga silang. Elastisitas harga Marshallian (Uncompensated) adalah:

𝑖𝑗𝑢= −𝛿𝑖𝑗 + 1

𝑤𝑖(𝛾𝑖𝑗− [𝛽𝑖 + ῄ𝑖𝑧 + 2𝜆𝑖

𝑏(𝑝)𝑐(𝑝,𝑧)1𝑛 { 𝑚

𝛼(𝑝0)𝑚̅̅̅̅̅(𝑧)0 }] × (𝛼𝑗+ ∑ 𝛾1 𝑗11𝑛𝑝1) −

(𝛽𝑖+ῄ𝑗𝑧)𝜆𝑖

𝑏(𝑝)𝑐(𝑝,𝑧)[1𝑛 { 𝑚

𝛼(𝑝0)𝑚̅̅̅̅̅(𝑧)0 }]2) (16)

Elastisitas pengeluaran adalah:

𝜇𝑖 = 1 + 1

𝑤𝑖[𝛽𝑖+ ῄ𝑖𝑧 + 2𝜆𝑖

𝑏(𝑝)𝑐(𝑝,𝑧)1𝑛 { 𝑚

𝛼(𝑝)𝑚̅̅̅̅̅(𝑧)0 }] (17)

Elastisitas harga Hicksian (Compensated) adalah:

𝑖𝑗𝑐 =∈𝑖𝑗𝑢+ 𝑤𝑗𝜇𝑖 (18)

Persamaan (3) sampai (6) diadopsi dari Deaton and Muellbauer (1980), persamaan (4) sampai (16) diadopsi dari Pol (2012) dengan mengacu pada Banks et al. (1997).

Hasil dan Pembahasan

A. Elastisitas harga marshallian

Faktor utama penentu elastisitas harga adalah kesediaan barang substitusi, waktu perjalanan, barang luxurious/mewah vs kebutuhan, pasar dan pangsa pasar dalam anggaran

(6)

konsumen (G. Hubbard, et al, 2009). Tabel 1 menunjukkan elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang Marshallian. Menurut teori ekonomi, kenaikan harga mengurangi permintaan. Di perkotaan Jawa Tengah, ikan adalah pangan hewani paling elastis dengan elastisitas permintaan sebesar 2.525%. Pangan hewani lainnya memiliki elastisitas sebagai berikut: daging sapi (2.468%), susu (1.628%), daging ayam (1.444%), dan telur (0.781%).

Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perkotaan lebih sensitif terhadap perubahan harga ikan.

Tabel 1. Elastisitas harga sendiri dan harga silang marshalian Telur

Daging

Ayam Daging Sapi Ikan Segar Susu

Telur -0.781 0.153 0.041 0.035 0.082

(0.004) (0.004) (0.002) (0.002) (0.002)

Daging

Ayam -0.178 -1.444 0.059 0.088 0.139

(0.006) (0.009) (0.003) (0.003) (0.004)

Daging Sapi -0.164 0.487 -2.468 0.467 -0.541

(0.034) (0.035) (0.038) (0.023) (0.029)

Ikan Segar -0.263 0.722 0.356 -2.525 0.051

(0.025) (0.025) (0.016) (0.022) (0.021)

Susu -0.309 0.244 -0.118 -0.006 -1.628

(0.010) (0.011) (0.007) (0.007) (0.012)

Sumber: Susenas Maret 2016, analisis data Stata, standard error of mean in parentheses

Elastisitas harga silang menunjukkan keterkaitan antara pangan hewani baik substitusi maupun komplementer. Jika positif berarti ada hubungan substitusi antara pakan hewani.

Sebaliknya bila bernilai negatif berarti terdapat hubungan komplementer antar pangan hewani. Rumah tangga perkotaan Jawa Tengah memiliki elastisitas harga silang yang sebagian besar positif. Artinya, secara umum ada hubungan substitusi antara pangan hewani, hanya telur saja yang bersifat komplementer (saling melengkapi). Dengan kata lain, rumah tangga di perkotaan Jawa Tengah hanya mengonsumsi satu kelompok pangan hewani Ketika terjadi kenaikan harga, dan hanya telur yang dikonsumsi bersamaan dengan pangan hewani lainnya. Di perkotaan Provinsi Jawa Tengah, kenaikan harga daging ayam sebesar 1%

meningkatkan konsumsi ikan sebesar 0.72%, daging sapi sebesar 0.48%, susu sebesar 0.24%, dan telur sebesar 0.15%. Kenaikan harga daging sapi sebesar 1% menyebabkan peningkatan konsumsi ikan sebesar 0.35%, daging ayam sebesar 0.05%, atau telur sebesar 0,04% dan penurunan konsumsi susu sebesar 0.11%. Sedangkan pada saat harga ikan naik sebesar 1%

menyebabkan peningkatan konsumsi daging sapi sebesar 0,47%. Artinya rumah tangga di Perkotaan Jawa Tengah lebih prefer terhadap konsumsi ikan dibandingkan pengan hewani lain. Ketika harga ikan naik, rumah tangga perkotaan beralih pada konsumsi daging sapi, dan

(7)

pada saat harga daging ayam ataupun daging sapi naik maka rumah tangga beralih pada konsumsi ikan.

B. Elastisitas harga hicksian

Elastisitas harga Hicksian (terkompensasi) adalah elastisitas harga jika hanya terdapat pengaruh perubahan harga. Tabel 2 menyajikan elastisitas harga Hicksian, baik elastisitas sendiri maupun silang. Pada elastisitas harga sendiri Hicksian, pangan hewani paling elastis adalah ikan dengan elastisitas harga sebebsar 2.463%, diikuti daging sapi (2.410%), susu (1.416%), ayam (1.010%), dan telur (0.549%). Kenaikan harga ikan sebesar 1% mengurangi permintaan ikan sebesar 2.463%. Penurunan ini jauh lebih besar daripada kenaikan harganya.

Artinya kenaikan harga berpengaruh lebih signifikan terhadap penurunan permintaan. Di antara lima kelompok pangan tersebut, yang paling sensitif terhadap perubahan harga adalah ikan. Dapat diartikan bahwa ketika terjadi kenaikan harga, rumah tangga perkotan Jawa Tengah merespon dengan cepat dalam mengurangi konsumsi ikan.

Tabel 2. Elastisitas harga sendiri dan harga silang hicksian Telur

Daging

Ayam Daging Sapi Ikan Segar Susu

Telur -0.549 0.306 0.053 0.052 0.137

(0.004) (0.004) (0.002) (0.002) (0.002)

Daging

Ayam 0.482 -1.010 0.095 0.138 0.295

(0.006) (0.009) (0.003) (0.003) (0.004)

Daging Sapi 0.932 1.208 -2.410 0.550 -0.281

(0.034) (0.035) (0.038) (0.023) (0.029)

Ikan Segar 0.557 1.261 0.400 -2.463 0.245

(0.024) (0.025) (0.016) (0.022) (0.021)

Susu 0.588 0.835 -0.069 0.063 -1.416

(0.010) (0.011) (0.007) (0.007) (0.012)

(0.010) (0.011) (0.007) (0.007) (0.012)

Sumber: Susenas Maret 2016, analisis data Stata, standard error of mean in parentheses

Semua elastisitas harga silang dari persilangan Hicks adalah positif kecuali untuk susu.

Dapat diartikan bahwa antara pangan hewani satu dan lainnya bersifat substitusi. Dengan kata lain, kenaikan harga suatu pangan sumber hewani meningkatkan permintaan pangan sumber hewani lainnya. Sedangkan daging sapi dan susu memiliki hubungan yang saling melengkapi.

Temuan ini menarik karena hanya terdapat satu komoditas pelengkap. Ikan adalah yang paling elastis di antara semua sumber makanan hewani. Pada saat yang sama, susu bubuk juga bersifat elastis tetapi memiliki kekenyalan ketiga setelah ikan dan daging sapi.

Kenaikan harga susu bubuk menurunkan permintaan susu bubuk sebesar 1.416% dan menurunkan permintaan daging sapi sebesar 0.281%. Peningkatan tersebut mengikuti

(8)

penurunan permintaan daging ayam sebesar 0.295%. Kenaikan harga susu selain mengurangi konsumsi susu, tetapi juga mengurangi konsumsi daging sapi, dan kedua komoditas tersebut digantikan oleh daging ayam. Dapat disimpulkan bahwa rumah tangga di perkotaan Jawa Tengah mengkonsumsi daging ayam jika terjadi kenaikan harga susu bubuk dan daging sapi.

Kenaikan harga ikan sebesar 1% meningkatkan permintaan daging sapi, ayam, dan dan telur berturut-turut sebesar 0.550%, 0.138%, dan 0.053%. Ikan sebagai pengganti (substitusi) daging sapi, ayam, dan telur, sedangkan dengan susu, daging sapi sebagai pelengkap (komplementer). Kenaikan harga daging ayam meningkatkan permintaan ikan segar sebesar 1.261%, daging sapi sebesar 1.208% susu bubuk sebebsar 0.835%, dan telur sebesar 0.306%.

Hampir semua pangan hewani bersifat subtitusi (saling menggantikan). Hal ini dapat diartikan bahwa hampir semua rumah tangga di perkotan Jawa Tengah hanya mengonsumsi satu kelompok pangan hewani, tidak bersamaan karena semua pangan hewani lainnya. Hasil ini mengimplikasikan bahwa kebijakan harga pangan hewani diperlukan untuk menstabilkan harga dan tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Pasalnya, kenaikan harga tersebut menyebabkan penurunan konsumsi pangan hewani sebagai sumber protein rumah tangga.

C. Elastisitas pendapatan rumah tangga perkotaan

Pendapatan merupakan faktor penting dalam permintaan barang dan jasa. Termasuk dalam mengonsumsi pangan hewani, rumah tangga perkotaan pun dibatasi oleh anggaran biaya. Tabel 4 menunjukkan elastisitas pendapatan telur, daging ayam, daging sapi, ikan segar dan susu untuk rumah tangga perkotaan di Provinsi Jawa Tengah. Semua elastisitas pendapatan bernilai positif, artinya peningkatan pendapatan meningkatkan permintaan pangan hewani bagi masyarakat perkotaan. Elastisitas pendapatan daging sapi tertinggi terjadi dengan elastisitas sebesar 2.219%. Artinya, meningkatnya pendapatan rumah tangga masyarakat perkotaan menyebabkan masyarakat cenderung mengkonsumsi daging sapi dibandingkan dengan makanan hewani lainnya.

Telur tidak elastis dengan elastisitas pendapatan rendah sebesar 0.470% di perkotaan Jawa Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa telur merupakan barang normal dan merupakan kebutuhan pokok masyarakat perkotaan di Jawa Tengah. Ayam, daging sapi, ikan, dan susu adalah barang mewah. Di perkotaan Jawa Tengah, bahan pangan hewani yang paling elastis adalah daging sapi sebesar 2.219% diikuti oleh susu, ikan dan daging ayam dengan elastisitas masing-masing sebesar 1.816%, 1.660% dan 1,336%. Melihat bahwa pangan hewani sangat elastis di perkotaan Jawa Tengah, hal ini berarti peningkatan

(9)

pendapatan menyebabkan permintaan pangan hewani masyarakat perkotaan semakin meningkat.

Tabel 3. Elastisitas Pendapatan Pangan Hewani di Perkotaan Provinsi Jawa Tengah Kelompok

pangan hewani

Telur Ayam Daging sapi Ikan segar Susu

Perkotaan 0,470 1,336 2,219 1,660 1,816

(0.001) (0.002 (0.009) (0.008) (0.004)

(0.010) (0.011) (0.007) (0.007) (0.012)

Sumber: Susenas Maret 2016, analisis data Stata, standard error of mean in parentheses

Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini menganalisis pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan lima kelompok pangan hewani di rumah tangga perkotaan Jawa Tengah. Data penelitian menggunakan data sekunder berupa data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga yang dikumpulkan oleh BPS. Pendekatan model permintaan menggunakan QUAIDS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangan hewani paling elastis terhadap perubahan harga adalah kelompok ikan. Preferensi rumah tangga ketika terjadi kenaikan harga daging ayam ataupun daging sapi adalah beralih pada konsumsi ikan. Namun ketika harga ikan naik, rumah tangga memilih beralih pada konsumsi daging sapi. Di sisi lain pada saat terjadi peningkatan pendapatan, rumah tangga cenderung meningkatkan konsumsi pangan hewani terutama pada komoditas daging sapi. Hasil elastisitas silang pangan hewani adalah positif, artinya antar kelompok pangan hewani bersifat substitusi dan rumah tangga di Perkotaan hanya mengonsumsi satu jenis pangan hewani saja. Melihat hal tersebut diperlukan kebijakan harga pangan hewani supaya menjaga harga tetap stabil dan tidak meroket, sebab kenaikan harga berdampak pada penurunan konsumsi pangan hewani.

Ucapan Terimakasih

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada LPPM Universitas Islam Malang yang telah memberikan pendanaan melalui Hibah Penelitian (Hi-Ma) Tahun Anggaran 2019 dan kepada Tim Tabulasi dan Analisis data. Tak luput terima kasih kami ucapkan kepada segenap Panitia Seminar Nasional Fakultas Pertanian, UNS yang telah menyelenggarakan kegiatan seminar ini.

(10)

Daftar pustaka

Abdulai, A., & CroleRees, A. (2001). Determinants of income diversification amongst rural households in Southern Mali. Food policy, 26(4), 437–452.

Aftab, M. R., Rehman, M., Abdul, C., & Faheem, M. (2015). Food prices and its impact on poverty in Pakistan. Pakistan Journal of Social Sciences (PJSS), 35(2).

Akaichi, F., & Revoredo-Giha, C. (2014). The demand for dairy products in Malawi. African Journal of Agricultural and Resource Economics.

Alemayehu Seyoum, T., Kibrom, T., Nigussie, T., Seneshaw, T., Zelekawork, P., &

Alemayehu, T. (2011). Food demand elasticities in Ethiopia: Estimates using household income consumption expenditure (HICE) survey data. ESSP working papers.

Amadou, Z. (2019). Food and income diversification decisions as climate change adaptation strategies: Evidence from Kalfou and Tabalak local governments, Tahoua State, Niger Republic. Journal of Development and Agricultural Economics, 11(7), 152–161.

Anindita Putri. (2012). Hubungan tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, kecukupan protein & zinc dengan stunting (pendek) pada balita usia 6-25 bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(2), 617-626.

Anindita, R., Sadiyah, A. A., Khoiriyah, N., & Nendyssa, D. R. (2020). The demand for beef in Indonesian urban. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 411(1), 012057.

Arsyad, J. F., Samsi, A.-S., Astari, C., Sakaria, F. S., Annisa, R. N., & Unde, A. A. (2020).

Case study of toddlers stunting care practices in coastal communities. Enfermeria clinica, 30, 462–465.

Banks, J., Blundell, R., & Lewbel, A. (1997). Quadratic Engel curves and consumer demand.

Review of Economics and statistics, 79(4), 527–539.

BPS. (2016). Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia. Berdasarkan Hasil Susenas Maret 2016. BPS-Statistik Indonesia, Jakarta.

Deaton, A., & Muellbauer, J. (1980). An almost ideal demand system. The American economic review, 70(3), 312–326.

Farisni, T. N., Syahputri, V. N., Lestary, L. A., & Helmyati, S. (2020). Implementing precede-proceed model toward the mothers perception on the importance of feeding of home-made complementary food to wasting and stunting toddlers. Current Research in Nutrition and Food Science Journal, 8(2), 489–495.

Giwa, F., & Choga, I. (2020). The impact of food price changes and food insecurity on economic welfare: a case of selected Southern African Countries. Journal of Reviews on Global Economics, 9, 77–93.

Ivanic, M., & Martin, W. (2014). Short-and long-run impacts of food price changes on poverty. The World Bank.

Kharisma, B., Alisjahbana, A. S., Remi, S. S., & Praditya, P. (2020). Application of the Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) model in the demand of the household animal sourced food in West Java. Agris on-line Papers in Economics and Informatics, 1, 23–35.

Khoiriyah, N., Anindita, R., Hanani, N., & Muhaimin, A. W. (2020). Animal food demand in Indonesia: A Quadratic Almost Ideal Demand System Approach. AGRIS on-line Papers in Economics and Informatics, 12(665-2020–1237), 85–97.

Sa’diyah, A. A., Anindita, R., Hanani, N., & Muhaimin, A. W. (2019). The strategic food demand for non poor rural households in Indonesia. EurAsian Journal of BioSciences, 13(2), 2197–2202.

(11)

Santi, M. W., Triwidiarto, C., Syahniar, T. M., Firgiyanto, R., & Oktafa, H. (2021). Moringa chicken nugget as supplementary food for toddler to prevent stunting. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 672(1), 012065.

Sari, E. M., Juffrie, M., Nurani, N., & Sitaresmi, M. N. (2016). Asupan protein, kalsium dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 12(4), 152-159.

Sun, S. (2020). An alternative approach for demand estimation. Available at SSRN 3550415.

Referensi

Dokumen terkait

The results of this study are: parents apply democratic parenting, parents can accept the child’s condition, and the supporting factors are family and friends.. Parents also

Menurut (Arsyad, 2013), berpendapat bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, motivasi