• Tidak ada hasil yang ditemukan

persetujuan pembimbing - repository iiq - IIQ Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "persetujuan pembimbing - repository iiq - IIQ Jakarta"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi dengan judul “Analisis Ayat-Ayat Mutasyâbihât Lafzhi pada Kisah Nabi Mûsa A.S. (Kajian Telaah Tematik- Semantik)” yang telah disusun oleh Kudsiah nomor induk mahasiswa: 12210478 telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan ke siding munaqasyah.

Jakarta, 15 Agustus 2016 Pembimbing

Dr. M. Ulinnuha, Lc., M.A.

(2)

ii

MUTASYÂBIHÂT LAFZHI PADA KISAH NABI MUSA A.S. (KAJIAN TELAAH TEMATIK-SEMANTIK)” oleh Kudsiah dengan nomor induk mahasiswa: 12210478 telah diujikan pada siding Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2016.

Jakarta, 15 Agustus 2016 Dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

Dra. Hj. Maria Ulfah, M.A.

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Dra. Hj. Maria Ulfah, M.A. Dra. Ruqayah Tamami

(3)

iii

Dr. H. Ahmad Fudhaili, M.A. Ali Mursyid, M.Ag.

Pembimbing

Dr. H. Ulinnuha, Lc., M.A.

(4)

iv

Nama : Kudsiah

NIM : 12210478

Tempat/ Tanggal Lahir : Pancor 25 November 2016 Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ANALISIS AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT LAFZHI PADA KISAH NABI MUSA A.S. (KAJIAN TELAAH TEMATIK- SEMANTIK)” adalah benar-benar asli karya saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 15 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan

Kudsiah

(5)

v

ILMUMU BAGAIKAN GARAM” (SYAIKH ZAINUDDIN ABDUL MADJID)

(6)

vi

rahmah dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul

“Analisis Ayat-Ayat Mutasyabihat Lafzhi pada Kisah Nabi Musa A.S. (Kajian Telaah Tematik-Semantik)” dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Amin.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program S1 (Strata Satu) Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis IIQ Jakarta. Dalam penelitian ini, penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi kajian maupun hasil penelitian, mengingat singkatnya waktu dan kondisi penulis sebagai pemula. Akan tetapi, penelitian ini merupakan usaha yang sudah dilakukan penulis secara maksimal.

(7)

vii

materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, M.A., selaku Rektor IIQ Jakarta;

2. Dra. Hj, Maria Ulfah, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta;

3. Dr. H. Ulinnuha, Lc., M.A., selaku dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih telah dengan sabar dan ikhlas membantu dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran-saran yang sangat membantu penulis selama menyusun skripsi ini;

(8)

viii

memotivasi penulis menyelesaikan skripsi ini;

5. Dosen-dosen IIQ Jakarta yang telah mendedikasikan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan;

6. Pimpinan dan karyawan perpustakaan IIQ Jakarta, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), perpustakaan umum UIN Jakarta, perpustakaan Islam Iman Jama, yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada penulis untuk membaca dan melakukan penelitian dalam rangka menyelesaikan skripsi ini;

7. Kepada kedua orang tua, mamaq Hj. Khadijah wanita hebat yang penuh dengan semangat, perhatian, dan dukungan, bapak H. Ghufron (alm) dan mertua, ayahanda TGH. Abdul Aziz Ibrahim Abdul Madjid, Hj.

Khadijah (Inaq Tuan) yang tidak henti-hentinya mendoakan dan memotivasi dalam setiap langkah dan

(9)

ix

8. Suami tercinta Muh. Khairussibyan, S. Pd., M.A., motivator sejati yang mengajarkan arti kesuksesan, kesabaran, dan keikhlasan serta memberikan kasih sayang dan perhatian selama ini. Semoga Allah Swt.

senantiasa melindungi setiap langkahmu suamiku; dan 9. Teman-teman seperjuangan mahasiswi Ushuluddin IIQ

angkatan 2012.

Akhirnya penulis berharap, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya, khususnya bagi penulis sendiri. Segala bantuan pemikiran dari semua pihak, semoga menjadi amal baik dan balasan pahala di sisi Allah Swt. Amin.

Jakarta, 15 Agustus 2016 Penulis,

Kudsiah

(10)

x

PEMBIMBING……….. i

LEMBAR PENGESAHAN…………...………… ii

PERNYATAAN PENULIS……..……… iv

MOTTO…….……… v

KATA PENGANTAR………..…………. vi

DAFTAR ISI……….……… x

PEDOMAN TRANSLITERASI………..…. xiv

ABSTRAK………..……….. xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang….………. 1

B. Identifikasi Masalah………. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…… 11

D. Tinjauan Pustaka……..……… 12

E. Metodologi Penelitian………..…… 17

F. Teknik dan Sistematika Penulisan.. 21

(11)

xi

A. Muhkam dan Mutasyâbih ……… 26 B. Pengertian Mutasyâbihât Lafzhi……….. 27 C. Sebab-Sebab Adanya Ayat-Ayat

Mutasyâbihât dalam Al-Quran……….… 34 D. Ragam Ayat Mutasyâbihât

Lafzhi dalam Al-Quran………... 41 E. Pandangan Orientalis dan Ulama

Terkait Ayat Mutasyâbihât

Lafzhi……….….…. 50

F. Perhatian Ulama terhadap Ayat Mutasyâbihât Lafzhi…………... 56 BAB III KONSEP KISAH AL-QURAN

A. Pengertian Kisah……….. 72 B. Unsur-Unsur Kisah………….…………. 77

(12)

xii D. Pengulangan Kisah dan

Hikmahnya………..….. 95

BAB IV ANALISIS AYAT-AYAT

MUTASYÂBIHÂT PADA KISAH NABI MUSA A.S.

A. Mengidentifikasi dan Menghimpun Ayat-Ayat Mutasyâbihât……... 107 B. Tabel Ayat-Ayat Mutasyâbihât……. 109

1. Redaksi Ibdal………. 109

2. Redaksi Ziyadah wa Nuqshan…….. 113 3. Redaksi Taqdim wa Ta’khir……….. 116

4. Redaksi Khitab……… 117

C. Rahasia dan Hikmah Ayat Mutasyâbihât pada Kisah Nabi

Musa A.S………. 118

(13)

xiii

B. Saran……… 180 DAFTAR PUSTAKA ………... 182

(14)

xvi

Pemaparan kisah dalam Al-Qur’an banyak yang dilakukan secara berulang-ulang di beberapa tempat. Salah satu cerita yang dikemukakan Al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa a.s. Kisah tersebut seringkali disajikan diberbagai bagian dalam Al-Qur’an dan tersebar dalam beberapa surat. Seorang orientalis, Richard Bell menjelaskan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang sering diulang, baik pengulangan itu sama secara harfiah maupun dengan sedikit perubahan dalam susunan kata. Berangkat dari permasalahan di atas, penulis terdorong untuk memaparkan hikmah dan rahasia ayat-ayat yang beredaksi mirip (mutasyâbih lafzhî) pada kisah Nabi Musa a.s. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan semantik (linguistik). Penulis menggunakan metode komparatif (muqoron) dan metode tematik (maudhu’i) di dalam mengumpulkan ayat-ayat mutasyâbihat (redaksi mirip). Al- Qur’an menggunakan redaksi yang mirip bukanlah tanpa sebab, melainkan di balik kemiripin tersebut tersimpan hikmah yang luar biasa. Di antara hikmah dan rahasia ayat-ayat beredaksi mirip pada kisah Nabi Musa a.s, dari empat model

(15)

xvii

sebagai pemisah antar ayat, 2) Sisi Ziyâdah wa Nuqshân, hikmahnya adalah porsi tersebut layak diberikan karena melihat hubungan (munasabah) sebelum dan sesudah redaksi yang mengalami ziyâdah wa nuqshân, 3) Sisi Taqdim wa Ta’khir, hikmahnya untuk menyesuaikan nada atau bunyi fâshilah dan sebagai penafsir pada ayat yang lain, 4) Sisi Khitâb, hikmahnya adalah variasi ungkapan atau pembicaraan memberi kesan, bahwasanya semua ungkapan tersebut benar- benar diucapkan semua atau tidak.

(16)

1 A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab yang memancar darinya aneka ilmu keislaman, karena kitab suci itu memotivasi untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Kitab suci ini juga dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab petunjuk yang hendaknya dipahami. Maka dalam konteks itulah lahir usaha untuk memahaminya.1

Tidak ada bacaan semacam Al-Qur’an yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan tidak dapat menulis dengan aksaranya. Tidak ada bacaan melebihi Al-Qur’an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, maupun saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya. Tiada bacaan seperti Al-Qur’an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksinya yang tersurat, tersirat bahkan sampai

1 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 5

(17)

kesan yang ditimbulkannya. Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.2

Kesempurnaan petunjuk Al-Qur’an tercermin dalam tema-tema yang dikandungnya mencakup seluruh kehidupan manusia, seperti pola hubungan dengan Tuhan, hubungan antara manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Ajaran-ajaran Al-Qur’an yang memuat petunjuk bagi manusia disampaikan secara variatif, ada yang berupa informasi, larangan, perintah, dan juga berbentuk kisah-kisah yang mengandung pelajaran bagi manusia.3

Adapun tujuan penyampaian kisah dalam Al- Qur’an menurut Shalah al-Khalidy adalah agar manusia mengetahui dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.4

2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2014), h. 3

3Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Primayasa, 2003), h. 117

4 Shalah al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an Pelajaran Bagi Orang-Orang Terdahulu, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 27

(18)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kisah dalam Al-Qur’an memegang peranan yang penting dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Allah kepada manusia.

Kisah juga memiliki hikmah yang perlu digali oleh manusia sebagai makhluk yang berakal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 111 yang berbunyi:

















































“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.(Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang- orang yang beriman.”(QS. Yusuf [12]: 111)

Pemaparan kisah dalam Al-Qur’an banyak yang dilakukan secara berulang-ulang di beberapa tempat.

Manna’ al-Qattan menyatakan bahwa, “Pengulangan kisah- kisah Al-Qur’an terkadang dikemukakan secara ringkas, terkadang secara panjang lebar, kadang di suatu tempat ada

(19)

yang didahulukan dan kadang di lain tempat ada yang diakhirkan.5

Ada nasihat dan pelajaran berharga dalam kisah- kisah Al-Qur’an. Allah tidak menurunkannya dengan sia- sia. Generasi demi generasi membaca Al-Qur’an dan mereka selalu mendapatkan kekayaan berlimpah di dalamnya. Itu membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat abadi.6

Beberapa ayat Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah yang menuntut pembacanya untuk berpikir dan mengambil pelajaran dari kandungan Al-Qur’an. Allah menyampaikan semua kisah itu agar menjadi pedoman dan petunjuk bagi umat manusia mengenai akhlak dan perilaku terpuji. Dia hendak menyeru kita agar menapaki jalan keimanan yang benar, akhlak mulia, dan ilmu bermanfaat. Semua itu dituturkan dalam ungkapan yang indah serta gaya tutur yang memesona setiap orang. Namun, di tengah gemuruh

5 Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2002), h. 433

6 Fuad al-Aris, Hidup Pelajaran Surah Yusuf, (Jakarta:

Zaman, 2013), h. 9

(20)

peradaban modern, banyak manusia yang tak lagi memedulikan nilai penting kisah-kisah kitab suci. Mereka mengabaikan cerita-cerita Qur’ani yang sarat kebijaksanaan dan keutamaan. Mereka lebih memilih kisah-kisah tentang kebenaran dan kebatilan gubahan manusia, padahal banyak di antara kisah-kisah itu yang salah menuturkan fakta atau mengacaukan batas antara yang hak dan yang batil.

Meskipun saat ini Al-Qur’an masih sering diperdengarkan di masjid-masjid, madrasah, dan majelis-majelis ilmu, sedikit sekali di antara kaum muslim yang mau memperhatikan secara seksama kisah-kisah di dalamnya, lalu mengambil pelajaran darinya.7

Salah satu cerita yang dikemukakan Al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa as. Kisah tersebut seringkali disajikan diberbagai bagian dalam Al-Qur’an dan tersebar dalam beberapa surat. Kisah Nabi Musa as merupakan salah satu kisah yang paling banyak diulang dalam Al- Qur’an. Bahkan ada sebuah pernyataan yang dikutip oleh Rosihon Anwar dalam bukunya Samudera Al-Qur’an, yang

7 M.A. Jadul Maula, Cerita-Cerita Penuh Inspirasi Dari Kitab Suci, Terj. Abdurahman Assegaf, (Jakarta: Zaman, 2015), h. 10

(21)

menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah milik Nabi Musa as.”8

Fenomena pengulangan kisah memiliki tujuan tertentu.Menurut Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an, menyatakan bahwa “Al-Qur’an menempuh berbagai cara guna mengantarkan manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya.”9

Di dalam Al-Qur’an dijumpai ayat-ayat yang menggunakan sejumlah kata yang sama, namun susunan atau urutan kata-katanya mengalami sedikit perbedaan.

Demikian pula jumlah kata yang dipakai di dalam suatu redaksi, ada yang tak sama dengan yang ditemukan di dalam redaksi lain yang mirip dengannya; dan ada pula di antara dua atau lebih dari redaksi yang berniripan itu terdapat perbedaan kecil dari segi redaksinya, atau kosakatanya sama, tapi penempatannya di dalam suatu ayat

8 Rosihon Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 61

9 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 11

(22)

membawa pesan tersendiri yang berbeda dari redaksi lain yang mirip dengannya.10

Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat, salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara.

Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar ke-Maha Kuasaan dan ke-Maha Tahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia.11Al-Qur’an memiliki acuan tersendiri, sistematika penyusunannya tak sama dengan karangan manusia. Gaya bahasa, susunan kata dan kalimatnya sudah baku dan sempurna; sedikit pun tak boleh direvisi atau diubah.12Meski Tuhan sudah memberi garansi, bahwa tidak akan ada kejanggalan dan tidak pula ada kesalahan dalam Al-Qur'an, tetapi kenyataan menunjukkan adanya

10 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. Ke-II, h. 21

11M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:

Mizan, 2014), h. 27

12Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Cet. Ke- II, h. 5

(23)

ayat-ayat Al-Qur'an yang beredaksi mirip, di dalam bahasa Arab disebut ayat-ayat mutasyâbihât lafzhi.

Upaya menjaga penafsiran Al-Qur’an dari berbagai penyimpangan, maka salah satu unsur yang patut dikaji ialah redaksi ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Diantara redaksi ayat-ayat tersebut yang menimbulkan persoalan dalam pemahaman ialah redaksi yang tampak bermiripan satu sama lain. Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang beredaksi mirip adalah suatu kenyataan yang tak dapat dibantah.13

Membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang beredaksi mirip sangat penting agar diperoleh suatu pemahaman yang benar dan akurat. Untuk membuat perbandingan di antara redaksi-redaksi yang mirip itu, paling tidak ada dua pendekatan yang perlu dilakukan oleh mufasir. Pertama melalui pendekatan linguistik, dan kedua melalui pendekatan ilmu qiraat.14

13Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Cet.

Ke-II, h. 8

14 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Cet.

Ke-II, h. 95

(24)

Namun yang menjadi pokok permasalahan di dalam tulisan ini ialah bagaimana memahami ayat-ayat yang beredaksi mirip pada kisah Nabi Musa as., dengan pendekatan semantik.

Alasan penulis membahas analisis semantik ayat- ayat yang beredaksi mirip (mutasyâbihât lafzhi) pada kisah Nabi Musa as., adalah adanya kesan kontradiktif antar ayat yang beredaksi mirip (mutasyâbihât lafzhi), sehingga layak dipertanyakan, apa ada yang janggal dalam pembahasan antar ayat yang satu dengan yang lain, atau ada rahasia makna yang memang mengharuskan perbedaan redaksi tersebut, meski tajuk yang digagas tidak jauh beda.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat ditemukan beberapa masalah yang patut untuk dibahas, diantaranya adalah:

a. Pengertian ayat-ayat mutasyâbihât lafzhi

b. Pandangan ulama terhadap redaksi yang mirip (mutasyâbihât lafzhi)

(25)

c. Mengidentifikasi dan menghimpun ayat-ayat mutasyâbihât lafzhi

d. Perbandingan redaksi yang mirip (mutasyâbihât lafzhi)

e. Analisis redaksi yang mirip (mutasyâbihât lafzhi) f. Pendekatan dan metode dalam menganalisis ayat-

ayat yang beredaksi mirip pada kisah Nabi Musa as.

g. Hikmah dan rahasia dibalik kisah Nabi Musa as., yang beredaksi mirip.

2. Batasan Masalah

Dalam sebuah penelitian, keluasan masalah dan lingkup yang terkait dengan objek yang diteliti adalah sebuah keniscayaan sehingga sebuah penelitian mutlak memerlukan batasan masalah yang akan diteliti. Selain bertujuan untuk menjadikan kajian lebih fokus dan terarah juga sebagai acuan pencarian data agar terarah dan tepat sasaran atau dengan kata lain valid dan objektif. Jadi, pembatasan masalah pada penelitian ini adalah rahasia dan hikmah ayat-ayat

(26)

mutasyâbihât lafzhi (redaksi mirip) pada kisah Nabi Musa as., melalui pendekatan semantik

3. Perumusan Masalah

Sedangkan perumusan masalahnya dinyatakan dalam bentuk pertanyaan mendasar yaitu: Apa hikmah dan rahasia ayat-ayat yang beredaksi mirip pada kisah Nabi Musa as.?`

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

Mengetahui hikmah dan rahasia ayat-ayat yang beredaksi mirip pada kisah Nabi Musa as

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menyajikan warisan keilmuan Islam dalam bentuk kajian tafsir bagi para pembaca luas, sehingga dapat membantu dalam memahami kandungan ayat-ayat Al- Qur’an, terutama tentang ayat-ayat mutasyâbihât lafzhi.

2. Menambah keimanan dengan mengetahui bahwa Al- Qur’an mempunyai sisi kemukjizatan dari uslub bahasanya.

(27)

3. Dapat mengurangi subjektif ketika menafsirkan ayat- ayat Al-Qur’an.

4. Mendapat gambaran yang lebih lengkap mengenai ayat- ayat Al-Qur’an yang beredaksi mirip dan sekaligus diharapkan dapat mengetahui makna tersirat yang dikandungnya.

5. Memudahkan para penghapal Al-Qur’an untuk mengulang (takrîr) dan ketelitian ketika memahami dan mengingat letak ayat-ayat beredaksi mirip (mutasyâbihât lafzhi)

D. Tinjauan Pustaka

Pembahasan tentang kisah Nabi Musa as.,dalam Al-Qur’an banyak dilakukan, baik dalam kitab tafsir maupun dalam buku-buku mengenai kisah-kisah Al- Qur’an, namun sejauh ini, menurut pengamatan peneliti, belum ditemukan pembahasan khusus tentang kajian kritis terhadap ayat-ayat mutasyabihat (redaksi yang mirip) pada kisah Nabi Musa as., melalui pendekatan semantik, berdasarkan kajian pustaka yang penulis lakukan, penulis menemukan karya yang pembahasannya hampir sama.

(28)

Berikut ini adalah penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini adalah:

1. Pada tahun 2009, karya tulis yang berjudul Pengulangan Kisah Nabi Musa a.s, dalam Al-Qur’an dan Relevansinya dengan Repitisi Pembelajaran karya Masmukhah berupa tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tesis ini membahas tentang pengulangan kisah Nabi Musa as yang terdapat pada surat Thaha, asy-Syu’ara, al-Qashash dan an-Nazi’at, yang dikaitkan dengan repetisi pembelajaran sehari-hari dalam pendidikan.15

2. Pada tahun 2009, karya tulis yang berjudul Analisis Kisah Nabi Musa Versus Fir’aun dalam Al-Qur’an Al- Karim karya Ahmad Zubeir S, berupa SkripsiUniversitas Sumatera Utara, Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra.Pada penelitian ini, penulis menggunakan teori jaudah dan khalafulloh, dengan cara mendeskripsikan sosok tokoh yang

15Masmukhah, “Pengulangan Kisah Nabi Musa as dalam Al-Qur’an dan Relevansinya dengan Repitisi Pembelajaran,”

Tesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Tidak diterbitkan (t.d)

(29)

diperankan oleh Nabi Musa as, model dan tujuan kisah tersebut dalam Al-Qur’an.16

3. Pada tahun 2013, karya tulis yang berjudul Kontradiksi dalam Al-Qur’an (Manhaj Tawfiqiy Ayat-Ayat Muta’aridah dan Mukhtalifah) karya Ach. Musta’in, mahasiswa program doktor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Program studi Ilmu Ke- Islam-An Konsentrasi Pemikiran Islam. Dalam disertasi ini dijelaskan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat istilah mukhtalifah fi al-khabar punya banyak varian yang secara ringkas dipilah menjadi tiga, yaitu: pertama, bi al-ziyâdah wa al-nuqhsân, yakni dengan penambahan kata dan pengurangan kata. Pada ayat yang satu ada lafaz tertentu dan pada ayat yang lain lafaz tersebut ditiadakan. Kedua, bi al-taqdîm wa al-ta’khîr, yaitu dengan mendahulukan satu kata dan mengakhirkan yang lain. Kata yang sama pada satu ayat ditaruh di depan dari pada kata yang lain, namun di ayat yang lain

16Ahmad Zubeir S, “Analisis Kisah Nabi Musa Versus Fir’aun dalam Al-Qur’an Al-Karim,” Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2009, t.d

(30)

justru sebaliknya. Ketiga bi al-tabdîl, yakni ada penggantian kata yang berbeda pada ayat yang satu dengan ayat yang lain.17

Maka dengan penjelasan tersebut penelitian ini terfokuskan dalam menghasilkan teori memahami ayat yang beredaksi mirip yang terkadang dinilai kontradiksi namun sebenarnya tidak, ini berbeda dengan skripsi yang akan disusun oleh penulis yang menjelaskan rahasia dan hikmah ayat-ayat yang beredaksi mirip pada kisah Nabi Musa a.s, dengan pendekatan semantik. Adapun persamaannya dengan penelitian di atas adalah model penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi ayat-ayat yang beredaksi mirip seperti ziyâdah, nuqshân, taqdîm, ta’khîr.

4. Pada tahun 2014, karya tulis yang berjudul Keberagaman Nabi Musa dalam Al-Qur’an karya Adrika Fithrotul Aini, SkripsiUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Al-Qur’an dan Tafsir. Pada

17 Ach Musta’in, “Kontradiksi dalam Al-Qur’an (Manhaj Tawfiqiy Ayat-Ayat Muta’aridah dan Mukhtalifah,” disertasi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013, t.d

(31)

penelitian ini, penulis meneliti pandangan Al-Qur’an terhadap Nabi Musa dalam hal geneologi, yang mencakup akidah, syariat, akhlak Nabi Musa as.18 5. Pada tahun 2014, karya tulis yang berjudul Tikrar Kisah

Nabi Musa a.s, dalam Al-Qur’an karya Asthi Fathimah Hamdiyah jurusan Ushuludin Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta berupa skiripsi, mempunyai objek yang sama dengan pembahasan yang akan dikaji. Namun, dalam skripsi ini lebih ditekankan pada pengulangan (tikrâr) kisah Nabi Musa a.s dalam lima surat yaitu, surat al- A’raf, Yunus, Thaha, asy-Syu’ara dan al-Qashash dengan pendekatan kesejarahan. Sedangkan pada tulisan penulis ditekankan ayat-ayat yang beredaksi mirip (mutasyabihat) bukan ayat-ayat beredaksi sama yang di ulang-ulang (tikrâr) dan pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan semantik.19

18Adrika Fithrotul Aini, “Keberagaman Nabi Musa dalam Al-Qur’an,” skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014, t.d

19Asthi Fathimah Hamdiyah, “Tikrar kisah Nabi Musa as dalam Al-Qur’an,” skripsi, Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, 2014, t.d

(32)

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan penulis adalah penelitian pustaka (library research) yaitu suatu rangkaian kegiatan yang berkenaan dengan pengumpulan data pustaka.20Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis dokumen. Dengan studi dokumentasi ini, peneliti dapat memperoleh data atau informasi dari berbagai sumber tertulis atau dari sumber data yang ada pada informan.21

3. Sumber data

Untuk mendapatkan data dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan sumber data

20Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta:

Yayasan Obor, 2004), h. 3

21Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 134

(33)

yang relevan dengan skripsi ini. Adapun sumber- sumber primer dalam penulisan ini adalah:

a. Al-Qur’an dan Terjemahnya b. Kitab-kitab tafsir

Sumber-sumber sekunder, diantaranya adalah:

a. Kaidah tafsir

b. Kamus Arab-Indonesia, kamus Indonesia-Arab c. Ensiklopedi Al-Qur’an

d. Akses Internet 4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses kategori urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, yang membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis.22Teknik analisis ini digunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu berusaha menggambarkan apa yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, prosedur yang ada yang berlangsung serta yang

22Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 136

(34)

berkembang.23Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan semantik yaitu ilmu tentang tata makna atau pengetahuan tentang seluk beluk dan pergeseran makna kata-kata. Setiap kata merupakan wadah dari makna-makna yang diletakkan oleh pengguna kata lain.24 Menurut Toshihiko Izutsu25semantik merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan

23Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 119

24Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2015), h. 105

25Toshihiko Izutsu lahir di Jepang pada tanggal 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli 1993.Izutsu belajar di Fakultas Ekonomi di Universitas Keio, Jepang. Ia menjadi asisten peneliti sejak tahun 1937 setelah lulus dengan gelar B.A. Pada tahun 1958 ia telah berhasil menyelesaikan terjemahan pertamanya, Al-Quran dari bahasa Arab ke bahasa Jepang yang terkenal dengan keakuratan linguistiknya dan banyak digunakan sebagai referensi karya- karya ilmiah dan tugas-tugas akademik. Atas saran dari Shumei Okawa, Izutsu belajar mengenai Islam di East Asiatic Economic Investigation Bureau di tahun yang sama.

(35)

objek semantik.26 Dalam metode semantik Izutsu menggunakan dua tahapan dalam mengkaji dan menganalisa struktur suatu kata. Pertama, di cari makna dasar dan makna relasional dari suatu kata.

Makna dasar kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri yang selalu terbawa dimana pun kata kata itu diletakkan, sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus.27 Kedua, Izutsu menjelaskan pandangan keduniaan yang dimiliki Al-Qur’an. Kata- kata yang memainkan peranan penting yang sangat menentukan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia Al-Qur’an disebut istilah-istilah kunci Al-Qur’an oleh Izutsu. Contoh istilah-istilah kunci Al-Qur’an adalah Allâh, islâm, îmân, nabîy, rasûl

26 ToshihikoIzutsu, Relasi Tuhan dan Manusia:

Pedekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein dkk. (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), Cet. Ke-II, h. 2

27ToshihikoIzutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pedekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein dkk, Cet.

Ke-II, h. 12

(36)

dan lainnya.28 Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode komparatif (muqoron) yaitu membandingkan teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan dan kemiripan redaksi yang beragam, dalam satu kasus yang sama, atau diduga sama.29 Penulis juga menggunakan metode tematik (maudhu’i) di dalam mengumpulkan ayat-ayat mutasyâbihat dengan tema kisah Nabi Musa as.

F. Teknik dan Sistematika Penulisan

Adapun teknik penulisan ini penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta yang diterbitkan oleh IIQ press tahun 2011.

Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang apa yangg diuraikan dalam tulisan ini dan agar

28ToshihikoIzutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pedekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein dkk, Cet.

Ke-II, h. 18

29Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Cet.

Ke-II, h. 59

(37)

pembahasannya lebih terarah dan sistematis, maka pembahasan dibagi menjadi lima bab, yaitu:

Bab pertama: yaitu pendahuluan akan dikemukakan pengantar dan kerangka landasan yang akan mengarah pada kajian bab-bab selanjutnya. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah agar lebih spesifik dalam penentuan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, jenis penelitian, metodologi penelitian kemudian teknik dan sistematika penelitian.

Bab kedua: untuk mengantarkan penulis kepada kajian yang mendalam tentang analisis ayat-ayat beredaksi mirip dan menyingkap rahasia dan hikmah yang terkandung, maka pengetahuan tentang ilmu mutasyâbih lafzh sangat di perlukan. Oleh sebab itu penulis akan menguraikannya pada bab duaberisi tentang Pengertian Mutasyâbihât Lafzhi, Sebab Adanya Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Al-Qur’an, Ragam Ayat Mutasyâbihât Lafzhi dalam Al-Qur’an, Pandangan Orientalis dan Ulama Terkait Ayat Mutasyâbihât Lafzhî, Perhatian Ulama Terhadap Ayat Mutasyâbihât Lafzhî.

(38)

Bab ketiga, tema pada penulisan ini adalah berupa kisah Nabi Musa a.s, maka penulis menguraikan beberapa konsep kisah, mulai dari pengertian kisah, unsur kisah, macam-macam kisah, pengulangan kisah dan hikmahnya.

Bab keempat, langkah pertama yang harus diterapkan dalam proses menafsirkan ayat-ayat yang beredaksi mirip ialah melakukan identifikasi terhadap ayat- ayat yang mempunyai kemiripan. Langkah kedua dalam metode menafsirkan ayat-ayat yang beredaksi mirip adalah melakukan perbandingan di antara redaksi-redaksi yang mirip tersebut. Langkah ketiga adalah menganalisis redaksi-redaksi yang mirip tersebut. Penulis menguraikan langkah-langkah tersebut pada bab tiga, berisi tentang pengidentifikasian dan menghimpun ayat-ayat Mutasyâbihât Lafzhi yang terdiri dari:1. Penggantian (Ibdâl), 2. Bertambah dan Berkurang (Ziyâdat wa Nuqshân), 3. Mendahulukan dan Mengakhirkan (Taqdim wa Ta’khir), 4. Perbedaan Ungkapan (Khitâb), Perbandingan Ayat-ayat Mutasyâbihât Lafzhi berupa tabel, Hikmah dan Rahasia Ayat-ayat Mutasyabihât Lafzhi pada Kisah Nabi Musa a.s.

(39)

Bab kelima, merupakan bab yang terakhir dari penyusunan skripsi. Berisi tentang beberapa kesimpulan yang berisikan penegasan jawaban terhadap masalah- masalah yang diutarakan pada bab-bab terdahulu. Selain itu dikemukakan pula sejumlah saran sebagai pijakan sementara untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berkenaan dengan masalah yang dikaji. Pada bagian akhir penulisan akan mencantumkan daftar pustaka yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

(40)

26 BAB II

DISKURSUS MUTASYÂBIHÂT A. Muhkan dan Mutasyâbihât

Menurut az-Zarqani muhkam adalah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun secara ta‟wil. Sedangkan mutasyâbihât menurut beliau adalah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Di antara sarjana muslim yang cukup intens membicarakan persoalan muhkam-mutasyabih adalah „Ali bin Hamzah al-Kisa‟i (w. 179 H) dengan karyanya yaitu kitab Al- Mutasyâbihât fi Al-Qur‟an. Kitab ini dianggap penting karena berupaya menghimpun teks-teks Al-Qur‟an yang masuk ke dalam kategori mutasyabih.1

Apabila kata mutasyâbah dalam bentuk tunggal atau mutasyâbihât dalam bentuk plural dihubungkan dengan Al-Qur‟an secara bebas menjadi mutasyâbih Al-

1 Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur‟an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), h. 119

(41)

Qur‟an, maka kalimat itu merujuk kepada makna dan kata, yaitu mutasyâbih al-ma‟na dan mutasyâbih al-lafzh.

Mutasyâbih al-ma‟na adalah kebalikan dari ayat-ayat muhkam, atau ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui Allah. Maka dari itu, penulis tidak membahas ayat mutasyâbih al-ma‟na secara panjang lebar, dikarenakan hanya terfokus pada ayat-ayat mutasyâbih al- lafzh.

B. Pengertian Mutasyâbihât Lafzhî

Mutasyâbihat Lafzî terdiri dari gabungan dua kata, mutasyâbihat dan lafzhî. Secara morfologi (sharf) mutasyâbihat adalah bentuk isim fâ‟il dari kata kerja yang terdiri dari lima huruf (fî‟ilkhumâsî), berwazan tafa‟ala- yatafa‟alu-tafa‟ulan-mutafa‟ilun(tasyâbaha-yatasyâbahu- tasyâbuhan-mutasyâbih). Ibnu Fâris mengatakan bahwa kata yang terdiri dari huruf syîn, bâ‟, dan hâ‟ tersebut awalnya menunjukkan makna sesuatu yang memiliki keserupaan baik dalam bentuk ataupun sifatnya.

Sedangkan menurut Râghib al-Asfahâni menjelaskan bahwa kemiripan dan keserupaan tersebut terjadi dalam segala hal, dalam konteks kalimat kemiripan itu bisa

(42)

terjadi dalam redaksi ataupun maknanya. Keserupaan yang terjadi mengakibatkan sulitnya membedakan antara kedua hal yang bermiripan tersebut.2 Menurut Ibnu Manzûr, kata mutasyâbih, berarti sesuatu yang memiliki keserupaan/kemiripan dengan yang lainnya.3

Demikian beberapa pendapat ulama bahasa tentang makna mutsyâbihat secara etimologi, dari pendapat para pakar tersebut tampak tidak ada perbedaan, semuanya menunjuk pada keserupaan/kemiripan sesuatu dengan lainnya dalam hal tertentu, baik bentuk, sifat, atau lainnya.

Kata lafzh pada mulanya berarti membuang sesuatu dari mulut, dari sini kemudian kata tersebut diartikan sebagai ucapan ataupun perkataan.4 Adapun dirangkaikannya kata mutasyâbih dan lafzhî, menunjukkan bentuk kemiripan yang dimaksud, yakni kemiripan tersebut dalam hal kata atau redaksi. Dengan demikian

2 Agus Imam Kharomen, Metode Alternatif dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Beredaksi Mirip, (Ciputat: Irama Offset, 2015), Cet. ke-1, h.27

3 Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukrim Ibnu Manzûr al-Ifriqî al-Misrî, Lisân al-„Arab, Juz. 13, (Beirut: Dâr al-Shâdir, 1414 H), h. 503

4 Abî al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukrim Ibnu Manzûr al-Ifriqî al-Misrî, Lisân al-„Arab, Juz. 7 h. 461

(43)

dapat disimpulkan secara etimologi mutasyâbihât lafzhî adalah keserupaan/kemiripan yang terjadi dalam aspek redaksi pada suatu kalimat, jika dikaitkan dengan Al- Qur‟an, maka berarti keserupaan yang terjadi dalam aspek suatu ayat.

Bahwa Al-Qur‟an mengandung ayat yang serupa atau mirip adalah suatu kenyataan yang tak terbantah. Hal ini juga didukung oleh ayat 23 dari al-Zumar yang berbunyi:















…

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) kitab (Al-Qur‟an) yang serupa-serupa ayat-ayatnya lagi berulang-ulang…” (Az-Zumar [39]: 23

Pada ayat di atas, para ulama tafsir seperti al- Qurthubî, al-Suyûthî, al-Zarqânî, dan lain-lain ditafsirkan bahwa ayat-ayat Al-Qur‟an memang serupa atau mirip sebagiannya dengan bagian yang lain dari segi sama-sama benar, sama-sama memiliki kekuatan mukjizat, sama-sama

(44)

datang dari Allah, dan sebagiannya menjelaskan bagian yang lain, dan seterusnya.5

Para ulama mendefinisikan ayat-ayat mutasyâbihat dengan pendapat yang berbeda-beda, misalnya:

1. Al-Tabarî (w.923 M)6, bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyâbihat adalah pengulangan ayat dalam Al-Qur‟an yang disertai kemiripan redaksi ketika menjelaskan kisah-kisah, adakalanya redaksinya sama tetapi berbeda maknanya, dan sebaliknya, maknanya sama tetapi redaksinya yang berbeda.7

2. Al-Sakhâwî (w. 1245 M/643 H)8, menjelaskan bahwa mutasyâbih lafzhî adalah pengulangan ayat dan makna

5 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011), Cet. ke-1, h. 18

6 Nama lengkapnya Muhammad bin Jarîr bin Yazîd al-Tabarî Abû Ja‟far. Beliau dilahirkan di Tabaristân, lalu tinggal di Baghdad dan wafat di sana. Beliau adalah ulama yang ahli dalam tafsir dan sejarah yang dipercaya. Beliau juga seorang mujtahid dalam urusan agama dan pendapatnya diikuti sebagian orang pada masanya. Di antara karya beliau adalah Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây Al-Qur‟ân dikenal dengan tafsir al- Tabarî, Akhbâr al-Rusul wa al-Mulûk yang terkenal dengan Tarîkh al- Thabarî dan Ikhtilâf al-Fuqahâ.

7 Abî Ja‟far Muhammad bin Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây Al-Qur‟ân, Juz. 5, (Kairo: Dâr al-Hijr, 2001), h. 197

8 Nama lengkapnya „Alî bin Muhammad bin „Abd al-Shamad al- Hamdânî al-Mishrî al-Sakhâwî al-Syâfi‟î Abû al-Husain „Alam al-Dîn.

(45)

dengan disertai sedikit perbedaan redaksi. Jika pengulangan ayat menggunakan redaksi yang sama, maka tidak disebut mutasyâbih lafzhî, melainkan al- mukarrar, seperti ayat “ fa biayyi âlâli rabbikumâ tukadzdzibân”, yang terulang sebanyak 31 kali dalam surat al-Rahmân dengan redaksi yang sama. Jika ada pengulangan makna dalam ayat Al-Qur‟an tanpa adanya pengulangan redaksi, seperti pengulangan cerita-cerita para nabi dan rasul yang terdapat dalam Al-Qur‟an, maka itu juga tidak termasuk kriteria mutasyâbih lafzhî.9

3. Ibnu Juzay (w. 1340 M/741 H)10, menjelaskan bahwa ayat mutasyâbih lafzhî adalah ayat-ayat yang diulang dalam menjelaskan suatu tema yang sama, baik tentang Beliau ahli dalam qira‟at, ushulfiqh, bahasa dan tafsir. Beliau berasal dari Mesir dan tinggal di Damaskus dan wafat di sana, lalu dimakamkan di Qâsiyûn. Di antara karya beliau adalah Hidâyah al-Murtâb, Jamâl al- Qurrâ‟ wa Kamâl al-Iqrâ‟ (tentang tajwid).

9 Agus Imam Kharomen, Metode Alternatif dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Beredaksi Mirip, Cet. ke-1. h.29

10 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin „Abdullâh Ibnu Juzay al-Kalbî Abû al-Qâsim. Beliau ulama dari daerah Gharnât yang ahli fiqih dan termasuk ulama yang ahli bahasa dan ushul fiqih. Salah satu karyanya adalah tafsir yang berjudul al-Tashîl li

‟Ulûm al-Tanzîl

(46)

kisah ataupun lainnya dengan adanya perbedaan pengungkapan, baik mendahulukan atau mengakhirkan kata/kalimat, ataupun dengan menambahkannya.11 4. Musthafâ Âidîn menjelaskan bahwa yang dimaksud

mutasyâbih lafzhî adalah ayat Al-Qur‟an yang diulang baik dalam pembahasan kisah ataupun tema lainnya, dalam pengulangannya terdapat perbedaan susunan, seperti adanya suatu kata atau kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, adanya penambahan atau pengurangan kata atau kalimat, perbedaan penggunaan kata atau kalimat dan lain sebagainya.12

5. Muhammad bin Râsyid menjelaskan bahwa yang dimaksud mutasyâbih lafzhî adalah ayat-ayat yang mirip atau serupa, baik redaksinya sama ataupun berbeda.13

11 Agus Imam Kharomen, Metode Alternatif dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Beredaksi Mirip, Cet. ke-1, h.29

12 Agus Imam Kharomen, Metode Alternatif dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Beredaksi Mirip, Cet. ke-1, h. 30

13 Muhammad bin Râsyid al-Barkah, Al-Mutasyâbih al-Lafzhî fî Al-Qurân Al-Karîm wa Taujîhuhu, (Riyâdh: Jâmi‟ah al-Imâm Muhammad bin Sa‟ûd Al-Islâmiyyah, 1426 H), h. 43-44

(47)

6. Al-Zarkasyî (w. 1392 M)14, yang kemudian juga dikutip oleh al-Suyûthî (w. 1505 M)15, menjelaskan bahwa mutasyâbih lafzhî adalah ayat yang menjelaskan satu kisah dalam bentuk yang beraneka ragam atau berbeda.

Bukan berarti yang dimaksud hanya dalam ayat yang menjelaskan kisah, melainkan mencakup ayat-ayat lain, baik yang menjelaskan kisah ataupun tidak, karena sebenarnya yang dimaksud dari al-qishshah al-wâhidah adalah suatu tema yang sama (al-maudhû‟ al-wâhid).

7. Nashruddin Baidan menjelaskan bahwa ayat yang beredaksi mirip (mutasyâbihat) adalah gaya dan susunan sejumlah firman Allah yang memiliki kesamaan atau keserupaan ungkapan satu sama lain.

Menurutnya terdapat tiga kriteria dalam menilai suatu ayat sebagai ayat beredaksi mirip, yaitu: 1) ayat yang terulang terkait tema yang sama dengan menggunakan kata, kalimat, dan tata bahasa yang hampir sama, 2) ayat yang terulang dengan redaksi yang sama tetapi

14Badr al-Dîn Muhammad „Abdullâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî

„Ulûm Al-Qur‟ân, Juz. 1, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.t.), h. 112

15Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fî „Ulûm Al-Qur‟ân, Juz. 2, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2010), h. 461

(48)

membahas kasus yang berbeda, 3) ayat yang terulang dengan redaksi sama, tetapi makna dari tiap ayat yang diulang tersebut berbeda.16

Berdasarkan pendapat para ulama di atas, diketahui mereka berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan ayat yang terulang dengan redaksi sama (mukarrar). Muhammad bin Râsyid dan Nashruddin Baidan tetap mengkategorikan mukarrar sebagai mutasyâbih lafzhî, sedangkan al-Sakhâwî tidak mengkategorikannya sebagai mutasyâbih lafzhî.

C. Sebab-Sebab Adanya Ayat-Ayat Mutasyâbihât dalam Al-Qur’an

Pada garis besarnya, sebab adanya ayat-ayat mutasyâbihat dalam Al-Qur‟an ialah karena adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat Allah, sehingga sulit dipahami. Imam ar-Raghib al-Asfahani dalam kitabnya Mufradatil Qur‟an, menyatakan bahwa sebab

16 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, Cet. ke- 2, h.

17

(49)

adanya tasyabuh (kesamaran) dalam Al-Qur‟an itu ada tiga, yaitu sebagai berikut:17

1. Kesamaran dari aspek lafal. Kesamaran ini ada dua macam, yaitu:

a. Kesamaran dari aspek lafalmufrad, karena terdiri dari lafal yang gharib (asing) atau yang musytarak (bermakna ganda).

Contoh kesamaran lafalmufrad yang gharib pada surat Abasa ayat 31







“Dan buah-buahan serta rumput-rumputan”.

(QS. „Abasa [80]: 31)

Kata اًّ بَأ /abban jarang terdapat dalam Al- Qur‟an. Kalau tidak ada penjelasan dari ayat selanjutnya, arti kata abban sulit dimengerti.Surat Abasa ayat 32 menjelaskan

17 Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), Cet. ke-3, h. 250

(50)

kata abban, yang dimaksud abban adalah rerumputan.18









“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang- binatang ternakmu”. (QS. „Abasa [80]: 32 Contoh kesamaran lafal mufrad yang bermakna ganda kata yamîn pada surat Ash- Shaffât ayat 93











“Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat).” (QS. Ash-Shaffât [37]: 93)

Kata yamîn bisa berarti tangan kanan, kekuasaan, atau sumpah.19

b. Kesamaran lafal murakkab disebabkan terlalu ringkas atau terlalu luas.

18Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, Cet. ke-3, h. 245

19Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, Cet. ke-3, h. 245

(51)

Contoh kesamaran pada lafal murakkab disebabkan terlalu ringkas terdapat pada surat An-Nisa ayat 3



























































“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”. (QS. An-Nisâ‟ [4]: 3

Karena takut tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh menikahi wanita yang baik-baik, dua, tiga, atau

(52)

empat. Kesukaran itu terjadi karena susunan kalimat ayat tersebut terlalu singkat.20

Contoh kesamaran pada lafal murakkab disebabkan terlalu luas, seperti dalam surat Asy-Syûra ayat 1121









“… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan

….” (QS. Asy-Syûra [42]: 11)

Dalam ayat tersebut, kelebihan huruf kaf dalam kata-kata kamitslihi. Akibatnya, kalimat dalam ayat tersebut menjadi samar asrtinya, karena sulit dimengerti maksudnya.

Seandainya huruf kaf tadi dibuang, maka maknanya akan jelas.22

20 Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, Cet. ke-3, h. 247

21Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, Cet. ke-3, h. 247

22 Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, Cet. ke-3, h. 248

(53)

2. Kesamaran dari aspek makna, seperti mengenai sifat-sifat Allah, hari kiamat, surga dan neraka, siksa kubur dan sebagainya.

3. Kesamaran dari aspek lafal dan makna. Kesamaran ini ada lima aspek, yaitu:

a. Aspek kuantitas (al-kimmiyyah), seperti masalah umum atau khusus. Contoh surat At-Taubah ayat 5









 …

“…Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka…” (QS. At- Taubah [9]: 5

Pada ayat diatas, batas kuantitas yang harus dibunuh masih samar

b. Aspek cara (al-kaifiyyah), seperti: bagaimana cara melaksanakan kewajiban agama. Contoh surat Thaha ayat 14

























(54)

“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”(QS.

Thaha [20]: 14)

Dalam ayat ini terdapat kesamaran, dalam hal bagaimana cara shalat agar dapat mengingatkan kepada Allah SWT.

c. Aspek waktu, seperti: batas sampai kapan melaksanakan suatu perbuatan. Contoh surat Ali

„Imran ayat 102



























“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya;

dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”(QS. Ali

„Imran [3]: 102)

Dalam ayat ini terjadi kesamaran, sampai kapan batas takwa yang sebenarnya takwa.

(55)

d. Aspek tempat, seperti tempat mana yang dimaksud dengan balik rumah, dalam surat Al- Baqarah ayat 189















 …

“…dan bukanlah kebajikan memasuki rumah- rumah dari belakangnya…” (QS. Al-Baqarah [2]: 189)

Orang yang tidak mengerti adat istiadat bangsa Arab pada masa jahiliah, tidak akan paham terhadap maksud ayat tersebut. Sebab kesamaran dalam ayat diatas terjadi pada lafal dan makna, karena terlalu ringkas.23

e. Aspek melaksanakan suatu kewajiban, seperti:

bagaimana syarat sah shalat, puasa, haji, nikah, dan sebagainya.

D. Ragam Ayat Mutasyâbih Lafzî dalam Al-Qur’an

Ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan ragam bentuk ayat mutasyâbih lafzhî dalam Al-Qur‟an.

23Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, Cet. ke-3, h. 249

(56)

Misalnya, Ibnu Jauzî (w. 1201 M) yang berpendapat bahwa terdapat tiga perbedaan redaksional dalam ayat mutasyâbih lafzhî.,yakni:24

1. Ibdâl (penggantian) dalam penggunaan kata atau kalimat, seperti surah Al-Baqarah/2: 29 dan surah Fussilat/41: 12

 …

 

















 …



2. Ziyâdah (penambahan) dan nuqshân (pengurangan) huruf, seperti surah Al-Baqarah/2: 23 dan suruh Yûnus/10: 38

24Agus Imam Kharomen, Metode Alternatif dalam Menafsirkan Ayat-ayat Beredaksi Mirip, Cet. ke-1, h. 36

Referensi

Dokumen terkait