1
Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Sunnah
Muhammad Irfan UIN Antasari Banjarmasin Email: [email protected]
ABSTRAK
Artikel ini membahas hadis tentang kekerasan dalam rumah tangga, dengan merinci larangan keras terhadap tindakan kekerasan terhadap istri, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hadis ini dicatat dalam Sahih Bukhari dan beberapa sumber lainnya. Pembahasan dilanjutkan dengan penjelasan hadis oleh Imam Bukhari yang menunjukkan bahwa memukul istri diperbolehkan dalam konteks mendidik, tetapi dengan batasan tertentu. Selain itu, membahas perspektif tasawuf terkait rumah tangga. Ada penekanan pada pentingnya cinta, penghargaan, dan pemenuhan kebutuhan lahir dan bathin antara suami dan istri. Tugas-tugas suami dan istri dijelaskan, termasuk adab yang dianjurkan dalam berinteraksi.
Dalam konteks konflik keluarga, penekanan diberikan pada manajemen konflik dalam Islam, dengan merinci langkah-langkah seperti nasihat, berpisah tempat tidur, memukul (dengan batasan tertentu), dan, jika perlu, mengutus hakim.
Kesimpulan ini memberikan pandangan holistik terhadap isu kekerasan dalam rumah tangga, menyoroti aspek hukum dan tasawuf, serta memberikan saran dalam mengelola konflik rumah tangga dengan pendekatan Islam.
Kata kunci: Hadis, Kekerasan, Rumah Tangga
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis sebagai sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an, memiliki peran sentral dalam membimbing perilaku dan tindakan umat Muslim.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hadis juga menjadi pedoman dalam berbagai aspek, termasuk dalam mengatasi isu sensitif seperti kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan rumah tangga merupakan fenomena sosial yang melibatkan penggunaan kekuatan atau ancaman kekerasan oleh satu anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya.
2
Dalam tradisi Islam, hadis memberikan petunjuk tentang bagaimana hubungan dalam rumah tangga seharusnya dibina, mengajarkan nilai-nilai kasih sayang, penghormatan, dan kesetaraan antara suami dan istri. Namun, seperti halnya dengan banyak isu kompleks, interpretasi hadis terkait kekerasan rumah tangga dapat menjadi kontroversial dan memerlukan pemahaman yang cermat.
Pentingnya memahami hadis terkait kekerasan rumah tangga terletak pada upaya untuk menyelaraskan ajaran Islam dengan hak asasi manusia, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, akan mengeksplorasi hadis yang berkaitan dengan kekerasan rumah tangga, serta mencoba memahami konteks dan interpretasi yang tepat agar dapat membentuk pandangan yang seimbang dan adil terhadap isu ini dalam perspektif Tasawuf.
PEMBAHASAN A. Hadis Tentang Kekerasan Rumah Tangga
ُهَتَأ َرْما ْمُكُدَحَأ ُدِلْجَي َلَ :َلاَق َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ ىهلَص ِ يِبهنلا ِنَع َةَعْم َز ِنْب ِ هاللَّ ِدْبَع ْنَع ِر ِخآ يِف اَهُعِماَجُي همُث ِدْبَعْلا َدْلَج
ِم ْوَيْلا )1
يراخبلا هاور (
5204. Dari Abdullah bin Zam'ah, dari Nabi SAW, "Janganlah salah seorang di antara kalian mencambuk istrinya sebagaimana mencambuk budak, kemudian dia menggaulinya di akhir hari itu." (HR. Bukhari)
Teks Abdullah bin Zam’ah ini dalam kompilasi Sahih Bukhari tercatat dalam berbagai redaksi. Dalam perhitungan digital Mawsū‘at al-Ḥadīṡ al-Syarīf, ada di nomor 4992, 5250, dan 6111 dari Sahih Bukhari. Teks ini juga dicatat dalam Sahih Muslim no. 7370, Sunan at-Turmudzi no. 3666, Ibn Majah 2059, dan Musnad Ahmad no. 16472, 16473, 16474, dan 16475.2
1 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, “Al-Jami’ Al-Shohih” (Kairo: Maktabah Assalafiah, 1400 H), hal. 390
2 Faqiuddin Abdul Kodir, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Perspektif Islam:
Kompilasi Awal Teks-teks Hadis Rujukan” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, 2016, hal. 16
3 B. Penjelasan Hadis
Imam Bukhari meriwayatkan hadits di bab “Apa yang Tidak Disukai dari Memukul Wanita” ini dari Muhammad bin Yusuf, dari Sufyan, dari Hisyam, dari bapaknya, dari Abdullah bin Zam'ah. Sufyan yang dimaksud adalah Ats-Tsauri, dan Hisyam adalah Ibnu Urwah. Di dalam hadis sini terdapat isyarat bahwa memukul mereka tidak diperbolehkan secara mutlak. Bahkan pukulan itu ada yang makruh dan ada juga yang haram, juga dengan tegas tentang larangan memukul wajah.3
ْمُكُدَحَأ ُدِلْجَي لَ (Janganlah salah seorang di antara kalian mencambuk).
Demikian dalam naskah Imam Bukhari disebutkan dalam bentuk larangan. Namun Al Ismaili meriwayatkannya dari Ahmad bin Sufyan, dan An-Nasa'i dari Al Firyabi -yakni, Muhammad bin Yusuf atau guru Imam Bukhari dalam riwayat ini- dalam bentuk berita, dan tidak ada di bagian awalnya bentuk larangan. Begitu pula diriwayatkan Abu Nu'aim melalui jalur lain dari Al Firyabi. Demikian juga yang dikutip para murid Hisyam bin Urwah. la telah disebutkan pada pembahasan tentang tafsir dari riwayat Wuhaib, dan akan dipaparkan pada pembahasan tentang adab (tata karma) dan riwayat Ibnu Uyainah. Serupa dengannya dinukil Ahmad dari Ibnu Uyainah, Waki', Abu Mu'awiyah, dan Ibnu Numair. Muslim dan Ibnu Majah dari riwayat Ibnu Numair. At-Tirmidzi dan An-Nasa'i dan riwayat Abdah bin Sulaiman.4
Dalam riwayat Ibnu Muawiyah dan Abdah disebutkan ُدِلْجَي َملَإ (kepada apa seseorang mencambuk). Sementara dalam riwayat Waki' dan Ibnu Numair, ُدِلْجَي َمَلاَع (atas dasar apa seseorang mencambuk). Ini selaras dengan riwayat Ahmad bin Sufyan. Namun, tidak ada pada satu orang pun di antara mereka kata larangan.
ِدْبَعْلا َدْلَج (mencambuk budak). Maksudnya, seperti mencambuk budak.
Dalam salah satu riwayat Ibnu Numair yang dikutip Imam Muslim disebutkan ِةَمَلأا َب ْرَض (memukul budak wanita). An-Nasa'i mengutip dari Ibnu
3 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hal. 687
4 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin, hal.
688
4
Uyainah, َةَمَلأا َو َدْبَعْلا ُبرْضَي اَمَك (seperti memukul budak laki-laki maupun budak wanita).
Kemudian dalam riwayat Ahmad bin Sufyan ِدْبَعْلا وأ ريِعَبْلا َدْلَج (mencambuk unta atau budak). Lalu akan disebutkan pada pembahasan tentang adab dari Ibnu Uyainah, ِدْبَعْلا ِوَأ ِلْحَفْلا َب ْرَض (memukuk pejantan atau budak). Maksud pejantan di sini adalah unta.
Kemudian dalam hadits Laqith bin Shabirah yang dinukil Abu Daud disebutkan, َكَتَمَأ َكَب ْرَض َكَتَنْيِعَظ ُب ِرْضَت َلَ َو (Janganlah engkau memukul wanitamu seperti engkau memukul budak wanitamu). اهُعِماَجُي همُث (Kemudian dia menggaulinya).
Dalam riwayat Abu Muawiyah disebutkan, اَهَعَجاَضُي ْنَأ ُههلَعَل َو (barangkali ia menidurinya). نأ dan ini merupakan riwayat mayoritas. Dalam riwayat Ibnu Uyainah pada pembahasan tentang adab disebutkan, اَهُقناَعُي ُههلَعَل همُث (kemudian barangkali ia merangkulnya).5
Adapun kalimat, "Di akhir hari itu", dalam riwayat Ibnu Uyainah yang dikutip Imam Ahmad disebutkan, ِلْيهللا ِر ِخآ ْنِم (pada akhir malam). Kemudian dia mengutip dari An- Nasa'i dengan redaksi ِراَههنلارخآ (akhir siang). Lalu dalam riwayat:
Ibnu Numair dan mayoritas disebutkan, ِهِم ْوَي َر ِخآ (di akhir harinya). Dalam riwayat Waki disebutkan ِلْيهللا ِر ِخآ ْنِم ْوَأ ِلْيهللا َر ِخآ (akhir malam atau di akhir waktu malam).
Namun, semuanya memiliki makna yang hampir sama.6
Dalam hadits ini terdapat keterangan yang membolehkan mendidik budak dengan pukulan keras. Terdapat pula isyarat yang membolehkan memukul istri, tetapi lebih ringan daripada memukul budak. Hal ini disebutkan Imam Bukhari dengan perkataannya, "tidak menyakitkan." Dalam redaksi hadits menunjukkan bahwa dua perkara itu mustahil dilakukan orang yang berakal. Maksudnya memukul istri secara berlebihan kemudian menggaulinya pada sisa hari atau malamnya. Hubungan intim hanya dianggap baik bila ada kecenderungan hati dan
5 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin, hal.
688
6 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin, hal.
688
5
rasa suka dalam berinteraksi. Sementara orang yang dipukul umumnya akan merasa tidak suka pada orang yang memukulinya, maka hadits tersebut mencela perbuatan tersebut. Jika terpaksa harus memukul, maka hendaklah dilakukan dengan pukulan yang ringan sehingga ia tidak menjauh. Untuk itu, jangan berlebihan dalam memukul dan mendidik.7
Al Muhallab berkata, "Kalimat, 'mencambuk budak' memberi penjelasan bahwa pukulan terhadap budak melebihi pukulan terhadap orang merdeka, karena perbedaan status keduanya. Begitu pula memukul wanita hanya diperbolehkan jika ia melakukan kedurhakaan terhadap suami dalam hal-hal yang dia harus taat kepada suaminya." 8
Sementara itu, telah dinukil larangan memukul istri secara mutlak. Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i-dan dia menshahihkannya, Ibnu Hibban, dan Al Hakim mengutip dari Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab:
Janganlah kamu memukul hamba-hamba Allah yang wanita. Umar datang dan berkata, "Wanita-wanita telah durhaka terhadap suami-suami mereka," maka diizinkan kepada mereka kemudian mereka pun memukuli istri-istri mereka.
Akhirnya para wanita dengan jumlah yang banyak mendatangi rumah keluarga Rasulullah SAW. Dia berkata, "Sungguh telah datang pada keluarga Rasulullah SAW tujuh puluh wanita dan semuanya mengadukan suami-suami mereka. Kalian tidak akan menemukan mereka itu sebaik-baik orang diantara kalian).
Asy-Syafi'i berkata, Pada kalimat, "sungguh orang terbaik kamu tidak akan memukul" merupakan dalil bahwa memukul mereka diperbolehkan. Penerapannya adalah memukul mereka dalam rangka mendidik disaat tampak pada mereka perkara tidak disukai berkenaan hal-hal yang wajib baginya untuk taat kepada suami. Jika dicukupkan dengan ancaman maka itu lebih utama. Manakala maksud sesuatu tercapai dengan isyarat, maka tidak perlu diambil tindakan, sebab penerapan hukuman fisik mengakibatkan rasa tidak suka yang bertentangan dengan
7 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin, hal.
689
8 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin, hal.
690
6
keharmonisan pergaulan yang dituntut dalam kehidupan suami istri, kecuali apabila urusan itu berhubungan dengan kemaksiatan terhadap Allah.9
An-Nasa'i meriwayatkan dalam masalah ini- hadits dari Aisyah,
Rasulullah SAW tidak pernah memukul seorang pun di antara istrinya dan tidak juga pembantunya. Beliau tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali di jalan Allah atau disaat larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliau menuntut balas untuk Allah).10
C. Rumah Tangga dalam Perspektif Tasawuf
Suami dan istri wajib untuk saling mencintai, menghormati, menghargai, saling memenuhi kebutuhan lahir dan bathinnya. Artinya jika ingin kehidupan rumah tangga yang tentram harus menumbuhkan cinta, saling menghormati dan menghargai atas apa yang telah masing-masing lakukan. Misalnya salah satu pasangan melakukan kesalahan atau yang tidak disukai satu diantaranya maka harus mengerti, memberi pengertian pada diri sendiri terlebih dahulu. Maka diperlukan perhatian pada hal-hal berikut:
1. Tugas Suami terhadap Istri
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, menjelaskan tentang adab seorang suami terhadap istri sebagai berikut, “Adab suami terhadap Istri, yakni: berinteraksi dengan baik, bertutur kata yang lembut, menunjukkan cinta kasih, bersikap lapang ketika sendiri, tidak terlalu sering mempersoalkan kesalahan, memaafkan jika istri berbuat salah, menjaga harta istri, tidak banyak mendebat, mengeluarkan biaya untuk kebutuhan istri secara tidak bakhil, memuliakan keluarga istri, senantiasa memberi janji yang baik, dan selalu bersemangat terhadap istri”.
Istri akan sangat menghormati suaminya jika suaminya selalu memanjakan istrinya, Janganlah sekali-kali melukai hati istri, karena istri juga memiliki hubungan emosional yang sangat kuat kepada keluarganya. tangga. Janganlah
9 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin, hal.
691
10 Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin, hal.
691
7
sekali-kali melukai hati istri, karena istri juga memiliki hubungan emosional yang sangat kuat kepada keluarganya.11
2. Tugas istri terhadap Suami
Adapun kewajiban istri, yang paling utama adalah taat kepada suami selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Seorang istri juga wajib melakukan khidmah (pelayanan) terhadap suami, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan rumah seperti memasak, menghidangkan makanan, membuatkan minuman, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan sebagainya. Hanya saja, ketaatan dan khidmat istri ini tidak bermakna dilarangnya istri berbeda pendapat dengan suami.
Berbeda pendapat dan adu argumentasi tidak mengapa selama disampaikan dengan cara yang ma’ruf.12
Hubungan komunikasi antara suami dan istri harus diusahakan berlangsung secara harmonis dan bersahabat. Maka dari itu, agar hubungan seperti itu dapat berlangsung diperlukan peran istri secara psikologis.13
3. Manajeman Konflik Keluarga dalam Islam
Percekcokan dalam keluarga salah satunya bisa terjadi karena adanya nusyuz, Ketika seorang perempuan sebagai istri, tidak mematuhi suaminya atau durhaka terhadap suaminya maka ia masuk kategori nusyus. Dalam tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa nusyus adalah perbuatan yang melanggar kewajiban bersuami istri. Nusyus istri adalah ketika ia meninggalkan rumah tanpa seizin suami, bersifat angkuh terhadap suami, dan melanggar perintahnya padahal Allah telah mewajibkan istri untuk taat kepada suaminya dan diharamkan untuk ia mendurhakainya.14
11 Susya Viera Novianti, dkk., “Kepemimpinan Dalam Rumah Tangga” Al-Muaddib :Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, Vol. 5, No.2, 2020, hal. 183
12 Mokhamad Rohma Rozikin, “Konsepsi Pernikahan Dalam Islam Dan Perannya Dalam Menjaga Adab Interaksi Pria-Wanita” Jurnal: Waskita, Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 80-81
13 Susya Viera Novianti, dkk., “Kepemimpinan Dalam Rumah Tangga” Al-Muaddib :Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, Vol. 5, No.2, 2020, hal. 185
14 Susya Viera Novianti, dkk., “Kepemimpinan Dalam Rumah Tangga” Al-Muaddib:
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, Vol. 5, No.2, 2020, hal. 187
8
Mohammad Ali as-Shobuni dalam Mu’ammal Hamidy, berikut tata cara yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang nusyuz:15
a. Menasihati, artinya seorang suami menasehati istrinya dengan cara yang baik, memberikan masukan yang positif atau peringatan yang halus kepada istri. Bahwa perbuatan nusyuz merupakan dosa besar. Suami juga menjelaskan hak-hak istri bisa hilang akibat nusyus.
b. Berpisah tempat tidur, jika dinasehati tidak mempan, maka Islam menganjurkan agar berpisah ranjang, sebagai teguran terhadap istri secara halus. Cara ini boleh dilakukan jika cara pertama gagal.
c. Memukul, bila cara yang kedua istri tetap nusyuz, maka suami boleh memukulnya. Kebolehan memukul ada batasnya. Islam melarang memukul dengan keras atau pukulan sampai menyebabkan luka, tidak boleh meninggalkan bekas pada tubuh, tidak boleh mematahkan tulang, dilarang memukul bagian wajah, dan anggota vital. Pukulan yang diperbolehkan adalah pukulan yang halus tanpa menyakiti.
d. Mengutus dua orang hakim, cara terahir ini dilakukan jika tiga cara di atas gagal. Hakam yang diutus adalah seorang dari pihak suami dan seorang dari pihak istri. Tujuannya untuk mendamaikan keduanya.
KESIMPULAN
Hadis Nabi Muhammad SAW menegaskan larangan keras terhadap tindakan kekerasan terhadap istri, dengan penekanan pada pendekatan mendidik yang tidak menyakiti. Sumber-sumber utama seperti Sahih Bukhari digunakan untuk mendukung argumen ini.
Sementara itu, dalam perspektif tasawuf, teks menyoroti pentingnya cinta, penghargaan, dan pemenuhan kebutuhan lahir dan bathin dalam hubungan suami- istri. Imam Al-Ghazali memberikan pedoman adab yang dianjurkan untuk suami
15 Abdul Jalil, “Manajemen Konflik Dalam Keluarga Relevansinya Dalam Membentuk Keluarga Sakinah” Jurnal Hukum Islam Nusantara. Vol. 4, No. 1, hal. 60
9
dan istri, menekankan interaksi yang baik, berbicara dengan lembut, dan saling mendukung.
Dalam konteks manajemen konflik, memberikan langkah-langkah yang bisa diambil dalam kasus nusyuz, mulai dari nasihat dan pemisahan tempat tidur hingga, jika diperlukan, tindakan hukuman yang dibatasi. Poin pentingnya adalah bahwa Islam menekankan penyelesaian konflik dengan cara yang baik dan damai, dengan tujuan mendamaikan keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Asqalani, Ibnu Hajar. “Fathul Baari: Shahih Bukhari vol. 25” Terj. Amiruddin Jakarta: Pustaka Azam. 2008.
al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. “Al-Jami’ Al-Shohih” Kairo: Maktabah Assalafiah. 1400 H.
Jalil, Abdul, “Manajemen Konflik Dalam Keluarga Relevansinya Dalam Membentuk Keluarga Sakinah” Jurnal Hukum Islam Nusantara. Vol. 4. No.
1.
Kodir, Faqiuddin Abdul. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Perspektif Islam: Kompilasi Awal Teks-teks Hadis Rujukan” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. 1. No. 1. 2016.
Novianti, Susya Viera, dkk. “Kepemimpinan Dalam Rumah Tangga” Al-Muaddib:
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman. Vol. 5. No.2. 2020.
Rozikin, Mokhamad Rohma. “Konsepsi Pernikahan Dalam Islam Dan Perannya Dalam Menjaga Adab Interaksi Pria-Wanita” Jurnal: Waskita. Vol. 2. No.
2. 2018.