• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTEMUAN-4-Etik-di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERTEMUAN-4-Etik-di"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MATERI KULIAH PERTEMUAN IV

Oleh:

Rahma Afwina, S.Psi, M.Psi

0121088604

rahmaafwina@staff.uma.ac.id

(2)

ETIKA DI DALAM PRAKTEK KONSELING

Isu-isu, Etika dalam Pengambilan Keputusan

Banyak praktisi sangat cemas akan terlibat dalam tuntutan hukum sehingga mereka mengarahkan praktik terutama untuk memenuhi persyaratan minimum hukum daripada memikirkan apa yang benar untuk klien mereka. Di era litigasi ini, penting untuk menyadari aspek hukum dari praktik dan melakukan apa yang mungkin untuk mengurangi kemungkinan tindakan malpraktik, tetapi keliru untuk mengacaukan antara berperilaku legal dengan etis meskipun mengikuti hukum adalah bagian dari perilaku etis. Salah satu cara terbaik untuk mencegah tuntutan malpraktik terletak pada menunjukkan rasa hormat kepada klien, menjadikan kesejahteraan mereka sebagai perhatian utama, dan berlatih dalam kerangka kode profesi.

Setiap klien yang mempercayakan semua masalah yang ia hadapi kepada konselor pasti ingin mengetahui sejauh mana perlindungan yang akan diperolehnya dengan mempercayakan masalahnya tersebut. Dengan menceritakan masalahnya kepada orang lain (konselor), ia ada dalam posisi yang “tidak aman” dari segala penyalah gunaan dan manipulasi. Konselor sebagai seorang professional juga tidak mudah mengintepretasikan panduan etik dari organisasi profesinya, dan menerapkannya dalam situasi-situasi tertentu. Berikut beberapa langkah dalam etika dalam membuat keputusan:

1. Identifikasi maslah atau dilemma. Kumpulkan informasi yang akan memberikan penjelasan tentang masalah. Hal ini akan membantu konselor menentukan apakah masalah utamanya etis, legal, professional, klinis atau moral.

2. Identifikasi isu-isu potensial. Nilailah hak, tanggugjawab dan kesejahteraan dari semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut.

3. Lihatlah kode etik yang relevan dengan permasalahan untuk dipakai sebagai penuntun umum. Perimbangkan pakah nilai-nilai dan etika yang dianut adalah sejalan atau berkonflik dengan penuntun tersebut.

4. Pahamilah hukum dan aturan yang berlaku. Penting untuk menentukan apakah ada hukum atau aturan yang terkait dengan dilemma etik ini.

5. Carilah konsultasi dari lebih dari satu sumber untuk mendapatkan berbagai perspektif tentang dilema tersebut. Lakukanlah konsultasi dengan ahli atau para professional yang paham tentang isu yang tercakup dalam situasi yang dipertanyakan tersebut.

6. Lakukan brainstorming mengenai berbagai macam tindakan yang dapat dijalankan. Lanjutkan untuk mendiskusikan alternative/opsi/pilihan

(3)

dengan professional lain. Sertakan klien dalam proses pertimbangan opsi tindakan.

7. Jelaskan (tetap sertakan klien) konsekuensi dari berbagai macam tindakan, dan refleksikan implikasi dari setiap tindakan untuk klien anda.

8. Tentukan apa langkah yang kemungkinannya paling baik. Sekali tindakan telah diimplementasikan, tindak lanjutilah untuk menilai hasilnya dan menentukan apakah diperlukan tindakan selanjutnya.

Dalam pengambilan langkah-langkah etis ini konselor perlu memahami bahwa perlu pemikiran yang matang untuk melakukannya.

Dengan kata lain kematangan professional sebagai landasan pengambilan keputusan etis ini menyiratkan bahwa konselor bertanya tentang kesulitan- kesulitan yang dialami kepada kolega. Hal ini dikarenakan bukan dibuat semata-mata untuk konselor namun adanya keterlibatan antara konselor dan klien dalam proses membuat keputusan etis ini.

Hak Atas Informed Consent

Persetujuan berdasarkan informasi adalah persyaratan etis dan hukum yang merupakan bagian integral dari proses terapeutik. Informed consent melibatkan hak klien untuk diberitahu tentang terapi mereka dan untuk membuat keputusan otonom yang berkaitan dengannya. Dengan demikian dapat membangun hubungan saling percaya. Informed consent merupakan sesuatu yang jauh lebih luas daripada sekadar memastikan klien menandatangani formulir yang sesuai. Ini adalah sebuah pendekatan yang membantu klien menjadi mitra aktif dan kolaborator dalam terapi. Beberapa aspek dari proses informed consent meliputi tujuan umum konseling, tanggung jawab konselor terhadap klien, tanggung jawab klien, batasan dan pengecualian terhadap kerahasiaan, parameter hukum dan etika yang dapat menentukan hubungan, kualifikasi dan latar belakang praktisi, biaya, layanan yang dapat diharapkan klien, dan perkiraan lamanya proses terapeutik, manfaat konseling, risiko yang terlibat, dan kemungkinan bahwa kasus klien akan didiskusikan dengan rekan terapis atau supervisor. Proses ini dimulai dengan sesi konseling awal dan berlanjut selama masa konseling.

Dimensi Kerahasiaan

1. Isu konfidensialitas (kerahasiaan)

Konfidensialitas berkaitan dengan apakah hal-hal yang dibicarakan dalam konseling itu bersifat rahasia atau tidak.

Konfidensialitas melindungi klien dari penyampaian informasi dalam

(4)

bentuk apapun tanpa izin dari klien. Konfidensialitas berbeda dengan privasi yaitu sesuatu yang bersifat pribadi dan tidak perlu diketahui atau dikemukakan kepada pihak lain. Dengan kata lain privasi itu berhubungan dengan hak individu untuk kehidupannya sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Sementara konfidensialitas berhubungan dengan pengendalian informasi yang diterima seseorang. Sebuah informasi dikatakan konfidensial jika dianggap tidak perlu dan seharusnya tidak disampaikan ke pihak lain atau publik (Latipun, 2004).

Menurut Baruth dan Robinson III (1987) penyampaian informasi tanpa izin klien dianggap pelanggaran privasi klien, karena apa yang disampaikan klien kepada konselor dianggap sebagai privileged communication (Lesmana, 2006), yaitu komunikasi yang memberi suatu hak legal kepada klien dan melindungi klien dari kemungkinan penyampaian secara publik informasi-informasi yang telah diberikan klien tanpa ijinnya.

Kemudian, apa yang menjadi tolak ukur atau pedoman bahwa sesuatu (informasi) yang disampaikan klien itu dapat bersifat rahasia?

apakah konfidensialitas dapat dibatalkan? Schneiders (dalam Latipun, 2004) mengungkapkan bahwa prinsip kewajiban konfidensial itu adalah relatif, karena ada kondisi-kondisi yang dapat mengubahnya dari semula konselor wajib merahasiakan pada situasi yang lain menjadi sangat mungkin dan perlu diungkapkan.

Beberapa keadaan yang menyebabkan pembatalan konfidensialitas dan konselor harus melaporkannya secara hukum adalah sebagai berikut:

1) Ketika klien merupakan bahaya bagi orang lain atau bagi dirinya sendiri.

2) Bila terapis percaya bahwa klien dibawah usia 16 adalah korban dari incest, perkosaan, penganiayaan anak, atau kejahatan lainnya.

3) Bila terapis menentukan bahwa klien memerlukan hospitalisasi (pengobatan).

4) Bila informasi menjadi isu dalam tidakan pengadilan.

5) Bila klien meminta catatannya diserahkan kepada dirinya sendiri atau kepada orang ketiga lainnya.

Menjaga konfidensialitas merupakan kewajiban primer dari hubungan terapeutik yang terbangun antara konselor dan klien. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi apa yang disampaikan klien. Ketika menjelaskan kepada klien bahwa apa yang mereka sampaikan dalam sesi konseling umumnya

(5)

akan dijaga konfidensialitasnya, maka konselor sebaiknya mengatakan kepada klien batasan (limitasi) terhadap konfidensialitas ini.

2. Isu etika berkaitan dengan penggunaan sentuhan

Ketakutan utama yang mendasari penggunaan sentuhan adalah sentuhan akan mengarah kepada pemuasan seksual dipihak klien, konselor (terapis) atau keduanya. Masalah etika lainnya adalah klien dapat merasa teraniaya, dan disentuh berarti berlawanan dengan keinginan sebenarnya.

Selain itu ada larangan dari agama atau budaya untuk disentuh oleh orang asing atau jenis kelamin yang berbeda. Bagi konselor masalah lain muncul dari kekhawatiran akan dituntut klien dengan tuduhan terlalu mengintimidasi atau eksploitatif. Walaupun demikian, jelas semua ittu bergantung kepada integritas terapis, dan seberapa jauh eksplorasinya terhadap makna sentuhan bagi mereka secara pribadi.

Berkaitan dengan hal ini Hunter dan Struve (1998) dalam Leod (2006) membuat beberapa rekomendasi tentang penggunaan sentuhan dalam konseling. Sentuhan adalah tepat secara klinis ketika:

1) Klien ingin disentuh atau disentuh.

2) Tujuan dari sentuhan jelas.

3) Sentuhan tersebut jelas demi kepentingan klien.

4) Terapis/konselor memiliki pengetahuan cukup tentang pengaruh penggunaan sentuhan.

5) Batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan terapis (konselor).

6) Hubungan terapis-klien telah berkembang dengan cukup.

7) Sentuhan dapat ditawarkan kepada semua tipe klien.

8) Konsultasi atau supervisi tersedia dan dapat digunakan.

9) Terapis merasa nyaman dengan sentuhan (tidak canggung/tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianutnya).

10) Batasan yang mengatur penggunaan sentuhan jelas dipahami oleh klien dan terapis.

Sentuhan tidak disarankan ketika:

1) Fokus dari terapi tersebut melibatkan kandungan seksual yang berkaitan dengan sentuhan.

2) Adanya risiko kekerasan.

3) Sentuhan tersebut terjadi secara sembunyi-sembunyi.

4) Konselor/terapis meragukan klien untuk mengatakan ”tidak”.

5) Konselor/terapis telah dimanipulasi atau dirayu untuk melakukan sentuhan.

(6)

6) Sentuhan digunakan untuk mengganti terapi verbal.

7) Klien tidak ingin menyentuh atau disentuh.

8) Konselor/terapis tidak nyaman menggunakan sentuhan.

Masalah Etis dalam Proses Asesmen

Peran Asesmen dan Diagnosis dalam Konseling

Asesmen dan diagnosis secara integral terkait dengan praktik konseling dan psikoterapi, dan keduanya sering dipandang penting untuk merencanakan perawatan. Terapis perlu terlibat dalam asesmen, yang umumnya merupakan bagian berkelanjutan dari proses terapeutik. Asesmen tidak boleh mendahului dan mendikte intervensi; sebaliknya, itu terjalin dalam dan keluar dari proses terapeutik sebagai komponen penting dari terapi itu sendiri (Duncan, Miller, & Sparks, 2004). Asesmen dapat direvisi karena dokter mengumpulkan data lebih lanjut selama sesi terapi. Beberapa praktisi menganggap asesmen sebagai bagian dari proses yang mengarah pada diagnosis formal.

Asesmen meliputi evaluasi faktor-faktor yang relevan dalam kehidupan klien untuk mengidentifikasi tema untuk eksplorasi lebih lanjut dalam proses konseling. Diagnosis, yang terkadang merupakan bagian dari proses asesmen, meliputi identifikasi gangguan mental tertentu berdasarkan pola gejala yang mengarah pada diagnosis tertentu. Baik asesmen maupun diagnosis dapat dipahami sebagai memberikan arahan untuk proses pengobatan.

Psikodiagnosis adalah analisis dan penjelasan masalah klien. Ini mungkin termasuk penjelasan tentang penyebab kesulitan klien, penjelasan tentang bagaimana masalah ini berkembang dari waktu ke waktu, klasifikasi gangguan apa pun, spesifikasi prosedur perawatan yang disukai, dan perkiraan peluang untuk penyelesaian yang berhasil. Tujuan diagnosis dalam konseling dan psikoterapi adalah untuk mengidentifikasi gangguan pada perilaku dan gaya hidup klien saat ini. Setelah area masalah diidentifikasi dengan jelas, konselor dan klien dapat menetapkan tujuan dari proses terapi, dan kemudian rencana perawatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan unik klien. Diagnosis memberikan hipotesis kerja yang memandu praktisi dalam memahami klien. Sesi terapi memberikan petunjuk yang berguna tentang sifat masalah klien. Jadi diagnosis dimulai dengan wawancara asupan dan berlanjut selama durasi terapi.

(7)

Mempertimbangkan Faktor Etnis & Budaya dalam Asesmen &

Diagnosis

Bahaya pendekatan diagnostik adalah kemungkinan kegagalan konselor untuk mempertimbangkan faktor etnis dan budaya dalam pola perilaku tertentu. DSM-IV-TR menekankan pentingnya menyadari bias yang tidak disengaja dan tetap berpikiran terbuka terhadap adanya pola etnis dan budaya yang khas yang dapat mempengaruhi proses diagnostik. Kecuali variabel budaya dipertimbangkan, beberapa klien mungkin mengalami kesalahan diagnosis. Perilaku dan gaya kepribadian tertentu dapat diberi label neurotik atau menyimpang hanya karena mereka bukan karakteristik budaya dominan.

Kebanyakan praktisi dan banyak penulis di lapangan menganggap asesmen dan diagnosis sebagai proses berkelanjutan yang berfokus pada pemahaman klien. Perspektif kolaboratif yang melibatkan klien sebagai peserta aktif dalam proses terapi menyiratkan bahwa terapis dan klien terlibat dalam proses pencarian dan penemuan dari sesi pertama hingga terakhir. Meskipun beberapa praktisi mungkin menghindari prosedur dan terminologi diagnostik formal, membuat hipotesis tentatif dan membaginya dengan klien selama proses adalah bentuk diagnosis berkelanjutan.

Perspektif tentang asesmen dan diagnosis ini konsisten dengan prinsip- prinsip terapi feminis, suatu pendekatan yang kritis terhadap prosedur diagnostik tradisional.

Sangat penting untuk mengasesmen manusia seutuhnya, yang meliputi dimensi pikiran, tubuh, dan jiwa. Terapis perlu mempertimbangkan proses biologis sebagai faktor yang mungkin mendasari gejala psikologis dan bekerja sama dengan dokter. Nilai-nilai klien dapat menjadi sumber daya instrumental dalam mencari solusi untuk masalah mereka, dan nilai-nilai spiritual dan agama sering menerangi kekhawatiran klien.

Referensi

Dokumen terkait

Name of Graduate Family name, First names Name of Graduate in Chinese Characters / Katakana Relationship to Applicant Year of Graduation Degree Program major 3/4 2/4 Education

Education History Elementary/ Secondary School Name Location* Date of Entrance and Graduation YY/MM-YY/MM Length of Study Y/M Language of Instruction - - - - - - *If