1
POTENSI METABOLIT SEKUNDER ISOLAT BAKTERI RJP DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Aspergillus flavus
Duniaji, A.S., N.W. Wisaniyasa dan N.N. Puspawati
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian dengan judul potensi metabolit sekunder isolat bakteri RJP dalam menghambat pertumbuhan aspergillus flavus bertujuan untuk memperoleh ekstrak metabolit sekunder dari isolat bakteri terpilih yang diisolasi dari rhizosfer tanaman jagung sebagai penghambat pertumbuhan A.flavus dan memperoleh ekstrak metabolit sekunder yang aman dipergunakan dalam mengendalikan A. flavus dengan melakukan uji toksisitas (LD50) pada hewan uji tikus.
Metode ekstraksi metabolit sekunder diperoleh dengan cara isolat bakteri terpilih (RJP, RJS dan RJG) sebagai penghambat A. flavus ditumbuhkan pada media Nutrient Agar (NA) selama 5 hari pada suhu 25±2oC. Bakteri yang telah dibiakan pada cawan petri diambil dan dipisahkan dengan menggunakan cork borer diameter 5 mm dan sebanyak 5 buah dimasukan pada setiap botol Erlenmeyer ukuran 250 ml yang diisi dengan media Nutrient Broth (NB) sebanyak 150 ml.
selanjutnya di shaker dengan suhu 28 ±2oC pada kecepatan 125 rpm selama 8 hari dan dipanen pada hari ke 2, 4, 6 dan ke 8.
Filtrat dari kultur diambil dengan cara memisahkan cairan kultur dari bulatan koloni sel yang terbentuk. Filtrat yang didapat selanjutnya dipisahkan dari supernatan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 11.000 rpm selama 15 menit dan disaring dengan menggunakan kertas filter ukuran 0.45 um.
Pengujian in vitro aktivitas antijamur ekstrak metabolit sekunder bakteri terpilih terhadap A.
flavus dilakukan dengan metode sumur difusi dan dilakukan uji toksisitas (LD50) terhadap ekstrak metabolit skunder isolat terpilih (bakteri RJP, RJS dan RJG) pada hewan uji tikus. Pengujian Minimum Inhibitor Consentrasi (MIC) juga dilakukan dengan metode sumur difusi untuk menguji aktivitas ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri terhadap pertumbuhan A. flavus pada berbagai konsentrasi yaitu 100%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30%, 20%, 10% dan kontrol 0%.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP dan RJS mampu menghambat A. flavus selama masa inkubasi 2,4,6,dan 8 hari. Penghambatan ekstrak metabolit berkisar antara 0.5 -17,84 mm. Pengambatan tertinggi ditunjukan pada ekstrak metabolit RJP sebesar 17,84 mm dan terendah pada ekstrak metabolit RJS yaitu 0,5 mm pada inkubasi 2 hari. Ekstrak metabolit RJP dan RJS memiliki kemampuan menghambat A. flavus pada masa inkubasi 8 hari masing-masing sebesar 15,12 mm dan 9,26 mm.
Konsentrasi minimum penghambatan ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP adalah pada konsentrasi 60 persen yaitu sebesar 12,30 mm. Hasil pengujian toksisitas (LD50) ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP pada hewan uji dengan konsentrasi 100 persen ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP tidak ditemukan kematian pada hewan uji tikus
Keywords : Metabolit sekunder, bakteri, A. flavus
2 PENDAHULUAN
Aflatoksin diketahui tidak terdegradasi selama fermentasi, tetapi tidak ditemukan toksin pada fraksi alkohol setelah dilakukan destilasi (Maggon et al., 1997 Saad, 2001). Aflatoksin ditemukan terkonsentrasi pada bagian biji yang tersisa sebagai limbah (Lopez-Garcia, et al., 2001).
Lopez-Garcia dan Park (1998) melaporkan bahwa beberapa khamir ditemukan efektif merusak mikotoksin, sedangkan Heathcote dan Hibbert (1978) melaporkan penemuan Ciegler et al. (1966) yang menguji 1000 mikrobia seperti kapang, bakteri, khamir, aktinomycetes dan algae terhadap kemampuannya mendegradsi aflatoksin B1 dan aflatoksin G1, yang menemukan satu strain bakteri yaitu Flavobacterium aurantiacum (N.R.R.L.-B.184) yang dapat mengurangi kadar aflatoksin dalam susu, minyak jagung, mentega, kacang tanah, jagung dan kedele.
secara alami sulit untuk memberantas kapang penghasil aflatoksin di lapangan, karena pemberantasan hanya akan merusak ekosistem (Aibara, 1978; Lopez-Garcia et al., 2001; Duniaji et al.,2002 ). Penggunaan bahan kimia untuk detoksifikasi harus dalam batasan yang dipersyaratkan dan tidak boleh ada residu toksik serta penurunan nilai nutrisi (FAO. 1997; Duniaji.
2009; Herman and Walker, 2001) menyatakan dekontaminasi aflatoksin pra dan pasca panen dengan tujuan detoksifikasi dapat dilakukan dengan pemberian garam-garam amonium untuk mencegah resiko terhadap kesehatan. (Herman. and Walker, 2001; Bankole and Adebanjo, 2003b;
Larson, 2001).
Selama fase eksponensial atau logarithmic, fase pertumbuhan, banyak elemen dasar dari metabolisme utama berakumulasi. Produk dari metabolism sekunder mungkin akan mulai muncul karena keberadaan dari sel sel yang tidak lagi membelah (Cole and Dorner, 1999; Moss, 1998).
Pada A. flavus, fase pertumbuhan ini bertahan sampai 14 hari. Suhu yang sedikit lebih tinggi diperlukan untuk pertumbuhan optimal jamur selama fase ini. A. flavus menunjukkan pertumbuhan yang optimal pada suhu 37oC (Kurata, 1978; King et al., 1979) dan suhu tersebut juga suhu optimal untuk fase pertumbuhan eksponensial (Bankole and Adebanjo,2003a; Boutrip, 1977). Enzim yang muncul pada metabolisme sekunder terjadi pada fase ini (Mislivec, 1999).
Menurut Albert (2006) penurunan aflatoksin B1 dapat dilakukan secara biologis yaitu menggunakan bakteri Rhodococcus erythropolis. Dengan menggunakan ekstrak dari bakteri ini sehingga aflatoksin B1 tedegradasi secara enzimatis. Sementara Duniaji et al (2009) menyatakan penggunaan ekstrak bawang putih pada pelarut air mampu menekan pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin B1.
Upaya pencegahaan dan degradasi aflatoksin B1 yang diproduksi oleh A. flavus dengan memanfaatkan ekstrak metabolit skunder bakteri akan dapat memperkecil resiko kerusakan nutrisi dan resiko kesehatan serta efek samping penggunaanya. Ekstrak metabolit skunder bakteri pendegradasi aflatoksin B1 diharapkan dapat menghasilkan biokompetitif yang ramah lingkungan dan bermanfaat dalam dunia kesehatan, sehingga upaya pencegahan paparan aflatoksin B1 secara strategis dapat disumbangkan kepada masyarakat, bangsa dan negara.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana dan Laboratorium. Bioindustri Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan Oktober 2016
3 Proses Ekstraksi Metabolit Sekunder.
Metabolit sekunder diperoleh dengan cara bakteri RJP, RJS dan RJG ditumbuhkan pada media NA selama 3-5 hari pada suhu 25±2oC. Bakteri yang telah dibiakan pada cawan petri diambil dan dipisahkan dengan menggunakan cork borer diameter 5 mm dan sebanyak 5 buah dimasukan pada setiap botol Erlenmeyer ukuran 250 ml yang diisi dengan media NB sebanyak 150 ml.
selanjutnya di shaker dengan suhu 28 ±2oCpada kecepatan 125 rpm selama 8 hari dan dipanen pada hari ke 2, 4, 6 dan ke 8..
Filtrat dari kultur diambil dengan cara memisahkan cairan kultur dari bulatan koloni sel yang terbentuk. Filtrat yang didapat selanjutnya dipisahkan dari supernatant dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 11.000 rpm selama 15 menit dan disaring dengan menggunakan kertas filter ukuran 0.45 um.
Uji Ekstrak metabolit skunder terhadap A. flavus (Retno, 2012).
Pengujian dilakukan dengan menguji aktivitas filtrat dari bakteri terpilih terhadap A. flavus.
Cawan petri yang berisi 10 ml media PDA dan 200 ul spora A. flavus dibiarkan memadat. Setelah padat sumur difusi dibuat ditengah cawan petri dengan menggunakan cork borer. Pada sumur difusi diisi dengan 20 ul filtrat. Menurut Ardriansyah (2005), jika zona hambatan ≥20 mm (daya hambat sangat kuat), 10-20 (daya hambat kuat), 5-10 (daya hambat sedang) dan < 5 mm (daya hambat lemah).
Pengujian untuk mengetahui MIC juga dilakukan dengan metode sumur difusi untuk menguji aktivitas filtrat terhadap pertumbuhan koloni jamur dengan beberapa persentase yaitu 100%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, 40%, 30%, 20%, 10% dan kontrol 0%. Solven yang digunakan adalah air steril menggunakan 5% tween 80. Masing-masing konsentrasi diulang sebanyak 3 kali.
Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter zona hambatan yang terjadi di sekitar sumur difusi, sehingga dapat diketahui konsentrasi minimum yang dapat menimbulkan hamabatan
Penentuan nilai LD50. (Weil, 1975)
Uji toksisistas (LD50) ada 2 tahap dalam metoda ini yaitu; Tahap I dan II. Tahap I (tahap penjajakan) Sediakan 6 kelompok mencit yang masing-masing terdiri dari 3 ekor, jenis kelamin sama, setiap kelompok diberi bahan percobaan secara intra peritonial (i.p) dengan dosis berbeda antara 10-100 mg/10 gr bb, dengan menggunakan satu faktor kelipatan tertentu. Pengamatan dilakukan selama 24 jam dengan melihat adanya kematian 0% dan 100% dalam kelompok.
Apabila tidak ada mencit yang mati, maka dosis diperbesar sampai diperoleh kematian 100%
dalam satu kelompok.
Tahap II Percobaan dilanjutkan dengan menyediakan 6 kelompok mencit yang terdiri dari 5 ekor. Bahan diberikan pada masing-masing kelompok dengan dosis meningkat menurut faktor tertentu. Dosis terkecil yaitu dosis yang dalam kelompok penjajakan terdapat kematian 0%, sedangkan dosis terbesar dimana dalam elompok penjajakan terdapat kematian 100%. Setelah 24 jam, hitung jumlah kematian mencit tiap-tiap kelompok.
Percobaan diulang beberapa kali sampai hasil kematian sesuai dengan daftar atau tabel yang dibuat oleh C. Weil, dengan menggunakan rumus tertentu yang sudah disediakan, harga LD50 bahan yang diteliti dapat dihitung'2 Rumus Perhitumgan LD5o menurut Weil C.S :
Log m = log D +d ( f + 1 ) dimana:
4 m = LD50,
D = dosis terkecil = 2,21 mg / 10 g bb. pada mencit d = logR = log dari kelipatan dosis =1,4
d = log 1,4 = 0, 146 (membulatan d = 0,15) f = sesuatu faktor dari tabel =0,16667
HASIL DAN PEMBAHASAN
Zona Hambatan Ekstrak Metabolit Sekunder Isolat Bakteri terhadap A. flavus
Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak metabolit isolat bakteri RJP dan RJS memiliki kemampuan menghambat A. flavus, sedangkan ekstrak metabolit isolat bakteri RJG tidak memiliki zona hambatan terhadap A. flavus. A. Pada Gambar 1 dapat dilihat zona hambatan ekstak metabolit selama waktu ekstraksi 2, 4, 6, dan 8 hari pada masing-masing isolat bakteri terhadap penghamabatan pertumbuhan A. flavus
Gambar 1. Zona Hambata Ekstrak Metabolit Isolate Bakteri terhadap A. flavus
Pada Gamabar 1 dapat dilihat bahwa ekstrak metabolit bakteri terpilih mampu menghambat pertumbuhan A. flavus. Bakteri terpilih RJP dan RJS menghasilkan ekstrak metabolit sekunder pada hari ke 4 dengan zona hambatan sebesar 4.58 mm terhadap pertumbuhan A. flavus, sedangkan ekstrak bakteri isolat RJG tidak ditemukan penghambatan terhadap A. flavus. Semakin meningkat waktu ekstraksi metabolit sekunder pada isolat terpilih RJP dan RJS kemampuan ekstrak metabolit sekunder untuk menghambat A. flavus semakin tinggi. Ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP dan RJS dengan waktu ekstraksi 6 hari penghambatan terhadap A. flavus. adalah sebesar 10.06 mm dan 5.20 mm, sedangkan pada waktu ekstraksi 8 hari penghambatannya terhadap A. flavus adalah sebesar 17.84 mm dan 10.56 mm.
Ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP dan RJS mampu menghambat pertumbuhan A. flavus dengan zona hambatan sebesar 15.12 mm dan 9.26 mm yang diekstraksi selama 8 hari.
Pada Tabel 1 dan Gambar 2 disajikan zona hambatan ekstrak metabolit sekunder bakteri terpilih dari isolat RJP dan RJS terhadap A. flavus
1
4.58
10.06
17.84
0.5
4.34 5.2
10.56
0.50 10 10 10
0 5 10 15 20
2 4 6 8 (Hari)
Zona Hambatan (mm)
Waktu Ekstraksi Metabolit Sekunder Zona Hambatan Ekstrak Metabolit Bakteri Terhadap
A. flavus
RJP RJS RJG Kontrol
5
Tabel 1. Zona Hambatan Ekstrak Metabolit Sekunder Isolat bakter RJP dan RJS terhadap A. flavus
Ekstrak Isolat Bakteri Rata-rata (mm)
RJP (8 hari) 15, 12 ±2.98
RJS (8 hari) 9,26 ± 0,95
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP dengan waktu ekstraksi selama 8 hari lebih kuat kemampuan penghambatanya yaitu sebesar 15,12 mm dibandingkan dengan ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJS yaitu sebesar 9.26 mm. Hal ini menunjukan bahwa zona hambatan ekstrak metabolit sekundr isolat bakteri RJP memiliki daya hambat yang kuat terhadap pertumbuhan A. flavus, sedangkan ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJS memiliki zona hambatan sedang terhadap pertumbuhan A. flavus. Menurut Ardriansyah (2005), jika zona hambatan ≥20 mm (daya hambat sangat kuat), 10-20 (daya hambat kuat), 5-10 (daya hambat sedang) dan < 5 mm (daya hambat lemah).
Gambar 2 Zona Hambatan Ekstrak Metabolit Sekunder Isolat RJP dan RJS hari ke 8
Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
Pada penelitian ini dilakukan uji minimum inhibitory concentration untuk menentukan konsentrasi terendah dari ekstrak isolat bakteri terpilih yang menunjukkan adanya daya hambat terhadap jamur patogen A. flavus. Rata-rata hasil uji minimum konsentrasi ekstrak metabolit seknder isolate bakteri terhadap A. flavus dapat dilihat pada Tabel 2
.Tabel 2. Konsentrasi Minimum Penghamabatan Ekstrak Metabolit Sekunder Terhadap A. Flavus
Konsentrasi Ekstrak Metabolit (%) Rata-rata (mm)
10 0
20 0
30 0
40 0
50 6.20 ± 0.84
60 12.30 ± 0.48
70 12.28 ± 0.86
80 12.27 ± 0.43
90 13. 37 ± 1.35
100 14.07 ± 1.08
6
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa uji minimum inhibitory concentration dari ekstrak metabolit isolate bakteri RJP dalam menekan pertumbuhan A. flavus adalah berturut-turut dari konsentrasi 50, 60, 70, 80, 90 dan 100%. Pada konsentrasi 50% perlakuan ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP berbeda sangat nyata dengan konsentrasi 60, 70, 80, 90 dan 100%.
Berdasarkan uji yang telah dilakukan maka konsentrasi ekstrak terendah yang dapat memberikan penghambatan terhadap jamur A. flavus adalah konsentrasi ekstrak 60% dengan daya hambat yang dihasilkan yaitu sebesar 12,30 mm. Hasil yang diperoleh yaitu, berupa hambatan dengan terbentuknya daerah zona bening di sekitar ekstrak, besarnya daya hambat (zona bening yang terbentuk) berbeda-beda tergantung dari besar kecilnya konsentrasi yang diberikan pada setiap perlakuan. Terbentuknya zona bening di sekitar sumur difusi menunjukkan bahwa ekstrak ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP diduga mengandung senyawa fungisida atau enzm tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan dari jamur patogen A. flavus.
Konsentrasi minimum penghambatan ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP terhadap A.flavus diperoleh pada konsentrasi ekstrak 60 persen dengan penghambatan terhadap A. flavus sebesar 12.30 mm, sedangkan zona hambatan tertinggi ekstrak metabolit sekunder ditunjukan pada konsentrasi 100 persen yaitu sebesar 14.07 mm. Konsentrasi suatu bahan yang berfungsi sebagai antimikroba merupakan salah satu faktor penentu besar kecilnya kemampuan dalam menghambat pertumbuhan mikroba yang diuji. Kerusakan yang ditimbulkan komponen antimikroba dapat bersifat fungisidal (Herlina, 2009; latifah, et al., 2014) dan bersifat fungistatik (menghentikan sementara pertumbuhan jamur) (Harman et al., 2004).
Toksisitas (LD50) Ekstrak Metabolit Sekunder Isolat Bakteri RJP.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri yang diujikan pada tikus tidak berpengaruh terhadap kematian tikus yang diujikan. dari 6 tikus yang diberikan ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP sebanyak 1 ml dengan konsentrasi 100% ekstrak kasar, tidak berpengaruh terhadap kematian tikus. Pada Gambar 3 dapat dilihat uji toksisitas ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP pada hewan uji tikus.
Gambar 3. Uji Toksisitas (LD50) Ekstrak Metabolit Sekunder Isoat Bateri RJP
Pengujian ekstrak metabolit sekunder isolate bakteri RJP dengan meningkatkan jumlah ekstrak yang diberikan sebanyak 2 ml tidak menyebabkan kematian tikus sebagai hewan uji. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak metabolit dari bakteri RJP tidak bersifat tosik dan aman diaplikasikan pada tikus sebagai hewan uji secara in vivo. Angka kematian (LD50) untuk aflatoksin B1 dapat lebih rendah mencapai 0,34 mg/kg berat badan per hari untuk itik dewasa, 0,5 mg/kg untuk anjing dewasa, sedangkan untuk hamster 10,2 mg/kg berat badan per hari (Moss, 1996). Hewan betina lebih sensitive daripada hewan jantan. Data Epidemologi dan biokimia
7
mencatat bahwa dosis kematian akibat aflatoksin pada manusia ada diantara level dosis aflatoksin tersebut di atas.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP dan RJS mampu menghambat A. flavus selama masa inkubasi 2,4,6,dan 8 hari. Penghambatan ekstrak metabolit terhadap A. flavus dengan zona hambatan berkisar antara 0.5 -17,84 mm. Pengambatan tertinggi ditunjukan pada ekstrak metabolit isolate bakteri RJP sebesar 17,84 mm denganwaktu ekstraksi 8 hari dan terendah pada ekstrak metabolit isolat bakteri RJS yaitu 0,5 mm dengan waktu ekstraksi 2 hari. Ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP dan RJS memiliki kemampuan menghambat A. flavus pada masa inkubasi 8 hari masing-masing sebesar 15,12 mm dan 9,26 mm.
Konsentrasi minimum penghambatan ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP ditunjukan pada konsentrasi 60 persen yaitu sebesar 12,30 mm. Ekstrak metabolit sekunder isolat bakteri RJP tidak bersifat toksik pada hewan uji tikus (LD50) dengan konsentrasi ekstrak metabolit 100 persen
DAFTAR PUSTAKA
Albert, J.F. 2006. Biological degradation of aflatoxin B1 by Rhodococcus erythropolis.
www.elsevier.com/locate/ijfoodmicro
Aibara, K.I. 1978. Aflatoksin Investigation Traditional Food and Imported Food Stuff in Japan.
National Institute of Health, Kamihasashi, Shigawa Tokyo Japan. Kendansha Ltd Japan.
276 p
Bankole, S.A and Adebanjo.A. 2003a. Mycotoxin Contamination of Food in West Afrika: Current Situation and possibilities of Controlling it. Journal of Biotechnology, 2(9), 254-263 Bankole, S.A and Adebanjo. A. 2003b. Aflatoxin Contamination of dried Yam Chips Marketed in
Nigeria. Tropical Science, 43(3/4), 201-203.
Bankole, S.A. and Mabekoje, O.O. 2004. Occurent of aflatoxins and Fumonisins in Preharvest Maize from sourtwestern Nigeria. Food additive and Contaminants, 21, 251-255.
Boutrip, E. 1977. Prevention of Mycotoxin in Pitachios. Dvision Food qualitya and Standards Service. FAO Food and Nutrition, Pitachios ’97 Conference, Rome, Italy. Pp 1-12.
Chinaphuti, A. 2003. Aflatoxins in Peanuts and Peanuts Product. Workshop on Handling and Measurement of The Quality of Peanut and Peanut Products Held by Katsersart University, CRSP and USAID in Bangkok Thailand (2003)
Cole, R.J. and J.W. Dorner. 1999. Biologycal Control of Aflatoxin and CyclopiazonicAcid of Peanuts. Proceeding of International Symposium of Mycotoxicology 99. Chiba Japan. Pp 70-73
Duniaji, A.S., D.N.Suprapta dan N. Arya. 2002. Isolasi Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus serta Deteksi Aflatoksin Pada Beberapa Jenis Makanan yang Dipasarkan Di Kota Denpasar. Symposium Patologi. Perhimpunan Patobiologi Cabang Bali.
Duniaji, A.S dan Subarjiati, I. 2002. Deteksi Aflatoksin dengan Menggunakan Metode Enzym Linked Immunosorbant Assay (ELISA) Disajikan pada Seminar PATPI bekerjasama dengan Universitas Brawijaya Malang.
Duniaji A.S, I G P Tengah, O. Pardita. 2009. The influence of garlic extract in various solvent on the growth of Aspergillus flavus and production of aflatoxin B1.. In the International conference “Biotechnoly for a Sustainable Future” 15-16 Sep 2009 Udayana University
8
Duniaji.A.S.. 2009. Pemberian kalsium hidroksida sebagai penghambat pertumbuhan Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin B1. J.Agritrop (Ilmu-ilmu Pertanian) Vol 28.(1) hal 46-50 Duniaji, A.S. 2009. Detection of aflatoxin B1-Induced Cancer in several fried peanut products.
“3rd Internaional Workshop on Food Functional Clinical Research” 19 Sept 2009
FAO. 1997. Worldwide Regulation for Mycotoxins for 1995. A Confendium Food and Nutrition Paper No. 64 Rome. Pp 1-15.
Heathcote, J.G. dan J.R. Hibbert. 1978. Aflatoxin : Chemical and Biological Aspect. Elsivier.
Scientific PublishingCompany. Amsterdam-Oxford. New York p 3-179.
Herman, J.L. and R. Walker. 2001. Risk Analysis of Mycotoxins by The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive (JECFA). International Program on Chemical Safety, World Health Organization, Genewa, Switzerland. Pp. 1-12.
Herlina, L. 2009. Potensi Trichoderma harzianum Sebagai Biofungisida pada Tanaman Tomat.
Jurnal Biosaintifika. 1(1): 62 – 69.
Latifah, Hendrival, dan Mihram. 2014. Asosiasi Cendawan Antagonis Trichoderma Harzianum Rifai Dan Cendawan Mikoriza Arbuskular Untuk Mengendalikan Penyakit Busuk Pangkal Batang Pada Kedelai. J. HPT. Tropika. V (14).2 :160-169
King, A.D., A.D. Hocking and J.L. Pitt. 1979. Dichloran Rose engal Chlorampenicol Medium for Enumeration and Isolationof Mold from Food. Appl.Environ.Microbial. 37 : 959-964.
Kurata, H. 1978. Current Scope of Mycotoxin Reserch from The Viewpoint of Food Mycology.
National Institute of Higiene Science, Kamiyoga, Setangu-ku Tokyo Japan. KendanshaLtd.
Japan. Pp 14-54.
Lopez-Garcia, R., D.L.Park and T.D. Philips. 2001. Integrated Mycotoxin Management Syatem.
Dept of Food Science, Louciana state University, Bottom Rouge, LousianaUnited State.
Pp 1-16.
Larson, E. 2001. Minimizing Aflatoxin in Corn. Extention Corn Specialist. Missisipi State University. Pp 1-15.
Maggon,KK; SK Gupta and TA. Venkitasubramanian. 1997. Bioshynthesis of Aflatoxin.
Bacteriological Review p 822-855. Departement of Biochemistry, Vallabhbhai, Vatel hes Institute, University of Delhi India
Makfoeld, D. 1997. Mikotoksin Pangan, Penerbit Kanisius, PAU pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Moss, M. O. (1998). Recent studies of mycotoxins. Journal of Applied Microbiology, 84, 62S–
76S, Symposium Supplement.
Mucke, W and C. Lemmen. 1999. Schimelpilze : Vorkommen Gesuheitsgefahren, Schutzmabnahmen. Veternarmedizinishe Universitat Wein, Universitat Bibiothek. 163p.
Mislivec, P.B., L.R. Benchad and M.A. Cousin. 1999. Yeast and Mold. Confendium of Methods for The Microbiological Examination of Food. Third Ed. American Public health Association Washington. 818p.
Retno Kawuri. 2012. Pemanfaatan Streptomyces Thermocarboxydus untuk mengendalikan penyebab penyakit busuk daun pada lidah buaya di Bali. Program Doktor Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. 104 hal.
Saad, N. 2001. Aflatoxin Occurred and Health Risk. An Undergraduate Student Cornell University For The AS625 Class. Animal Science at Cornell University. Pp 1-10.
Weil; C, S, 1975. Tables for confenient calculation of median effective dose ldso or edso end intruction in their use biometrie; p 249-263.