• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potential of Mangrove Ecosystem as a Tourism Objec.en.id

N/A
N/A
Hu Gy

Academic year: 2023

Membagikan "Potential of Mangrove Ecosystem as a Tourism Objec.en.id"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Eduwisata Riset Pariwisata Volume 02, Nomor 01, Juni 2020, hlm. 11-17

ISSN: 2686-4746; E-ISSN: 2721-1371

11

Potensi Ekosistem Mangrove sebagai Obyek Wisata Pembangunan di Pulau Kaledupa

Amiruddin Akbar Fisu

a,1,*

, Afandi Ahmad

a,2

, Adrianto Hidayat

b,3

, Liza Utami Marzaman

b,4

AUniversitas Andi Djemma, Palopo, Indonesia.BProgram RISE, Makassar, Indonesia

1[email protected] *;2[email protected] ;3[email protected] ;4[email protected]

* Penulis yang sesuai

INFORMASI ARTIKEL (8 pt)

ABSTRAK (10

PT

)

Riwayat artikel:

Diserahkan: 16 Mei 2020 Ditinjau: 2 Juni 2020 Diterima: 15 Juni 2020 Diterbitkan: 30 Juni 2020

Hutan mangrove yang hidup di kawasan pesisir, selain bermanfaat bagi kebutuhan manusia, juga kerap berbenturan dengan kepentingan pembangunan seperti pelabuhan, tambak ikan, dan kawasan wisata yang mengancam kelestariannya. Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya alam hayati berupa sumberdaya pesisir dan laut yang cukup besar antara lain ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi ekosistem mangrove dan merancang pengembangan hutan mangrove sebagai potensi ekowisata. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif- evaluatif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini penting sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan objek wisata yang menjadi sektor unggulan di Kabupaten Wakatobi. Jenis mangrove yang

mendominasi di seluruh wilayah Wakatobi adalah Rhizophora spp, Avicennia spp. dan Sonneratia spp. Berdasarkan potensi masing-masing pulau yang ada di Kabupaten Wakatobi, Pulau Kaledupa merupakan kawasan prioritas untuk dikembangkan menjadi ekowisata. Kajian ini merekomendasikan pembangunan beberapa fasilitas pendukung ekowisata di Pulau Kaledupa. Saran dan prasarana meliputi sarana pelayanan, sarana perdagangan dan sarana akomodasi.

Kata kunci: Ekosistem Mangrove, Pulau Kaledupa, Ekowisata

Hak Cipta © 2019 Politeknik Negeri Samarinda.

Seluruh hak cipta.

pengelolaan hutan dimana salah satu bentuk pengelolaannya adalah pemanfaatan jasa lingkungan berupa ekowisata (Nugraha, Banuwa, & Widagdo, 2015).

I. Pendahuluan

Hutan mangrove yang posisinya berada di pesisir seringkali berbenturan dengan kepentingan pembangunan seperti pelabuhan, pemukiman, kawasan wisata, dan pemanfaatan oleh manusia antara lain sebagai tambak, penghasil arang dan kebutuhan lainnya sehingga menyebabkan intervensi dan eksploitasi mangrove dan ekosistemnya secara berlebihan. Hal ini terlihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dll serta penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Tingginya aktivitas dan

aksesibilitas terhadap kawasan hutan mempengaruhi perambahan hutan oleh masyarakat (Ahmad, Wirakartakusumah, & Rusolono, 2016). Upaya menggunakan prinsip berkelanjutan sangat perlu diterapkan di Indonesia

Hutan mangrove memiliki banyak potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata (Idajati, Pamungkas, & Vely Kukinul, 2016). Ekowisata mangrove adalah pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari melalui kegiatan wisata yang bertanggung jawab terhadap lingkungan (Nugraha et al., 2015). Mangrove dapat dijadikan sebagai destinasi wisata berbasis alam dan kegiatan tersebut

memberikan kontribusi yang besar terhadap

konservasi mangrove (Hakim, Siswanto, & Makagoshi, 2017). Selain itu, ekowisata mangrove juga dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat lokal melalui nilai sumber daya alam secara tidak langsung

We : http://e-journal.polnes.ac.id/index.php/edutourism/ :

(2)

(Basyuni et al., 2018), dan juga dapat mendukung kegiatan industri perikanan (Fisu, Didiharyono, & Bakhtiar, 2020).

Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Wakatobi merupakan kabupaten kepulauan yang memiliki luas 1.390.000 ha yang terdiri dari 39 pulau kecil, 3 beting dan 5 atol.

Sebaran vegetasi mangrove di Kabupaten Wakatobi harus dilihat sebagai potensi yang dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat dan memberikan nilai tambah bagi pemerintah daerah selain eksplorasi alam bawah laut. Konservasi hutan mangrove juga harus dapat memberikan keuntungan ekonomi sehingga konsep ekonomi hijau dapat diterapkan untuk mencapai tujuan pengelolaan berkelanjutan.

Maka dipandang perlu untuk mengkaji pengembangan potensi ekosistem mangrove di Kabupaten Wakatobi agar dapat

bermanfaat baik sebagai penyangga lingkungan pesisir maupun bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Pemanfaatan hutan mangrove merupakan bentuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan namun tetap memerlukan pertimbangan dari berbagai perspektif untuk menghasilkan kebijakan yang tepat (Hugé et al., 2016) (Wahyuni, Sulardiono, & Hendrarto, 2015).

Mangrove menyediakan berbagai jasa ekosistem, termasuk siklus nutrisi,

pembentukan tanah, produksi kayu, tempat pemijahan ikan, ekowisata, dan penyimpanan karbon (Murdiyarso et al., 2015). Bahkan hutan bakau tropis merupakan ekosistem pesisir penting yang mendukung berbagai aspek, mulai dari perikanan skala kecil hingga populasi manusia (Santos, Gasalla, Dahdouh-Guebas, &

Bitencourt, 2017). Keunikan habitat mangrove telah memberikan kontribusi bagi

perkembangan ekonomi sejumlah negara melalui perluasan kegiatan ekowisata.

Penurunan ekosistem mangrove dan fragmentasi habitat menyebabkan masalah besar di semua negara tropis di dunia (Mijan Uddin, Rafiqul Hoque, & Abdullah, 2014). Hutan mangrove juga dapat mengurangi dampak banjir rob yang disebabkan oleh pasang surut air laut dan curah hujan yang tinggi (Giarno, Didiharyono, Fisu, & Mattingaragau, 2020).

Pertimbangan yang cermat perlu dilakukan untuk memastikan ekosistem mangrove terjaga dan terlindungi dengan baik melalui kegiatan ekowisata (Azis, Sipan, Sapri, & Zafirah, 2018).

II. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif-evaluatif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai proses pemecahan masalah yang dianalisis dengan menggambarkan keadaan objek penelitian saat ini berdasarkan fakta yang tampak atau kondisi yang ada (Fisu 2016). Pelaksanaan metode penelitian deskriptif tidak terbatas pada

pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data. Kemudian setelah data diolah dan dianalisis, dilakukan proses evaluatif dengan keluaran berupa konsep

perencanaan. Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer berupa data citra resolusi tinggi dan kenampakan biofisik ekosistem mangrove. Selain itu juga digunakan data sekunder berupa komposisi vegetasi mangrove.

Ekowisata mangrove memiliki daya tarik alam yang semakin diminati oleh

masyarakat. Dari tahun ke tahun ekowisata mangrove ini menunjukkan peningkatan jumlah pengunjung sehingga perlu diketahui daya dukung dan strategi pengembangan agar pengunjung tetap nyaman berada di lokasi wisata (Murtini, Kuspriyanto, & Kurniawati, 2018).

Kabupaten Wakatobi merupakan gugusan pulau yang pada awalnya bernama Kepulauan Tukang Besi yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak tahun 2003,

berdasarkan UU No.29 Tahun 2003 Kabupaten Wakatobi menjadi daerah otonom yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton.

Wakatobi adalah kependekan dari nama 4 pulau besar yang ada di wilayah Wakatobi yaitu

AKU AKU AKU.

Hasil dan Pembahasan

Potensi Ekosistem Mangrove

Ketersediaan vegetasi mangrove terdapat pada semua pulau di Kabupaten Wakatobi.

Keberadaan vegetasi mangrove terbesar

(3)

berada di Pulau Kaleduppa yang hampir terdapat di semua desa (Desa Laulua, Desa Langge, Desa Sombano, Desa Buranga, Desa Balasuna, Desa Horuo, dan Desa Tampara). Sedangkan di Pulau Wangi- Wangi terdapat di Desa Liya Bahari dan Desa Togo Liya. Vegetasi mangrove di Pulau Tomia terdapat di Desa Lamanggau, Desa Waiti, Desa Timu, Desa Patipelong, dan di Pulau Binongko yang terletak di Desa Popalia, Desa Taipabu, dan Desa Makoro.

Gambar 2.Frekuensi Spesies Mangrove Kabupaten Wakatobi

Dominasi adalah nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis komunitas.

Berdasarkan data, genus Sonneratiaceae dan Rhizophoraceae merupakan mangrove dengan penguasaan ruang tertinggi.

Genus Rhizophoraceae memiliki kerapatan tertinggi mencapai 30 individu per m2 pada strata pertumbuhan semai. Kerapatan vegetasi mangrove cenderung menurun dalam 4 tahun terakhir pada setiap lokasi dan hampir semua strata pertumbuhan. Kerapatan vegetasi tertinggi berada di lokasi Pulau Wangi-Wangi pada kategori semai dan pancang genus Rhizphoraceae, kemudian diikuti kerapatan tertinggi kedua pada kategori semai Pulau Kaledupa. Sedangkan vegetasi mangrove dengan kategori pohon memiliki kerapatan terendah di semua lokasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut:

Gambar 3.Dominan Mangrove Kabupaten Wakatobi Indeks Nilai Penting adalah penjumlahan dari 3 variabel sebelumnya untuk setiap spesies.

Berdasarkan data, marga Rhizophoraceae memiliki peran tertinggi dalam komunitas mangrove Wakatobi dalam setiap pemantauan.

Dari seluruh peubah tersebut, Indeks Nilai Penting tertinggi untuk genus Rhizophoraceae berada di Pulau Kaledupa dengan kategori pohon, pancang, dan semai cukup seimbang.

Gambar 1.Kepadatan Mangrove Kabupaten Wakatobi

Frekuensi suatu jenis mangrove

menunjukkan persebaran suatu jenis di suatu daerah. Berdasarkan data yang ditemukan, sebaran jenis mangrove pada komunitas dalam empat tahun terakhir relatif stabil dengan

perjumpaan tertinggi pada genus Rhizophoraceae.

Frekuensi tertinggi untuk kategori pohon terdapat di Pulau Kaledupa. Sedangkan untuk kategori pancang dan semai, paling banyak terdapat di Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-Wangi.

.

Gambar 4.Indeks Nilai Penting Mangrove Kabupaten Wakatobi

(4)

Komposisi mangrove yang beragam di kompleks Kepulauan Wakatobi

merupakan potensi yang sangat baik untuk pengembangan ekowisata mangrove.

Berdasarkan analisis komposisi spesies potensial, kawasan mangrove dan

kebijakan pengembangan, pengembangan ekowisata mangrove diprioritaskan di Pulau Kaledupa. Luas total mangrove di Pulau Kaledupa sekitar 1730 hektar

dengan komposisi 24 jenis mangrove yang didominasi oleh famili Rhizophoraceae.

Gambar 6.Morfologi Tanah Pulau Kaledupa

Pulau Kaledupa merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Wangi-Wangi yang

menyimpan berbagai potensi wisata baik di laut maupun di daratan. Potensi wisata yang ada terdiri dari pantai, danau, gua dan dataran tinggi. Pantai yang sering dikunjungi wisatawan adalah Pantai Peropa yang terletak di Desa Peropa dan Pantai Sombano yang terletak di Desa Sombano.

Gambar 5.Tata Guna Lahan Pulau Kaledupa

Identifikasi Potensi Wisata Pulau Kaledupa

Pulau Kaledupa merupakan salah satu pulau utama di Kabupaten Wakatobi. Morfologi daratan berupa lembah-lembah dengan ketinggian 0-20 m dpl, tersebar di sekitar wilayah pesisir dengan kisaran yang relatif sempit. Tanah di atasnya membentang perbukitan bergelombang dari Sampano hingga Peropa. Pulau Hoga dan pulau- pulau kecil di Kabupaten Kaledupa merupakan pulau datar dengan relief sangat rendah, kurang dari 5 m di atas permukaan laut. Demikian juga dengan pulau-pulau kecil di Kabupaten Kaledupa Selatan yang didominasi oleh morfologi tanah lembah. Pulau Lentea Kaledupa terletak di ketinggian 0 - 35 m dpl, terdapat perbukitan di tengah pulau. Pulau Darawa seluruhnya

merupakan daratan lembah dengan ketinggian 0 - 50 m dpl.

Gambar 7.Morfologi Pesisir Pulau Kaledupa

Ada juga atraksi situs sejarah dan budaya

berupa Gua Darawa, Desa Pajam, dan 4

Benteng peninggalan zaman kolonial. Pulau

ini juga memiliki ekosistem danau yang

terletak di Desa Sombano. Danau ini menjadi

habitat beberapa jenis biota laut seperti

terumbu karang, udang merah dan beberapa

jenis ikan. Lokasi danau yang dikelilingi batu

kapur dan hutan bakau membuat tempat ini

semakin menarik. Wisatawan juga bisa

menikmati desa Bajo Mantigola dan Bajo

Sampelas. Acara tahunan yang digelar

(5)

di pulau ini ada Festival Barata Kaledupa.

Pulau Kaledupa dipilih berdasarkan

ketersediaan ekosistem mangrove terbanyak dan beberapa variabel pendukung lainnya yang telah dijelaskan dalam proses analisis.

Pulau Kaledupa kemudian dianggap paling potensial untuk dibahas lebih detail pengembangannya, yang direncanakan sebagai kawasan konservasi mangrove dan ekowisata. Kawasan Mangrove Desa

Sombano dan Sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan wisata mangrove yang dilengkapi dengan infrastruktur pendukung.

& mangrove track, atraksi wisata air (boat tour dan water sport).

Selain sebagai sarana wisata alam, hutan mangrove Pulau Kaledupa juga bisa menjadi sarana wisata edukasi. Lingkungan hutan mangrove diharapkan dapat memberikan pelajaran bagi pengunjung dan masyarakat sekitar. Hutan mangrove diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang menyenangkan, bermakna, peduli, dan menghargai.

Kelestarian lingkungan hutan mangrove dalam jangka panjang dapat berjalan dengan kegiatan edukasi. Selain itu, hutan mangrove Wakatobi juga dapat dijadikan sebagai pusat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Terdapat banyak ekosistem pesisir termasuk flora dan fauna yang dapat dijadikan pembelajaran dan penelitian bagi masyarakat dan pengunjung. Wisata hutan mangrove dapat diwujudkan dengan adanya pembibitan/pembibitan mangrove, Pusat Informasi Mangrove, dan tempat penangkaran burung.

Pengembangan wisata hutan mangrove di Pulau Kaledupa diharapkan dapat berperan dalam konservasi sumber daya alam (hutan mangrove itu sendiri) dan membantu masyarakat lokal dalam memenuhi

kesejahteraannya. Pengembangan pariwisata dapat mengubah kualitas hidup, struktur sosial ekonomi, dan organisasi sosial masyarakat lokal. Konservasi ekosistem mangrove melalui ekowisata dapat meningkatkan peran

mangrove dalam upaya mitigasi perubahan iklim sebagai penyerap dan penyimpan karbon.

Jika melihat potensi cadangan mangrove dari beberapa penelitian menyatakan bahwa potensi cadangan karbon mangrove sangat tinggi baik karbon di atas tanah maupun karbon di bawah tanah.

Angka 8.Sebaran Mangrove di Pulau Kaledupa Perencanaan Ekowisata Mangrove

Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan hutan mangrove di Pulau Kaledupa, hutan mangrove perlu dikemas sebagai konsep konservasi dan wisata berbasis alam. Wisata berbasis alam atau ekowisata adalah wisata yang menitikberatkan pada lingkungan alam, yaitu menjual produk dan pasar yang berbasis alam.

Dalam mendukung pengembangan kawasan ekowisata mangrove di Pulau Kaledupa, perlu adanya dukungan sarana wisata yang dapat memfasilitasi segala aktivitas pengunjung. Konsep pengembangan mangrove khususnya sebagai kawasan wisata

diimplementasikan dalam bentuk pengembangan kawasan wisata hutan mangrove dengan tata ruang, akses, rencana wisata, dan fasilitas serta infrastruktur pendukung yang ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem mangrove. . Berikut beberapa rencana fasilitas pendukung di Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Kaledupa.

Gambar 9.Vegetasi mangrove di Pulau Kaledupa Konservasi sumber daya alam hutan mangrove merupakan hal mendasar dalam pengembangan dan pengelolaan wisata alam yang dimaksud.

Wisata alam yang dimaksud terdiri dari berbagai kegiatan yang dapat dilakukan oleh pengunjung, antara lain menikmati ekosistem hutan mangrove Pulau Kaledupa dengan berbagai flora dan fauna di dalamnya, mengamati burung, jogging.

(6)

Salah satu fasilitas yang direncanakan untuk dikembangkan di Pulau Kaledupa adalah Pusat Informasi Kaledupa yang terletak di tengah Pulau Kaledupa, Desa Ambeua. Tempat ini dimaksudkan sebagai pusat informasi tentang segala hal yang ada di Pulau Kaledupa.

Wisatawan bisa mendapatkan informasi kawasan wisata, homestay, dan fasilitas lainnya di Pusat Informasi Kaledupa.

masyarakat lokal seperti kerajinan makanan, batik bakau, dan lain sebagainya.

Gambar 10.Perencanaan Pusat Informasi Kaledupa Gambar 12.Perencanaan Fasilitas Perdagangan

Fasilitas penting yang harus dimiliki oleh suatu kawasan ekowisata adalah fasilitas akomodasi.

Sarana akomodasi yang direncanakan di kawasan ekowisata mangrove Pulau Kaledupa berupa homestay dan Gazebo. Pada dasarnya sudah tersedia beberapa hotel dan wisma di Pulau Kaledupa, namun akan direncanakan pembangunan homestay baru di Kawasan Mangrove Desa Sombano dan sekitarnya dengan memanfaatkan masyarakat setempat sebagai homestay. Sebagai salah satu perwujudan prinsip kepemilikan lokal, masyarakat diberi kesempatan untuk memanfaatkan potensi tersebut dengan menyewakan tempat tinggal sebagai homestay kepada wisatawan. Selain itu, gazebo pantai juga direncanakan untuk kawasan wisata. Gazebo dikelola dan diberikan tanggung jawab langsung kepada masyarakat setempat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah.

Sarana pelayanan yang akan direncanakan di kawasan ekowisata mangrove berupa pusat informasi mangrove dan toilet umum. Toilet umum akan ditempatkan di beberapa titik dengan radius 400 meter. Radius 400 meter merupakan jarak yang masih relatif nyaman untuk dilalui (Fisu, 2017). Mangrove Information Center dapat menjadi sarana pembelajaran bagi wisatawan, kawasan ekowisata mangrove Kaledupa juga dilengkapi dengan kawasan pembibitan mangrove yang dapat menjadi sarana pembelajaran dan penelitian bagi wisatawan.

Gambar 13.Rencana Lokasi Pengembangan Wisata Mangrove Pulau Kaledupa

IV. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis pengembangan ekowisata di Pulau Kaledupa, dapat diperoleh beberapa kesimpulan yaitu:

Potensi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa sangat beragam dengan luasan yang cukup luas. Diperlukan pembangunan fisik sarana dan prasarana pendukung di Pulau Kaledupa untuk meningkatkan kualitas ekowisata mangrove. Sarana yang perlu dibangun antara lain sarana akomodasi, sarana perdagangan dan sarana penunjang.

Gambar 11.Perencanaan Fasilitas Akomodasi

Sarana perdagangan yang akan direncanakan berupa rumah makan yang menyediakan

makanan khas Kabupaten Wakatobi yang dikelola langsung oleh masyarakat setempat. Selain itu, toko-toko souvenir juga direncanakan menjajakan

(7)

Referensi

Jurnal Ilmu Kehidupan Tropis,7(3), 277– 285.

https://doi.org/10.11594/jtls.07.03.14 [9].Hugé, J., Vande Velde, K., Benitez-

Capistros, F., Japay, JH, Satyanarayana, B., Nazrin Ishak, M., Dahdouh-Guebas, F.

(2016). Pemetaan wacana menggunakan metodologi Q di Hutan Mangrove Matang, Malaysia.

Jurnal Lingkungan

Pengelolaan, 183(3), 988–997.

https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2016.09.0 46

[10].Idajati, H., Pamungkas, A., & Vely

Kukinul, S.(2016). Tingkat Partisipasi dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove Wonorejo Surabaya.Proses - Ilmu Sosial dan Perilaku,227, 515–

520.

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.06.109

[11].Mijan Uddin, SM, Rafiqul Hoque, AT

M., & Abdullah, SA(2014). Perubahan lanskap mangrove di Bangladesh

dibandingkan dengan empat negara lain di kawasan tropis.Jurnal Penelitian Kehutanan. https://doi.org/10.1007/s11676-014-0448-z

[12].Murdiyarso, D., Purbopuspito, J.,

Kauffman, JB, Warren, MW, Sasmito, SD, Donato, DC, Kurnianto, S.(2015).

Potensi hutan mangrove Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim global.

Perubahan Iklim Alam, 5, 1089–1092.

https://doi.org/10.1038/nclimate2734 [13].Murtini, S., Kuspriyanto, & Kurniawati,

A.(2018). Strategi pengembangan kawasan mangrove wonorejo sebagai ekowisata di surabaya. Jurnal Fisika: Seri Konferensi,953, 012174. https://doi.org/10.1088/1742- 6596/953/1/012174

[14].Nugraha, B., Banuwa, IS, & Widagdo, S.

(2015). Perencanaan Lanskap Ekowisata Hutan Mangrove di Pantai Sari Ringgung Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran.

Jurnal Sylva Lestari

,

3(2)

, 53–66.

https://doi.org/10.23960/jsl2353-66

[15].Santos, LCM, Gasalla, MA, Dahdouh- Guebas, F., & Bitencourt, MD(2017).

Sosial-ekologis penilaian

untuk perencanaan lingkungan di wilayah

perikanan pesisir: Studi kasus di hutan bakau Brasil. Pengelolaan Laut dan Pesisir,138, 60–

69.

https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2017.01 .

[16].Wahyuni, S., Sulardiono, B., &

009

Hendrarto,

Pengembangan

Wonorejo, Kecamatan Rungkut Surabaya.

Jurnal Maquares Diponegoro

,

4(4)

, 66– 70.

[1]. Ahmad, A., Wirakartakusumah, MBS,

& Rusolono, T.(2016). Model Spasial Deforestasi Di Kphp Poigar , Provinsi Sulawesi Utara (Pemodelan Spasial Deforestasi di KPH Poigar , Sulawesi Utara).Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea Vol. 5 No.2, Agustus 2016:

159-169.

https://doi.org/10.18330/jwallacea.2016.vol5 iss2pp159-169

[2].Azis, SSA, Sipan, I., Sapri, M., & Zafirah, A.M. (2018). Membuat yang tidak berbahaya bakau

ekosistem:

Memahami pengaruh produk ekowisata dari perspektif Malaysia dan

internasional.Lautan dan Pesisir

Pengelolaan,

165,

416–427.

https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2018.09 . 014

Basyuni, M., Bimantara, Y., Siagian, M., Wati, R., Slamet, B., Sulistiyono, N.,

Mengembangkan

pengelolaan melalui ekowisata di Sumatera Utara, Indonesia. Di dalam

Seri Konferensi IOP:

Ilmu Bumi dan Lingkungan

(hlm. 1–7).

https://doi.org/10.1088/1755- 1315/126/1/012109

Fisu, A.A. (2017). Tuntutan Potensi Terhadap Pengembangan Kanal Jongaya

& Panampu Sebagai Moda Transportasi (Waterway) Di Kota Makassar.Jurnal Manajemen Transportasi Dan Logistik.

https://doi.org/10.25292/j.mtl.v3i3.68 Fisu, AA, Didiharyono, D., & Bakhtiar.

(2020). Analisis Kelayakan Ekonomi &

Finansial Masterplan Kawasan Industri Perikanan Tarakan.Seri Konferensi IOP:

Ilmu Bumi dan Lingkungan,469, 1–7.

https://doi.org/10.1088/1755-

1315/469/1/012002

[6].Fisu AA.(2016). Analisis dan Konsep Perencanaan Kawasan Pelabuhan Kota Penajam Sebagai Pintu Gerbang Kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur.

Pena Teknik: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Teknik. 1(2). 125-136

Giarno, G., Didiharyono, D., Fisu, AA, &

Mattingaragau, A.(2020). Pengaruh Musim Hujan dan Kemarau terhadap Interpolasi Curah Hujan Harian di Medan Kompleks Sulawesi. Di dalamSeri Konferensi IOP: Bumi

dan

Lingkungan Sains.

https://doi.org/10.1088/1755- 1315/469/1/012003

Hakim, L., Siswanto, D., & Makagoshi, N.

(2017). Konservasi Mangrove di Jawa Timur:

Perspektif Pengembangan Ekowisata.

[3].

Leidonad,

mangrove berbasis masyarakat

R. (2018).

[4].

[5].

[7].

B.

(2015).

Ekowisata

Strategi

Bakau

[8].

Referensi

Dokumen terkait