PROBLEMATIKA BERPIKIR KRITIS SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA DAN
ALTERNATIF PEMECAHANNYA
Faiqotul Munawwaroh, *
1Mathematics Education, Faculty Training and Teacher, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia
* Correspondence purposes, email: [email protected]
Abstrak: Kemampuan berpikir kritis merupakan prasyarat keterampilan yang dimiliki pada abad 21. Matematika merupakan mata pelajaran yang salah satu tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan kemampuan berpikir kritis siswa dan solusi yang ditawarkan. Subjek penelitian ini adalah 3 siswa kelas X SMA Negeri 1 Gombong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 permasalahan dalam berpikir kritis siswa berdasarkan indicator Facione yaitu 1) kemampuan analisis, mengidentifikasi hubungan- hubungan antara pernyataan, pertanyaan, dan konsep yang diberikan dalam soal yang ditunjukkan dengan membuat model matematika dengan tepat dan memberi penjelasan dengan tepat; 2) kemampuan evaluasi, menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal, lengkap, dan benar dalam melakukan perhitungan; dan 3) inferensi, menarik simpulan dari apa yang ditanyakan dengan tepat. Pendekatan open-ended yang memberikan keluasan berpikir, mencari alternatif jawaban sebanyak mungkin, bersifat konseptual, dan melibatkan kemampuan berpikir kritis untuk memecahkan masalah diharapkan menjadi salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi ketiga masalah berpikir kritis tersebut.
Kata kunci : Urgensi Berpikir Kritis, Berpikir kritis, Open-ended,
Abstract: The ability to think critically is a prerequisite for skills possessed in the 21st century.
Mathematics is a subject whose goal is for students to have this ability. This study aims to determine the problems of students' critical thinking skills and the solutions offered. The subjects of this study were 3 class X students of SMA Negeri 1 Gombong. The results showed that there were 3 problems in students' critical thinking based on the Facione indicator, namely 1) analytical skills, identifying the relationships between statements, questions, and concepts given in the questions indicated by making a mathematical model correctly and giving an appropriate explanation; 2) evaluation ability, using the right strategy in solving questions, complete, and correct in doing calculations; and 3) inference, draw conclusions from what is asked correctly. An open-ended approach that provides broad thinking, seeks as many alternative answers as possible, is conceptual in nature, and involves critical thinking skills to solve problems is expected to be one of the right solutions to overcome these three critical thinking problems.
Keywords: Critical thinking urgency, Critical thinking, Open-ended
PENDAHULUAN
Laju kemajuan zaman saat ini adalah merupakan hasil dari percepatan, ketepatan, dan keterampilan piranti berpikir manusia. Berbekal dengan piranti tersebut maka peradaban saat ini mengalami lompatan kemajuan dari berbagai aspek kehidupan. Perkembangan berbagai piranti berpikir manusia tidak lepas dari peran penting melalui pembelajaran yang terencana dan tersusun dengan baik sehingga akan menentukan arah peradaban selanjutnya.
Menukil Partnership for 21st Century Learning (P21) (2015) bahwa memasuki abad 21 ini peserta didik semestinya memiliki keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, komunikatif, dan kolaboratif. Selain keterampilan tersebut, literasi teknologi, pembangunan karakter, dan kewarganegaraan merupakan serangkaian keterampilan yang wajib dimiliki oleh peserta didik pada abad 21 ini (Widana, dkk., 2019; Arifin, 2017). Dengan demikian maka kurikulum, metode/ model/ desain pembelajaran serta asesmennya dirancang dan diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban masa depan.
Saat ini kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat dunia tidaklah ringan. Persoalan lingkungan, globalisasi beserta implikasi nilai yang dibawanya, dan masalah sosial tidak dapat diselesaikan oleh cara sederhana dan biasa. Oleh karena itu perlu dipupuk sejak dini cara berpikir kritis sehingga memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah (critical thinker and problem-solver).
Keterampilan berpikir kritis ini tidak hanya diperlukan untuk memecahkan persoalan yang jauh dari peserta didik, namun juga dapat membantu peserta didik dalam menemukan solusi terhadap persoalan pribadi maupun lingkar sosial mereka (Nuryanti, Zubaidah, & Diantoro, 2018). Dengan demikian maka berpikir kritis dapat menjadi elan vital rancang bangun pembelajaran karena potensi intelektual peserta didik dapat dibentuk (Zubaidah & Corebima, 2011) dan dapat diterapkan disetiap jenjang pendidikan (Peter, 2012). Lebih spesifik dalam pembelajaran matematika misalnya kemampuan berpikir kritis dapat terasah dengan baik mengingat penyelesaian masalah dalam matematika memerlukan urutan berpikir menganalisa masalah, merencanakan tahapan pemecahan masalah, mencari data selengkap mungkin guna memecahkan masalah (Lambertus, 2009), dan melakukan analisa, interpretasi, dan konklusi (Facione, 1991) dengan kesimpulan yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Ennis, 1993).
Keterampilan berpikir kritis menjadi prasyarat kemampuan bagi setiap orang yang hidup dalam era reformasi dan masyarakat ekonomi global (As’ari, 2014; Norman, dkk., 2017). Percepatan pertumbuhan teknologi komunikasi dan informasi juga berimplikasi terhadap kebutuhan berpikir kritis dalam menyeleksi dan membedakan informasi yang benar ataupun hoaks (Cottrell, 2005). Artinya, berpikir kritis tidak dapat dihindari untuk memecahkan masalah sehari-hari demi keberlangsungan kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan usaha serius untuk menanamkan, mengembangkan, menumbuhkan, dan mempertajam kemampuan berpikir kritis siswa (Jacob, 2012).
Beberapa ahli memberikan pendapat yang berbeda berkaitan dengan bagaimana mengukur keterampilan berpikir kritis. Facione dalam Pertiwi(2018) menyebutkan bahwa ada empat komponen penting untuk mengukur kemampuan tersebut, yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi.
Sementara itu, Halpern (2012) menyuguhkan lima dimensi untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, yakni nalar verbal, analisis argumen, berhipotesis, persamaan dan ketidakpastian, dan membuat keputusan dalam menyelesaikan masalah.
Hasil survei mengenai prestasi peserta didik yang dilaksanakan secara internasional menunjukan bahwa nilai peserta didik Indonesia masih jauh di bawah rata-rata. Kemampuan anak Indonesia secara ilmiah tetap dianggap masih dalam katagori rendah dengan menempati posisi di bawah di antara negara- negara lainya sebagaiman terlihat dalam tabel 1. Berikut tabel peringkat Indonesia dalam PISA selama 10 tahun terakhir menurut OECD (2010., 2013., 2016., 2019).
Tabel 1. Peringkat Indonesia dalam PISA Tahun Mengikuti Peringkat Skor
2009 61 dari 65 371
2012 64 dari 65 375
2015 62 dari 70 386
2018 73 dari 79 487
Hasil observasi dilapangan menunjukan bahwa kebanyakan siswa terbiasa menerapkan konsep/rumus matematika sehingga mereka mengalami kesulitan ketika mengerjakan soal yang membutuhkan kemampuan nalar kritis dengan melakukan analisa, menguji jawaban, dan membuat kesimpulan yang benar. Pelaksanaan pembelajaran matematika lebih banyak melatih siswa pada kemampuan prosedural melalui latihan soal yang rutin yang sifatnya tertutup (close-ended). Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang dapat merangsang kemampuan berpikir matematis siswa khususnya kemampuan berpikir kritis matematis. Padahal Dalam menyelesaikan masalah matematika diperlukan kemampuan berpikir kritis untuk menentukan ide awal pengerjaan soal tersebut. Hal ini disebabkan tidak semua soal matematika dapat langsung diselesaikan menggunakan rumus-rumus yang ada (Putra, dkk., 2016). Siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kritis yang baik dalam menentukan ide awal pengerjaan soal matematika akan lebih mudah untuk menyelesaikan soal tersebut. Sementara itu, siswa dengan kemampuan berpikir kritis yang kurang baik akan merasa kesulitan dalam mengerjakan soal tersebut (Crismono, 2017).
Chukwuyeum (2013) menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menerapkan kegiatan yang melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa untuk memberikan kesempatan siswa mengasah keterampilan berpikir kritis mereka. Selain itu Hidayanti, As’ari, & Daniel (2016) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah terutama pada indikator analisis, evaluasi, dan inferensi. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis data yaitu 46.7% siswa dapat melakukan interpretasi dengan baik, 23% siswa menganalisis dengan baik, dan pada indikator evaluasi, dan inferensi tidak ada siswa yang dapat melakukan evaluasi dan inferensi. Sedangkan pada penelitian ini hanya difokuskan untuk mendeskripsikan problematika kemampuan berpikir kritis siswa guna mencari solusi yang ditawarkan.
Dengan demikian penulisan ini bersifat studi pendahuluan yang inspiratif bagi akademisi maupun guru dalam menemukan kesulitan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika yang mengacu pada indikator menurut Facione karena dipandang lebih cocok untuk mengukur kesulitan berpikir kritis siswa dalam matematika.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMA N 1 Gombong. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 3 siswa kelas X SMA N 1 Gombong. Teknik pemilihan subjek yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Hal ini dilakukan karena sesuai dengan pernyataan Sugiyono (2010) bahwa teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan subjek sumber data dengan pertimbangan tertentu. Dalam teknik purposive sampling, anggota sampel dapat dipilih berdasarkan tujuan tertentu. Pertimbangan tertentu dalam pemilihan subjek penelitian ini yaitu siswa tersebut yang dianggap tahu tentang apa yang diharapkan dalam penelitian ini.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif yang mengikuti konsep Miles dan Huberman, artinya aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga data yang diperoleh bersifat jenuh (Huberman & Miles, 2002). Teknik analisis data wawancara dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan teknis analisis data model Miles dan Huberman yang meliputi tahapan reduksi data, pemaparan data atau kategorisasi, dan penarikan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini disajikan deskripsi analisa hail jawaban siswa untuk mengetahui persoalan yang muncul dalam berpikir kritis.
1. Soal Nomor 1
Gambar 1. Hasil pekerjaan S1 untuk butir soal nomor 1
Berdasarkan gambar 1, dapat dilihat bahwa S1 memiliki kemampuan interpretasi dengan baik, hal ini terlihat ketika S1 mampu memahami hubungan antar elemen dalam soal sehingga dapat menyimpulkan apa yang ditanyakan. Selanjutnya, pada tahapan analisis, S1 membuat analisis yang tidak tepat dikarenakan S1 keliru dalam membuat pola pertama. Pola pertama (fase pertama) yang terbentuk seharusnya adalah 2, tetapi disini S1 malah menuliskan pola pertamanya yaitu 1 sehingga pola (fase) selanjutnya pun keliru. Karena pola (fase) yang terbentuk itu keliru, maka S1 juga menghasilkan jawaban dan kesimpulan yang keliru. Hal ini berarti S1 tidak mampu melewati tahap evaluasi dan inferensi. Kesalahan pada S1 diduga karena S1 hanya melihat banyaknya orang yang tertular virus pada fase tertentu yang telah dihitungnya. Padahal seharusnya yang ia cari adalah jumlah kumulatif orang yang tertular virus tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan S1 terkait dengan soal nomor 1 menunjukkan bahwa S1 sudah mampu memahami soal yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan S1 untuk menjelaskan kembali maksud dari soal yang diberikan. Namun pada tahapan analisis, S1 belum mampu mengidentifikasi hubungan-hubungan antara pernyataan, pertanyaan, dan konsep yang diberikan sehingga jawaban siswa tidak tepat. Kesalahan S1 tersebut meliputi ketidaktepatan S1 dalam menggunakan konsep Eksponen serta Langkah prosedur penyelesaian Eksponen dengan benar.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa siswa S1 tersebut gagal memahami pertautan konsep dan peristiwa yang ada dalam soal.
Gambar 2. Hasil pekerjaan S2 untuk butir soal nomor 1
Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat bahwa S2 juga mampu memahami soal nomor 1 dengan baik. S2 mampu mengidentifikasi apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal, artinya siswa telah mengawali proses berpikir dengan melakukan interpretasi. Selanjutnya, sama dengan S1, S2 juga membuat analisis yang tidak tepat dikarenakan keliru dalam membuat pola pertama yang mengakibatkan pola-pola selanjutnya juga keliru. Karena pola yang terbentuk itu keliru, maka S2 juga menghasilkan jawaban dan kesimpulan yang keliru. Hal ini berarti S2 tidak mampu melewati tahap evaluasi dan inferensi. Sama halnya dengan S1 kesalahan pada S2 diduga miskonsepsi yang terjadi pada S2 yaitu hanya melihat banyaknya orang yang tertular virus pada fase tertentu saja.
Padahal seharusnya yang dicari adalah jumlah kumulatif orang yang tertular virus tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan S2 terkait dengan soal nomor 1 menunjukkan bahwa S2 sudah mampu memahami soal yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan S2 untuk mampu menjelaskan kembali maksud dari soal yang diberikan berdasarkan pemahamannya dengan benar serta mampu menyatakan informasi apa saja yang penting pada soal. Namun pada tahapan analisis, S2 belum mampu mengidentifikasi hubungan-hubungan antara pernyataan, pertanyaan, dan konsep yang diberikan dalam soal dengan benar. Ditunjukkan dengan penyelesaian yang dilakukan adalah dengan menggunakan segitiga pascal. Meskipun sebenarnya itu tidak masalah, tetapi materi yang sedang digunakan disini adalah terkait dengan konsep Eksponen sehingga menjadi kurang tepat.
Selain itu, sama dengan S1, fase yang terbentuk disini juga keliru maka penyelesaian masalah dan kesimpulannya pun ikut keliru meskipun ketika diberikan pertanyaan pancingan sedikit S2 sudah mengetahui kesalahannya dan harusnya fase pertama yang terbentuk itu seperti apa. Namun dalam menyelesaikan masalah dan menarik kesimpulan S2 hanya melihat banyak orang yang tertular virus pada fase tertentu saja bukan dengan menjumlahkan banyaknya orang yang tertular virus sampai 252 orang tertular virus. Ketika ditanya dan diberi sedikit pertanyaan pemantik, S2 juga masih tetap bingung dan tidak tahu, karena yang S2 pahami hanya itu saja.
2. Soal Nomor 2
Gambar 3. Hasil pekerjaan S1 untuk soal nomor 2
Berdasarkan gambar 3, dapat dilihat bahwa S1 mampu memahami soal nomor 2 dengan baik.
S1 mampu mengidentifikasi apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal, artinya siswa telah mengawali proses berpikir dengan melakukan interpretasi. Selanjutnya, S1 membuat analisis yang tidak tepat dikarenakan S1 tidak memanfaatkan Fungsi Eksponen meskipun sebetulnya dalam perhitungannya tidak terjadi kesalahan namun tetap saja hal tersebut membuat S1 menghasilkan jawaban dan kesimpulan yang tidak tepat. Hal ini berarti S1 tidak mampu melewati tahap evaluasi dan inferensi. Untuk melihat lebih jauh apakah penyebab S1 tidak memanfaatkan Fungsi Eksponen.
Berdasarkan hasil wawancara dengan S1 terkait dengan soal nomor 2 menunjukkan bahwa S1 sudah mampu memahami soal yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan S1 untuk mampu menjelaskan kembali maksud dari soal yang diberikan berdasarkan pemahamannya dengan benar serta juga mampu menyatakan informasi apa saja yang penting pada soal. Namun pada tahapan analisis, S1 belum mampu mengidentifikasi hubungan-hubungan antara pernyataan, pertanyaan, dan konsep yang diberikan dalam soal dengan benar. Ditunjukkan dengan penyelesaian yang dilakukan adalah dengan menggunakan cara manual. Ketika ditanya tentang Fungsi Eksponen ternyata S1 lupa sehingga yang terpikirkan hanyalah menggunakan cara manual. Ketika diminta untuk menjelaskan dengan Fungsi Eksponen S1 juga tidak bisa menjelaskannya. Oleh karena itu, selain tahapan analisis S1 juga tidak mampu melalui tahapan evaluasi dan inferensi dengan baik. Hal ini ditunjukkan dari hasil penyelesaian masalah dan kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat.
Gambar 4. Hasil pekerjaan S2 untuk soal nomor 2
Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat bahwa S2 juga mampu memahami soal nomor 2 dengan baik. S2 mampu mengidentifikasi apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal, artinya siswa telah mengawali proses berpikir dengan melakukan interpretasi. Selanjutnya, S2 juga mampu membuat analisis yang tepat. Hal ini ditunjukkan dengan S2 mampu mengetahui elemen-elemen apa saja yang
harus ada sebelum tahapan penyelesaian masalah, yaitu dengan menghitung jumlah menit selama 6 jam kemudian membaginya dengan 45 menit sehingga diperoleh hasil 8 sebagai pangkatnya. Namun, dalam tahap evaluasi atau penyelesaian masalah S2 tidak mampu menjawabnya dengan benar.
Terlihat bahwa S2 menggunakan angka 5 sebagai basisnya dan mengabaikan informasi yang ada dalam soal. Hal itu terjadi diduga karena S2 lupa dengan rumus yang akan digunakan. Karena penyelesaian masalah yang disajikan tidak tepat, maka kesimpulannya juga tidak tepat. Hal ini berarti S2 tidak mampu melewati tahap evaluasi dan inferensi. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh sebagai berikut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan S2 terkait dengan soal nomor 2 menunjukkan bahwa S2 sudah mampu memahami soal yang diberikan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan S2 untuk mampu menjelaskan kembali maksud dari soal yang diberikan berdasarkan pemahamannya dengan benar serta juga mampu menyatakan informasi apa saja yang penting pada soal. Pada tahapan analisis, S2 juga mampu mengidentifikasi hubungan-hubungan antara pernyataan, pertanyaan, dan konsep yang diberikan dalam soal dengan benar. Ditunjukkan dengan penyelesaian yang dilakukan adalah dengan menggunakan konsep Pertumbuhan dalam Fungsi Eksponen. Namun, sayangnya penyelesaian masalah dan kesimpulan yang diperoleh masih belum tepat. Ketika ditanya, S2 kurang yakin dengan rumus yang ia gunakan karena lupa-lupa ingat. Artinya S2 masih kesulitan dalam tahapan evaluasi dan inferensi.
Hasil analisis terhadap hasil tes dan wawancara pada subjek menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berupa kemampuan analisis, evaluasi, dan inferensi pada soal nomor 1 dan 2. Permasalahan analisis berupa ketidakmampuan siswa mengidentifikasi hubungan antara pernyataan, pertanyaan, dan konsep yang diberikan dalam soal. Hanya S2 yang memiliki kemampuan analisis yang baik. Permasalahan evaluasi muncul ketika siswa tidak tepat dalam memilih strategi untuk menyelesaikan soal dengan benar.
Sementara kemampuan inferensi tidak terlihat manakala siswa tidak mampu menyimpulkan jawaban dengan tepat.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pembelajaran yang tepat untuk mengatasi persoalan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan open-ended. Menurut Risnasosanti (2012) pendekatan open-ended dapat memberikan kebebasan kepada siswa melalui pemberian keleluasaan berpikir siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika (Adirakasiwi, 2014). Dengan demikian pendekatan open-ended bukanlah pendekatan pembelajaran mekanistik prosedural saja. Artinya siswa hanya menerapkan pengetahuan faktual prosedural sehingga siswa akan kesulitan ketika memecahkan masalah yang membutuhkan kemampuan konseptual. Kemampuan konseptual ini terjadi manakala pembelajarannya bersifat terbuka, banyak bertukar ide dan gagasan untuk memecahkan masalah dengan berbagai macam pendekatan dan solusi yang beragam. Dengan demikian maka pendekatan open-ended akan mengasah kemampuan analisis, evaluasi, dan inferensi melalui kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan mengandalkan pembelajaran mekanistik semata.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil observasi awal, pembahasan, dan hasil analisisnya maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ditemukan permasalahan pada kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika, yakni siswa belum mampu:
a. Mengidentifikasi hubungan antara pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan, dan konsep yang diberikan dalam soal yang ditunjukkan dengan membuat model matematika dengan tepat dan memberi penjelasan dengan tepat; menghubungkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal dengan baik; dan analisis memecah objek menjadi objek yang sudah dipelajari kurang dikuasai.
b. Menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal, lengkap, dan benar dalam melakukan perhitungan
c. Menarik simpulan dari apa yang ditanyakan dengan tepat
2. Faktor yang menyebabkan kesulitan berpikir kritis siswa diantaranya adalah kebanyakan siswa terbiasa menerapkan konsep/rumus matematika sehingga mereka mengalami kesulitan ketika mengerjakan soal yang membutuhkan kemampuan nalar kritis dengan melakukan analisa, menguji jawaban, dan membuat kesimpulan serta pembelajaran yang lebih banyak melatih siswa pada kemampuan prosedural melalui latihan soal yang rutin yang sifatnya tertutup (close ended). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis adalah pendekatan open-ended. Pendekatan pembelajaran ini memiliki potensi memberikan kesempatan kepada siswa untuk menganalisis, mengembangkan gagasannya untuk memecahkan masalah yang diberikan serta mampu melatih siswa dalam menguji jawaban/verifikasi dan menyimpulkan secara benar sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Pendekatan ini dipandang mampu menggali kemampuan siswa dalam menemukan kata kunci permasalahan, menyikapi masalah, sudut pandang, informasi, konsep, asumsi, alternatif pemecahan masalah, interpretasi, dan implikasi beragam solusi dan strategi penyelesaian.
DAFTAR PUSTAKA
Adirakasiwi, A, G. (2014). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Open Ended untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Koneksi Matematis. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika Program Pasca Sarjana STKIP Siliwangi, 27 November 2014. Bandung.
Akgun, A., & Duruk, U. (2016). The investigation of preservice science teachers’ critical thinking dispositions in the context of personal and social factors. Science Education International, 27(1), 3–15.
Anderson, L. W., Krathwohl, D. R., Airasian, P. W., Cruikshank, K. A., Mayer, R. E., Pintrich, P. R., Raths, J., & Wittrock, M. C. (2001). A Taxonomy for learning, teaching, and assissing: A Revision of bloom’s taxonomy of educational objectives. New York: Longman.
Andriani, I., & Suparman. (2018). Deskripsi Bahan Ajar Matematika Berbasis PMRI untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VII. Seminar Nasioonal Pendidikan Matematika Ahmad Dahlan 2018, 221-226. Yogyakartta: Universitas Ahmad Dahlan.
Arifin, Z. (2017). Mengembangkan Instrumen Pengukur Critical Thinking Skills Siswa pada Pembelajaran Matematika Abad 21. Jurnal Theorems, 1(2), 92–100.
As’ari, A. R. (2014). Ideas for developing critical thinking at primary school level. Paper presented at the International Seminar on Addressing Higher Order Thinking: Critical Thinking Issues in Primary Education, At Universitas Islam Muhammadiyah Makasar Sulawesi Selatan.
As’ari, A. R., Mahmudi, A., & Nuerlaelah, E. (2017). Our Prospective mathematic teachers are not critical thinkers yet. Journal on Mathematics Education, 8(2), 145–156.
Bayu Nugroho, P., Nusantara, T., As'ari, A. R., & Hidayanto, E. (2018). Critical thinking disposition:
Students Skeptic in dealing with ill-logical mathematics problem. International Journal of Instruction, 11(3), 635–648.
Biber, A. C., Tuna, A., & Incikabi, L. (2013). An investigation of critical thinking dispositions of mathematics teacher candidates. Educational Research, 4(2), 2141– 5161.
Chukwuyenum, Asuai Nelson. 2013. Impact of Critical Thinking on Performance In Mathematics Among Senior Secondary School Students In Lagos State. IOSR Journal of Research & Method In Education, 3(5): 18 – 25.
Cottrell. (2005). Critical thinking skills: Developing effective analysis and argument. New York N. Y:
Palgrave Macmillan.
Creswell, J. W. (2014). Research design. Los Angeles: SAGE.
Crismono, P. C. (2017). Pengaruh outdoor learning terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa.
Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains, 5(2), 106-113.
Ennis, R. H. (1993). Critical thinking assessment. Theory Into Practice, 32 (3), 179–186.
https://doi.org/10.1080/00405849309543594
Facione, P. A. (1991). Using the California critical thinking skills test in research, evaluation, and assessment. California: Academic Press.
Facione, P. A. (2011). Critical thinking : What it is and why it counts. Milbrae: California Academic Press.
Halpern, D. F. (2012). Halpern critical thinking assessment: Test manual. Austria: Schuhfried GmbH.
Hamel, C., Turcotte, S., Laferrière, T., & Bisson, N. (2015). Improving students’ understanding and explanation skills through the use of a knowledge building forum. McGill Journal of Education, 50(1), 1-81.
Hidayanti, D. (2016). Analisis kemampuan berpikir kritis siswa smp kelas ix pada materi kesebangunan.
Konferensi Nasional Penelitian Matematika Dan Pembelajaran, 2502–6526 (Knpmp I), 276–285.
Hidayanti, D. A. R., As’ari, & Daniel, T. C. (2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP Kelas IX.
Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 1(4), 634-649.
10
p-ISSN 2089-8878; e-ISSN xxxx-xxxx
Vol. xx, No. y, zzzzzzzzz 201x Jacob, S. M. (2012). Mathematical achievement and critical thinking skills in asynchronous discussion
forums. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 31(2011), 800–804.
Jimenez, P. K. (2010). Students’ interpretations of mathematical statements involving quantification.
Mathematics Education Research Journal, 22(3), 41–56.
Kohar, A. W., Zulkardi, Z., & Darmawijoyo, D. (2014). Developing Pisa-Like Mathematics Tasks To Promote Students? Mathematical Literacy. Dlm. Ratu Ilma (Eds). The SecondSouth East Asia Design/ Development Research (SEA-DR) International Conferences, April 26-27, 2014, Unsri, Palembang.
Lambertus, L. (2009). Pentingnya melatih keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika di SD. Forum Pendidikan, 28 (2), 136–142.
Moore, K. C., & Carlson, M. P. (2012). Students’ images of problem contexts when solving applied problems. Journal of Mathematical Behavior, 31(1), 48-59.
https://doi.org/10.1016/j.jmathb.2011.09.001
Norman, M., Chang, P., & Prieto, L. (2017). Stimulating critical thinking in U.S business students through the inclusion of international students. Journal of Business Diversity, 17(1), 122–130.
Nuryanti, L., Zubaidah, S., & Diantoro, M. (2018). Analisis kemampuan berpikir kritis siswa SMP.
Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan, 3 (2), 155–158.
https://doi.org/10.17977/JPTPP.V3I2.10490
OECD. (2016). PISA 2015 Assesement and Analytical Framework: Science, Reading, Mathematics and Finacial Literacy. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2019). PISA 2018 Assessment and Analytical Framework: PISA. Paris: OECD Publishing.
https://doi.org/10.1787/7fda7869-en
OECD. (2010). PISA 2012 Mathematics Framework. Paris: OECD Publishing.
OECD. (2013). PISA 2012 Assessment and Analytical Framework: Mathematics, Reading, Science, Problem Solving and Financial Literacy. German: OECD Publishing.
Omar, N., Sufi, S., Hassan, R., & Arshad, H. (2012). Automated analysis of exam questions according to bloom’s taxonomy. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 59, 297–303.
Partnership for 21st Century Learning. (2015). P21 Framework definition.
http://www.p21.org/our-work/p21-framework/P21_Framework_Definitions_New_Logo- 2015.pdf
Pertiwi, W. (2018). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik SMK Pada Materi Matriks. Jurnal Pendidikan Tambusai, 2(2), 821-831.
Peter, E. E. (2012). Critical thinking: Essence for teaching mathematics and mathematics problem solving skills. African Journal of Mathematics and Computer Science Research, 5 (3), 39–43.
https://doi.org/10.5897/ajmcsr11.161
Phonapichat, P., Wongwanich, S., & Sujiva, S. (2014). An analysis of elementary school students’
difficulties in mathematical problem solving. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 116, 3169–3174.
Putra, Y. Y., Zulkardi, Z., & Hartono, Y. (2016). Pengembangan soal matematika model PISA level 4, 5, 6 menggunakan konteks lampung. Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, 7(1), 10-16.
Rubie-Davies, C., M. (2010). Teacher expectations and perceptions of student attributes: Is there a relationship. British Journal of Educational Psychology, 80, 121-135.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Watson, G., & Glaser, E. (2002). Watson-Glaser critical thinking appraisal-UK edition practice test.
Londan: Pearson.
Widana, I. W., Adi, S., Herdiyanto, Abdi, J., Marsito, & Istiqomah. (2019). Modul Penyusunan Soal Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS) Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Zubaidah, S., & Corebima, A. D. (2011). Asesmen berpikir kritis terintegrasi tes essay. Symbion:
Symposium on Biology Education, 200–2013.