• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROCEEDING International Seminar - Repository UNISBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PROCEEDING International Seminar - Repository UNISBA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PROCEEDING

International Seminar

of Inter Islamic University Cooperation

April 25th-27th 2017

Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Palangkaraya, Central Borneo

BOOK III: Social Politics

ISBN : 978-602-52478-3-5

Printed by:

BKS-PTIS

All right reserved. No parrt of this publication may be produce, stored in retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopyng, recording or otherwise, without prior permission.

NATIONAL LIBRARY Cataloguing – In Publication Data

(2)

DAFTAR ISI

Etika Politik dalam Islam

Indah Tri Handayani / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 1 – 10

Urgensi Pemilihan Ketua Umum Partai Politik yang Demokratis

Jamaludin Ghafur / Universitas Islam Indonesia 11 – 24

Pelantikan Terdakwa sebagai Kepala Daerah dalam Optik Budaya Politik yang Beretika

Muryanto Lanontji & Rudy Iskandar Ichlas / Universitas Muhammadiyah Kendari 25 – 31

Pengembalian Drs. Setya Novanto, Ak. Sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ditinjau dari Budaya Politik yang Beretika

Rudy Iskandar Ichlas / Universitas Muhammadiyah Kendari 32 – 37

Sistem Politik Indonesia dalam Pencalonan Pemimpin Non Muslim di Tengah Mayoritas Masyarakat Muslim Berbasis Demokrasi

Supriadi / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 38 – 46

Budaya dan Etika Politik

Endang Sri Suyati / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 47 – 56

Budaya Politik Pemerintahan Yudhoyono dan Demokrasi Indonesia

Farid Zaky Yopiannor & Mohamad Nurdin / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 57 – 67

Revitalisasi Etika Pancasila dalam Politik Kontemporer Indonesia

Irwani / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 68 – 75

Politik Kepemimpinan dalam Islam

Lastaria / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 76 – 86

(3)

Mamangun Tuntang Mahaga Lewu (PM2L) di Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah

Syamsuri / Universitas Palangka Raya 87 – 97

Kewenangan Daerah dalam Pengelolaan Kepelabuhanan menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Efik Yusdiansyah / Universitas Islam Bandung 98 – 110

Pemilihan Agama Anak dari Orang Tua Beda Agama di Kota Palangka Raya

Hamdanah / Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya 111 – 124

Pemimpin yang Melayani dalam Membangun Bangsa yang Mandiri

Asep Solikin, Muhammad Fatchurahman, & Supardi / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 125 – 135

Shalat sebagai Sumber Etika Politik dalam Berbangsa yang Beradab

Muhammad Muhtar Arifin Sholeh / Universitas Islam Sultan Agung 136 – 144

Muhammadiyah dan Politik: Dilema antara Keep Close dan Keep Distance

Ma’mun Murod Al-Barbasy / Universitas Muhammadiyah Jakarta 145 – 154

Diplomasi Publik sebagai Program Peningkatan Kompetensi Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Barat

Ani Yuningsih / Universitas Islam Bandung 155 – 162

Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Standar/Baku menurut Hukum Positif dan Hukum Islam di Indonesia

Lina Jamilah / Universitas Islam Bandung 163 – 171

Eksistensi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Dayak dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan

Rida Respati, Muhammad Azhari & Sari Marlina / Universitas Muhammadiyah Palangkaraya 172 – 178

Tinjauan tentang Pemimpin yang Sesuai Ideologi Indonesia

Hanuring Ayu Ardhani Putri / Universitas Islam Batik Surakarta 179 – 188

(4)

Rusli Kustiaman Iskandar / Universitas Islam Bandung 189 – 199

Tinjauan Tentang Pemimpin Yang Sesuai Ideologi Indonesia

Hanuring Ayu Ardhani Putri / Universitas Islam Batik Surakarta 200 – 208

Nurjannah Abna / Universitas Muslim Indonesia 209 - 215

(5)

MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Oleh Efik Yusdiansyah1

Abstrak

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kewenangan atau wewenang merupakan sesuatu yang sangat penting dan menjadi bagian awal dari hukum administrasi. Tanpa kewenangan, penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik. Karena kewenangan memberikan kemampuan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2014, bagaimana kewenangan pengelolaan kepelabuhan dalam era otonomi daerah? Dalam bidang pelabuhanan, bergulirnya era otonomi daerah menyebabkan pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan dan pembagian kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pelabuhan. Imbas nyata dari pelaksanaan otonomi daerah salah satunya adalah pemberian kewenangan daerah yang hanya sebatas untuk mengusahakan dan mengelola pelabuhan lokal, sedangkan pelabuhan regional dikelola oleh pemerintah provinsi dan untuk pelabuhan nasional/internasional dikkelola oleh pemerintah.

A. PENDAHULUAN

Pembangunan pada hakikatnya merupakan perubahan secara terus menerus dan merupakan kemajuan serta perbaikan menuju ke arah tujuan yang ingin dicapai untuk membangun manusia Indonesia dengan tujuan untuk membentuk masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), serta merupakan proses tindakan baik dari pemerintah maupun pihak swasta yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan kesejahteraan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Pembangunan ekonomi diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan peran serta aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serta bertanggungjawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan.2

Dalam sistem negara kesatuan (eenheidsstaat) Indonesia, diselenggarakan untuk sebagian urusan secara sentralisasi, dan diselenggarakan pula pemencaran kekuasaan kepada organ-organ yang menjalankan sebagian wewenang pemerintah

1 Dosen Fakultas Hukum Unisba Prodi S1, S2, dan S3.

2 Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1996, hlm. 336.

(6)

pusat di daerah yang dikenal sebagai dekosentrasi. Di samping itu, diselenggarakan pula sebagian urusan pemerintahan secara desentralisasi, yakni wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan oleh satuan-satuan pemerintahan di tingkat yang lebih rendah dan bersifat otonom. Dalam rangka otonomi tersebut, perlu dijalankan sistem mekanisme yang baik tentang hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan.3Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas: 1) urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat; dan 2) urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan Pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. 4

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dilaksanakan dengan asas- asas, yakniDesentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi5. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum6.Asas desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus dalam NKRI, dan asas dekonsentrasi merupakan pelimpahan kewenangan dalam bidang penetapan strategi kebijakan dalam pencapaian tujuan progam kegiatan kepada gubernur dan instansi vertikal daerah sedangkan tugas pembantuan merupakan tugas dari instansi tingkat atas kepada instansi bawahan yang ada di daerah sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh instansi yang memberikan penugasan dan dipertanggungjawabkan kepada instansi yang memberikan penugasan.7Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah

3 Febrian, Pembangunan Hukum dan Konflik Undang-Undang Bidang Sektoral, Jurnal PSKKHPD Universitas Sriwijaya, Palembang, 2009, hlm. 1.

4Ibid., hlm. 2.

5Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

6Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

7 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 8.

(7)

Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi8.

Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintahan daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.9 Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government) sedangkan pemerintah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas Kabupaten dan kota yang memiliki pemerintahan daerah.

Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Ketentuan mengenai pemerintahan daerah ini diatur dalam undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 2014).

UU ini mengklasifikasikan urusan pemerintahan ke dalam tiga jenis yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum.Urusan pemerintahan yang absolut merupakan urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan urusan pemerintahan konkuren merupakan Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerahkabupaten/kota. Dan Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Satu lagi urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.10Pengklasifikasian urusan pemerintahan ini jelas memperlihatkan

8Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

9 Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, Makalah disampaikan pada Penataran Dosen pendidikan dan pelatihan Kemahiran Hukum BKS-PTN Bidang Hukum, FH Universitas Lampung, tanggal 11 November 1994, hlm. 2.

10 Lihat, Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014.

(8)

bahwa membicarakan kewenangan daerah berarti membicarakan urusan yang sifatnya konkuren, konsekwensinya urusan ini akan dapat dilaksanakan dengan baik jika dilaksanakan dengan koordinasi yang baik antara pelaksana urusan dalam hal ini pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota.Sebaliknya akan berjalan seadanya bahkan cenderung tidak tepat sasaran jika dilaksanakan tanpa koordinasi yang baik.

Salah satu urusan yang tergolong urusan konkuren adalah urusan perhubungan. Urusan perhubungan ini salah satu sub urusannya adalah urusan pelayaran. Urusan pelayaran ini salah satunya terkait dengan kepelabuhanan, hal ini membawa konsekwensi bahwa terkait dengan kepelabuhanan ini ada yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan tentunya juga kabupaten dan kota. Kepelabuhanan itu sendiri menurut UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, mempunyai arti segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.

Dari pengertian ini nampak bahwa terkait pelaksanaan fungsi pelabuhan akan banyak instansi dari pemerintah pusat yang terkait begitupun dengan instansi yang ada di daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota.

Pelabuhan itu sendiri diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu pelabuhan laut dan pelabuhan sungai dan danau.11 Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai.Pelabuhan Sungai dan Danau adalah pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau yang terletak di sungai dan danau.12 Baik dalam pelabuhan laut maupun dalam pelabuhan sungai dan danau pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 97 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa Izin mengoperasikan pelabuhan laut diberikan oleh Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan. Pasal 98 ayat (4)

11 Lihat lebih lanjut Pasal 70 UU No.17 tahun 2008.

12 Lihat lebih lanjut Pasal 1 angka PP No. 61 Tahun 2009.

(9)

menyatakan Izin mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau diberikan oleh bupati/walikota.

Dalam tatanan Negara Kesatuan dimana negara Indonesia adalah bersifat eenheidstaat, dengan demikian tidak ada lembaga lainnya yang memiliki kekuasaan atas perairan, pelabuhan, kepelabuhanan yang setara dengan kekuasaan Pemerintahan Negara. Kalaupun dalam kerangka pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, berdasarkan UUD 1945 negara memberikan kewenangan kepada daerah Propinsi, Kabupaten, dan Kota atas sebagian wilayah laut dan segala fungsi yang diperlukan untuk pengelolaannya di bawah pembinaan dan pengawasan Pemerintah, maka hal itu dilaksanakan adalah semata-mata dalam kerangka untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa demi keutuhan NKRI.13

Diketahui bersama bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yaitu terdiri dari ribuan pulau dan dua per tiga wilayahnya merupakan perairan. Untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut, telah dibangun pelabuhan- pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan barang. Selain itu pelabuhan juga dapat menjadi penghubung antar pulau-pulau di Indonesia dan dengan negara lain. Posisi Indonesia berada di persilangan rute perdagangan dunia, untuk itu dibutuhkan pelabuhan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di wilayah ini sangat besar. Oleh karenanya, pelabuhan menjadi faktor yang sangat penting dalam menjalankan roda perekonomian negara.

Dalam kegiatan perdagangan yang menggunakan fasilitas pelabuhan, dilaksanakan pemindahan barang yang merupakan proses dari transaksi perdagangan. Untuk terlaksananya proses transaksi perdagangan tersebut diperlukan serangkaian kegiatan yang melibatkan pergudangan, pengawasan persediaan barang, pemeliharaan dan pengepakan, dokumentasi dan pengiriman, transportasi dan pelayanan purna jual kepada konsumen. Pendeknya, transaksi perdagangan akan sangat membutuhkan peran transportasi sebagai penunjang yang sangat menentukan. Peranan pelabuhan sekarang ini adalah:

1. Untuk melayani kebutuhan perdagangan internasionl dari daerah penyangga (hinterland) tempat pelabuhan tersebut berada;

13 Fernanda, Konflik Kewenangan Pengelolaan Kepelabuhan Dalam Perspektif Sistem Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah di Indonesia, LAN, Bandung, 2004, hlm. 35.

(10)

2. Membantu berputarnya roda perdagangan dan pengembangan industri regional;

3. Menampung pangsa yang semakin meningkat arus lalu lintas internasional baik transhipment maupun barang masuk (inland routing);

4. Menyediakan fasilitas transit untuk daerah penyangga (hinterland) atau daerah/negara tetangga.

Pelabuhan yang dikelola dengan efisien dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadai akan membawa keuntungan dan dampak positif bagi perdagangan dan perindustrian dari daerah penyangga tempat pelabuhan tersebut berada.

Sebaliknya, perdagangan yang lancar dan perindustrian yang tumbuh dan berkembang membutuhkan jasa pelabuhan yang semakin meningkat yang akan mengakibatkan perkembangan pelabuhan.Kegiatan pengusahaan di pelabuhan harus dilakukan secara aman, efektif dan efisien. Hal ini untuk menjamin pelayanan prima yang ke depannya diharapkan dapat menarik lebih banyak investor untuk berinvestasi di Indonesia sehingga perekonomian Indonesia dapat berkembang pesat. Pelabuhan sebagai pusat perekonomian suatu negara tidak lepas dari persaingan usaha di antara para pemangku kepentingan. Untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, dalam pengelolaan pelabuhan terdapat pemisahan yang tegas antara operator dan regulator.

Dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2014, bagaimana kewenangan pengelolaan kepelabuhan dalam era otonomi daerah.Dalam penyelenggaraan pemerintahan, kewenangan atau wewenang merupakan sesuatu yang sangat penting dan menjadi bagian awal dari hukum administrasi. Tanpa kewenangan, penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik. Karena kewenangan memberikan kemampuan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Dalam kewenangan, asas legalitas merupakan prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan kenegaraan disetiap Negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legalitas, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.14

B. PERUMUSAN MASALAH

14 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 100.

(11)

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana kewenangan daerah dalam pengelolaan kepelabuhanan menurut UU No. 23 Tahun 2014?

C. METODE PENELITIAN

Dalam makalah ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode yang menggunakan data sekunder sebagai sumber utama yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang- undangan, buku-buku, karya ilmiah, makalah, artikel, bahan kuliah, media masa dan sumber lainnya.

D. REKONSTRUKSI KEWENANGAN DAERAH DALAM PENGELOLAAN KEPELABUHANAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2014

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi.

Secara esensisal sebenarnya dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.15 Di tengah perubahan dan perkembangan dinamika kehidupan politik, terdapat isu sentral yang menjadi wacana publik, yaitu perlunya pembagian kewenangan yang seimbang antara pemerintah dan pemerintahan daerah.16

Hubungan pemerintah pusat dengan daerah dapat dirunut dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan UUD 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Negara Republik Indonesia yaitu Pemerintah yang bertanggung jawab mengatur

15Hari Sabarno, Untaian Pemikiran Ekonomi Daerah: Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 3.

16Kaloh, J., Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 17.

(12)

dan mengurus bangsa Indonesia.17Dalam UU No. 23 Tahun 2014, juga diadopsi kembali asas umum penyelenggaraan negara, yaitu:18 kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan keadilan. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan negara di dalam undang-undang ini tidak lain ingin mereduksi konsep good governance dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah.19 Salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam tujuan otonomi daerah yakni, pelaksanaan pembangunan dan layanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.20

Menurut UU No. 23 Tahun 2014, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.21Paradigma yang sesuai dengan penyelenggaraan otonomi daerah adalah demokratisasi. Substansi dari penyelenggaraan otonomi, menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, adalah bisa mengurus dirinya sendiri, baik dari sisi wewenang hukum, wewenang politik, wewenang pemerintahan, terutama wewenang ekonomi, dan wewenang kultural. Apa yang bisa diurus oleh daerah, maka daerah yang mengurusnya. Sementara yang tidak bisa diurus daerah, barulah pusat yang membantu mengurus. Sehingga secara substansial ada kepercayaan, kesempatan, dan instrumen pada masyarakat daerah untuk mengurus dirinya sendiri. Itulah sebetulnya basis tumbuhnya masyarakat madani (civil society) secara konkret di daerah-daerah.22

Pemberianotonomi yang seluas-seluasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada ditangan pemerintah pusat. Untuk itu Pemerintahan daerah pada negara kesatuan

17 Lihat, Penjelasan UU No. 23 Tahun 2014.

18 Lihat, Pasal 58. Ibid.

19Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2004, hlm. 107-110.

20 Widjaja. H.A.W.,Otonomi di Titik Beratkan pada Daerah Tingkat II, RajaGrafindo Persada, Jakarta,2001,hlm. 208.

21 Lihat, Pasal 1 angka 6 UU No. 23 Tahun 2014.

22Sidik Jatmika, Otonomi Daerah: Perspektif Hubungan Internasional, Bigraf Publising, Yogyakarta, 2001, hlm. 33.

(13)

merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.23

Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsi-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Dalam arti bahwa dalam penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah, menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke kemasyarakat, yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.24 Pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, dengan prinsip hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, yakni pelaksanaan prinsip otonomi daerah. Otonomi daerah dimaksudkan adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan.25 Pembangunan daerah bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan di bidang ekonomi yang serasi dan terpadu, baik antar sektor maupun antar pembangunan sektoral yang perencanaan pembangunannya dilakukan oleh pemerintah daerah secara efesien dan efektif menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok tanah air.26 Melihat hal tersebut, pemberian otonomi yang seluas-

23 Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat, Ketentuan menimbang huruf b UU No. 23 Tahun 2014, diberlakukan pada tanggal 30 September 2014 menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

24 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 224.

25 Ginanjar Kartasasmita. Pembangunan Untuk…. Loc.Cit.

26Ibid.

(14)

luasnya kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.27

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

Pembangunan daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu melalui pendekatan sentralistis dan melalui pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralistis mengandung arti bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan adalah pemerintah pusat. Sedangkan pendekatan desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan daerah sebagian besar merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah (pemerintah daerah) secara otonom. Pembangunan daerah melalui desentralisasi atau otonomi daerah, memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) di daerah.28

Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai transportasi yang menunjang roda perekonomian negara atau suatu daerah di mana pelabuhan tersebut berada.

Perindustrian, pertambangan, pertanian dan perdagangan pada umumnya membutuhkan jasa transportasi termasuk jasa pelabuhan. Oleh karenanya pengembangan suatu pelabuhan bukan saja untuk kepentingan pelabuhan, tetapi juga akan mempengaruhi berbagai sektor yang ditunjang. Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional, dan memperkukuh ketahanan nasional.

Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan

27 Lihat, Penjelasan UU No. 23 Tahun 2014.

28Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 1.

(15)

dan pengoperasian pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan.29

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.30

Dengan demikian dari pengertian tersebut di atas yang dimaksud dengan pelabuhan adalah sebuah fasilitas umum yang diselenggarakan untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan ekonomi yang berkaitan dengan aktivitas pelayaran dalam segala bentuknya. Pelayaran itu sendiri diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatannya.Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem NKRI. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.31 Sesungguhnya UUD 1945 hasil amandemen telah menyediakan ruang kewenangan seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan sejumlah urusan pemerintahan secara otonom, seperti yang termaktub di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, menyatakan bahwa: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Mengingat UUD 1945 mengamanatkan pemberian hak otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah, maka secara konstitusional presiden sebagai representasi pemerintah pusat berkewajiban menyerahkan hak-hak konstitusional pemerintah daerah, berupa kewenangan penyelenggaraan pemerintahan secara otonom atas sejumlah urusan pemerintahan.32

29Lihat, Penjelasan PP No. 61 Tahun 2009.

30Lihat, Pasal 1 butir 16 UU No. 17 Tahun 2008.

31Kristian Widya Wicaksono, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006, hlm. 41.

32 Bambang Sutrisno, Langkah Strategis Penyelematan Lingkungan Hidup: Sebuah Kajian Teoretis Yuridis Normatif, Jurnal FH Unsika, Kediri, 2009, hlm. 13.

(16)

Konsep desentralisasi di Indonesia menganut prinsip bahwa asas desentralisasi bersama dengan asas dekonsentrasi. Ini berarti, pertama, bahwa ada urusan pemerintahan dan pembangunan yang sifatnya nasional yang tidak diserahkan kepada daerah, baik dalam bentuk otonomi maupun tugas pembantuan (medebewind). Urusan pembangunan tersebut tetap dikelola oleh pusat dan/atau oleh pejabat perwakilan pusat di daerah; kedua, pelaksanaan asas dekonsentrasi merupakan jalur intervensi dan pengawasan secara langsung oleh pusat terhadap urusan yang sudah diserahkan menjadi hak, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah. Artinya, pengawasan secara langsung oleh pusat kepada daerah sangat kuat, karena dalam konsep desentralisasi di Indonesia aparat dekonsentrasi adalah juga merupakan alat pengawas yang efektif.33

Di tengah perubahan dan perkembangan dinamika kehidupan politik, terdapat isu sentral yang menjadi wacana publik, yaitu perlunya pembagian kewenangan yang seimbang antara pemerintah dan pemerintahan daerah.34 Pembagian kewenangan atas urusan pemerintahan antara pemerintah dan pemerintahan daerah perlu dilakukan secara proporsional dalam kerangka otonomi daerah. Salah satu ukuran yang dapat menjadi parameter tentang besarnya otonomi, dapat diukur dari seberapa banyak urusan pemerintahan yang dimiliki daerah.

Walaupun demikian, menurut Bhenyamin Hoessein, menyatakan bahwa besarnya otonomi bukan hanya diukur oleh banyaknya urusan pemerintahan yang telah dimiliki daerah sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan desentralisasi, melainkan pula secara mendasar diukur oleh tingkat kemandirian daerah.35

Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan pemerintahan daerah berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan keserasian hubungan antar strata pemerintahan dan mendasarkan pada urusan pemerintahan yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintahan yang dikerjakan bersama antar berbagai tingkatan pemerintahan dengan semangat kerja sama yang tinggi.

Sedangkan pemerintah daerah melaksanakan tugasnya berdasarkan kewenangan otonomi dan tugas pembantuan. Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan

33 E. Koswara, Pembangunan Administrasi di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 157.

34 J. Kaloh, Kepala Daerah... Op.Cit., hlm. 13.

35Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Jurnal Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 166.

(17)

adalah salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Jadi medebewind merupakan kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang lingkup wewenangnya bercirikan tiga hal yaitu:36

1. Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah- daerah otonom untuk melaksanakannya;

2. Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan daerahnya sepanjang peraturan mengharuskannya memberi kemungkinan untuk itu; dan

3. Yang dapat diserahi urusan medebewind hanya daerah-daerah otonom saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara vertikal.

Adapun pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah tersebut di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauhmana pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Objek urusan pemerintahan bisa sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda. Untuk melaksanakan pembagian kekuasaan pemerintahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota dalam kerangka otonomi berdasarkan Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014, menegaskan klasifikasi urusan pemerintahan, adalah:

1. Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

2. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

3. Urusan pemerintahan konkuren sadalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.

4. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.

5. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Dalam hal pengelolaan kepelabuhan di Indonesia, pemerintah daerah tidak hanya sebagai pelaksana (membangun dan mengoperasikan), tetapi berkewenangan mengelola pelabuhan laut, yaitu jenis pelabuhan pengumpan, dan pelabuhan sungai/danau. Adapun tujuan otonomi daerah, yakni mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah. Hal itu diwujudkan dengan

36Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Insist Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 13.

(18)

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, serta prinsip dalam otonomi/desentralisasi. Karena itu tidak adil apabila pemerintah daerah tidak diberdayakan dengan adanya kewenangan pengelola pelabuhan. Sebenarnya ada peluang bagi pemerintah daerah mendapatkan kewenangan mengelola pelabuhan ditinjau dari tujuan otonomi daerah di Indonesia dan prinsip keadilan, yaitu pemberdayaan. Di sini perlu dibentuk pengaturan yang memberikan kepastian hukum adanya kewenangan pemerintah daerah mengelola pelabuhan. Dalam hal ini aturan yang tepat adalah undang-undang dan peraturan pelaksanaanya secara rinci mengatur urusan bidang pelabuhan, sehingga tidak menimbulkan kekaburan norma dan interpretasi tidak tepat.

Pelabuhan menurut Pasal 1 butir 16 UU No. 17 Tahun 2008, merupakan tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.

Pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, serta memberikan kesempatan kepadan investor, untuk menanamkan modal di bidang kepelabuhan, upaya untuk menghilangkan monopoli pelabuhan, sehingga terjadi persaingan dan peningkatan efisiensi pelabuhan. Badan usaha pelabuhan (untuk pelabuhan yang diusahakan) dan unit penyelenggara pelabuhan (untuk pelabuhan yang tidak diusahakan).Pelabuhan berdasarkan Pasal 1 butir 16 UU No. 17 Tahun 2008, adalah

“Tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi”.

Kepelabuhan menurut Pasal 1 butir 2 PP No. 61 Tahun 2009, menyatakan bahwa:

Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan

(19)

intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.

Dari pengertian tersebut, definisi pelabuhan mencakup prasarana dan sistem transportasi, yaitu suatu lingkungan kerja terdiri dari area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas untuk berlabuh dan bertambatnya kapal, guna terselenggaranya bongkar muat barang serta turun naiknya penumpang dari suatu moda transportasi laut (kapal) ke moda transportasi lainnya atau sebaliknya.

Pengertian pelabuhan tersebut mencerminkan fungsi-fungsi pelabuhan, di antaranya:37

1. Interface: bahwa pelabuhan merupakan tempat dua moda/sistem transportasi, yaitu transportasi laut dan transportasi darat. Ini berarti pelabuhan harus menyediakan berbagai fasilitas dan pelayanan jasa yang dibutuhkan untuk perpindahan (transfer) barang dari kapal ke angkutan darat, atau sebaliknya;

2. Link (mata rantai): bahwa pelabuhan merupakan mata rantai dan sistem transportasi. Sebagai mata rantai, pelabuhan, baik dilihat dari kinerjanya mapun dari segi biayanya, akan sangat mempengaruhi kegiatan transportasi keseluruhan;

3. Gateway (pintu gerbang): bahwa pelabuhan berfungsi sebagai gerbang dari suatu negara atau daerah. Pengertian ini dapat dilihat dari segi: Pelabuhan sebagai pintu masuk atau pintu keluar barang dari atau ke negara atau daerah tersebut. Dalam hal ini pelabuhan memegang peranan penting bagi perekonomian negara atau suatu daerah. Pelabuhan sebagai pintu gerbang, kapal-kapal yang memasuki pelabuhan terkena peraturan perundang-undangan dari negara atau daerah tempat pelabuhan tersebut berada., yaitu ketentuan-ketentuan bea cukai, imigrasi, karantina peraturan impor/ekspor dan sebagainya; dan

4. Industry entity: bahwa perkembangan industri yang berorientasi pada ekspor dari suatu negara, maka fungsi pelabuhan semakin penting bagi industri tersebut.

Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya dikuasasi oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan nasional, dan memperkukuh ketahanan nasional. Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengaturan mencakup perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan dan pengoperasian pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan

37 BPHN, Pengelolaan Pelabuhan Oleh Daerah, www.tu.bphn.go.id, diakses: 25 Nopember 2015, 13:45 WIB.

(20)

dilakukan terhadap penyelenggaraan kepelabuhanan.Pembinaan kepelabuhanan dilakukan dalam satu kesatuan Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan kelancaran, ketertiban, keamanan dan keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa kepelabuhanan, menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, mendorong profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan, mengakomodasi teknologi angkutan, serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing dengan tetap mengutamakan pelayanan kepentingan umum.38

Pelabuhan memainkan peran yang sangat strategis dalam kebijakan ekonomi yang mengandalkan surplus perdagangan luar negeri (ekspor) dari sektor non-migas. Dilihat dari berbagai perspektif, pelabuhan memainkan fungsi strategis seperti: as an industry, as a service to trade, as a security dan fungsinya sebagai a market for subsidiary services.39Peran strategis pelabuhan juga dapat dilihat dalam menciptakan efisiensi usaha melalui kontribusi pelabuhan dalam melakukan penekanan terhadap distributioncost yang akan berdampak pada daya beli, daya saing, dan multiplier effect terhadap pertumbuhan dan pendapatan nasional.

Pelabuhan merupakan sarana penghubung utama antara pusat distribusi, produksi dan pasar baik untuk skala global maupun regional. Pemisahan yang tegas antara fungsi produksi dengan distribusi dan transportasi yang mengarah pada spesialisasi akan dapat meningkatkan daya saing produk. Konsentrasi masing-masing bidang sesuai dengan kompetensi keahlian akan menjadikan sistem produksi, distribusi dan transportasi menjadi lebih efisien, cepat, terkoordinir dan efektif, sehingga barang dapat diterima tepat waktu.40

Kewenangan dan pembinaan pemerintah daerah diatur dalam Pasal 5 ayat (6) dan ayat (7) UU No. 17 Tahun 2008, menyatakan bahwa:

Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk:

1. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui perairan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;

2. meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan

38Lihat, Penjelasan PP No. 61 Tahun 2009.

39 Soeheroe Tjokro Prajitno, Aspek Organisasi dan Management serta Prospek Bisnis Angkutan Lautdalam Undang- Undang Pelayaran 1992, Makalah disampaikan pada Seminar Hal-Hal Baru dalamUndang-Undang Pelayaran 1992 dan Pengaruhnya dalam Bisnis Maritim, Hotel Borobudur, Jakarta, 3 Desember 1992, hlm. 1.

40 Hasnil Basri Siregar, Kepastian Usaha Bongkar Muat di Pelabuhan, Makalah, tidak dipublikasi, Medan, 2000, hlm. 2.

(21)

lingkungan maritim sebagai bagian dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

3. mengembangkan kemampuan armada angkutan nasional yang tangguh di perairan serta didukung industri perkapalan yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan, baik di dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri;

4. mengembangkan usaha jasa angkutan di perairan nasional yang andal dan berdaya saing serta didukung kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan perpajakan, dan industri perkapalan yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing;

5. meningkatkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai dalam rangka menunjang angkutan di perairan;

6. mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa bahari, profesional, dan mampu mengikuti perkembangan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran; dan

7. memenuhi perlindungan lingkungan maritim dengan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang bersumber dari kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keselamatan dan keamanan.

Pemerintah daerah melakukan pembinaan pelayaran sebagaimana sesuai dengan kewenangannya.Pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proposional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan.41

E. KESIMPULAN

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan baik secara nasional maupun di daerah adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas, menyatakan pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemerintah Daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya lokal yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan (partnership) antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru yang mendorong atau merangsang perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai transportasi yang menunjang roda perekonomian negara atau suatu daerah dimana pelabuhan tersebut berada.

41Lihat, Penjelasan UU No. 17 Tahun 2008.

(22)

Perindustrian, pertambangan, pertanian dan perdagangan pada umumnya membutuhkan jasa transportasi termasuk jasa pelabuhan. Oleh karenanya pengembangan suatu pelabuhan bukan saja untuk kepentingan pelabuhan, tetapi juga akan mempengaruhi berbagai sektor yang ditunjang.

Pelabuhan merupakan suatu tempat dimana terjadi berbagai aktivitaspemerintahan, bisnis, perdagangan, pariwisata, ekonomi dan lain-lain.

Selain itu di pelabuhan, berbagai komoditi diperdagangkan dan diperjualbelikan dengan menggunakan berbagai sistem perekonomian yang ada. Berbagai aktivitas di pelabuhan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan nilai tambah dan kemanfaatan yang tidak sedikit bagi masyarakat, usahawan dan pemerintah. Nilai tambah dan manfaat tersebut dapat berupa jasa, uang, barang, kesejahteraan, dan berbagai manfaat serta nilai-nilai ekonomis lainnya yang dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh berbagai lapisan dan kelompok stakeholder yang ada, baik yang berada di sekitar lingkungan pelabuhan, maupun di luar lingkungan pelabuhan yang ada. Oleh karena itu, pelabuhan sebenarnya memegang peranan penting dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan perekonomian yang ada di suatu negara. Selain itu, aktivitas di pelabuhan, baik langsung maupun tidak langsung, juga berkaitan dengan berbagai aspek utama pemerintahan.

Dalam bidang pelabuhanan, bergulirnya era otonomi daerah menyebabkan pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan dan pembagian kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pelabuhan. Imbas nyata dari pelaksanaan otonomi daerah salah satunya adalah pemberian kewenangan daerah yang hanya sebatas untuk mengusahakan dan mengelola pelabuhan lokal, sedangkan pelabuhan regional dikelola oleh pemerintah provinsi dan untuk pelabuhan nasional/internasional dikkelola oleh pemerintah. Menurut penilaian pemerintah daerah pembagian tersebut masih belum mengikuti semangat otonomi daerah dan pemerintah daerah menginginkan untuk turut ambil bagian dalam pengelolaan pelabuhan regional, nasional dan internasional.

F. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, Djambatan, Jakarta, 2004.

(23)

Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1996.

Hari Sabarno, Untaian Pemikiran Ekonomi Daerah: Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003.

Kaloh, J., Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Koswara, E., Pembangunan Administrasi di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998.

Kristian Widya Wicaksono, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006.

Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Insist Press, Yogyakarta, 2000.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Sidik Jatmika, Otonomi Daerah: Perspektif Hubungan Internasional, Bigraf Publising, Yogyakarta, 2001.

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Widjaja. H.A.W., Otonomi di Titik Beratkan pada Daerah Tingkat II, RajaGrafindo Persada, Jakarta,2001.

2. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070).

3. Sumber Lain

Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, Makalah disampaikan pada Penataran Dosen pendidikan dan pelatihan Kemahiran Hukum BKS-PTN Bidang Hukum, FH Universitas Lampung, tanggal 11 November 1994.

(24)

Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Jurnal Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

BPHN, Pengelolaan Pelabuhan Oleh Daerah, www.tu.bphn.go.id, diakses: 25 Nopember 2015, 13:45 WIB.

Kristian Widya Wicaksono, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006.

Febrian, Pembangunan Hukum dan Konflik Undang-Undang Bidang Sektoral, Jurnal PSKKHPD Universitas Sriwijaya, Palembang, 2009.

Fernanda, Konflik Kewenangan Pengelolaan Kepelabuhan Dalam Perspektif Sistem Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah di Indonesia, LAN, Bandung, 2004.

Hasnil Basri Siregar, Kepastian Usaha Bongkar Muat di Pelabuhan, Makalah, tidak dipublikasi, Medan, 2000.

Soeheroe Tjokro Prajitno, Aspek Organisasi dan Management serta Prospek Bisnis Angkutan Lautdalam Undang-Undang Pelayaran 1992, Makalah disampaikan pada Seminar Hal-Hal Baru dalamUndang-Undang Pelayaran 1992 dan Pengaruhnya dalam Bisnis Maritim, Hotel Borobudur, Jakarta, 3 Desember 1992.

Referensi

Dokumen terkait

Then the data obtained in the form of temperature data is used to calculate energy changes in water in the water heating tank and heat loss at variations in water temperature

Box 346, United Arab Emirates * Correspondence: [email protected] Abstract:This study examined the prevalent leadership practices in the implementation of the Dubai Inclusion