• Tidak ada hasil yang ditemukan

proposal - SIM Penelitian dan PPM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "proposal - SIM Penelitian dan PPM"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL

PENELITIAN MELIBATKAN MAHASISWA

PENGEMBANGAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK MELALUI NILAI-NILAI LOCAL WISDOM

KERATON YOGYAKARTA

DI PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh :

Eny Kusdarini, M. Hum (

19600304 1986 01 2 001)

Dr. Sunarso (

19600521 198702 1 004)

Setiati Widihastuti, M. Hum (

19602804198501 2 001)

Ufita Arsono (

10401244018)

Ian Pratama Maulana Fahmi (

10401244032)

JURUSAN PKn & H FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

PROPOSAL PENELITIAN MELIBATKAN MAHASISWA FAKULTAS ILMU SOSIAL TAHUN ANGGARAN 2014

1. Judul Penelitian : Pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Melalui Nilai-nilai Local Wisdom Keraton Yogyakarta di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta

2. Ketua Peniliti

a. Nama Lengkap & Gelar : Eny Kusdarini, M.Hum b. NIP / NIDN : 19600304198601 2 001 /... ...

...

c. Pangkat / Jabatan : IV/b/Lektor Kepala /... ...

...

d. Jurusan / Program Studi : PKn dan Hukum/PKn /... ......

e. Alamat Rumah / No HP / E-mail : 08122726326

[email protected]

3. Bidang Keilmuan : Hukum

4. Anggota Peneliti

No Nama & Gelar NIP Jabatan Bidang

Keahlian

1. Dr. Sunarso, M.Si 19600521 198702 1 004 Lektor Kepala PKn 2. Setiati Widihastuti, M. Hum 19602804198501 2 001 Lektor Kepala Hukum

5. Mahasiswa yang terlibat

No Nama Mahasiswa NIM Prodi/Jurusan

1. Ufita Arsono 10401244018 PKnH

2. Ian Pratama Maulana Fahmi 10401244032 PKnH

6. Lokasi Penelitian : Yogyakarta 5. Biaya Kegiatan Yang Diusulkan : Rp. 10.000.000,00 6. Jangka Waktu Pelaksanaan : 6 bulan

Yogyakarta , 17 April 2014

Mengetahui, Ketua Peneliti,

Ketua Jurusan PKn dan Hukum

Dr Samsuri, M Ag Eny Kusdarini, M.Hum

NIP. 19720619 200212 1 001 NIP. 19600304198601 2 001

Menyetujui, Dekan FIS UNY

Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag.

NIP. 19620321 198903 1 001

(3)

PROPOSAL PENELITIAN

A. Judul Penelitian : Pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Melalui Nilai-nilai Local Wisdom Keraton Yogyakarta di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta

B. Bidang Ilmu : PKn dan Hukum C. Latar Belakang Masalah

Pada negara yang menganut faham negara kesejahteraan fungsi dan peran asas- asas umum pemerintahan yang baik menjadi semakin besar sebagai patokan dan arahan bagi alat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dikarenakan tugas alat administrasi negara di dalam negara yang menganut faham kesejahteraan tersebut sangat luas hampir memasuki semua aspek kehidupan warga negaranya untuk mewujudkan kesejahteraan hidup mereka.

Indonesia merupakan salah satu negara adalah sebuah negara kesejahteraan.

Kenyataan ini dapat dilihat dalam ketentuan alenia keempat UUD 1945 yang memuat tentang tujuan dari didirikannya negara Indonesia, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan kesejahteraan sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa negara Indonesia sebetulnya merupakan salah satu negara yang menganut faham Welfare State. Negara yang berfaham seperti ini adalah termasuk dalam klasifikasi negara hukum modern.Untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan negara tersebut, maka maka dibentuklah pemerintahan di Indonesia. Pemerintahan tersebut dilaksanakan oleh para aparat negara, di antaranya adalah alat administrasi negara. Alat administrasi negara ini bertugas untuk menjalankan roda pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah propinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Di dalam menjalankan tugasnya tersebut, alat administrasi negara harus tunduk pada hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis terutama aturan-aturan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.

Di dalam Hukum Administrasi Negara yang tidak tertulis dikenal adanya asas- asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas tersebut bahkan termasuk didalam ranah

“meta yuridis”, sehingga harus dipatuhi oleh penyelenggara negara/aparat negara termasuk di dalamnya birokrasi negara/alat administrasi negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif di Indonesia. Asas-asas umum pemerintahan itu harus dipatuhi tidak hanya dalam melaksanakan undang-undang, namun demikian juga dalam

(4)

merumuskan peraturan kebijaksanaan bagi pelaksanaan wewenang, termasuk wewenang yang dimiliki oleh aparat pemerintah di daerah kabupaten/kota. Peraturan kebijaksanaan adalah sebuah produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah termasuk di dalamnya produk kebijakan pemerintah daerah yang dikeluarkan dengan tidak mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang mendasari dikeluarkannya kebijakan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena peraturan perundang- undangan yang mendasari dari dikeluarkannya kebijakan tersebut memang belum ada atau sudah ada namun tidak bisa dipakai lagi sebagai dasar kebijakan karena sudah ketinggalan jaman. Untuk menyelesaikan hal itu perlu adanya asas-asas umum kepemerintahan yang baik.

Asas-asas umum kepemerintahan yang baik adalah merupakan hukum yang tidak tertulis dan harus dipatuhi oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah, di mana asas-asas itu berasal dari nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat dan sebetulnya telah sejak lama dipraktekkan oleh masyarakat setempat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai-nilai itu dikembangkan berdasarkan kearifan lokal (local wisdom) di dalam masyarakat di mana nilai-nilai berkembang.

Nilai-nilai kearifan lokal yang baik dan berkembang di dalam masyarakat ini bisa dikembangkan menjadi sebuah asas dalam pemerintahan yang dapat dipakai sebagai patokan dan pedoman bagi alat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya.

DIY merupakan sebuah propinsi di Indonesia yang sebagaian besar warganya adalah keturunan suku Jawa, di mana Jawa sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah dijalankan sejak lama oleh masyarakatnya. Contoh nilai-nilai kearifan lokal keraton Yogyakarta yang bisa dijadikan untuk pengembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik di DIY adalah seperti apa yang dijelaskan oleh PJ Suwarno (1994: 172) mengenai wara-wara yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX yang dimuat dalam Maklumat tanggal 19 September yang berisi nasehat-nasehat yang dituangkan dalam tulisan yang berjudul “Kautaman Niti Priksa Garbane Dewe”

(= “Keutamaan Mawas Diri”) yang berisi tentang arti kemerdekaan, berani mengakui kesalahan pribadi, menjunjung tinggi keutamaan masyarakat berdasarkan semboyan

sayuk rukun, sepi ing pamrih rame ing gawe” (=”rukun, bekerja keras tanpa pamrih”).

Semestinya masih ada nilai-nilai lokal lain yang berasal dari Keraton Yogyakarta.

Bahkan di DIY kepemerintahannya dalam hal ini Gubernur yang mengepalai wilayah tersebut berasal dari Keraton Yogyakarta. Payung hukum dari kepemerintahan di DIY di antaranya adalah UU tentang Keistimewaan DIY. Untuk itu perlu diteliti dan

(5)

dikaji nilai-nilai kearifan lokal yang ada di DIY untuk dikembangkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bisa dipakai sebagai patokan dan arahan para birokrat maupun alat administrasi negara di DIY dalam menjalankan tugasnya terutama dalam menjalankan kebijakan pelayanan publik karena tugas-tugas yang harus mereka jalankan sebagian besar adalah sebagai pelayan masyarakat/publik. Penelitian mengenai pengembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik melalui nilai-nilai local wisdom di Daerah Istimewa Yogyakarta dipandang urgen mengingat dalam melaksanakan tugas, peran, dan tanggung jawabnya sebagai pelayanan publik, alat administrasi negara yang ada di DIY memerlukan kekuasaan/wewenang yang besar dan potensial untuk disalahgunakan (detournement de pouvuir), digunakan dengan sewenang-wenang (abus de droit/ willekuer), dan bahkan digunakan bertentangan dengan hukum. Untuk itu diperlukan adanya asas-asas umum pemerintahan yang baik yang merupakan bagian dari hukum administrasi negara yang dewasa ini sudah dikembangkan juga menjadi bagian hukum tertulis dan asas- asas tersebut yang pengembangannya mestinya mendasarkan diri juga pada nilai-nilai kearifan lokal dikarenakan hukum yang baik semestinya berkembang dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.

D. Rumusan Masalah:

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di muka dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dari keraton Yogyakarta apa sajakah yang bisa dipakai untuk mengembangkan asas-asas kepemerintahan yang baik di DIY?

2. Nilai-nilai kearifan lokal keraton Yogyakarta apa sajakah yang telah dituangkan dalam pproduk-produk hukum daerah Propinsi DIY

3. Dituangkan dalam bentuk produk-produk hukum apa sajakah nilai-nilai kearifan lokal tersebut?

E. Tujuan Penelitian.

Penelitian ini diadakan dengan tujuan untuk: mengkaji dan menjelaskan tentang:

1. Mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dari keraton Yogyakarta yang bisa dipakai untuk mengembangkan asas-asas kepemerintahan yang baik di DIY;

(6)

2. Menjelaskan tentang nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dari keraton Yogyakarta yang telah dituangkan dalam bentuk produk-produk hukum daerah Propinsi DIY; dan

3. Mengkaji produk-produk hukum DIY yang telah menuangkan pengembangan asas- asas kepemerintahan yang baik dari nilai-nilai kearifan lokal dari Keraton Yogyakarta

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi baik secara teoritis maupun secara praktis.:

1. Manfaat secara teoritik:

Diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan teori-teori dalam Hukum Administrasi Negara, utamanya yang berkaitan dengan pengembangan asas-asas umum pemerintahan yang baik melalui nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat, terutama nilai-nilai (local wisdom) dari Keraton Yogyakarta untuk mendukung terciptanya aparat negara yang profesional berwibawa dan dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik di Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Manfaat Secara Praktis :

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perumus produk- produk hukum daerah baik di daerah propinsi maupun daerah kabupaten/kota di Indonesia mengenai adanya nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik di daerah yang dituangkan dalam bentuk produk-produk hukum daerah baik dalam bentuk peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan walikota dan produk-produk hukum daerah lainnya.

G. Kajian Teori

1. Fungsi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia

Di Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemerintahan di daerah diperlukan adanya asas-asas umum pemerintahan yang baik. SF Marbun (2001: 19-140) menyatakan bahwa fungsi asas- asas umum pemerintahan yang baik/layak (AAUPL) dalam pelaksanaan wewenang bagi badan/pejabat administrasi di Indonesia memiliki korelasi erat dengan fungsi AAUPL sebagai stimulans dalam pembentukan undang-undang. Artinya semakin besar

(7)

undang-undang memberikan wewenang bebas (vrij bestuur) kepada badan/pejabat administrasi Indonesia untuk memberikan interpretasi terhadap undang-undang tersebut. Oleh karena itu fungsi dan peranan kehadiran asas-asas umum pemerintahan yang baik menjadi semakin besar sebagai patokan dan arahan bagi administrasi negara dalam melaksanakan undang-undang, maupun dalam merumuskan peraturan kebijaksanaan bagi pelaksanaan wewenang, termasuk di dalamnya pelaksanaan wewenang pada pemerintahan daerah di Indonesia.

Salah satu pedoman yang bisa digunakan untuk menilai apakah asas freies Ermessen (asas kebebasan bertindak) sudah dilaksanakan dengan baik atau belum oleh alat administrasi negara baik di pusat maupun di daerah, adalah rumusan-rumusan yang ada dalam hukum tidak tertulis yang kita kenal dengan nama asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak. Asas-asas ini merupakan aturan hukum tidak tertulis di dalam Hukum Administrasi Negara yang harus dipatuhi oleh administrasi negara (alat- alat pemerintah) untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggungjawabnya dan kedudukannya harus diletakkan sama/sejajar dengan aturan hukum tertulis. Selain itu, prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik dapat dipakai sebagai alat untuk proses (mengajukan) banding bagi warga negara terhadap tindakan pemerintah yang dianggap merugikan dirinya.

Mengenai fungsi dan arti penting asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, SF Marbun (2001: 116-145) mengemukakan ada empat (4) fungsi, yakni:

a) Sebagai pedoman bagi Administrasi Negara dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap perundangan-undangan yang bersifat sumir, samar tau tidak jelas. Selain itu juga berfungsi untuk membatasi dan menghindari kemungkinan penggunaan freies Ermessen yang jauh menyimpang dari perundang-undangan;

b) Sebagai dasar gugatan ke peradilan tata usaha negara bagi warga masyarakat yang ingin pencari keadilan;

c) Sebagai alat untuk menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat melalui peradilan tata usaha negara oleh hakim PTUN; serta

d) Berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang.

Muin Fahmal (2006: 9) menyatakan bahwa dewasa ini banyak juga ketentuan perundang-undangan dibuat secara tergesa-gesa oleh pembentuk undang-undang

(8)

(wetgever), bahkan terkesan dipaksakan. Sehingga substansi dari perundang- undangan tersebut tidak dapat menjadi sarana penegakan keadilan yang sesungguhnya, bahkan makin banyak oknum yang merasa tidak bersalah dan tidak bertanggungjawab atas segala perbuatannya, meskipun perbuatan tersebut secara nyata merugikan negara dan kepentingan warga masyarakat. Namun demikian Frans Magnis Suseno (2012: 96-97)menyatakan bahwa sesungguhnya penilaian akhir apakah sebuah perbuatan itu baik atau jahat (buruk) hanya dapat diberikan oleh subjek yang bertindak sendiri, karena penilaian itu tergantung dari bagaimana subjek dalam keputusannya bersikap terhadap apa yang disadarinya sendiri sebagai kewajiban universal, dan dalam kesadaran itu suara hati adalah otonom. Tidak mungkin diberikan penilaian moral atas sebuah perbuatan lepas dari penilaian orang yang bertindak sendiri. Pembahasan mengenai perbuatan baik atau buruk tersebut merupakan otonomi suara hati dalam perbuatan seseorang, mestinya juga termasuk perbuatan yang dilakukan oleh alat administrasi negara. Selaku alat administrasi negara, dia juga di dalam melakukan perbuatan untuk melayani publik juga harus mengindahkan suara hati tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang jahat (buruk).

Asas-asas umum pemerintahan yang baik di Indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” yang diperkenalkan dan dirangkum oleh Crince Le Roy dalam kuliahnya pada Penataran lanjutan Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Tata Pemerintahan di Fakultas Hukum Unair 1978 ada sebelas (11) prinsip atau asas. Di Indonesia dikembangkan oleh Kuntjoro Purbopranoto sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon (2008: 279) menjadi tiga belas (13) asas, yaitu:

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security) 2. Asas keseimbangan (principle of proportionally)

3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality) 4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness)

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)

6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misure of competence)

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play)

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbritariness)

(9)

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meering raised expectation);

10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of annulled decision)

11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protecting the personal way of life)

12. Asas kebijaksanaan (sapientia)

13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public services)

Asas-asas umum pemerintahan tersebut berpangkal tolak dari teori-teori Hukum Administrasi Negara dan yurisprudensi serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Asas-asas umum tersebut sesungguhnya merupakan rambu-rambu bagi penyelenggara negara (alat administrasi negara) di dalam menjalankan tugasnya.

Rambu-rambu tersebut diperlukan agar perbuatan-perbuatan alat administrasi negara tetap sesuai dengan tujuan hukum. Jazim Hamidi menyatakan bahwa asas-asas umum pemerintah yang baik, mengandung beberapa unsur pengertian secara komprehensif, yakni:

1. Asas-asas umum pemerintahan yang layak merupakan nilai-nilai etik yang hidup berkembang dalam lingkungan hukum administrasi Negara;

2. Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi negara, dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;

3. Sebagian besar dari asas-asas umum pemerintahan yang layak yang tidak tertulis, masih abstrak dan dapat digali dari praktik kehidupan di masyarakat;

4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian dari asas itu sudah berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya tetap sebagai asas hukum.

2. Tinjauan tentang Nilai-nilai Kearifan Lokal/Local Wisdom

Bangsa Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan baik pembangunan fisik maupun rohani. Disisi lain juga sedang mengembangkan kebudayaan nasional dengan menghadapi berbagai ancaman pergeseran nilai-nilai.

Demikian juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, nilai- nilai lama yang semula menjadi acuan suatu kelompok masyarakat akan menjadi goyah akibat masuknya nilai baru dari luar. Hal ini menyebabkan nilai-nilai lama yang menjadi pedoman hidup dan pranata sosial milik masyarakat semakin lama menjadi

(10)

pudar (Moertjipto, dkk, 1997: 2). Untuk itu perlu digali lagi nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada masyarakat tertentu termasuk nilai.nilai kearifan lokal yang berasal dari keraton.

Edy Sedyawati (2007: 254) mengemukakan bahwa nilai dalam hubungannya dengan sosial-budaya berkenaan dengan “harga kepantasan” atau “harga kebaikan”, yang dapat dikatakan “penting” dan “tidak penting”, ataupun “mendalam” dan

“dangkal”, tetapi kualifikasi tersebut tak dapat diukur secara kuantitatif. Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau pantas, sebagaimana disepakati di dalam masyarakat. Jadi, nilai budaya itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam masyarakat, dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam interaksi langsung maupun tidak langsung, antar warga masyarakat, dalam berbagai jenis kegiatannya. Pengarahan diri yang dipandu oleh nilai-nilai itu mengacu kepada keberterimaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya dengan sendirinya bersifat sosial-budaya.

Selanjtnya Edy Sedyawati (2007: 255) menyatakan bahwa pakar-pakar Antropologi menggolongkan nilai-nilai budaya itu di atas 5 (lima) jenis yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan 5 (lima) hal, yaitu:

1. Tuhan atau “Yang Adikodrati”;

2. Alam;

3. Sesama manusia;

4. Kerja; dan 5. Waktu.

Masing-masing dari kelima golongan nilai budaya itu tentu dapat dijabarkan ke dalam banyak rincian, dan jumlahnya dapat berbeda-beda diantara berbagai kebudayaan.

Meskipun nilai-nilai tersebut dalam analisis dapat dipilah-pilah, namun dalam kenyataan penghayatannya di dalam masyarakat mendapat keterjalinan satu sama lain.

Adapun dalam wacana etika, istilah “nilai” menyatakan sesuatu yang pada dirinya sendiri terdapat keberartian, atau sesuatu yang berharga.

Sedangkan kearifan berasal dari kata “arif”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti kedua cerdik, pandai dan bijaksana. Kata arif yang jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Melayani orang, adalah orang yang mempunyai sifat ilmu yaitu netral, jujur dan tidak mempunyai kepentingan antara, melainkan semata-mata didasarkan atas

(11)

nilai-nilai budaya dan kebenaran sesuai ruang lingkupnya. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal (Muin Fahmal, 2006: 30-31).

Edy Sedyawati (2007:381-382) menyatakan bahwa dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, maka yang dimaksud dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan “sub-bangsa” atau “suku-bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku bangsa (golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di Indonesia, yang bisa meliputi wilayah yang kecil sampai ke wilayah yang sangat luas, atau yang

“bercabang-cabang”. Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradisional” suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya berupa norma- norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran “kearifan lokal” adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas “kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible.

Sementara itu Nasiwan, dkk (2012: 159) mengemukakan bahwa wacana seputar local wisdoms atau kearifan lokal, biasanya selalu disandingkan dengan wacana perubahan, modernisasi, dan relevansinya. Hal ini bisa dimaklumi sebab wacana diseputar kearifan lokal pada prinsipnya berangkat dari asumsi yang mendasar bahwa, nilai-nilai asli, ekspresi-ekspresi kebudayaan asli dalam konteks geografis dan kultural dituntut untuk mampu mengekspresikan dirinya ditengah-tengah perubahan. Pada sisi lain ekspresi kearifan lokal tersebut juga dituntut untuk mampu merespons perubahan- perubahan nilai dan masyarakat. Kearifan lokal itu tidak ingin hilang dari peredaran nilai sebuah masyarakat. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai- nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup. Mengutip pendapat Wales, Nasiwan, dkk (2012:

16) smenyatakan bahwa kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif yang saling bertolak belakang, yaitu: extreme acculturation yang memperlihatkan bentuk-bentuk tiruan suatu budaya yang tanpa adanya proses evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-bentuk budaya tradisional, dan a less extreme acculturation yakni proses akulturasi yang masih menyisakan dan memperlihatkan local genius yaitu adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan

(12)

memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Nilai-nilai kearifan lokal juga mempunyai kemampuan untuk memegang pengendalian serta memberikan arah perkembangan kebudayaan. Dengan demikian tepatlah dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya. Kedudukan lokal genius ini sangat signifikan dalam konteks sebuah eksistensi kebudayaan suatu masyarakat atau kelompok. Hal ini disebabkan karena merupakan kekuatan yang mapu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa yang akan datang. Hilangnya atau pudarnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedang kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat tersebut.

Mengenai nilai kearifan lokal yang dapat dikembangkan dalam pelaksanaan pemerintahan sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik Laica Marzuki, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 31) mengemukakan bahwa di dalam kaidah-kaidah hukum (rechtnormen) dibangun nilai-nilai etika hukum (values of legal ethic) yang nilai kepatuhannya didasarkan pada kesadaran hukum (kesadaran hukum pada hakikatnya adalah pematuhan nilai-nilai etika hukum). Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan bahwa asas hukum bukanlah sebuah norma hukum, sebagaimana hukum yang telah dirumuskan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang serta merta mengikat. Akan tetapi, sebagai penanaman normative (legal term) bagi nilai etika hukum yang sesungguhnya adalah nilai yang tumbuh sebagai budaya (budaya hukum) masyarakat, sehingga nilai tersebut ditaati sebagai tolok ukur terwujudnya keadilan yang sesungguhnya. Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa budaya hukum masyarakat menjadi sangat penting di samping perilaku penegak hukum. Bagir Manan (2004: 5) menyatakan bahwa manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama (sepanjang belum menjadi hukum positif), dan hukum moral.

Sejarah di Indonesia telah membuktikan bahwa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai, bentuk pemerintahan yang ada pada waktu itu adalah kerajaan yang berpusat di Keraton. Segala roda pemerintahan dipusatkan dan berkiblat ke kerajaan.

Kerajaan atau keraton pada waktu itu merupakan pusat kebudayaan, segala kebudayaan

(13)

yang dihasilkan dari dalam istana atau Kraton dianggap memiliki nilai yang tinggi atau adi luhung. Karena selain memiliki nilai lebih, mereka percaya bahwa hasil kebudayaan dari istana itu memiliki daya kekuatan tertentu sehingga dapat mempengaruhi terhadap orang yang menikmati atau mengikutinya. Pada masa kerajaan, secara garis besar ada dua macam hasil kebudayaan, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil.

Kebudayaan besar maksudnya adalah kebudayaan yang dihasilkan dari dalam istana, sedangkan kebudayaan kecil ialah kebudayaan yang dihasilkan di daerah-daerah atau di luar istana. Pembagian seperti itu karena pada umumnya, kebudayaan istana diciptakan oleh orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya dan proses penciptaannya melalui jalan prihatin (berpuasa/nglakoni). Sedangkan kebudayaan yang dihasilkan daerah-daerah dianggap lebih rendah dari istana. Antara kebudayaan besar dengan kebudayaan kecil tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi, terutama pengaruh kebudayaan besar terhadap kebudayaan kecil tampak kuat.

Kuntowijoyo (2006: 47) menjelaskan bahwa di dalam masyarakat Jawa terdapat semacam pendidikan humaniora yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian integral dari sistem budaya.

Kandungan pendidikan humaniora ditentukan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki masing-masing subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora sesuai dengan pengelompokan masyarakat. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan, maupun secara informal melalui berbagai bentuk komunikasi sosial. Selanjutnya Kuntowijoyo (2006: 50) memaparkan bahwa berdasarkan kandungan nilai-nilai subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora, dapat ditemukan tiga loci pendidikan humaniora dalam masyarakat Jawa tradisional, yaitu istana, pesantren dan perguruan. Dalam tradisi Kraton, pelembagaan produksi dan distribusi nilai-nilai dan simbol-simbol ada di bawah patronase raja. Dalam lembaga abdidalem ditampung bermacam-macam pekerjaan kreatif dari penciptaan karya-karya sastra sampai kesenian representasional. Di dalam lingkungan birokrasi Kraton terdapat pujangga Kraton yang memproduksi karya sastra abdi-abdi dan abdi-abdi dalem lain yang mendukung berbagai macam kepentingan simbolis, seperti abdi dalem dalang untuk keperluan pertunjukan wayang kulit, abdi dalam juru sungging untuk keperluan menggambar terutama wayang, dan sebagainya. Di lingkungan Kraton dan lingkungan keluarga raja terdapat sejumlah tenaga kerja yang secara khusus mengelola kelangsungan pendidikan ngelmu yang bermacam-macam. Sekalipun Kraton bukan satu-satunya tempat ngelmu itu dilestarikan dan dikembangkan, tetapi dari Kraton lah

(14)

mengalir nilai dan simbol ke bawah secara paling deras. Menurut Franz Magnis Suseno (1985: 108), kekuatan Raja dari Kraton memancar sampai ke desa-desa. Semakin jauh dari Kraton, maka semakin lemah pula pancaran kekuatan Raja.

Pendidikan ngelmu dan kawruh menurut Kuntowijoyo (2006: 52) dapat dilakukan melalui bermacam-macam produk humaniora itu terutama ditujukan untuk mendidik kalangan keluarga istana sendiri, untuk pendidikan para ksatria, tetapi pendidikan itu pada akhirnya juga diperuntukkan bagi abdi dalem, dan semua kawula sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam sistem hierarki masyarakat. Patronase raja atas penciptaan produk-produk humaniora merupakan pengesahan bahwa istana adalah pusat kehidupan budaya masyarakat feodal. Kandungan pendidikan humaniora di istana bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan kaum bangsawan. Ngelmu atau kawruh itu yang diciptakan pujangga Kraton pada umumnya berupa wawasan etika dalam berbagai bidang. Dalam literatur Jawa, etika itu disebut Asthabrata, yaitu delapan kebajikan sebagaimana diisyaratkan oleh watak dari gejala-gejala alam. Jadi kenegarawan tidak terletak pada keterampilan memerintah, tetapi pada sikap paternalistik dan laku utama. Selain itu pendidikan humaniora juga mengajarkan bagaimana seorang bangsawan menggunakan waktu luangnya, yang berupa cara-cara memperoleh kesenangan sampai cara-cara mesu budi atau olah rasa. Sifat-sifat utama seperti waskita, wicaksana, wirya, merupakan puncak-puncak kualitas kepribadian itu.

Suwarno (1994: 79-80), mengemukakan bahwa penanaman unsur-unsur tradisional yang berkembang di dalam Kraton (Yogyakarta) telah dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan memadukan unsur-unsur pemerintahan tradisional yang masih berkembang di dalam Kraton dan unsur birokrasi modern. Sultan mendapatkan dukungan dan kesetiaan dari pemimpin-pemimpin nasionalis, Islam, dan dukungan dan tokoh masyarakat lainnya. Rakyat Yogyakarta mendukung dan mengikuti pemikiran Sultan yang dikomunikasikan kepada mereka secara luas dan langsung. Pemikiran Sultan yang dijadikan dasar perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta antara lain saat Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan keris pusaka “Kangjeng Kyai Kopek

kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono VIII mengajarkan ajaran Asthabrata dan memberi pesan agar kelak jika Sultan Hamengku Buwono IX mendapat anugerah kedudukan raja jangan menyombongkan diri karena kedudukannya dan memiliki pendidikan tinggi di Negeri Belanda. Pesan tersebut memberikan kesan yang mendalam dalam pikiran dan jiwa Sultan Hamengku Buwono IX mengenai hakekat kekuasaan menurut faham jawa, sehingga mempengaruhi pemikiran dan

(15)

tindakaanya dalam birokrasi pemerintahan. Sultan Hamengku Buwono IX menunjukkan bahwa pemikirannya tentang legitimasi kekuasaan tradisional cukup kuat.

Pemikiran ini tentu tidak diabaikan dalam mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta. Nilai-nilai tradisional yang di kandung oleh Asthabrata yang tersimpan di Kraton Yogyakarta itu memberi kondisi yang kondusif untuk menumbuhkan tekad mengusir penjajah dengan mengadakan perubahan. Semuanya menjadi salah satu dasar pemikiran dan tindakan Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengadakan perubahan birokrasi di Yogyakarta.

Selanjutnya Suwarno (1994: 82) juga menyatakan bahwa pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi pemerintahan Yogyakarta yang pertama adalah pemikiran yang masih berkisar tentang tradisi. Berdasarkan pengetahuan modern yang diperolehnya, Sultan menolak “tradisi” yang merugikan. Dengan kata lain Sultan Hamengku Buwono IX menggunakan pengetahuan modern untuk seleksi terhadap tradisi. Sultan Hamengku Buwono IX mengemukakan pemikirannya tentang demokrasi yang jelas-jelas demokrasi barat, yang memberi keleluasaan kepada wakil rakyat untuk berbicara menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX yang lain yaitu pemikiran tentang kehidupan bermasyarakat orang Jawa. Kehidupan bermasyarakat orang Jawa sesuai dengan sifat Dewa Baruna dalam Asthabrata, yaitu mengalahkan kepentingan pribadi untuk kepentingan orang banyak dengan dasar cinta sesama. Dan sebagai masyarakat maka mempunyai kewajiban untuk memperhatikan sesamanya yang menderita. Sultan Hamengku Buwono IX menekankan bahwa hanya orang yang mempunyai wewenang untuk memerintahlah yang harus ditaati. Pemikiran itu menunjuk pada otoritas pemerintahan yang mantap berdasarkan legitimasi tradisional yang menghasilkan ketentraman masyarakat. Menurut Sultan Hamengku Buwono IX birokrasi pemerintahan merupakan perpaduan antara unsur tradisional dan unsur baru yang untuk melayani kepentingan rakyat.

Suwarno (1994: 87) mengamati pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi modern dan pemerintahan berdasarkan tradisi, berpendapat bahwa hal itu menandakan bahwa Sultan mempunyai kemampuan tinggi untuk memadukan kedua pemikiran itu, kemudian mewujudkannya dalam kenyataan. Perwujudan ini juga menuntut kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran dan kehendak semua pihak terutama rakyat banyak atau istilah Jawa: Ngudi jumbuhing kawula gusti (Mengusahakan kesesuaian antara rakyat dan raja). Franz Magnis Suseno (1985: 113)

(16)

menjelaskan bahwa dalam paham kekuasaan Jawa tertanam motivasi-motivasi kuat bagi penguasa untuk berusaha menjadi seorang penguasa yang baik, yang adil, dan dicintai rakyatnya, yang mempertahankan negaranya dalam keadaan tenteram dan sejahtera.

3. Tinjauan tentang Produk-produk Hukum Daerah a. Peraturan

Untuk menjalankan tugasnya, selain membuat dan mengeluarkan keputusan, alat administrasi negara juga mengeluarkan peraturan. Prajudi Atmasudirjo menyatakan bahwa peraturan ini termasuk dalam undang-undang dalam arti luas yang merupakan bagian dari sumber hukum tata usaha negara yang bersifat otonom, yang dapat diubah, ditambah oleh alat administrasi negara apabila diperlukan dengan memperhatikan asas- asas umum pemerintahan yang baik. Peraturan merupakan hukum in abstracto atau generale norm yang sifatnya mengikat umum dan isinya mengatur hal-hal yang bersifat umum. Peraturan, sering disebut juga dengan istilah perundang-undangan (peraturan perundang-undangan). Istilah tersebut secara harafiah dapat diartikan sebagai peraturan yang berkaitan dengan undang-undang baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan yang lebih rendah dari undang-undang (dalam arti formal) yang merupakan atribusi atau delegasi dari undang-undang. Adapun ciri-ciri peraturan (peraturan perundang-undangan) menurut Ridwan HR (2007: 135), yakni:

1) Bersifat umum dan komprehensif, yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat khusus dan terbatas;

2) Bersifat universal, kebalikan dari sifat individual, dan diciptakan untuk mengahdapi peristiwa-peristiwa yang diperkirakan muncul pada masa yang akan datang yang belum jelas terjadinya atau belum jelas bentuk konkretnya;

3) Memiliki kekuatan mengoreksi serta memperbaiki dirinya sendiri adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan suatu klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Peraturan dapat dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah bisa berbentuk peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, maupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah lainnya. Kadang-kadang malahan ada yang berbentuk keputusan yang isinya bersifat mengatur.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, Negara Kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

(17)

kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang dijalankan berdasarkan asas desentralisasi, dengan otonomi yang seluas- luasnya.

Untuk menjalankan otonomi yang seluas-luasnya pemerintah daerah diberikan kewenangan mengeluarkan peraturan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasa1 136 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Pembentukan peraturan daerah mengacu pada ketentuan Pasal 137 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah harus mengindahkan asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi asas:

1) kejelasan tujuan;

2) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3) kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4) dapat dilaksanakan;

5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) kejelasan rumusan; dan 7) keterbukaan.

Sedangkan asas yang terkandung dalam materi muatan peraturan daerah diatur dalam ketentuan Pasal 138 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yakni meliput asas:

1) pengayoman;

2) kemanusiaan;

3) kebangsaan;

4) kekeluargaan;

5) kenusantaraan;

6) bhineka tunggal eka;

7) keadilan;

8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

(18)

9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 10) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Di dalam proses pembentukan undang-undang dan peraturan terkandung unsur-unsur sistem perwakilan rakyat yang berdaulat melalui pemilihan umum, maka baik undang-undang maupun peraturan daerah dapat dikatakan sama-sama merupakan produk sistem demokrasi, baik di tingkat lokal ataupun di tingkat nasional.

Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.Artinya, peraturan daerah merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peraturan daerah disini adalah peraturan daerah dalam arti materiil yang bersifat mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah otonom.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Daerah adalah produk hukum daerah yang bersifat mengatur. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Daerah yang bersifat pengaturan itu terdiri atas:

1) Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan/ bersama Gubernur;

2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Suryo Sakti Hadiwijoyo (2011: 200) menjelaskan bahwa tugas pokok dan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat secara umum adalah mewakili kepala negara dan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan

(19)

sektoral di wilayahnya. Sebagai wakil pusat di daerah dalam konteks “integrated perfectoral system” gubernur mempunyai kewenangan untuk mengkoordinir, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi agar daerah bawahannya mampu menjalankan otonominya secara optimal. Gubernur mempunyai “tutelage power” yaitu menjalankan kewenangan pusat untuk membatalkan kebijakan daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk itu Gubernur juga diberikan kewenangan mengeluarkan Peraturan Gubernur.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Gubernur termasuk dalam Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Gubernur merupakan jenis peraturan perundang-undangan, akan tetapi Peraturan Gubernur baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni, Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2010: 298), Peraturan Gubernur dimaksudkan sebagai peraturan pelaksanaan terhadap Peraturan Daerah tingkat provinsi sebagai produk lembaga legislatif daerah. Hubungan antara Peraturan Gubernur ini dengan Peraturan Daerah provinsi, sesuai tingkatannya dan lingkup muatan materinya masing- masing dapat dianalogikan dengan hubungan Peraturan Presiden dengan Undang- undang, dan antara Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Bupati/Walikota serta Peraturan Desa dengan Peraturan Kepala Desa. Kewenangan pembentukan Peraturan Gubernur ada pada Gubernur berdasarkan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, atau dibentuk berdasarkan kewenangan Gubernur. Fungsi Peraturan Gubernur yang bersifat pengaturan (regeling) adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi atau atas kuasa peraturan perundang-undangan lain, sesuai dengan lingkup kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif (wakil Pemerintah Pusat).

Selain peraturan daerah, peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota.

Pejabat didaerah juga berwenang mengeluarkan peraturan kebijaksanaan daerah.

(20)

Philipus M. Hadjon (2008: 152) menjelaskan bahwa peraturan kebijaksanaan terkait dengan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acapkali menempuh pelbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan (beleidsregels, policy rule). Produk semacam peraturan kebijaksanaan ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies Ermessen yaitu, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk juridische regels, seperti halnya peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran, dan mengumumkan kebijaksanaan itu. Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schriftelijk beleid (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis)” namun tanpa disertai kewenangan perbuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut.

Senada dengan Philipus M. Hadjon, SF Marbun (2003: 139) juga menjelaskan, bahwa peraturan kebijaksanaan adalah kebebasan atau keleluasaan bertindak atas inisiatif sendiri yang dimungkinkan oleh hukum, untuk menyelesaikan persoalan- persoalan penting yang mendesak yang muncul secara tiba-tiba, yang pengaturannya belum ada atau kewenangannya yang tidak jelas atau samar-samar, yang harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun moral.

Selain produk-produk hukum tersebut di muka, dikenal juga produk hukum yang dikenal dengan nama Surat Keputusan. Seharusnya materi atau isi Surat Keputusan adalah bersifat menetapkan akan tetapi didalam praktek masih banyak bentuk produk hukum yang berupa Surat keputusan akan tetapi isinya bersifat mengatur. Sering pula terjadi dalam praktek peraturan kebijaksanaan (beleidsregels) baik di pusat maupun di daerah dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan. Namun demikian bentuk produk hukum Surat Keputusan semacam ini adalah produk hukum yang isinya bersifat mengatur dan mengikat umum bukan berupa penetapan yang bersifat konkrit dan indivudual.

H. Metode Penelitan 1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian diskriptif dengan pendekatan kualitatif malaui studi budaya dan studi hukum khususnya statute aproach yang berbentuk produk-produk hukum daerah DIY.

2. Lokasi penelitian

(21)

Lokasi yang direncanakan menjadi medan penelitian adalah Kraton Yogyakarta dan Kantor Pememerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipilihnya keraton Yogyakarta sebagai medan penelitian karena dari sanalah akan dicari nilai-nilai lokal wisdom apa sajakah yang bisa dikembangkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik di DIY. Sedangkan penentuan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai medan penelitian khususnya instansi-instansi yang terkait dengan pengembangan nilai-nilai local wisdom dari Keraton Yogyakarta dalam bentuk produk-produk hukum tata pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta karena di Pemda DIY itulah akan dilihat produk-produk hukum yang di dalamnya telah memuat nilai-nilai local wisdom yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang telah dijadikan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang harus dilaksanakan oleh para birokrat di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Jenis dan Pendekatan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian hukum diskriptif dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan budaya yang akan mengkaji dan menganalisis berbagai nilai-nilai lokal yang berasal dari keraton Yogyakarta yang telah dikembangkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam produk-produk hukum Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang harus dipatuhi dan dipakai sebagai pedoman oleh alat administrasi negara baik pejabat maupun staf di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakrta.

4. Objek Penelitian

Adapun objek dalam penelitian yang direncanakan ini adalah adalah nilai- nilai local wisdom yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang dijadikan asas-asas umum pemerintahan yang baik pada produk-produk hukum yang menjadi dasar dan sarana bagi para pejabat dan staf Pemerintah daerah Istimewa Yogyakarta dalam menjalankan tugas dan yakni produk hukum yang berupa :

a. Peraturan Daerah DIY;

b. Peraturan Gubernur DIY;

c. Keputusan Gubernur DIY; dan peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta; serta

(22)

d. Arsip-arsip dari perpustakaan Keraton Yogyakarta yang memuat nilai-nilai local wisdom yang kemudian dikembangkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik di Pemda DIY.

3. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pejabat-pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi medan penelitian yang mengetahui produk- produk hukum di Pemda DIY yang di dalamnya memuat nilai-nilai local wisdom dari Keraton Yogyakarta yang telah dikembangkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Di samping itu subjek peneitian adalah pegawai-pegawai Keraton Yogyakarta yang mengetahui tentang nilai-nilai local wisdom Keraton Yogyakarta yang telah dikembangkan dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

4. Sumber-sumber Bahan Penelitian

Adapun sumber-sumber dalam penelitian ini adalah bahan-bahan hukum mapun bahan-bahan non hukum yang relevan dengan hal-hal yang akan diteliti.

Bahan-bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan maupun keputusan/ketetapan administrasi negara baik yang berasal dari pemerintah daerah DIY yang menjadi ajang penelitian. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku, desertasi, arsip-arsip Keraton dan bahan-bahan lainnya yang bisa memberikan petunjuk dan inspirasi dalam penelitian ini.

Sedangkan bahan-bahan non hukum adalah tulisan-tulisan yang berkaitan dengan nilai-nilai local wisdom dari Keraton Yogyakarta.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data akan dilakukan wawancara dan dokumentasi untuk melihat nilai-nilai local wisdom dari Keraton Yogyakarta yang telah dikembangkan menjadi asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam produk- produk hukum di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

6. Teknik Analisis data

Setelah data dikumpulkan, selanjutnya akan dilakukan analisis data. Lexy J.

Moleong (1999 : 190) menyatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Sumber data dalam penelitian tentang Pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Melalui Nilai-nilai Local Wisdom Keraton Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta yang direncanakan ini

(23)

diperoleh atau akan dikumpulkan dengan wawancara dan dokumentasi, sehingga dari ke dua sumber data itulah proses analisis data akan dilakukan dengan tahap-tahap reduksi data, unitisasi/kategorisasi data dan penafsiran data. Reduksi data akan dilakukan dengan cara memilah-pilah data yang relevan dengan menyisihkan mana data yang penting untuk dipilih dan dan diolah dan data yang tidak penting untuk disingkarkan, kemudian diadakan unitisasi dan kategorisasi terutama terhadap pengembangan niai-nilai local wisdom Keraton Yogyakarta ke dalam produk-produk hukum Pemerintah DIY baik yang berupa Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Surat Keputusan Gubernur maupun produk-produk hukum Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta lainnya. Setelah diadakan unitisasi data kemudian akan dilakukan penafsiran data dan pengambilan kesimpulan mengenai nilai-nilai kearifan lokal/local wisdom Keraton Yogyakarta apa sajakah yang telah dimasukkan dan dikembangkan dalam produk-prduk hukum Pemeintah Daerah istimewa Yogyakarta.

Untuk kepentingan pemeriksaan keabsahan data, sebelum dilakukan analisis data akan dilakukan cross cek data. Cross cek akan dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan antara data yang diperoleh melalui wawancara dari berbagai pihak dan akan diadakan cros chek data yang diperoleh melalui wawancara dan diperoleh melalui dokumentasi.

I. Jadwal Penelitian

No Kegiatan Yang Direncanakan Waktu Dalam Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8

1 Persiapan

a. Penyusunan proposal b. Penyusunan instrumen

c. Seminar proposal &

instrumen d. Pengurusan Ijin

X X X X

2 Pelaksanaan Penelitian a. Wawancara

b. Dokumentasi

X X

X X X

3 Analisis Data X

4 Penyusunan Laporan Akhir a. Seminar hasil penelitian b. Penyusunan lap penelitian c. Penyusunan draft artikel

ilmiah

X X X

X

(24)

5 Penggandaan Laporan Akhir X

J. Personalia Penelitian Peneliti :

1. Ketua Peneliti :

a. Nama Lengkap dan Gelar : Eny Kusdarini, M. Hum

b. Golongan, Pangkat dan NIP : IV/b, NIP : 19600304 1986 01 2 001 c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

d. Fakultas/Program Studi : FIS/PKn dan Hukum

e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Yogyakarta f. Bidang Keahlian : Hukum

g. Waktu Penelitian : 12 jam/minggu 2. Anggota Peneliti II :

a. Nama Lengkap dan Gelar : Dr. Sunarso, M.Si

b. Golongan, Pangkat dan NIP : IVa, NIP : 19600521 198702 1 004 c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

d. Fakultas/Program Studi : FIS/PKn dan Hukum

e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Yogyakarta f. Bidang Keahlian : PKn

g. Waktu Penelitian : 10 jam/minggu 3. Anggota Peneliti II :

a. Nama Lengkap dan Gelar : Setiati Widihastuti, M. Hum

b. Golongan, Pangkat dan NIP : IV/b, NIP : 19602804198501 2 001 c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

d. Fakultas/Program Studi : FIS/PKn dan Hukum

e. Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Yogyakarta f. Bidang Keahlian : Hukum

g. Waktu Penelitian : 10 jam/minggu 4. Mahasiswa yang terlibat I:

a. Nama : Ufita Arsono b. NIM : 10401244018 c. Jurusan : PKn dan Hukum

(25)

d. Angkatan : 2010 5. Mahasiswa yang terlibat II:

a. Nama : Ian Pratama Maulana Fahmi b. NIM : 10401244032

c. Jurusan : PKn dan Hukum d. Angkatan : 2010

K. PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

No Komponen Biaya Rincian Biaya

(Rp)

Jumlah (Rp) 1 Honorarium

a. Peneliti Utama & Anggota b. Pembantu Peneliti

1.700.000

300.000 2.000.000 2 Persiapan

a. Penelusuran Pustaka b. Pembuatan Proposal

c. Seminar proposal & Instrumen penelitian;

d. Pengurusan ijin penelitian;

e. Belanja bahan penelitian (ATK/bahan habis pakai);

f. Peralatan untuk wawancara, &

dokumentasi

500.000 500.000

1.000.000 200.000

1.000.000 500.000

3.700.000

Pelaksanaan

a. Transport studi pendahuluan b. Transport wawancara dan

dokumentasi

300.000 1..500.000

1.800.000

3 Analisis Hasil Penelitian 1.000.000 1.000.000 4 Seminar Hasil Penelitian 500.000 500.000 5 Penyusunan Laporan akhir

a. Pembuatan draft laporan b. Penyempurnaan laporan c. Penggandaan laporan akhir

500.000 250.000

250.000

1.000.000

Jumlah Keseluruhan Biaya 10.000.000

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press

Edi Sedyawati. 2006. Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Utama Edi Sedyawati. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Franz Magnis Suseno. 1985. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan

Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia

Hadari Nawawi. 2007. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

HAW. Widjaja. 2005. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia dalam Rangka Sosialisasi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Jakarta: RajaGrafindo Persada

Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Jimly Asshiddqie. 2011. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, 2008, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana

Lexy J. Moleong. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya

Marbun. SF. 2001. Eksistensi Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih Di Indonesia, Desertasi. Bandung: Program Pasca Sarjana UNPAD,

Muin Fahmal. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintah yang Layak dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. 2006. Yogyakarta: UII Press Moertjipto, dkk. 1997. Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan

Asli bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Nasiwan, dkk. 2012. Menuju Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesia. Yogyakarta:

FISTRANS Institute

Philipus M. Hadjon. 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

Ridwan HR. 2007. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Utama

Sanapiah Faisal. 2001. Penelitian Kualitatif Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA3 Malang

Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

SF Marbun. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia.

Yogyakarta: UII Press

Sudarwan Danin. 2002. Menjadi Peneliti Kualitataif: Rancangan Metodologi, Presentasi, dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan

(27)

Peneliti Pemula Bidang Ilmu Ilmu Sosial, Pendidikan, dan Humaniora. Bandung: CV Pustaka Setia.

Sultan Hamengku Buwono X. 2007. Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

Suryo Sakti Hadiwijoyo. 2011. Gubernur Kedudukan, Peran dan Kewenangannya.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Suwarno. 1994. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974. Yogyakarta: Kanisius

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

Referensi

Dokumen terkait