ii Prosiding
Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5 :
Tantangan Menjaga Daulat Rakyat Dalam Pemilihan Umum
Diselenggarakan oleh:
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Republik Indonesia
Batusangkar, 9-11 November 2018
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2019
ii Prosiding
Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5 :
Tantangan Menjaga Daulat Rakyat Dalam Pemilihan Umum
Diselenggarakan oleh:
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Republik Indonesia
Batusangkar, 9-11 November 2018
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2019
ii Prosiding
Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5 :
Tantangan Menjaga Daulat Rakyat Dalam Pemilihan Umum
Diselenggarakan oleh:
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Republik Indonesia
Batusangkar, 9-11 November 2018
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2019
iii Prosiding
Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5
Tantangan Menjaga Daulat Rakyat Dalam Pemilihan Umum Susunan Kepanitiaan:
Pelindung : Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Steering Committee : Prof. Dr. Yuliandri, SH., MH.
Prof. Dr. Zainul Daulay, SH., MH.
Ilhamdi Taufik, SH., MH.
Penanggung Jawab : Feri Amsari, SH., MH., LL.M.
Ketua Panitia : Khairul Fahmi, SH., MH.
Wakil Ketua Panitia : Charles Simabura, SH., MH.
Sekretaris Panitia : M Nurul Fajri, SH., MH.
Bendahara : Beni Kurnia Illahi, SH., MH.
Kesekretariatan dan
Keuangan : Wenny Purnama Y, SH.
Ifzi Warti Nova Aryanti
Divisi Acara : M. Ichsan Kabullah, SIP., MPA.
Sumitra Abdi Negara, SH.
Hemi Lavour F. SH.
Divisi Humas dan
Publikasi : Ari Wirya Dinata, SH., MH.
Yovan Adhiyaksa Alfariz Maulan Reza Divisi Perlengkapan : M. Ikhsan Alia, SH.
Maulan Fajri Adrian Divisi Transportasi : Andre Aulia Rahman, SH.
Afrizal, SH.
M. Nasir
Divisi Konsumsi : Tikatul Chairnessy, SH.
Reviewer :
Prof. Dr. Yuliandri, SH., MH.
Prof. Dr. Zainul Daulay, SH., MH.
Editor :
Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M.
Khairul Fahmi, S.H., M.H.
Charles Simabura, S.H., M.H.
Penyusun :
Ari Wirya Dinata, S.H., M.H.
Sumitra Abdi Negara, S.H.
iv Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5 : Tantangan Menjaga Daulat Rakyat dalam Pemilihan Umum
-Ed.1.-Cet. 1.-Padang : PUSaKO, 2019.
xxxii, 2133 hlm., 29,7 cm
Bibliografi : Ada di setiap makalah ISBN : 978-602-50378-1-8
1. Pemilihan Umum
Hak cipta 2019, pada PUSaKO
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.
Cetakan ke-1, April 2019
Hak Penerbitan pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Desain cover oleh [email protected]
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Kantor :
Lantai II GB Dekanat, Kampus Lima Manis, Unand.
Telp./Fax. (0751) 775692
Email :[email protected] Web : www.pusako.or.id
v Kata Pengantar
Pemilihan Umum merupakan salah satu bagian inti berdemokrasi. Sebagai sumber legal agar individu atau sekelompok orang memiliki kekuasaan yang sah, maka Pemilu harus diselenggarakan sesuai asas-asas konstitusional penyelenggaraannya. Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menghendaki Pemilu diselenggarakan secara: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil).
Tantangan mewujudkan asas penyelenggaraan Pemilu dari waktu ke waktu kian berat. 2019 akan menjadi tahun penyelenggaraan Pemilu yang memiliki tantangan berbeda. Selain diwarnai dominasi media elektronik yang telah menjadi tantangan baru dalam kampanye Pemilu, penyelenggara juga harus mempersiapkan diri mewujudkan Pemilu serentak nasional pertama kali.
Sebagaimana dikemukakan A. Wall [Timothy D. Sisk,2017, Elections, Electoral Systems and Party Systems, IDEA, Stockholm, hlm. 3] persiapan itu mesti teliti dan detail dalam tiga periode proses Pemilu: masa persiapan Pemilu (pre-electoral period), masa Pemilu (electoral period), dan setelah penyelenggaraan Pemilu (post- electoral period). Harus diakui bahwa Pemilu 2019 sangat “panas”. Bahkan pada masa persiapan Pemilu sekalipun terjadi keributan yang sangat tinggi. Tidak hanya ribut soal metode verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU yang janggal, keributan semakin menjadi-jadi ketika beberapa partai yang dinyatakan tidak layak dan tidak lolos verifikasi ternyata “diloloskan” Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Tentu saja perdebatan kian luas apabila ditarik pada isu-isu penting lainnya, misalnya soal ambang batas pencalonan presiden (presidential candidacy threshold), ambang batas masuk parlemen (parliamentary threshold), pelanggaran kampanye, dana kampanye, dan “kebisingan kampanye” negatif dan bernuansa suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) serta berbagai hal lainnya. Sebab tantangan yang beragam itulah, penting kemudian dibahas dan “dibedah” permasalahan penyelenggaran Pemilu dalam forum yang pantas untuk mempersiapkan diri dalam menyambut Pemilu 2019.
Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-5 dianggap forum yang patut memperbincangkan segala hal berkaitan dengan diskursus kepemiluan menjelang 2019 yang akan datang. Setidaknya terdapat 4 (empat) tema utama yang diperbincangkan, yaitu: pertama, Politik Hukum Regulasi Pemilu yang memperbincangkan sub-tema mengenai: Pilihan Sistem Pemilu; Syarat dan Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu; Ambang Batas Parlemen (Electoral Threshold); dan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) dalam Pemilu Serentak. Kedua,Pencegahan dan Penanganan Politik Uang dalam Pemilu yang membahas sub-tema:Dampak Politik Uang terhadap Demokrasi; Strategi Pencegahan Politik Uang; dan Mekanisme Penanganan Politik Uang.
Pada tema ketiga, Penataan Kewenangan dan Hubungan Antar Lembaga Penyelenggara Pemilu, dibahas sub-tema: Penataan Struktur dan Kewenangan KPU, Bawaslu dan DKPP; dan Penataan Hubungan Antar Lembaga Penyelenggara Pemilu dan Lembaga Negara Lainnya. Sedangkan pada temakeempatmengenai Penyelesaian Sengketa Proses dan Hasil Pemilu, dibahas sub-tema:Kewenangan Pengawasan dan
vi Penyelesaian Sengketa Proses oleh Bawaslu; Upaya Hukum terhadap Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu; dan Problematika Peradilan Cepat (Speedy Trial) dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu di MahkamahKonstitusi.
Keempat tema tersebut pada dasarnya merupakan bagian penting dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara yang prosesnya mesti tergambar dalam penyelenggaran Pemilu yang baik. Berbagai gagasan menarik dikemukakan dalam KNHTN ke-5 yang mencoba membahas bagaimana kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Tulisan-tulisan penting mengenai tema tersebut digagas para akademisi, pegiat Pemilu, dan penyelenggara Pemilu itu sendiri digabungkan dalam prosiding ini. Sebaran pemikiran selama konferensi yang berbentuk notulensi juga dimaktubkan dalam prosiding ini dengan harapan agar gagasan-gagasan tersebut dapat dibaca luas oleh berbagai pihak.
Semoga prosiding ini dapat betul-betul bermanfaat dan menjadi kontribusi penting bagi proses penyelenggaraan Pemilu yang lebih baik di masa depan. Ucapan terimakasih patut pula disampaikan pada Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Bawaslu Republik Indonesia, Tahir Foundation,Hanns Seidel Foundation (HSF), the International Foundation for Eletoral Systems (IFES), International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), dan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar yang telah membantu agar konferensi ini berjalan lancar.
Padang, Desember 2018 Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Feri Amsari, S.H.,M.H.,LL.M Direktur
xxiii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
HASIL KONFERENSI vii
DAFTAR ISI xxiii
ACARA PEMBUKAAN
Notulensi Acara Pembukaan 1
SEMINAR
Bahan Presentasi Narasumber
1. Patronase dan Oligarki Politik Menggerus Kedaulatan Rakyat
Prof. Dr. Syamsuddin Haris,M. Si. 14
2. Politik Hukum Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Indonesia : Duitokrasi Kills Indonesia’s Democracy
Prof. Denny Indrayana 34
3. Politik Hukum Regulasi Pemilu
H. Arsul Sani, S.H., M. Si, Pr. M. 54
Notulensi Seminar Nasional 63
PARALLEL GROUP DISCUSSION (PGD) Bahan Presentasi Pembicara
PGD I : Politik Hukum Regulasi Pemilu
1. How the Sovereign Speaks Electoral Law and Political Choices from A Comparative Perspective
Dr. Sascha Hardt, LL.M. 85
2. Pemilu dan Neo-Otoritarianisme
Dr. Herlambang P. Wiratraman 98
PGD II : Pencegahan dan Penanganan Politik Uang dalam Pemilu
1. Beberapa Catatan tentangVote BuyingdanCandidacy Buyingdalam Pemilu Indonesia
Prof. Topo Santoso, S.H., M.H., PhD. 111
2. Politik Uang di Indonesia
Dr. Mada Sukmajati 162
3. Regulating Money in Electoral Politics (An International Perspective)
Prof. Graeme Orr 180
4. Pencegahan dan Penanganan Politik Uang dalam Pemilu
Abhan, S.H. 200
xxiv
5. Politik Uang Integritas Partai Politik
Febri Diansyah, S.H. 203
6. Political Parties and Their Funding in Germany
Prof. Dr. Thomas Schmitz 218
7. Counteracting Vote Buying
Dr. Magnus Ohman 220
PGD III : Penataan Kewenangan dan Hubungan Antar Lembaga 1. Asas dan Prinsip Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Dr. Harjono, S.H., M.C.L. 233
2. KPU sebagai Terlapor, Termohon, Tergugat dan Teradu : Hubungan Antar Lembaga Penyelenggara Pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Hasyim Asy’ari, PhD. 244
3. Konteks Politik Evolusi Kewenangan Lembaga Penyelenggara Pemilu
Philip J. Vermonte, PhD 251
4. Arrangement of The Authority and Relationship Between Election Organizing Agencies
Hilaire Tegnan, PhD 267
PGD IV : Penyelesaian Sengketa Proses dan Hasil Pemilu
1. Resolution of Electoral Disputes : A Comparative Perspective
Prof. Christie S. Warren 274
2. Mendesain Penyelesaian Sengketa Proses dan Hasil Pemilu
Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. 280
3. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019
Dr. Manahan MP Sitompul, S,H., M.Hum. 300
4. Penyelesaian Sengketa Pemilu 2019
Fritz Edward Siregar, S.H., LL.M., PhD 310
5. When are Elections Good Enough ? Validating or Annulling Election Result
David Ennis 330
Makalah Peserta Call Paper
PGD 1 : Politik Hukum Regulasi Pemilu
1. Hakikat Pemilihan Dalam Rangka Pengisian Jabatan
Adventus Toding 359
xxv
2. Mengkaji Ulang Ikhtiar Penguatan Sistem Presidensial Melalui Penerapan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) Dalam Pemilihan Umum Di Indonesia
Agil Oktaryal 373
3. Penerapan Sistem Pemilu Distrik Sebagai Alternatif Penyederhanaan Partai Politik Secara Alamiah
Ahmad Gelora Mahardika 387
4. Presidential Threshold Dari Ada Menjadi Tiada, Dari Konstitusional Jadi Inskonstitusional
Andrian Habibi 402
5. Politik Hukum Pilkada Sistem Noken Model Pilihan Politik Masyarakat Adat Di Papua
Ariyanto dan Yenny Febrianty 422
6. Pemilu Serentak Dan Urgensi Jadwal Pencalonan Presiden
Arya Budi 440
7. Konsolidasi Demokrasi Melalui Pemilu Serentak (Konstruksi Sistem Pemilu Agar Tercipta Kongruensi Pemerintahan)
Bambang Ariyanto 456
8. Refleksi Politik Hukum tentang Pemilu sebagai Perwujudan Demokrasi Konstitusional
Cakra Arbas 474
9. Ambang Batas Pencalonan Presiden Dan Wakil Presiden: Jebakan Transisional Keserentakan Pemilihan Umum Dalam Presidensialisme Di Indonesia ?
Dian Agung Wicaksono dan Luthfi Dwi Hartono 491 10. Politik Hukum Regulasi Pemilu Serentak Dalam Kerangka Sistem
Presidensial Multipartai Republik Indonesia
Dody Nur Andriyan 506
11. Prinsip Hak Asasi Manusia dalam Politik Hukum Penentuan Syarat Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
Dwi Utari C.R. 525
12. Analisa Yuridis Peran Partai Politik Dalam Perwujudan Hak Dipilih Penyandang Disabilitas
Fajri Nursyamsyi dan Muhammad Nur Ramadhan 542
13. Pencalonan Anggota DPRD Oleh Partai Politik Yang Berbeda
Hetta Manbayu 562
456 KONSOLIDASI DEMOKRASI MELALUI PEMILU SERENTAK
(KONSTRUKSI SISTEM PEMILU AGAR TERCIPTA KONGRUENSI PEMERINTAHAN) Bambang Ariyanto
Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya [email protected]
Abstrak
Sistem pemilu merupakan seperangkat metode yang mengatur warga negara unutk memilih para wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Pilihan atas sistem pemilu akan sangat mempengaruhi proporsionalitas hasil pemiihan, bentuk kabinet yang akan dibentuk, sistem kepartaian, akuntabilitas pemerintahan, dampak pada kohesi partai politik, dan partisipasi politik warga. Di Indonesia, sistem pemilu yang diterapkan sangat tergantung bentuk pengaturan yang ada dalam undang-undang.
Pengalaman selama ini, sistem pemilu yang diterapkan adalah Sistem Pemilu Proporsional. Sistem ini diterapkan juga pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan Pemilu Tahun 2019. Apakah sistem pemilu yang diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mendorong terjadinya hasil pemilu yang kongruen bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia?
Tujuan penulisan ini ingin mengetahui sejauh mana sistem pemilu mempengaruhi sistem pemerintahan, apakah pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu 2019 mampu menjadi pemerintahan yang efektif dan stabil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meski menggunakan sistem proporsional seperti tahun-tahun sebelumnya, namun karena pelaksanaan pemilu kali ini adalah pemilu serentak, maka hasil pemilu ini mampu menghindari terbentuknya pemerintahan terbelah, baik di level nasional maupun di level pemilu daerah. Pemilu serentak juga mampu mengatasi kelemahan sistem pemerintahan presidensial yang terjadi selama ini.
Kata Kunci : Sistem Pemilu, Pemilu Serentak, Sistem Proporsional Abstract
The electoral system is a set of methods to regulate citizens in electing their representatives who will sit in the legislature. The format choice of the electoral system will greatly affect the proportionality of the election results, the structure of the cabinet that will be formed, the party system, government accountability, the impact on the political party cohesion, and the citizens’ political participation. In Indonesia, the electoral system implemented is very dependent on the form of regulation in law. From our experiences so far, the implemented electoral system was the Proportional Election System. This system is also applied to Law No. 7 of 2017 concerning General Elections as a legal basis for the implementation of the 2019 Election. Is the electoral system regulated in Law No. 7 of 2017 concerning Election encouraging the occurrence of congruent election results for the implementation of democracy in Indonesia? The purpose of this paper is to find out the extent to which the electoral system influences the government system, whether the government resulted from the 2019 elections is able to become an effective and stable government. The results of this study indicate that although using a proportional system like in previous years, but the results of this election are able to avoid the formation of a split government, both at the national level and at the level of regional elections because the implementation of this election is a
457 simultaneous election. Simultaneous elections are also able to overcome the weaknesses of the presidential government system that has been around so far.
Keywords: Election System, Simultaneous Election, Proportional System Pendahuluan
Dalam perkembangan negara yang menganut demokrasi konstitusional, salah satu cara untuk mengukur kepedulian rakyat terhadap pemerintahan adalah melalui pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. pemilu juga diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat. Melalui pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang akan menjadi kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya.1
Pemilu sering disebut sebagai pesta demokrasi. Pesta bagi rakyat untuk menjalin ikatan tak terputuskan antara rakyat dan para wakilnya. Suara rakyat ini diwujudkan dalam bentuk hak pilih, yakni hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada. Sebagai sebuah hak, hak memilih merupakan hak sipil dan politik yang dijamin secara konstitusional. Dalam konteks penyaluran hak-hak politik rakyat inilah, menurut U’uu Nurul Huda, pemilu memiliki arti penting: (a) Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislatif; (b) Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu; (c) Rakyat melalui perwakilannya secara berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif.2
Bagi Bangsa Indonesia, yang telah beberapa kali melaksanakan pemilu, mekanisme agar idealita pemilu itu tercapai, telah dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Bunyi dari Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menunjukkan bahwa dalam setiap pelaksanaan pemilu, pedomannya adalah asas-asas pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Asas-asas ini harus terwujud dalam setiap sistem pemilu, apa pun yang dipilih.
Ketentuan ini lalu diperinci lagi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU- VII/2009, yang mana Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan rambu-rambu mengenai Pemilu. Adapun rambu-rambu itu antara lain: (a) Pemilu dilaksanakan secara periodik setiap lima tahun sekali; (b) dianutnya asas Pemilu Luber dan Jurdil;
(c) Tujuan pemilih untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, Presiden dan Wakil Presiden; (d) Peserta pemilu meliputi partai politik dan perseorangan; dan (e) tentang penyelenggara Pemilu. Di samping itu, Putusan MK juga menyatakan bahwa hal-hal lain seperti Sistem Pemilu, daerah pemilihan, syarat peserta dan sebagainya, didelegasikan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan kebijakan hukum (legal policy). Kebijakan hukum tersebut dapat dibuat sepanjang tidak menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, persamaan, keadilan, dan nondiskriminasi sebagaimana terkandung dalam UUD 1945.
1 Janedri M. Gaffar, (2012), Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Press, h.44.
2 U’un Nurul Huda, (2018), Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia, Jakarta: Fokusmedia, h.9.
458 Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah diperkuat dengan ketentuan Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Ketentuan lain dalam UUD 1945 yang harus dijadikan acuan dalam politik hukum pemilu adalah arah penyederhanaan partai politik. Ketentuan ini memang tidak diatur secara tegas dalam konteks sistem kepartaian yang berlaku. Namun, keberadaan Pasal 6A ayat 2, bila dilihat dari konteks historis menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Frasa “gabungan partai politik” inilah lahir dari maksud perumus Perubahan UUD 1945 untuk mengarahkan pada sistem multipartai sederhana.3
Dalam konteks kepemiluan, UUD 1945 tidak memberikan kejelasan mengenai electoral law (sistem pemilu) dan electoral processes (penyelenggara pemilu) yang cocok untuk bangsa Indonesia. Kebijakan atas sistem pemilu ini diserahkan kepada pembentuk UU sebagai bentuk kebijakan terbuka. Prinsipnya, UUD 1945 hanya memberikan panduan bahwa pelaksanaan pemilu haruslah memenuhi norma-norma demokrasi.
Ada tiga kriteria dari norma demokrasi yang bisa dijadikan parameter yakni kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan penggantian pemerintahan.4 Apabila dikaitkan dengan pemilu yang demokratis, harus memenuhi empat unsur, (a) hadirnya regulasi pemilu yang jelas dan tegas; (b) hadirnya partai politik yang mampu menyiapkan kader yang kompeten; (c) pemilih yang cerdas; dan (d) penyelenggara pemilu yang profesional, kredibel dan berintegritas.5
Jika menggunakan empat ukuran dari pemilu yang demokratis ini, pemilu di era rezim Orde Baru merupakan pemilu semu. Pemilu Orde Baru nyaris hanya mempertahankan status quo. Pemilu ini hanyalah alasan untuk membenarkan kelangsungan rezim tersebut dengan dominasi Golongan Karya (Golkar) terus menerus. Pemilu di era Orde Baru juga ditandai dengan oleh penghilangan hak pilih secara masal atas para bekas anggota PKI beserta organisasi massa pendukung dan organisasi terlarang lainnya.6
Pemilu pasca reformasi, yakni di tahun 19997, 2004, 2009 dan 2014, merupakan pemilu yang bisa diukur dan dianalisis secara sistemik terkait karakteristik pemilih
3 Janedri M. Gaffar, Op.Cit, h.30
4 A. Mukthie Fadjar, (2018), Negara Hukum dan Perkembangan Teori Hukum: Sejarah dan Pergeseran Paradigma. Malang: Intrans Publishing, h.175.
5 Miriam Budiardjo, (2008), Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, h.79
6 Benedict R Anderson (1996), Election and Participation in Thress Southeast Asian Countries.
The Politics of Election in Southest Asia, Disunting oleh R.H. Taylor, New York; Cambridge University Press, h. 99.
7 Muhammad Asfar menyebutkan Pemilu 1999 merupakan pemilu paling demokratis pasca Orde Baru karena menggunakan konsep dan aturan yang relatif bebas dan demokratis, meskipun dengan sistem pemilu pragmatis. Artinya, sistem campuran masih digunakan sebagai jalan kompromi.Lihat dalam Muhammaf Asfar dkk, (2002), Model-Model Sistem Pemilihan di Indonesia. Pusat Studi Demokrasi dan HAM: Surabaya, h.114.
459 dan perilaku pemilihnya.8 Pemilu pasca reformasi bila diukur dengan kriteria norma demokrasi yakni kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur, telah memenuhi unsur tersebut.
Dari penilaian mengenai seberapa demokratiskah pelaksanaan pemilu, sistem pemilu bukanlah parameter utama. Namun, sistem pemilu sebagai seperangkat metode untuk mengatur warga negara memilih para wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif, sangat penting untuk dikaji dalam sistem pemerintahan demokrasi perwakilan.9 Ada beberapa alasan:
1. sistem pemilihan mempunyai konsekuensi pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan;
2. sistem pemilihan memengaruhi bentuk kabinet yang akan dibentuk;
3. sistem pemilihan membentuk sistem kepartaian, khususnya berkaitan dengan jumlah partai politik yang ada dalam sistem kepartaian tersebut;
4. sistem pemilihan memengaruhi akuntabilitas pemerintahan, khususnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya;
5. sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat kohesi partai politik;
6. sistem pemilihan berpengaruh terhadap bentuk dan tingkat partisipasi politik warga;
7. sistem pemilihan adalah elemen demokrasi yang lebih mudah untuk dimanipulasi dibandingkan dengen elemen demokrasi lainnya;
8. sistem pemilihan juga dapat dimanipulasi melalui berbagai peraturan yang tidak demokratis dalam tingkat pelaksanaannya.
Keberadaan sistem pemilu menjadi sangat relevan seiring dengan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI-2013. Dalam putusan itu diamanatkan bahwa Pemilu Presidan dan Wakil Presiden harus dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pelaksanaan pemilu serentak itu diamanatkan pada tahun 2019.10 Pada Pemilu 2019 ini, sandaran hukum yang digunakan adalah Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU No 7 Tahun 2017). Desain sistem
8 Dalam kajiannya mengenai perilaku pemilih, Saiful Muzani dkk, berusaha mengidentifikasi perilaku memilih dengan mempertanyakan tiga hal. Pertama, berkaitan dengan partisipasi dalam pemilu atau pemilihan presiden. Misalnya, seberapa banyak warga negara yang berpartisipasi dalam pemilihan umum. Lalu mengapa seseorang memutuskan ikut serta atau absen dalam pemilihan umum.
Kedua, berkaitan dengan pilihan warga terhadap partai politik atau calon anggota DPR/DPRD, DPD atau calon presiden: Misalnya partai apa atau calon mana yang dipilih seorang pemilih dalam pemilu atau Pilpres? Mengapa dia memilih partai atau calon tersebut, dan mengapa tidak memilih partai atau calon yang lain. Lihat Saiful Muzani dkk,(2011), Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Mizan 43-48
9 Luky Sandra Amalia dkk, (2016), Evaluasi Pemilihan Legislatif 2014: Analisa Proses dan Hasil, Jakarta: Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, h.12
10 Dalam salah satu pertimbangannya, MK menyatakan : Menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi.
Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pertimbangan ini menunjukkan MK melakukan evaluasi atas pendapat hukum pada Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, yang mana MK menyatakan penyelenggaraan pilpres yang terpisah dari sebuah pileg adalah kebiasaan hukum tata negara.
460 pemilu yang diamanatkan dalam UU No 7 Tahun 2017 ini perlu dikaji secara mendalam. Apakah sistem pemilu yang diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mendorong terjadinya hasil pemilu yang kongruen bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Untuk menjawab ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan statute approach dan kajian konseptual.
Pembahasan
Pemilu Serentak : Momentuk Konsolidasi Sistem Pemilu
Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilu itu, antara lain: (a) memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; (b) memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; (c) untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; (d) untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.11
Untuk mewujudkan tujuan pemilu tersebut, pelaksanaan pemilu perlu dilakukan secara berkala. Artinya, bila sudah ditetapkan bahwa pemilu itu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Langkah ini merupakan komitmen pemerintah dalam mengaktualisasikan kedaulatan rakyat. Ada beberapa alasan mengapa pemilu itu harus dilakukan secara berkala.
Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat mengenai kebijakan negara selalu bersifat dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu. Kedua, kondisi kehidupan bersama dapat pula berubah, baik karena dinamika dunia internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri. Ketiga, bertambahnya jumlah penduduk dan pemilih yang sudah mulai dewasa. Keempat, untuk menjamin terjadinya pergantian kepempinan negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif.12
Hasil pemilu selayaknya menjadi acuan bagi pemerintahan yang terpilih untuk melaksanakan pemerintahan secara efektif dan efisien. Pilihan untuk memperkuat sistem presidensial dalam setiap hasil pemilu nyatanya tidak terjadi. Ada ketidakseriusan dan inkosistensi dalam pelembagaan sistem demokrasi presidensial yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam sistem pemilu.
Hal inilah yang berusaha ditata oleh pemerintah melalui dua skema pemilu, yakni pemilu nasional serentak13 (untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemilu lokal/daerah serentak (untuk memilih anggota DPRD dan kepala-kepala daerah, baik
11 Jimly Asshiddiqie, (2015) Konstitusi Bernegara: Praksis Ketatanegaraan Bermartabat dan Demokratis. Malang: Setara Press, h. 219
12 Ibid, h.217-218
13 Pelaksanaan Pemilu Serentak sebenarnya sudah banyak diterapkan di negara demokrasi.
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, merupakan negara-negara yang sudah lama menerapkan pemilu serentak. Di Amerika Serikat, di beberapa negara bagian, bukan hanya menggabungkan pemilihan presiden dan anggota Kongres serta Senat di Pusat, tetapi pada waktu yang bersamaan juga menyelenggarakan pemilihan gubernur dan legislator di tingkat negara bagian. Di Amerika Latin, pemilihan presiden dan anggota legislatif dilakukan secara serentak di Bolivia, Columbia, Costa Rica, Guatemala, Guyana, Honduras, Nicaragua, Panama Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela. Di Asia Tenggara, hanya Filipina yang menerapkan sistem pemilu serentak dalam memilih presiden dan anggota legislatif.
461 kabupaten/kota maupun provinsi) dengan jeda waktu 2,5 tahun didahului pemilu nasional. 14
Pilihan atas dua skema pemilu ini diharapkan tidak hanya tercapai tujuan efisiensi anggara, tetapi juga dapat diwujudkan beberapa perubahan sekaligus.
Pertama, peningkatan efektivitas pemerintahan karena melalui keserentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil sebagai akibat coattail effect, yakni keterpilihan calon presiden dari parpol atau koalisi parpol akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu pula. Ini artinya, penyelenggaraan pemilu serentak memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden terpilih. Kedua, mendorong parpol untuk berkoalisi sebelum pemilu legislatif. Harapannya, parpol bisa mengubah orientasi koalisi yang biasanya bersifat jangka pendek dan cenderung oportunistik, menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, misi dan platform politik. Ketiga, memberikan dampak positif : (a) bagi rakyat untuk menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu serentak nasional;
(b) terbuka peluang yang besar bagi terangkatnya isu lokal ke tingkat nasional; (c) semakin besarnya peluang elite politik lokal yang kepemimpinannya berhasil untuk bersaing menjadi elit politik di tingkat nasional. Keempat, secara tidak langsung diharapkan terjadi penyederhanaan sistem kepartaian menuju sistem multipartai sederhana. Hal ini terjadi karena fragmentasi parpol di parlemen berkurang.15 Kelima, pemilu nasional serentak yang terpisah dengan pemilu lokal serentak diharapkan dapat mengurangi potensi politik transaksional sebagai akibat melembaganya oportunisme politik. Keenam, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil pilihan rakyat karena perhatian pemilih tidak harus terpecah.16
Menurut Jimly Asshidiqqie, pengaruh putusan MK agar Indonesia menerapkan pemilihan serentak baik pemilihan legislatif dan pemilihan presiden di tahun 2019 merupakan momentum untuk melakukan konsolidasi kebijakan sistem pemilu di
14 Pelaksanaan Pemilu Serentak mendapat legitimasi yang kuat setelah adanya Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presidan dan Wakil Presiden Terhadap UU Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pengujian tersebut, pasal yang diajukan adalah Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No 42 Tahun 2008. Pemohon adalah Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak pada tanggal 10 Januari 2013. Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No 42 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK menegaskan bahwa pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD
15 Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal mempunyai implikasi terhadap Partai Politik, antara lain: (a) menjadikan pengurus parpol lebih konsentrasi dalam melakukan rekrutmen para calon anggota legislatif; (b) mengurangi terjadinya konflik internal parpol. Umumnya, konflik terjadi pada pencalonan anggota DPR serta pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, begitu juga di daerah, konflik terjadi pada pencalonan anggota DPRD dan Pencalonan Bupati/Walikota. Dengan pemilu serentak, potensi konflik pada dua momentum saja, yakni pada pemilu nasional serentak dan pemilu daerah/lokal serentak; (c) menjadikan durasi pemilu lebih pendek, sehingga memudahkan pemilih bersikap rasional, tetapi juga memudahkan pemilih untuk menghukum parpol yang kinerjanya buruk;
(d) mendorong parpol untuk bersungguh-sungguh melakukan kerja sama dalam memenangkan pemilu.
16 Syamsudin Haris, dkk, (2016), Pemilu Nasional Serentak 2019, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Electoral Research Institute (ERI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), h.
11-12.
462 masa depan.17 Konsolidasi ini penting untuk mengarahkan sistem demokrasi lebih efektif dan efisien dalam menciptakan sistem pemerintahan yang kuat, efisien, tetapi akuntabel dan berintegritas. Konsolidasi sistem pemilu akan mempengaruhi demokrasi Indonesia yang lebih sehat dan kredibel di masa depan, yang tidak hanya bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi dan rule of law, tetapi juga berintegritas karena didasarkan atas prinsip-prinsip rule of ethics yang efektif.
Desain Sistem Pemilu
Upaya dalam memperkuat sistem presidensial, salah satunya adalah melalui desain sistem pemilu yang tepat. Desain pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilu di Indonesia sangat tergantung oleh : Pertama, aturan main atau sistem kompetisinya dalam hal ini sistem pemilu yang diterapkan; Kedua, jumlah dan informasi obyektif tentang kinerja partai politik sebagai peserta pemilu; Ketiga, tingkat kedewasaan rakyat yang memilih; Keempat, kredibilitas penyelenggara pemilunya dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum. 18
Dari keempat prasyarat di atas, yang paling menentukan desain pemilu adalah pada aturan main atau sistem kompetisinya. Aturan main ini diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Pemilu (selanjutnya disebut UU Pemilu). Alhasil, UU Pemilu di Indonesia seringkali mengalami perubahan.19 Terlalu seringnya perubahan terhadap UU Pemilu, menurut Mohammad Mahfud MD merupakan bentuk pencarian politik hukum tentang pemilu. Ada tiga alasan mengapa UU Pemilu selalu berubah.
Pertama, karena ada kesadaran bahwa pemilu yang diselenggarakan sebelumnya mengandung kelemahan yang harus diperbaiki untuk menyongsong pemilu
17 Jimly Asshidiqqie. (2015). Penguatan Sistem Pemerintahan dan Peradilan, cetakan pertama.
Jakarta: Sinar Grafika. h.168.
18 Didik Sukriono, Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. II, No.1, Juni, 2009
19 UU Pemilu tahun 1955 yakni Undang-Undang No 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR sebagaimana diubah dengan UU No 18 Tahun 1953; Pemilu Tahun 1971 menggunakan UU No 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan, UU No 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU Pemilu 1977 yakni: Undang-Undang No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; UU Pemilu 1982 yakni, Undang-Undang No 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang No 3 Tahun 1980 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU Pemilu 1987, Undang-Undang No 1 Tahun 1980 tentang Perubahan atas UU No 15 tahun 1969 tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, Undang-Undang No 2 Tahun 1980 tentang Pemilu Anggota BPR sebagaimana telah diubah dengan UU No 4 Tahun 1975; UU Pemilu 1992, Undang- Undang No 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU No 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU No 4 Tahun 1975; UU Pemilu 1997, Undang-Undang No 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum; UU Pemilu 1999, Undang-Undang No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-Undang No 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD; UU Pemilu 2004, Undang-Undang No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; Dasar Hukum Pemilu 2009, Undang-Undang No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; UU Pemilu 2014, Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang- Undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
463 berikutnya. Kedua, terjadi perubahan konfigurasi politik yang menghendaki perubahan sistem maupun mekanisme pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik tertentu oleh sebagian besar partai politik yang menguasai kursi di DPR.
Ketiga, terjadi perubahan situasi, misalnya demografi kependudukan dan perkembangan daerah yang harus diakomodasi dalam UU Pemilu.20
Perubahan UU Pemilu dan perubahan undang-undang yang terkait dengan penyelenggara pemilu, Undang-Undang Partai Politik – biasa disebut UU Politik membuktikan bahwa Indonesia belum memiliki peraturan pemilu yang stabil, baik dalam arti sistem pemilu (electoral laws), maupun dari aspek proses penyelenggaraan pemilu (electoral process).21 Implikasinya berpengaruh pada situasi politik nasional.
Totok Daryanto, Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menyebutkan, pengaruh atas terlalu seringnya perubahan UU Pemilu yakni adanya infefisiensi nasional, politik tidak stabil dan bangsa Indonesia menjadi tidak produktif.22 Menurutnya, pemilu merupakan bagian dari pelaksanaan demokrasi rakyat. Membangun demokrasi yang sesuai dengan karakter bangsa sama juga membangun tradisi. Oleh karenanya, norma-norma dasar pemilu tidak perlu diubah terus, sehingga bangsa Indonesia bisa dewasa dalam berdemokrasi.
Dalam konteks sistem pemilu, pilihan atas sistem pemilu yang digunakan merupakan open legal policy. Dalam arti alternatifnya bisa dipilih dan ditetapkan sendiri oleh legislatif. Walaupun harus diakui, memilih sistem pemilu bagi sebuah negara bukanlah hal yang mudah. Ada banyak pertimbangan yang harus dilakukan untuk memutuskan sistem pemilu yang digunakan. Donald L. Horowitz memberikan pertimbangan yang menekankan pada hasil dari suatu pemilu. Adapun pertimbangannya adalah: (a) Perbandingan Kursi dengan jumlah suara; (b) Akuntabilitas bagi konstituen (Pemilih); (c) Memungkinkan pemerintah dapat bertahan; (d) Menghasilkan pemenang mayoritas; (e) Membuat koalisi antaretnis dan antaragama; (f) Minoritas dapat duduk di jabatan publik.23
Sementara itu, pertimbangan lain dalam sistem pemilu diajukan juga oleh Andrew Reynold. Adapun pertimbangannya: Pertama, sistem pemilu diharapkan mampu membentuk badan perwakilan yang representatif. Kedua, menghasilkan pemerintahan yang akuntabel, stabil dan efisien. Ketiga, menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel. Keempat, sistem pemilu yang dipilih menjadikan pemilu terjangkau dan bermakna bagi setiap warga negara. Kelima, dapat menjadi sarana untuk perdamaian. Keenam, mendorong keterbukaan partai politik. Ketujuh, mendorong adanya oposisi di parlemen. Kedelapan, memastikan keberlanjutan proses pemilu.
Kesembilan, sistem pemilu yang digunakan menggunakan standar internasional.24 Dari kriteria pertimbangan sistem pemilu yang ada di atas tadi, dalam praktek pemilu di beberapa negara, tidak ada satu negara pun yang menerapkan sistem
20 Mohammad Mahfud MD, Pemilu dan MK dalam Mozaik Ketatanegaraan Kita, Kata Pengantar dalam Janedri M. Gaffar, Op.Cit, h.xii
21 Agus Riwanto, (2016), Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia, Yogyakarta:
Thafa Media, h.3
22 Ruslan, UU Pemilu yang berubah-ubah Menyebabkan Politik Tidak Stabil, https://rmol.co/dpr, diakses pada tanggal 27 September 2018, Pukul 13.00
23 Donald L. Horowitz, (2003), Electoral System and Their Goals: A Primer for Decision-Makers, Paper on James B. Duke Professor of Law and Political Science, Duke University, Durham, North California, January, h.22
24 Andrew Reynolds, et, al., (2005), Electoral System Design: The New International IDEA Handboook, International Institute for Democracy and Electoral Assistance, (2005) Stockholm, h.9-14.
464 pemilu secara sempurna. Yang terjadi, setiap negara menambahkan dan memodifikasi sistem pemilu dengan menyesuaikan kondisi sosial politik masing- masing negara. Sistem pemilu terbaik bisa dicapai melalui kompromi-kompromi politik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Pembentukan UU Pemilu sebagai dasar legalitas pelaksanaan pemilu, pastilah mencantumkan sistem pemilu apa yang digunakan. Pilihan itu tentu mengandung kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Secara teoritis, menurut Aurel Croissant,25 di dunia ini ada dua macam sistem yang secara mayoritas digunakan, yakni : (1) sistem pemilu proporsionalitas26, dan (2) sistem nonproporsional atau sistem distrik.27 Pembagian yang sama juga disampaikan oleh Miriam Budiardjo, bahwa sistem pemilu yang digunakan di seluruh dunia dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni ; (a) Single-member Constituency (Pemilihan berwakil tunggal), dan (b) Multi-member Constituency (Pemilihan berwakil banyak).28
Pengalaman pemilu di Indonesia, sistem pemilu yang digunakan selama ini menggunakan sistem proporsional. Sistem ini mendapat jaminan konstitusional melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ada partai politik”. Sistem proporsional ini dinilai tepat untuk keragaman. Dengan ketentuan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, maka menegaskan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem pemilu proporsional.29
Dalam sistem pemilu proporsional, yang diutamakan adalah keterwakilan politik. Harapannya, sistem ini bisa menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mencerminkan kondisi masyarakat, baik secara gender, ideologi, agama, bahasa, etnis, dan lainnya. Namun, karena tujuan lain dari setiap pemilu adalah membentuk
25 Aurel Croissant, 2002, “Introduction” in Electoral Politics in Southeast & East Asia, (Ed): Aurel Croissant, Friedrich Ebert-Stiftung, Office for Regional Co-operation in Southeast Asia – Singapore, p.7.
dalam, Agus Riewanto,.Op.cit, h.53.
26 Sistem Proporsional biasa disebut juga dengan sistem Perwakilan Berimbang atau Multi- member Constituency (Pemilihan berwakil banyak). Dasar sistem proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif. Sistem pemilu proporsional menekankan proporsi atau pertimbangan antara jumlah penduduk dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Wilayah negara merupakan satu daerah pemilihan. Akan tetapi, karena luasnya wilayah negara dan jumlah penduduk warga negara, maka wilayah itu dibagi atas daerah-daerah pemilihan. Melalui daerah-daerah pemilihan ini, dibagikan sejumlah kursi yang harus diperebutkan Dengan sistem ini, dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar akan memperoleh kursi lebih banyak di suatu daerah pemilihan. Lihat Ni’matul Huda dan Imam Nasef, (2017), Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta; Kencana, h..46.
27 Sistem distrik merupakan sistem pemilihan berdasarkan lokasi daerah pemilihan. Sistem ini tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi yang sudah ditentukan adalah tempatnya. Karenanya, sistem ini didasarkan atas kesatuan geografis. Untuk itu, wilayah negara dibagi atas distrik -distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi di parlemen. Setiap distrik di pemilihan hanya memilih satu orang wakil dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai politik. Calon dikatakan menang apabila memperoleh suara terbanyak di dalam satu distrik, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecilnya selisih kekalahannya.
28 Miriam Budiardjo, Op.cit, h.77-79.
29 Andrew Reynold dan August Mellaz, (2011), Pemilu Indonesia: Mendiskusikan Penguatan Sistem, Jakarta: IDEA, hlm.2
465 pemerintahan efektif, maka sistem pemilu proporsional pun berusaha mengurangi fragmentasi politik di parlemen yang dianggap sebagai biang ketidakefektifan pemerintahan. Di sinilah berbagai variabel sistem pemilu bisa direkayasa.30
Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU No 7/2017) merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan Pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2019.31 Adapun tujuan dari Pemilu berdasarkan Pasal 4 UU No 7/2017 adalah: (a) Memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis; (b) ; Mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas; (c) Menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu; (d) Memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu; (e) Mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.
Pemilu 2019 merupakan pemilu yang dilaksanakan secara serentak. Pemilu serentak ini dalam arti penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan khususnya pada tahap pemungutan suara. Untuk mengatur itu, pengaturannya tidak lagi berdiri sendiri, namun sudah dikodifikasikan dalam satu aturan yakni UU No 7/2017.32
Dalam mengukur sistem pemilu yang digunakan dalam UU No 7/2017, setidaknya ada beberapa panduan yang dijadikan parameter. Ramlah Surbakti menyatakan ada empat dimensi untuk menilai hal tersebut. Pertama, Lingkup dan besaran daaerah pemilihan (distric magnitude) atau luas daerah pemilihan dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan; Kedua, Metode pencalonan yang dipilih;
Ketiga, Metode pemberian suara yang dipilih; Keempat, Formula pembagian dan/atau penentuan calon terpilih.
a. Lingkup dan Besaran Daerah Pemilihan
Lingkup dan Besaran daerah pemilihan adalah batas wilayah dan/atau jumlah penduduk yang menjadi dasar penentuan jumlah suara untuk menentukan calon terpilih. Daerah pemilihan ini menjadi penentu dasar penentuan perolehan kursi bagi peserta dan/atau calon terpilih. Lingkup daerah pemilihan dapat ditentukan berdasarkan : (a) wilayah administrasi pemerintahan (Nasional, provinsi, atau kabupaten/kota), (b) jumlah penduduk, (c) kombinasi faktor wilayah dengan jumlah penduduk.33
Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan, yaitu apakah satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-
30 Pemilu Tahun 1977-1999, di masa Orde Baru menggunakan sistem pemilu proporsional dengan varian daftar calon mengikat. Pemilu tahun 1999 menggunakan sistem pemilu proporsional dengan varian daftar calon tertutup. Pemilu tahun 2004 menggunakan sistem pemilu proporsional dengan varian daftar calon terbuka. Hal yang sama berlaku pada Pemilu 2009 dan 2014 yang menggunakan sistem proporsional terbuka. Lihat, Agus Riwanto, Op.cit, h.3-4
31 UU No 7/2017 memang mengundang pro dan kontra. Ada beberapa isu krusial yang mengundang polemik. Pertama, penerapan Parliamentary Threshold 4%. Kedua, Presidential Threshold 20%-25%. Ketiga, UU ini menambah jumlah anggota DPR sebanyak 15 kursi dari semula 560 kursi menjadi 575 kursi. Keempat, syarat pemilih yang disebutkan minimal 17 tahun atau sudah menikah. Kelima, pengaturan politik uang, yang mana penerima suap tidak dikategorikan sebagai pelaku politik uang. Hanya yang memberi suap saja yang diberi kategori kriminal pemberi suap.
32 Bila pada pemilu sebelumnya, pengaturan mengenai pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, diatur sendiri dalam UU yang berbeda. Seperti di UU No 42 Tahun 2008 mengatur tentang Pemilihan Presiden, UU No 8 Tahun 2012 mengatur pemilihan legislatif, dan UU No 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Pemilu.
33 Ramlan Surbakti, dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, (2008) Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, h.33
466 member constituency) ataukah lebih dari satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (multi-member constituencies).34
Lingkup dan besaran daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPR berdasarkan UU No 7/2017 dapat digambarkan sebagai berikut: (a) daerah pemilihan anggota DPR adalah Provinsi, Kabupaten/Kota, atau gabungan kabupaten/kota;35 (b) jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 575 kursi;36 (c) jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi.37 Untuk pemilihan anggota DPRD Provinsi, jumlah kursi di setiap daerah pemilihan adalah 3 kursi dan paling banyak 12 kursi.38 Hal yang sama juga berlaku pada pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota.39 Sedangkan untuk DPD, jumlah kursi yang disediakan di setiap provinsi adalah 4 (empat).40 b. Metode Pencalonan yang Dipilih
Dimensi yang kedua berkaitan dengan pencalonan, yaitu siapa yang mengajukan calon : parpol peserta pemilihan umum atau perorangan ataukah keduanya? Hal ini sangat tergantung pada siapa yang menjadi peserta Pemilihan Umum: parpol, perseorangan (calon independen), atau keduanya.41 Bila perseorangan yang menjadi peserta Pemilu maka yang mengajukan calon tertentu adalah sekumpulan anggota masyarakat yang mendukung calon tersebut. Partai politik sama sekali tidak terlibat dalam pengusulan calon tertentu. Namun bila parpol yang menjadi peserta Pemilu, maka calon akan melewati tahapan. Pertama, diseleksi dan diajukan oleh pengurus parpol.
Kedua, diseleksi oleh pengurus partai dengan pilih secara terbuka dan kompetitif sebagai pemilihan pendahuluan.42
Mengenai daftar calon yang disusun, sangat tergantung pada berapa kursi yang ditetapkan untuk setiap daerah pemilihan tertentu. Parpol dapat menggunakan daftar calon yang bersifat tertutup (closed list system), atau daftar calon terbuka (open list system). Daftar calon tertutup ini menggunakan nomor urut. Untuk penentuan nomor urutnya ditentukan oleh pengurus parpol. Daftar calon terbuka ditentukan oleh pemilih berdasarkan rangking jumlah suara yang diperoleh setiap calon.
Menurut UU No 7/2017, peserta Pemilu anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota adalah partai politik.43 Partai politik dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 100 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan pada setiap daerah pemilihan dengan ketentuan wajib mengakomodir keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.44 Mengenai model pencalonan, UU No 7/2017 masih menggunakan model daftar calon tertutup.45
34 Ibid
35 Pasal 187 ayat (1) UU No 7/2017
36 Pasal 186 UU No 7/2017
37 Pasal 187 ayat (2) UU No 7/2017.
38 Pasal 189 ayat (2) UU No 7/2017.
39 Pasal 192 ayat (2) UU No 7/2017.
40 Pasal 196 UU No 7/2017.
41 Ramlan Surbakti, Op.Cit, h.38.
42 Ibid, h.39.
43 Pasal 1 angka 27 UU No 7/2017.
44 Pasal 245 UU No 7/2017.
45 Pasal 243 ayat (1) jo Pasal 246 UU No 7/2017.
467 Karena calon disusun oleh partai politik sesuai nomor urut, sedangkan publik tidak diberi kesempatan untuk memberi tanggapan terhadap setiap calon dalam daftar calon.
c. Metode Pemberian Suara yang Dipilih
Model pemberian suara (balloting) menyangkut tiga hal yakni: (a) apakah suara diberikan kepada parpol ataukah kandidat, ataukah keduanya; (b) apakah pemberian suara dilakukan secara kategorik (ini atau itu), ataukah, secara ordinal, seperti sistem preferensi, yaitu merangking pilihan atas sejumlah calon (alternatif votes); dan (c) apakah pemberian suara dilakukan secara tradisional (mencoblos) ataukah secara terpelajar (menuliskan nama, nomor atau tanda baca).46
Alternatif pilihan mempunyai implikasi yang luas. Apabila memilih (a) dan (b) Yakni kepada siapa calon terpilih akan bertanggung-gugat (akuntabel), orientasi politik peserta pemilu apakah inklusif ataukah eksklusif, dan pola perilaku memilih apakah politik massa atau citizen politics. Pilihan atas (c) mempunyai implikasi pada kualitas pemilu, khususnya pada jumlah suara yang tidak sah.
Di dalam UU No 7/2017 metode pemberian suara dilakukan dengan cara:
Pertama, mencoblos satu kali pada nama, nomor, foto pasangan calon atau tanda gambar partai politik pengusul dalam satu kotak pada surat suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.47 Kedua, mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/kota untuk Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;48 Ketiga, mencoblo satu kali pada nomor, nama atau foto calon untuk pemilu anggota DPD.49
d. Formula Pembagian dan/atau Penentuan Calon Terpilih
Formula penentuan calon terpilih, yaitu rumus yang digunakan untuk menentukan calon terpilih. Rumus ini tentu tergantung pada jawaban terhadap isu yang ketiga, yaitu apakah suara diberikan kepada partai politik atau kandidat. Ada tiga formula: (a) menggunakan formula proporsional (dengan terlebih dahulu menentukan bilangan pembagi pemilih, BPP); (b) formula pluralitas (first past the post, FPTP) alias suara lebih banyak tanpa harus mencapai 50%; (c) formula mayoritas alias suara terbanyak yang berarti harus mencapai lebih dari 50%.50
Umumnya, dalam praktek formula proporsional diberikan kepada parpol , sedangkan formula pluralitas diberikan kepada kandidat. Apabila yang dipilih rakyat partai politik dan kandidat, maka formula yang digunakan juga keduanya, yakni proporsionalitas dan rangking calon dalam perolehan suara.
Formula apa yang diadopsi dalam Undang-Undang Pemilu sudah barang tentu akan mempunyai implikasi yang luas terhadap banyak hal, seperti derajat
46 Ramlan Surbakti, Op.Cit, h.40.
47 Pasal 353 ayat (1) huruf a UU No 7/2017.
48 Pasal 353 ayat (1) huruf b UU No 7/2017.
49 Pasal 353 ayat (1) huruf c UU No 7/2017.
50 Agus Riwanto, Op.Cit, h.64
468 keterwakilan, akuntabilitas calon terpilih, tingkat legitimasi calon terpilih, dan jumlah partai politik (sistem kepartaian).51
UU No 7/2017 menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
Lantas apa yang dimaksud dengan sistem proporsional terbuka dan apa bedanya dengan sistem proporsional tertutup? Sistem proporsional merujuk pada formula pembagian kursi dan/atau penentuan calon terpilih, yaitu setiap partai politik peserta Pemilu mendapatkan kursi proporsional dengan jumlah suara sah yang diperolehnya.
Tetapi proporsional terbuka di Indonesia masih diberi syarat tambahan yakni parliementary treshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen untuk tingkat DPR.52 Artinya partai politik peserta Pemilu yang diikutsertakan dalam pembagian kursi hanya partai politik yang memperoleh suara 4 persen dari suara sah secara nasional. Otomatis suara partai politik dengan perolehan suara di bawah 4 persen menjadi tidak bernilai karena tidak dapat dikonversi menjadi kursi. Parpol tersebut hanya diikutsertakan dalam pembagian kursi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.53
Penentuan persentase perolehan suara Partai Politik yang memenuhi ambang batas dilakukan dengan cara membagi perolehan Suara Sah setiap Partai Politik secara nasional dengan total keseluruhan perolehan Suara Sah Partai Politik secara nasional dikalikan 100% (seratus persen). Partai Politik yang memenuhi ambang batas perolehan Suara Sah berhak diikutsertakan dalam penghitungan perolehan kursi DPR di seluruh daerah pemilihan Anggota DPR.
Sebagai sebuah bahan perbandingan, penulis menyajikan secara sederhana analisis unsur sistem pemilu pada setiap undang-undang yang mendasari Pemilu pada tahun 2004 hingga Pemilu tahun 2014.
Perbandingan Unsur-Unsur Sistem Pemilu pada Pemilu 2004-201454 Unsur Sistem
Pemilu UU No 12 Tahun
2003 UU No 10 Tahun 2008 UU No 8 Tahun 2012 Besaran
Daerah Pemilihan
3-12 kursi untuk
DPR dan DPRD 3-10 kursi untuk DPR dan 3-12 kursi untuk DPRD
3-12 kursi untuk DPRD
3-10 kursi untuk DPR
Pencalonan Daftar calon tertutup Daftar calon tertutup Daftar calon tertutup
Penyuaraan Mencoblos satu tanda gambar atau mencoblos tanda gambar dan satu nama calon
Memberi satu tanda pada kolom nama partai, atau pada kolom nomor urut calon, atau pada kolom nama calon
Mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat
51 Ramlan Surbakti, Op.Cit, h.41
52 Pasal 414 ayat (1) UU No 7/2017.
53 Pasal 415 UU No 7/2017.
54 Ramlan Surbakti, Op.Cit, h.51
469 suara
Formula Pembagian Kursi dan Penetapan Calon Terpilih
Proporsional/BPP dan nomor urut, kecuali bagi calon yang mencapai BPP
Proporsional/BPP, dan nomor urut kecuali bagi calon yang mencapai minimal 30% dari BPP
Didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu berdasarkan suara terbanyak. Apabila ada kesamaan suara, maka dihitung
berdasarkan persebaran
perolehan suara calon dengan pertimbangan keterwakilan perempuan Ambang Batas Minimal 3% dari
jumlah kursi DPR, 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia, serta 4%
jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota.
Perolehan parpol sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR
Ditetapkan
sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD.
Pasca Putusan MK, sebesar 3,5%
berlaku untuk DPR.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Analisis terhadap unsur-unsur sistem pemilu pada UU No 7/2017 menunjukkan adanya penguatan terhadap pilihan atas sistem pemilu yang berlaku. Sistem pemilu proporsional dengan varian daftar calon terbuka menjadi pilihan yang cukup demokratis sampai saat ini. Termasuk langkah untuk memperkuat sistem presidensial dengan mendesain sistem pemilu.
Sistem presidensial secara teoritis memungkinkan terwujudnya pemerintahan yang efektif karena lembaga presiden memiliki legitimasi dan mandat yang kuat, lantaran dipilih langsung oleh rakyat, serta Presiden memiliki masa jabatan yang bersifat tetap. Adapun keefektifan sistem presidensial dapat tercapai apabila:55
1. Presiden mendapat legitimasi dari rakyat;
2. Presiden memiliki kewenangan legislasi dan anggaran yang seimbang dengan DPR;
3. Presiden memiliki kepemimpinan politik dan kepemimpinan administrasi yang efektif;
4. Presiden mendapatkan dukungan solid dari mayoritas anggota DPR;
5. Presiden dibantu oleh political appointees yang kompeten dalam jumlah yang memadai;
55 Syamsudin Haris, Op.Cit, h.70
470 6. Oposisi yang efektif: mitra yang mampu mengimbangi pemerintah dalam
proses legislasi dan anggaran;
7. Birokrasi yang efisien dan profesional dalam melaksanakan apa yang diputuskan dan diarahkan oleh elected officials dan political appointees.
8. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Dari kedelapan faktor ini, hanya faktor pertama dan kedua yang sudah dijamin oleh UUD 1945. Faktor ketiga, keempat, kelima dan keenam dapat difasilitasi pembentukannya melalui desain sistem pemilihan umum yang tepat. Sedangkan faktor ketujuh dan kedelapan harus diwujudkan dengan program tersendiri.
Faktor ketiga, keempat, kelima dan keenam, kini sudah didesain melalui sistem pemilu yang diatur dalam UU No 7/2017. Dengan begitu, harapan tercipta kongruensi pemerintahan dapat segera terwujud dalam Pemilu 2019.
Penutup Kesimpulan
a. Sistem Pemilu pada UU No 7/2017 merupakan amanat dari tindak lanjut Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang menegaskan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilaksanakan serentak dengan Pemilu anggota DPR, DPRD, dan DPD. Pemilu serentak yang dipilih adalah penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan khususnya tahap pemungutan suara.
b. Sistem pemilu yang diatur dalam UU No 7/2017 adalah sistem proporsional dengan varian daftar calon terbuka. Meski menggunakan sistem proporsional seperti tahun-tahun sebelumnya, namun dengan pelaksanaan pemilu serentak mampu menghindari terbentuknya pemerintahan terbelah, baik di level nasional maupun di level pemilu daerah. Pemilu serentak juga mampu mengatasi kelemahan sistem pemerintahan presidensial yang terjadi selama ini.
c. Penguatan sistem presidensial pada intinya berbicara tentang peningkatan dukungan politik di legislatif. Dengan adanya dukungan legislatif yang memadai bagi presiden, maka akan memudahkan presiden menjalankan agenda-agenda pemerintahannya. Hal ini tentu akan berimplikasi pada kongruensi pemerintahan yang efektif.
Saran
a. Untuk memperkuat sistem presidensial, desain institusi parlemen, rancangan kelembagaan parlemen perlu diarahkan untuk menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen, seperti pengurangan jumlah fraksi dan efektifitas koalisi agar proses-proses politik di parlemen menjadi lebih sederhana. Ini artinya harus ada harmonisasi antara UU No 7/2017 dengan UU No 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah.