• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUTRA MANINJAU YANG MENDUNIA

N/A
N/A
faldi lulrahman

Academic year: 2025

Membagikan "PUTRA MANINJAU YANG MENDUNIA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PUTRA MANINJAU YANG MENDUNIA Oleh: Faldi Lulrahman,MT

Ranting pohon yang jatuh di pagi hari itu, sebagai saksi kepanikan seorang bapak yang sedang menunggu kelahiran anak pertamanya. Desir ombak Danau Maninjau disertai dengan tangisan bayi laki-laki manjadi tanda lahirnya seorang anak yang diberi nama Abdul Malik Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Buya Hamka. Saat lahir dari rahim ibunya sebelum diazankan oleh ayahnya, dukun beranak menyambut bayi yang masih terbungkus dalam bola-bola ketuban. Bola ketuban itulah yang dirobek oleh dukun beranak dan dikeluarkanlah bayinya.

Menurut dongeng orang-orang tua minang kalau ada bayi yang lahir masih terbungkus ketuban maka kelak di masa dewasanya nanti dia akan menjadi tokoh yang hebat. Buya Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang juga merupakan ulama terkenal di Ranah Minang. Buya Hamka kecil dtumbuh menjadi laki-laki yang kuat dan pintar. Buya Hamka tinggal bersama angkunya (paman), karena orang tuanya pergi ke Padang untuk mengajar dan berdakwah.

Hamka kecil sering diajarkan oleh pamannya belajar randai yang merupakan kesenian minang yang berisi pantun-pantun yang dinyanyikan. Buya Hamka lahir di saat terjadinya pertentangan antara kamu muda dan kaum tua, sehingga Buya Hamka terbiasa dengan perdebatan-perdebatan sengit antara kamu tua dan kamu muda tentang pemikiran dan paham-paham agama.

Pada usia 10 tahun (tahun 1918), ayah Buya Hamka mendirikan pesantren dengan nama Sumatera Tawalib di daerah Padang Panjang yang tidak jauh dari tanah kelahiran Buya Hamka. Sejak itulah Buya Hamka menyaksikan kegiatan ayahnya dalam menyebarkan agama islam, sehingga pemahaman Buya Hamka tentang islam sangat tinggi. Pada tahun 1924 Akhir 1924, Buya Hamka merantau ke tanah Jawa, Yogyakarta. Di sanalah dia berkenalan dan belajar pergerakan Islam modern kepada H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M.

Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin. Mereka semua mengadakan kursus- kursus pergerakan di Gedong Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Dari mereka itulah, Buya Hamka dapat mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Syarikat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.

(2)

Pada Juli 1925, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan turut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang. Pada akhir 1925 itu juga, A.R. Sutan Mansur kembali ke Sumatra Barat, menjadi mubaligh dan penyebar paham Muhammadiyah di daerah itu. Sejak itulah, Buya Hamka menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam kegiatan Muhammadiyah. Pada tahun 1927, Buya Hamka berangkat ke Makkah. Dia menetap beberapa bulan di sana dan baru pulang ke Medan pada Juli 1927. Dia sempat mukim di Makkah selama 7 bulan, bekerja pada sebuah percetakan. Pada akhir 1927, setelah selesai membangun Muhammadiyah di Lhok Seumawe, Aceh, A.R. Sutan Mansur singgah di Medan. Tujuannya untuk membawa Buya Hamka yang saat itu menjadi guru agama di sebuah perkebunan, pulang ke kampung. Pada Juli 1925, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan turut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang. Pada akhir 1925 itu juga, A.R. Sutan Mansur kembali ke Sumatra Barat, menjadi mubaligh dan penyebar paham Muhammadiyah di daerah itu. Sejak itulah, Buya Hamka menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam kegiatan Muhammadiyah. Februari 1927, Buya Hamka berangkat ke Makkah. Dia menetap beberapa bulan di sana dan baru pulang ke Medan pada Juli 1927. Dia sempat mukim di Makkah selama 7 bulan, bekerja pada sebuah percetakan.

Pada Juli 1925, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan turut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang. Pada akhir 1925 itu juga, A.R. Sutan Mansur kembali ke Sumatra Barat, menjadi mubaligh dan penyebar paham Muhammadiyah di daerah itu. Sejak itulah, Buya Hamka menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam kegiatan Muhammadiyah.

Februari 1927, Buya Hamka berangkat ke Makkah. Dia menetap beberapa bulan di sana dan baru pulang ke Medan pada Juli 1927. Dia sempat mukim di Makkah selama 7 bulan, bekerja pada sebuah percetakan. Pada akhir 1927, setelah selesai membangun Muhammadiyah di Lhok Seumawe, Aceh, A.R. Sutan Mansur singgah di Medan. Tujuannya untuk membawa Buya Hamka yang saat itu menjadi guru agama di sebuah perkebunan, pulang ke kampung. Dari tahun 1930-1940 Buya Hamka berprofesi sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Hamka menjadi

(3)

wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Beliau juga menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Kemudian beliau juga menjadi editor dan menerbitkan majalah al- Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.

Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al- Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.

Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Pada 1959 itu pula, Buya Hamka berhenti sebagai pegawai negeri, untuk mematuhi

(4)

peraturan yang dikeluarkan rezim Soekarno yang melarang pegawai golongan F merangkap sebagai anggota salah satu partai, apalagi Partai Masyumi yang dibubarkan pada 1960. Lalu pada 1962, Buya Hamka menerbitkan Majalah Gema Islam yang dipimpin oleh Letjen Sudirman dan Brigjen Muchlas Rowi, sebagai pengganti Majalah Panji Masyarakat, yang dihentikan oleh Soekarno.

Namun pada 1964, dia ditangkap dengan tuduhan melanggar Penpres Antisubversif. Kemudian dibebaskan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno pada 1966. Pada 1967, setelah tegaknya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Majalah Panji Masyarakat kembali diterbitkan, dan Buya Hamka ditunjuk menjadi Pemimpin Umumnya. Dia menjabat posisi itu sampai akhir hayatnya. Majalah itu berkembang pesat hingga mencapai oplah 50.000 eksemplar dan terbit tiga kali sebulan. Dalam majalah yang diterbitkannya itu, pedoman yang tetap dipertahankannya ialah ajaran tajdid, yakni pembaruan yang dibawa oleh Perguruan Thawalib dan Muhammadiyah, meskipun secara formal hal itu tidak dinyatakan secara terang-terangan.

Tanggal 26 Juli 1975 menjadi sejarah bagi Indonesia dan Hamka diangkat menjadi ketua umum MUI pertama kali secara aklamasi. Sebagai ulama sufi, Buya Hamka memiliki tanggung jawab besar atas jabatan tertinggi di MUI. Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampajkan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "Tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut." Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerja sama antara pemerintah dan ulama. Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak mulai berdirinya MUI menganjurkan agar menjaga kerukunan hidup beragama. Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

(5)

Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai bentuk toleransi. Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka menyampaikan, "Haram hukumnya bila ada orang Islam menghadiri upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik." MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat dipisahkan dari soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI menuai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen. Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur (2008) dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mencatat perkataan Hamka: “Masak iya saya harus mencabut fatwa,” kata Hamka sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya Hamka dari MUI mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya, M Yunan Nasution, Hamka mengungkapkan, "Waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat- surat yang isinya mengucapkan selamat." Bagi Hamka, menjadi Ketua MUI pertama memiliki banyak tantangan. Namun ia kuat dalam memegang prinsip dan tak takut mengeluarkan fatwa demi kebenaran. Sejak aktif di Muhammadiyah, Hamka pernah mengeluarkan fatwa haram menikah bagi Bung Karno yang menjadi presiden kala itu. Lantaran fatwa tersebut dan kritik pedas Hamka pada pemerintah karena dekat dengan PKI, akhirnya mengantarkannya dimasukkan ke dalam penjara. Ketika terasing dalam penjara, pada 16 Juni 1970, ajudan Presiden Soeharto datang ke rumah Buya membawa secarik kertas.

Kertas yang tak biasa bertuliskan kalimat pendek namun membawa kebahagian bagi Hamka. Pesan itu dating dari Soekarno, orang yang belakangan sangat ia

(6)

rindukan. Buya Hamka pun membaca pesan tersebut. “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku,” kata Soekarno

Setelah mengundurkan diri sebagai Ketua MUI pada 1980, kesehatan Buya Hamka menurun. Ia meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, dan Buya Hamka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2011. Namanyanya juga diabadikan menjadi perguruan tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah, yakni Universitas Muhammadiyah Hamka.

Referensi

Dokumen terkait