• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasionalisasi Al-Wujud Taqiyuddin An-Nabhani dan Korelasinya dengan konsep Burhani, Bayani dan Irfani2

N/A
N/A
Heri Darmadi

Academic year: 2024

Membagikan "Rasionalisasi Al-Wujud Taqiyuddin An-Nabhani dan Korelasinya dengan konsep Burhani, Bayani dan Irfani2"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

AKIDAH RASIONAL MENURUT SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul)

Oleh: Husain Rahim, S.Ag (email: [email protected])

“...epistemologi burhani menjadikan akal laksana pintu gerbang halaman, berpikir sains (ilmiah) dan mantiq sebagai tangga sebelum mencapai pintu bangunan pengetahuan teologis, bayani diibaratkan pintu rumah tersebut, adapun irfani adalah

ruang khusus, atau juga diartikan sebagai bagian lantai atas bangunan.

Burhani mengantarkan pada makrifat al-wujud (pengenalan eksistensi), Bayani membawa pada makrifat asma’ wal shifat (pengenalan nama & sifat) adapun Irfani

membawa pada tingkat Idraksillatubillah secara kontinyu.

MUQADDIMAH

Menyimak diskusi antara Ust. Muhammad Nuruddin dan Guru Gembul, penulis tertarik mencoba mengulas topik tersebut dengan memakai pendekatan metode Rasional Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam memahami akidah, khususnya pembuktian adanya Tuhan (al-wujud) dan titik temunya dengan epistemologi Bayânî, Burhani dan Irfani. Meski hanya secara bahasa dan subtansi, sekedar meminjam istilah agar mudah untuk dipahami dalam pemetaanya.

Hal paling mendasar yang semestinya telah selesai sebelum diskusi-diskusi seperti ini, yakni bagaimana pendefinisian akal dan metode berpikir. Sekilas perdebatan antara Ust. Nurudddin dan Guru Gembul seharusnya tidak perlu terjadi, dalam artian sudah final, dan itu diakui oleh kedua narasumber tersebut. Hanya tinggal bagaimana mengkompromikan dan memetakan dimana tititk temu dan mana titik benturanya.Ketika telah disepakati apa itu akal dan berpikir.

Masalah ini bukan soal perkara klasikal yang berulang, harus dipahami bahwa itulah sifat alami kehidupan, mungkin saja sebuah masalah tuntas serta selesai pada satu kurun generasi, dan akan kembali terulang pada generasi selanjutnya, karena penduduk bumi selalu berganti dengan yang baru. Mungkin segelintir orang yang memahami persoalan dapat mewarisi pemikiran sebelumnya untuk kemudian ditranfser ke generasi selanjutnya, tapi tidak semuanya. Apalagi kondisi umat Islam yang telah mengalami kemunduran berpikir sampai ke titik nadir, butuh usaha ekstra

(2)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

untuk mengembalikan tradisi berpikir. Disatu sisi masalah-masalah kalam dan filsafat yang hanya dapat di akses oleh sebagian kaum muslimin saja yang berminat pada masalah ini.

Adapun problem dilematis yang saya tangkap dari diskusi tersebut seperti halnya pertanyaan awal masuk di kelas filsafat, mana yang terlebih dahulu ada, apakah ide (pemikiran/rasio) ataukah fakta (realitas) indrawi? Apakah ilmu dulu baru objek ilmu, atau objek ilmu dulu baru lahir ilmu? Telurkah dulu atau ayam yang duluan? aqli dulu baru naqli ataukah sebaliknya? Untuk memecah kebuntuan ini perlu dipetakan menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengenai definisi akal, bagaiamana metode meraih keimanan, pembuktian eksistensi (wujud/ada)-nya Tuhan melalui akal, rasio, kemudian wahyu dan perasaaan (wijdan), lalu saya mencoba bahasakan dengan istilah yang secara berurutan pertama Burhani, kemudian Bayânî dan terakhir tahap

‘Irfani.

Sebagai orang yang baru berusaha belajar, bahkan belum sampai dititik belajar yang sesungguhnya penulis mencoba untuk meminjam ketiga istilah Abid al-Jabiri ini.

Artinya hanya sebatas meminjam istilah, belum sampai lebih jauh menelaah dan membandingkan secara rinci konsep ini secara umum maupun maupun terperinci, sebagaimana yang dilakukan sarjana muslim lainya yang konsen pada tema ini.

Mengenai epistemologi Burhani, Bayânî dan Irfani penulis berangkat dari makalah Andrigo Wibowo, Epistemologi Hukum Islam: Bayânî, Irfani Dan Burhani, 1 Kemudian mengambil merujuk dari buku Studi Islam Kontemporer, Perspektif Insider/Outsider oleh M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan dkk. Bab 2, Filsafat Ilmu dan Pengkajian Islam, membangun format epistemologi kajian Islam melalui rekonstruksi pemikiran Abed Al-Jabiri. Oleh Imanuddin. Terakhir mengutip dari Mochamad Hasyim, Epistemologi Islam (Bayânî, Burhani, Irfani)2

Penulis menyimak pernyataan Guru Gembul yang mengutip hadist “Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.” 3 kemudian dari sini dibangun kesimpulan

1Mahasiswa Magister Studi Islam, Fakultas Ilm Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

2Jurnal al-Murabbi, Volume 3 Nomor 1, Juni 2018.

3 Atau dalam lafadz lain Tafakkkaru fi khalqihi wala tafakkaru fi dzatihi Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas ini menurut Syaikh Nashiruddin Al-Bani dalam

(3)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

bahwa Akidah tidak bisa dirasionalkan dan diilmiahkan termasuk, dzat Tuhan dan eksistensinya. Demikian kalau saya tidak salah menangkap pernyataan Guru Gembul.

Maka wajar mendapat penolakan keras dari Ust. Nuruddin dan audiens. Dalam hal ini penulis tidak sepakat dengan Guru Gembul dari sisi generalisasi. Sebab sesuatu yang tidak nampak secara indrawi, bukan berarti tidak bisa dirasionalkan. Termasuk wujud Tuhan, adapun Dzat-Nya, semua sepakat tidak boleh dibahas. Guru Gembul mestinya menyadari bahwa perintah “berpikirlah tentang makhluk ciptaan” adalah perintah untuk membuktikan eksistensi atau adanya Tuhan (wujud) secara Rasional.

Adapun pernyataan bahawa Metode Ilmiah menafikan informasi awal, doktrin, kesimpulan awal kemudian terfokus pada percobaan atau eksperimen dan bergantung pada panca indera dan fakta. Maka penulis setuju dengan hal ini, sebab berpikir Rasional tidak akan wujud tanpa unsur fakta dan indra yang menunjang, itu adalah bagian dari empat unsur berpikir yang digagas oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya At-Tafkir (Hakikat Berpikir) yang mengulas definisi akal, dan metode berpikir. Adapun bahasan soal bagaimana membangun keimanan yang Rasional dibahas dalam kitab Nizhamul Islam (Peraturan Hidup Dalam Islam) bab Pertama, Thoriqul Iman (Jalan Menuju Iman) dan Bab kedua Qadha dan Qadar. Adapun bahasan mengenai kritik terhadap mutakallimin dan filsuf dibahas dalam kitab Ashsakhsiyah Al-Islamiyyah (Kepribadian Islam) Jilid Pertama.

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam at-Tafkir menegaskan bahwa Metode Rasional adalah satu-satunya metode berpikir, adapun berpikir ilmiah, dan logika (mantiq) hanyalah uslub atau salah satu teknik berpikir dari metode Rasional. Selain itu bahasan terkait kritik terhadap ilmu kalam dan filsafat telah diuraikan oleh Hafidz Abdurrahman dalam disertasinya kemudian menjadi buku berjudul Pengaruh Ilmu Kalam dan Filsafat Terhadap Kemunduran Dunia Islam. Bukan untuk menyerang, namun sekedar menjelaskan bagian-bagian mana saja yang dianggap lemah.

Agar pemabahasan ini tidak melebar untuk itulah tulisan ini fokus pada dua pertanyaan apakah Akidah Islam bisa dibuktikan secara argumen Rasional? Termasuk pembuktian wujud Tuhan menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dan diuraikan dalam tiga istilah secara berurutan yakni pertama burhani, kemudian bayânî, dan terakhir irfani. Sebatas berdasarkan sumber-sumber yang telah diuraikan tadi.

kitab Shahihul Jami’ish Shaghir dan Silsilahtu Ahadits Ash-Shahihah berderajat hasan.

https://alhikmah.ac.id/tafakur/

(4)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Mengapa harus Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani? Kerana hal ini menyangkut dengan definisi akal , proses berpikir (tafkir) metode berpikir (thariqah at-Tafkir) dalam kitab- nya At-Tafkir yang bisa mendamaikan apa yang dimaksud oleh Ust. Nuruddin dan yang dimaksud Guru Gembul, sekaligus menjadi kritik tersendiri bagi Guru Gembul atas apa yang dia pahami soal penggunaan metode Rasional dalam mendekati eksistensi Tuhan dan bahasan akidah.

Konsep akidah melalui pendekatan Rasional, diawali dengan pendefinisian akal secara umum dan mudah dipahami oleh siapapun baik intelektual maupun orang awam akan menjadi jawaban dari perdebatan ahli Kalam sebagaimana penjelasan Ust. Nuruddin bahwa Imanya orang muqallid (orang yang bertaklid) masih diperdebatkan keabsahanya di kalangan mutakallimin.

A. EKSISTENSI Al-WUJUD MENURUT NALAR BURHANI

Bahasan eksistensi Tuhan menurut nalar Burhani sengaja saya tempatkan di awal karena Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani membahas mengenai pembuktian adanya Tuhan dan Jalan menuju keimanan seharusnya berasal dari proses berpikir secara Rasional. Karena dengan cara itulah jalan untuk memuaskan akal, membawa akidah pada tahapan tashdiqul jazm, pembenaran yang pasti dan disertai dalil (bukti). Tanpa ada keraguan sedikitpun mengenai adanya wujud Tuhan. Akidah Rasional yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa.

Yang dimaksud dengan nalar burhani adalah mengukur benar tidaknya sesuatu berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman dan akal, terlepas dari teks Wahyu yang bersifat sakral dapat memunculkan paripatetik. Sumber dari Epistemologi ini adalah realitas dan empiris (Studi Islam, 2013). Epistemologi burhani berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tahsin dan taqbih). Epistemologi burhani dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh kalangan Mu’tazilah dan pemikir moderat.

Epistemologi burhani disebut juga dengan pendekatan ilmiah dalam memahami agama atau fenomena keagamaan. Epistemologi burhani dapat menggunakan pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat dan bahasa (hermeneutika). (Jurnal al-Murabbi, Volume 3 Nomor 1, Juni 2018)

(5)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Nalar burhani adalah kerangka berfikir yang tidak berlandaskan pada teks suci ataupun pengalaman spritual melainkan berdasarkan keruntutan logika. kebenaran dalam spekulatif metodologi ini mirip seperti yang diperagakan oleh metode keilmuan Yunani yang landasanya murni pada cara kerja empirik. Kebenaran harus dibuktikan secara empirik dan diakui menurut penalaran logis. Nalar burhani mampu menyusun cara kerja keilmuan serta mampu melahirkan sejumlah teori dalam bidang : ilmu-lmu biologi, fisika, astronomi, geologi dan hingga ilmu ekonomi, pertanian dan pertambangan. menurut al-jabiri, epistemologi ini merupakan cara berpikir masyarakat arab yang berlandasrkan pada kekuatan alami manusia, yakni pengalaman empirik dan penilaian akal, dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu.

pengetahuan yang berpijak pada hubungan kausalitas. Model berpikir seperti ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh “gaya” logika Aristoteles. (andrigo wibowo:

epistemologi hukum islam: bayânî, irfani dan burhani,)

Dari pengertian ini dipahami bahwa dalam nalar Burhani memposisikan akal sebagai sumber pengetahuan, baik yang berasal dari pengalaman maupun Rasionalitas.

Lantas bagaimana Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani memposisikan realitas dan pengalaman (empiris) untuk membuktikan eksistensi adanya Tuhan?

Sebelumnya disini saya pertegas kembali sebagaimana penegasan Ust.Nuruddin dan Harapan Guru Gembul, bahwa sesuai hadist yang dikutip di awal tidak ada namanya membahas dzat Tuhan. Semua sepakat mengenai hal ini. Masalah ini telah selesai dan tidak akan pernah dibahas lagi. Sehingga bahasan epistemologi Burhani tidak akan menyentuh aspek Dzat Tuhan secara fisik, benda. Apakah Dia berwujud benda cair, padat, ataukah berupa gas?

Untuk dapat memposisikan nalar burhani sebagai sumber pengetahuan atau epistemologi, termasuk dalam bahasan akidah, khususnya bahasan pembuktian atau eksistensi (al-Wujud) adanya Tuhan, maka terlebih dahulu dimulai dari pendefinisian akal dan pengertian berpikir.

1. Definisi Akal

Dalam kitab At-Tafkîr (1973), Imam Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mendefinisikan berpikir sebagai berikut:

ُدوج ُو َو ، ِغاَمِِّدلا ىَلِإ ِّ ِسا َوَحلا ِةَطِسا َوِب ِعِقا َوْلاِب ِّ ِس ِحلا ُلْقَن َوه ُكارْدِلإا ْوَأ ُرْكِفْلَا ْوَأ ُلْقَعْلاَف

ُي ٍةَقِباس ٍتامولْعَم

ُعِقاولا اَذَه اَهِتَطِسا َوِب ُرَّسَف

(6)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Akal, atau berpikir, atau pemahaman (comprehension) adalah transfer pengindraan terhadap realitas melalui pancaindra ke dalam otak, dan dengan adanya informasi sebelumnya, realitas ini ditafsirkan/dijelaskan. (The mind, thought, or perception, is the transfer of the sense of reality through the senses to the brain, and the presence of previous information by which this reality is explained)“

Jadi, berpikir itu suatu aktivitas yang hanya dapat berlangsung jika ada 4 (empat) komponen berpikir secara lengkap, yakni;

1. Ada suatu realitas (objek).

2. Terjadi penginderaan oleh indera yang sehat.

3. Terdapat otak yang sehat.

4. Terdapat informasi sebelumnya yang berkaitan dengan realitas (objek) tersebut.

Dengan demikian, jika salah satu atau lebih dari empat komponen tersebut tidak ada, sesungguhnya tidak mungkin terjadi suatu proses berpikir (al-‘amaliyat al-’aqliyyah) pada diri manusia. (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, _At-Tafkir,_ hlm. 50).

a). Fakta

Dari sisi keharusan adanya fakta, objek, atau realitas adalah faktor penentu bagi terwujudnya proses berpikir. Inikah yang dimaksud Guru Gembul, bahwa untuk membuktikan Guru Gembul hadir dengan cara terlebih dahulu mengindra fakta bahwa Guru Gembul benar-benar ada dapat diindra, diraba, dilihat, dan dengarkan suaranya ada di tempat itu. Sebab bagaimana bisa dia dianggap hadir di forum diskusi sementara wujudnya tidak hadir disana?. Sementara tidak ada fakta atau objeknya.

Kalau secara fakta dia tidak hadir disana, dan dikatakan dia ada atau hadir jelas ini sebuah hayalan saja. Bagaimana dengan pengakuan audiens ketika melihat famlet diskusi lalu dia sudah membayangkan Guru Gembul hadir di diskusi, hal ini hanyalah sebatas asumsi, belum pasti. Masih bersifat mungkin, karena bisa saja dia berhalangan hadir. Logika Mantiq ini bisa dipakai oleh audiens tersebut karena dia terlebih dahulu mengindra fakta famlet sebagai objek berpikir dan memutuskan bahwa Guru Gembul sudah pasti hadir. Ini keliru, kerana belum pasti terjadi, hanya dugaan kuat (ghalabatu Zhan) saja. Keyakinan yang pasti tidak selamanya lahir dari logika silogisme. Untuk berkhayal pun manusia butuh fakta, indra dan informasi awal, makanya penulis memaknai berkhayal adalah akumulasi kreatif dari kumpulan informasi-informasi awal tentang fakta yang tersimpan di memori dalam otak manusia.

(7)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Jadi pengakuan audiens telah melihat Guru Gembul hadir sebelum acara, bukanlah pemikiran tetapi hanya hayalan.

Dalam Al-Qur'an sendiri semua perintah yang berhubungan dengan akal, berpikir, memahami, memperhatikan (nadzhar), Selalu berkaitan dengan objek yang dapat diindra, Seperi malam, siang, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, unta sebagai bukti adanya kekuasaan Tuhan, artinya sama saja sebagai bukti adanya Eksistensi (wujud) adanya Tuhan.

Artinya perintah berpikir Rasional untuk membuktikan adanya Tuhan adalah dengan mengamati alam semesta ciptaannya. Bukan hanya itu , tapi mengamati manusia, alam semesta dan kehidupan. Tidak ada satupun perintah untuk mengkaji dengan indra soal neraka, surga, pahala, dosa, malaikat, ruh, dzat. Jism Tuhan. Sebab hal itu diluar kemampuan akal manusia yang berbatas dan lemah. Manusia cukup fokus pada hal-hal yang ada dan bisa dicapai akal. Itulah nalar Burhani. yang menjadi awal atau pengantar menuju level berikutnya yakni nalar Bayânî.

Jangankan untuk berpikir, berkhayal pun manusia tetap saja bergantung pada fakta, Seperti imajinasi soal kuda bersayap dan bertanduk adalah akumulasi dari fakta kuda, sayap burung, dan tanduk kambing. Mengapa hanya manusia, alam semesta dan kehidupan yang jadi objek pembuktian Tuhan? Kerana hanya itulah yang dapat dijangkau oleh indra manusia. Itulah fakta yang bisa jadi objek kajian. Tidak ada yang lain.

Dalam diri manusia terdapat fakta mengenai Potensi Hidup atau Thaqah Hayawiyah, yang terdiri dari Hajatul Udhuwia dan Al-Gharaizh (naluri), baik baqa, nawu, dan tadayyun. Potensi inilah yang membuat manusia lemah, suka berkonflik, buas, menjadi homo homini lupus menurut Thomas Hobbes. Menjadi hewan yang berpikir (hayawanun nathiq). Disatu sisi potensi ini akan menjadi kebangkitan dan kemuliaan apabila diarahkan secara fitrah menurut aturan yang pencipta. Setelah terintegrasi antara nalar Burhani, Bayânî, dan ‘Irfani. Hal ini diperkuat dengan adanya naluri Tadayyun, mengagungkan sesuatu pada diri manusia yang nantinya diperkuat oleh nalar ‘Irfani. Dari sini melahirkan aktifitas fisik, materi manusia yang bisa diamati sebagai objek atau fakta yang bisa diindra. Betapa lemahnya manusia, akan hancur dan kacaulah kehidupan apabila tidak ada Tuhan yang mengatur.

b). Panca Indera yang Sehat

(8)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Mengapa butuh indra? Karena orang buta mustahil bisa berpikir tentang fakta, tidak bisa berpikir mengenai bulan, bintang, orang tuli tidak bisa mendengar suara guntur.

Bahkan orang buta pun tidak akan bisa berkhayal dan bermimpi mengenai kuda.

Penulis sepakat dengan Guru Gembul, karena memang indra adalah unsur yang kedua dari empat unsur berpikir yang dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani.

Dalam Al-Qur'an sendiri seolah memberi isyarat soal panca indra dan fungsinya.

Dengan lafadz "mereka punya mata tapi tidak dipakai melihat (laa yubshiruuna biha) punya telinga tapi tidak dipakai mendengar (laa yasma'uuna biha)”. Lahum Qulubuhum la yafqahuuna biha. (Punya hati tidak pakai memahami (faqaha, yafqahuna biha) Khatamallahu ala Qulubihim (Allah menutup hati mereka) pendengaran dan penglihatan (Abshar) Mereka. Di ayat lain dibahasakan Summun, bukmun, ‘umyun, tuli, bisu dan buta. Disana disebut alat indra berupa ‘ainun dan udznun (mata dan telinga). Disatu sisi memang diakui qalbu seolah menjadi bagian dari indra ke-enam yang sering dirangkaikan dengan bahasan mata, dan telinga. Baik dengan lafadz abshar maupun nadzhar. Menyimpan makna mendalam lebih dari sekedar buta dan tuli secara dzahir maknawi tetapi bisa berarti secara hakiki.

Secara terjemahan lafadz abshar, yubshiru, bashirah adalah pandangan. Adapun kata nadzahara, yanzhuru, undzur diterjemahkan dengan melihat atau memperhatikan, mengamati. Contohnya Afalaa yanzhuruuna Ilal ib’li kaifa khuliqa, apakah tidak kalian perhatian bagaimana unta diciptakan? Sementara lafadz mata ('aiynun) digandengan lafadz bashirah, yubshiru, abshar yang berarti penglihatan entah secara hakiki ataupun maknawi.

Kata yanzhuruuna sangat jelas berkaitan dengan objek yakni unta, bukan semata mengindra tapi samapai pada tahap bagaimana unta diciptakan, langit yang tinggi, hamparan bumi, dan gunung yang kokoh. Sementara mata dengan fungsinya sebagai alat melihat memakai kata abshar, yubshiru, tidak dihubungkan dengan objek tertentu secara spesifik. Masalah ini membutuhkan kajian para pakar tafsir untuk mengungkap lebih jauh mengenai alat indra dalam Al-Qur’an. Penulis tidak berani mengambil kesimpulan tafsir mengenai istilah-istilah tersebut.

Terlepas dari itu, bahwa panca indera menjadi unsur yang penting dalam akal manusia. Wajar Guru Gembul bertanya kepada audiens, bagaimana mereka mengakui keberadaan dia di forum itu tanpa penginderaan terlebih dahulu? lantas kalau bukan indra, pakai apa? tebak-tebakan? butuh premis-premis mantik semata?.

Ketika audiens belum benar-benar mengindra Guru Gembul hadir disana, hanya

(9)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

sebatas menghayalkan (tashawur) yang lahir dari proses pengindraan fakta adanya famlet diskusi. Audiens tersebut akhirnya harus kecewa, logika mantik yang selama ini dipelajari runtuh seketika.

Benar pula apa yang dikatakan Ust. Nuruddin bahwa tidak perlu bahas soal manisnya gula sebab semua bisa mengindra rasanya dan gula itu secara fakta benar-benar ada, dapat diindra. Tidak sama dengan Rahiq al-Makhtoum, (khamer surga yang masih di segel) tidak bisa dijangkau indra dan fakta belum ada. Tapi tetap qathi adanya, kerana lahir dari khabar shadiq Alquran dan hadist yang mutawattir. Karena tidak terindra dan tidak ada fakta makanya kebanyakan manusia masih kafir, terhalang dari percaya adanya raheq Al makhtoum ini.

c). Otak Sehat

Otak berfungsi sebagai memori untuk menyimpan informasi, bahkan fungsinya tidak hanya menyimpan namun dapat menghubungkan antara informasi yang satu dengan yang lain, mengaitkan antara fakta yang diserap dengan informasi yang tersimpan lalu menghasilkan kesimpulan. Dalam otaknya tersimpan unsur berpikir yang ke empat yakni informasi awal atau maklumatussaabiqah. Dalam otaklah tersimpan dan memproses berbagai pikiran, perasaan dan khayalan serta imajinasi. Otak tidak dapat berfungsi manakala tidak menerima informasi dari fakta dan realitas yang dicerap oleh panca indera. Otak tidak akan berfungsi maksimal jika tidak menyimpan informasi awal.

Hanyalah otak sehat yang bisa berfungsi untuk berpikir, otak yang sakit, amnesia, gila, bingung, dan pikun tentu tidak akan bisa menyimpulkan fakta secara objektif dan Rasional. Apalagi dalam kondisi pengaruh mabuk, ketika otak rusak, feses kucing rasanya dianggap coklat. Feses manusia dianggap emas, dan emas dianggap feses.

Otak ini hampir tidak ada nash yang menyinggung tentangnya, sebab ia hanyalah organ tubuh yang juga terdapat pada makhluk yang lain. Otak terdapat pada bayi namun belum berfungsi, dimiliki orang gila namun tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

d). Informasi Awal (Ma’lumat Saabiqah)

Informasi awal dalam proses berpikir sangatlah penting, disinilah letak perbedaan berpikir kiri komunis dan Islam, dimana mereka memahami berpikir hanyalah refleksi (pencerminan) atau pantulan antara objek dan indra, padahal kenyataan sebenarnya adalah refraksi, pencerapan fakta oleh indra lalu diasosiasikan dengan informasi awal.

(10)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Ilustrasi sederhana sebenarnya terdapat dalam Al-Qur’an mengenai kisah Nabi Adam

alaihisalam yang diberi informasi awal oleh Allah SWT. Sementara Malaikat tidak.

Allah SWT mengajarkan kepada Adam semua nama-nama benda di bumi, lalu menyuruhnya untuk mengulangi informasi itu, yang membuat para Malaikat terheran- heran kagum setelah sebelumnya mereka sempat mempertanyakan mengenai alasan penciptaan Adam. Mereka sendiri mengakui tidak dapat menyebutkan nama-nama benda tersebut kecuali hanya sebagian dari apa yang telah diajarkan kepada mereka.

Malaikat lalu diperintah untuk melakukan sujud penghormatan pada Adam, bukan sujud penyembahan.

Contohnya lain, Guru Gembul jika diperlihatkan kitab berbahasa arab pasti tidak langsung dapat berpikir, meski secara fakta ril kitab tersebut ada, hurufnya jelas, dapat diindra, memiliki otak sehat. Jika beliau belum mempelajari bahasa arab maka informasi dari kitab ini tak dapat beliau pikirkan dan pahami. Contoh lainya kehadiran Guru Gembul di forum diskusi tidak bisa diketahui dan dipastikan apabila tidak ada seorang yang hadir disana mengenal siapa itu Guru Gembul, baik bentuk wajahnya, namanya, dll. Tidak yang memiliki informasi awal mengenai dia. Akan tetapi kerana Guru Gembul sudah eksis sebagai konten kreator akhirnya menjadi maklumat awal dan memori mengenai adanya Guru Gembul. Sekalipun dia hadir, tapi tidak satu pun orang yang mengenal namanya dan wajahnya, apalagi jika dia tidak pernah memperkenalkan diri baik sebelum diskusi ataupun saat hadir di sana.

Mungkin inilah yang dimaksud Guru Gembul bahwa ada atau tidaknya Tuhan sama saja bagi kalangan empirisme dan Rasionalisme. Sepertinya halnya dirinya jika tidak dikenali di Youtub. Tiada hadir dan adanya dia di forum Keira sama saja. Rumus Guru Gembul itu bisa diterima, manakala dan bilamana salah satu empat unsur berpikir tidak ada, bahwa ada atau tidak adanya Tuhan sama saja bagi rasio dan akal manusia apabila tidak ada fakta ciptaan bisa jadi bukti adanya pencipta lewat indra manusia . Namun kesalahan fatal Guru Gembul disatu sisi seolah menafikan metode Rasional dalam membuktikan eksistensi Tuhan. Keliru besar jika sesuatu yang tidak ilmiah bukan berarti tidak dapat dirasionalkan, hanya dogma. Khusus masalah bantahan bahwa Rasional disamakan dengan dogma saya bahas pada tulisan yang kedua.

Masalahnya alam semesta, manusia dan kehidupan adalah fakta yang bisa dicerap oleh indra dan bisa diasosiasikan dengan informasi awal mengenai eksistensi adanya Tuhan. Apalagi ditambah dengan Tuhan memperkenalkan dirinya sendiri, nama-Nya, sifat-Nya lewat bukti yang bisa diindra yakni Alquran dan hadist mutawattir yang bisa

(11)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

dikaji secara Rasional. Atau mungkin yang dimaksud Guru Gembul itu adalah Dzat Tuhan (jasad, Jism,) bagi rasio indra manusia sama saja kerana mentok tidak ada fakta jasad Tuhan yang bisa diindra. Hal itu tidak perlu dibahas. Tidak akan menjadi kesimpulan untuk menafikan bahwa eksistensi Tuhan dan akidah tidak bisa didekati secara Rasional.

2. Metode Ilmiah

Metode Ilmiah atau empirisme adalah asas berpikir bagi Barat, padahal empiris bukan asas berpikir, bukan metode berpikir, hanya uslub (teknik) dari Metode Rasional. Atau dengan kata lain hanya salah satu bagian teknis dari metode berpikir Rasional itu sendiri. Istilah Rasionalisme, memakai kata isme, inilah yang ditolak oleh Islam. Islam itu Rasional tapi tidak berpijak pada Rasionalisme. Begitu pula dengan empiris, Islam tidak menafikan empiris, tapi menolak menjadikan sebagai asas berpikir sehingga menjadi empirisime.

Sehingga menurut saya pribadi bahasan Tuhan secara akal hanya sampai pada tahap al-wujud (eksistensi) atau adanya Tuhan. Adapun bahasan Asma dan sifat adalah otoritas Khobar Shadiq, Wahyu, Alquran dan hadis mutawattir yang menjadi dasarnya.

Adapun jism dan dzat hanya bisa diterima dan diimani apa adanya tanpa secara tauqifi dengan takwil atau tanpa takwil secara berlebihan menyalahi nash qath’i dan penafian, sejalan dengan prinsip ahlu sunnah wal jama’ah.

Pengetahuan adanya Tuhan semata, belum dapat mengantarkan nama dan sifat-sifat- Nya (asma’ wa sifat), bagaimana cara menyembah, dan bagaimana Tuhan mengatur kehidupan. Sehingga secara asumsi biasanya ada tiga cara manusia mengetahui Tuhan,

Pertama, harus bertemu langsung dengan dzat Tuhan, tentu ini diluar logika sebagaimana memaksakan metode ilmiah dengan mencari dzat Tuhan lewat eksperimen.

Kedua, Tuhan tidak memperkenal diri, maka jadilah seperti orang buta yang bedebat tentang gajah, masing-masing mengklaim sesuai bagian tubuh gajah yang mereka sentuh. Andaikata orang buta itu tidak memiliki indra peraba, tentu mereka tidak akan bisa merasakan apa yang mereka pegang. Andaikata orang buta itu tidak memiliki informasi awal mengenai benda-benda lain, niscaya mereka tidak akan menyamakan benda tersebut dengan badan gajah. Terakhir, Tuhanlah yang memperkenalkan diri kepada manusia lewat perantara Malaikat, Para Nabi dan Rasul, dan Kitab-Kitab-Nya. Artinya secara tidak langsung setelah manusia secara Rasional

(12)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

melalui tahapan nalar Burhani, tidak bisa masuk kepada tahapan nalar Bayânî dan

‘Irfani, jika Tuhan tidak memperkenalkan diri sendiri kepada manusia.

Sesuatu yang tidak nampak secara indrwi bukan berarti ditolak eksistensi atau keberadaanya, contoh sederhana konsep arah, Utara, Timur, Selatan dan Barat, sebenarnya adalah tidak ada secara wujud fisik, semua itu hanyalah batas imajiner manusia. Tidak terindra tapi manusia butuh dan terikat dengan arah, mau ataupun tidak, suka atau tidak suka, sepakat atau tidak sepakat jikalau ada pertanyaan nyeleneh, Tuhan menghadap ke arah mana? Maka tanyakan dimana batasnya timur barat?, Jawaban akidah sangatlah jelas. Rabbul masyriq wal maghrib. Dialah Pemelihara timur dan barat.

Telur dulu atau ayam, jawab saja Tuhan yang terlebih dulu, kalau Tuhan sudah ada, maka terserah Dia mau mendahulukan ayam ataukah telur. Ternyata telur hanyalah bagian dari cara ayam berkembang biak, dan ayam pertama tidak mesti dari telur.

Kalaupun dari telur, pasti bukan keluar dari ayam tetapi kembali pada Tuhan. Apakah melahirkan dulu lalu muncul manusia, ataukah manusia terlebih dahulu ada lalu berkembang dengan dilahirkan?. Sains tidak bisa membuka tabir misteri ini secara utuh selain dengan teori evolusi. Hanya dengan mengandalkan pengamatan terhadap tulang-belulang dan fosil.

Apakah fakta dulu baru akal atau akal dulu baru pemikiran? Jawaban adalah Allah SWT dulu, Tuhan dulu, kemudian ciptakan alam, baru jasad manusia. Tidak bisa dibenturkan, secara runut. Fakta dulu, baru indra, baru otak lalu informaso awal. Satu sama lain membutuhkan dalam satu rangkaian proses.

Sebagaimana firman Allah SWT “...Waja'alnaakum syu’uuban wa qabaail...” Dia menjadikan kalian bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Lafadz ja’ala yang berarti

Menjadikan” secara kenyataan adalah sebuah proses yang dapat dikaji secara Rasional melalui disiplin ilmu bahasa, dan sejarah lahirnya suku dan bangsa. Bahasa dan budaya merupakan fenomena yang dapat diteliti secara ilmiah dengan berbagai macam pendekatan. Adanya bahasa mungkin saja lahir dari proses yang panjang, berdasarkan pengalaman, kesepakatan manusia.

Beda dengan kalimat di awal ayat “Innaa khalaqnakum min dzakarin wal untsa” Kata khalaqa atau menciptakan seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) disini sulit untuk bisa diteliti secara sains, empirisme, tapi hal itu diterima secara

(13)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Rasional bersumber dari Khobar Shadiq, Sumber yang Terpercaya (Al-Qur’an dan Hadist)

Siapa yang bisa meneliti manusia pertama? Kalaupun mereka harus membongkar makam nabi Adam dan Hawa, yang mereka temukan entah hanya berupa tulang sulbi saja bahkan nihil.

3. Uqdatul Kubro

Uqdatul Qubro maksudnya adalah simpul besar, yang mesti dipecahkan atau diuraikan, simpul ini berbentuk tiga pertanyaan mendasar yakni dari mana?, untuk apa? dan akan kemana?. Pertanyaan ini muncul setelah manusia mengindra fakta mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan. Pemecahan ini tidak akan selesai dengan metode sains (ilmiah) namun hanya bisa dijawab dengan metode Rasional.

Adapun masalah apakah urgensinya dan mengapa pertanyaan ini mesti dijawab, seberapa penting untuk mempersoalkan tiga pertanyaan ini insya Allah akan dibahas tersendiri. Termasuk nanti akan dibahas pada lain tempat soal seberapa penting untuk menjawab apakah alam semesta ini diciptakan atau tercipta.

Metode Rasional, termasuk saat memakai berpikir ilmiah hanya sampai pada kepastian eksistensi al-Wujud, namun tidak bisa menjawab lebih dari itu. Pengamatan secara empiris secara kompherensif akan mengantarkan manusia pada tiga pertanyaan mendasar dalam dirinya, jangankan peneliti atau ilmuan, anak-anak yang baru memasuki usia baligh sekitar kelas lima, enam SD atau SMP dan SMA mereka telah mengalami fase bertanya-tanya, “untuk apa mereka hidup di dunia?” Hal ini telah penulis buktikan sendiri selama sejak 2018 sampai 2024 disetiap tempat dan sekolah yang pernah saya datangi.

Pertanyaan ini adalah: Darimana? untuk apa? akan kemana?, soal alam semesta manusia dan kehidupan, tiga pertanyaan mendasar yang mengantarkan pada kaidah berpikir qoidah fikriyyah dan kepemipinan berpikir (qiyadah fikriyah). Pertanyaan

“darimana?” jika secara ilmiah tetap akan berhenti pada satu titik. Akan menjebak dalam dua pertanyaan apakah berawal atau kekal, tetap saja sains atau ilmiah lagi- lagi mentok.

Untuk mencapai Rasionalisasi butuh wahyu, metode Rasional akan tuntas ketika berpikir ilmiah hanya mentok pada dua pertanyaan apakah diciptakan atau tercipta dengan sendirinya? Kalaupun didekati dengan teori evolusi tidak bisa membawa pada

(14)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

kepastian. Pertanyaan mengenai untuk apa atau tujuan alam manusia dan hidup ini ada? Tidak bisa dijawab oleh sains, manusia pun tidak bisa berspekulasi mengenai tujuan hidup? Dengan cara apa hidup? Akan kemana setelah mati? Akan kemana setelah manusia, alam semesta dan kehidupan ini mengalami ketiadaan? Ketika jawaban ini tuntas akan melahirkan kepastian teologis yang melahirkan kesadaran ideologis, dan ujungnya adalah kebangkitan peradaban.

Terkait pertanyaan darimana, untuk apa dan akan kemana? Akidah sosialis maupun kapitalis memiliki jawaban tersendiri yang tidak lahir dari sumber agama manapun.

Kecuali kapitalisme yang terpengaruh konsep penebusan dosa Gereja. Inilah alasan mengapa Ideologi Sosialisme dan Kapitalisme terkategori memiliki akidah yang khas sebagai basis fundamental ideologinya, yang tidak sama dengan agama ruhani.

Begitupula Islam dengan akidahnya adalah satu kesatuan dengan rumusan ideologisnya, kerana akidah islam adalah akidah akliah, akidah Rasional yang memancarkan peraturan dan pandangan hidup.

Akidah Rasional atau akidah akliyah ini disebutkan oleh Syaikh Taqiyuddin dalam Nizhamul Islam, pada bab Thariqul Iman (Jalan Menuju Iman) sebagai berikut

“Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya.”

4. Akidah Akliyah (Rasional) bukan Rasionalisme

Secara Rasional betul, proses berpikir ini berakhir pada kepastian eksistensi wujud Tuhan. Lantas Siapa namanya? Dari mana untuk apa dan akan kemana? Setiap yang lemah dan terbatas pasti diciptakan. Setiap yang berkaitan dengan sebab dan akibat.

Tidak mungkin kekal atau azali. Atau seperti anggapan ateis bahwa alam semesta ada dengan sendirinya tanpa sebab dan kekal, kalau alam tidak butuh dan bergantung pada yang lain artinya berarti kekal azali dan fakta sains menunjukan alam semesta memiliki awal mula, lalu berkembang dan akan diperkirakan berakhir dengan big chrunks, kehancuran total.

Sehingga benarlah ungkapan sufisme “Man ’arofa nafsahu bil fana Faqad ‘arofa rabbahu bil baqa” (siapa yang mengenal) dirinya yang fana, rusak secara indrawi, terbatas dan lemah, secara Rasional maka dia dapat mencapai pengenalan Tuhanya yang baqa (kekal). Ma'rifah diri disini menurut saya adalah mengenali diri sendiri dengan segala kekurangan dan keterbatasan, dapat mengantarkan pada pengenalan eksistensi Tuhan (wujud) yang kekal. (makrifat an-nasf). Premisnya sederhana, segala

(15)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

sesuatu di alam semesta yang terbatas pasti diciptakan oleh yang dzat yang tidak terbatas, , manusia bagian dari alam semesta dan terbatas, kesimpulanya manusia pun pasti diciptakan oleh yang tidak terbatas. Tentu saja proses penginderaan terhadap fakta alam semesta, dan manusia harus terlebih dahulu terjadi. Ma'rifah diri disini tidak lain adalah mengenali fakta diri manusia. Sampai disini sekali lagi sekadar pengakuan bahwa Tuhan itu ada. Bukan hanya manusia, tapi alam semesta dan fenomena kehidupan.

Perlu digaris bawahi, pengakuan eksistensi al-wujud atau ada-Nya Tuhan tidak otomatis akidahnya shahih, tanpa keimanan pada asma dan sifat Tuhan. Bahkan mengenal nama Tuhan sebagai Allah SWT. Hal itu baru masuk ke syahadat Tauhid, jika tidak dibarengi dengan syahadat Rasul, maka aqidahnya tidak sahih.

Adapun rukun Iman yang kedua, keimanan pada Malaikat tidak bisa dilihat secara fakta, tapi tetap diterima oleh akal berdasarkan informasi dari wahyu yang suci.

Keimanan kepada Nabi dan Rasul secara fakta bisa diindra orang mereka yang hidup bersamanya, sekarang tinggal makam yang tersisa, dan Sunnah-nya yang mulia terekam dama kitab-kitab Hadist, atsar, terukir indah dalam Sirah Nabawiyah, salah satunya karangan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Raheeq Al- Makhtoum.

Pembuktian Kitab, bisa secara akal? Jawabanya bisa, kerana setiap bahasa yang dikandungnya mengandung mukzizat, bahkan isyarat-isyarat sains. Siap diuji baik isi maupun sisi keaslianya dari sisi keterpeliharaan secara historisitas. Untuk menantang manusia cukup memakai ayat al-Qur’an yang menantang siapa saja yang ragu untuk menghadirkan, menciptakan satu ayat yang semisal denganya. Hal ini ditegaskan di ayat yang mulia surat albaqarah 23-24, ‘Fa inlam taf’aluu, wa lan taf’aluu” Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) -- dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya)”

Kata lan menurut para ulama menunjukan penafian atau penegasian yang sifatnya selama-lamanya sampai kapanpun tidak akan bisa. Sementara la digunakan untuk penegasian yang sifatnya temporal. Sejak Al-Qur’an diturunkan para ahli sastrawan arab jahiliyyah telah terkagum-kagum akan keindahan gaya bahasanya, mereka

“angkat topi” terhadap kaagungan bahasa al-Qur’an. Maka jangankan kita orang

‘ajami, non arab. Mereka sendiri pun sejak zaman dahulukala tidak ada yang sanggup membuat yang serupa denganya.

(16)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Pembuktian Kiamat, tentu lewat fenomena dan tanda-tanda yang diinformasikan oleh nash, bahkan para ilmuan akhirnya dapat mematahkan klaim kaum ateis bahwa alam semesta azali, kekal tidak berawal dan tidak berakhir, padahal hasil penelitian memberi isyarat bahwa alam ini memiliki awal entah lewat big bang atau yang lain dan akan diperkirakan akan berakhir dengan bigcrunch, kehancuran. Informasi yang pasti dari nash akan kehancuran jagad raya berpadu dengan hasil perkiraan ilmuan mengenai nasib alam ini ke depan.

Bagaimana dengan Iman pada Takdir? Tentu saja tidak bisa dikaji oleh akal dari sisi ilmu, kehendak dan perbuatan Tuhan, hanya saja secara fenomena perbuatan manusia dan khasiat benda-benda dari sisi dzat materi dapat diamati. Bahasan secara rinci mengenai pembuktian enam Rukun Iman ini dapat ditelusuri dalam kitab Nizhamul Islam. (Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam).

Guru Gembul benar dari sisi menolak membahas dzat Tuhan memakai pendekatan ilmiah atau saintifik. Tapi kurang tepat jika menyimpulkan bahkan eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan dengan hasil kajian ilmiah. Sebab pendekatan ilmiah saintis mengenai eksistensi Tuhan selalu dapat diterima oleh Rasionalitas. Hal ini sudah sangat jelas dan gamblang bahwa kajian ilmiah tidak bisa lepas dari hukum sebab akibat (kausalitas), kelemahan hasil indrawi dan pengamatan akan mengantarkan pada kesimpulan Rasional bahwa ternyata dibalik alam semesta manusia dan kehidupan yang serba terbatas ini pasti dan bukan tidak mungkin tidak ada Tuhan.

Masalah Guru Gembul bukan semata keliru dari pemakaian diksi ilmiah dan Rasional, tapi juga keliru penempatan posisi berpikir ilmiah dan Rasional yang kurang tepat.

Adapun masalah Ust.Nurudin hanya soal penempatan diksi metode ilmiah. Dalam artian benar bahwa al-Wujud dapat dibahas pendekatan ilmiah mengenai fokus pada makhluk, tapi tetap saja tidak bisa disebut ilmiah. Contohnya ketika sains belum bisa mengungkapkan apa sebab adanya aliran listrik yang mengalir dari kepala menuju jantung, apa sebab jasa manusia bisa mati tanpa dapat membuktian bagaimana keluarnya ruh, atau bahkan ketika al-Qur’an memberikan isyarat mengenao siklus hidrologi, bulan bercahaya, dan matahari bersinar. Fenomena kesesuaian sains dan alqur’an tidak dapat disebut ilmiah. Sebab Ilmiah hanya sarana dan alat berpikir untuk mengamati. Ilmiah fokus pada eksperimen semata, mengabaikan opini awal dan terbuka pada kemungkinan salah. Jika tetap kembali pada causa prima maka lebih tepat disebut Metode Rasional. Al- Wujud terbukti secara Rasional dan hanya memperalat kacamata ilmiah semata. Sains hanyalah teknik menganalisis fakta dan objek indrawi atau materi.

(17)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Apalagi Jika sudah dicampur dengan logika Mantiq, dan memang pemakaian kacamata ilmiah dalam membahas makhluk memakai logika (Mantiq) maka tidak bisa lagi disebut ilmiah, tapi Rasional. Rasional lebih tinggi daripada ilmiah. Apalagi telah memakai kabar terpecaya (khobar shadiq) al-Qur’an dan hadist mutawattir, maka akidah Islam lebih tetap disebut akidah aqliyah atau akidah Rasional. Untuk perkara tertentu dalil aqli yang didahulukan, untuk perkara-perkara yang kongkrit tentu dalil naqli yang dikedepankan. Tidak saling menafikan, justru saling mengisi.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab At- Tafkir memposisikan pengalaman empiris sebagai proses awal yang mengantarkan manusia pada pemikiran Rasional. Dengan kata lain, nalar Burhani hanyalah tahapan awal yang paling mendasar yang dilalui untuk mendapatkan pengetahuan. Adapun untuk metode ilmiah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menamakan ini dengan uslub atau teknis berpikir yang hanya cocok untuk mengkaji objek-objek indrawi yang bersifat materi, dan memposisikan metode ilmiah hanyalah salah satu cabang dari metode Rasional. Ketika tidak semua hal dapat dicapai oleh empirisme/burhani sehingga butuh untuk memasuki ke tahapan model kedua yakni nalar Bayânî

Dari sini dapat dipahami bahwa akidah mengenai eksistensi Tuhan dapat dipahami melalu pendekatan epistmologi Burhani, dengan catatan tidak terfokus pada dzat, tetap pada makhluk ciptaan. Kemudian diawali dengan pendefinisian akal, dan apa itu berpikir. Dengan catatan wilayah yang bisa dikaji secara Rasional atau pendekatan akal (dalil aqli) dalam bahasan akidah meliputi Jalan Menuju Keimanan (Thoriqul Iman), Pembuktian Al-Wujud, (Adanya) Allah SWT.

Iman kepada Kitab-Kitab, Rasul, Kiamat dari sisi kabar dan tanda-tanda, serta Takdir dari sisi dampaknya pada perbuatan manusia. Sementara keimanan kepada perkara ghaib, dari sisi Nama dan Sifat-Nya, tata cara ibadah, hukum, baik dan buruk (khair- syar) terpuji dan tercela atau hasan-qabih, kapan terjadinya Kiamat, Ilmu dan Kehendak Tuhan lebih mendahulukan dalil naqli. Artinya jika dipahami memakai kerangka berpikir Syaikh Taqiyuddin nalar burhani dapat dipakai selama dapat membedakan mana objek indrawi dan mana yang tidak terindra.

Tidak semua objek pembahasaan harus memakai teknik berpikir ilmiah, empiris tetapi hanya sebatas objek indrawi atau materi. Adapun objek yang immateri harusnya mendahulukan nalar bayânî. Jika dalam sebuah bangunan, metode burhani ibarat anak-anak tangga atau tangga itu sendiri dari sebuah bangunan, akal adalah pintu

(18)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

gerbang halaman bangunan ini, dengan catatan selama tunduk kaidah Rasional dan menyadari keterbatasan dan kemampuan dari epistemologi ini. Tanpa pengakuan pada batasan dan kelemahan maka epistemologi burhani tidak akan sampai pada pintu rumah epistemologi selanjutnya yakni bayânî.

Sehingga perbedaan antara akidah Rasional dengan Rasionalis-me adalah terletak pada pengakuan akan keterbatasan akal itu sendiri, ketika memakai empat unsur berpikir dalam mendefinisikan akal maka akan menghasilkan Rasional. Sebaliknya jika tidak berpijak pada definisi berpikir yang benar, hasilnya adalah Rasionalisme, bahkan terjebak pada empirisme seperti akal barat ini.

Eksistensi Al-Wujud menurut nalar Burhani jika ditinjau dari kerangka definisi berpikir Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani hanya sampai pada pembuktian Rasional mengenai eksistensi, tidak untuk asma’, sifat, apalagi dzat, dan jism.

B. EKSISTENSI Al-WUJUD MENURUT NALAR BAYÂNÎ

Bayânî identik dengan teks, bahkan dianggap peradaban yang dibangun dari epistemologi ini adalah peradaban teks, tapi itulah kelemahan akal sekaligus potensinya, tanpa teks dan bahasa, akal manusia kehilangan salah satu dari empat unsur berpikirnya yakni objek, fakta atau realitas. Teks dan bahasa adalah fakta yang tidak pernah berubah, adapun sosio kultural maupun sosio historis yang melingkupinya hanyalah interpretasi Rasional saja. Namun, Islam memiliki sebagai akidah Rasional telah menjawab tuntas mengenai pembuktian, dan sumber yang terpercaya, terjamin dan terpelihara. Al-Qur’an dan Sunnah yang mutawattir sebagai pondasi dari bangunan akidah. Epistemologi bayânî tidak hanya memecahkan problem yang tidak dapat diungkap oleh Burhani. Artinya, Bayânî bukan lagi membahas soal kepastian al-Wujud, namun lebih dari itu.

Secara bahasa, bayânî berarti penjelasan, ketetapan, pernyataan. Secara istilah, dimaknai sebagai pola pikir bersumber pada nash, ijma', dan ijtihad. Sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi ('ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indigenous), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fiqh) serta 'ulum al-Qur'an, teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi

(19)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Menurut Abed al-Jabiri dalam tradisi bayânî, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal menempati posisi sekunder dalam arti perangkat membedah kebenaran yang mempunyai kedudukan otoritas yang lebih rendah ari pada teks. Tugas akal dalam konteks ini adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara untuk mengaplikasikan interpretasi teks tersebut berada di luar program epistemologi ini. (Studi Islam, 51)

Posisi akal dibawah wahyu sangatlah tepat, mengingat epistemologi burhani hanya sampai pada pembuktian eksistensi al-wujud, adapun nama, dan sifat Tuhan adalah otoritas bayânî sepenuhnya, Keimanan pada eksistensi adanya Tuhan belum sampai derajat sahih, karena belum ada otoritas wahyu sebagai sumber pengetahuan akan nama, sifat, dan tata cara penyembahan kepada Sang Pencipta.

Pengetahuan akan eksistensi al-Wujud naluri burhani masih harus melalui tahapan seleksi dan perbandingan. Masih banyak agama, kepercayaan kepada Tuhan denga nama-nama dan sifat-sifat serta tata cara penyembahan yang berbeda-beda.

Masalah akan selesai ketika Tuhan sendirilah yang memperkenalkan diri kepada manusia melalui para nabi dan rasul yang diutus dengan membawa kitab-kitab.

Adapun kebingungan manusia mengenai agama mana yang benar dapat diselesaikan dengan model perbandingan agama, khususnya keaslian dan kepastian dari kitab suci, yang notabene adalah fakta terindra. Al-Qur’an telah menantang manusia dalam surat al-Baqarah ayat 23-24:

Dan jika kamu meragukan (Alquran) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong- penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.“Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”

Metode Burhani memberikan kepastian pada pengenalan Nama-nama dan Sifat Allah SWT. (Ma’rifat al asma’ wa shifat), Pengenalan pada perkara-perkara ghaib (Makrifatul ghaibiyyah), seperti para malaikat, jin, surga, neraka, ruh alam akhirat dan lain sebagainya. Memberikan kepastian akan terjadinya kiamat, menegaskan mengenai qadha dan qadarnya Allah baik dan buruk berasal dari-Nya. Informasi kisah-kisah terdahulu.

(20)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Sumber primer epistemologi Bayânî adalah teks, al-qur’an dan sunnah, termasuk ijmak sahabat, Perpaduan metode burhani dan bayânî melahirkan apa yang dikenal sebagai ijtihad, dimana posisi akal dalam hal ini sebagai tahqiq al-manath, memastikan kebenaran fakta secara menyeluruh yang akan dihukumi.

Namun proses ini belumlah cukup apabila tidak melibatkan atau tidak terhubung secara perasaan kepada Sang Pencipta. Sehingga, nalar burhani, bayânî, tidak akan sempurna tanpa berpadu dengan epistimologi ‘ifrani. Epistemologi Burhani dan Bayânî tidak mampu menembus hakikat lahiriah dari pengenalan-pengenalan ini. Akal dan fisik manusia terlalu lemah dan terbatas tanpa menundukan selera, dan kecendrungan kepada apa yang telah menjadi ketentuan.

C. EKSISTENSI Al-WUJUD MENURUT NALAR ‘IRFANI

‘Irfani dalam bahasa Arab searti dengan makrifah. Di kalangan para sufi, ma'rifah disini diartikan sebagai pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan. disiplin gnotisisme ('ulum al-'irfan) yang didasarkan pada wahyu dan

"pandangan dalam" sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi'i, penafsiran esoterik terhadap al-Qur'an, dan orientasi filsafat iluminasi.

(Studi Islam, hl.60). Ketiga model epistemologi ini jika disingkat, metode bayânî adalah Rasional, metode 'irfâni adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.

Nalar irfani tidak akan shahih tanpa bersandar pada nalar burhani dan bayani.

Maksudnya adalah epistemologi irfani tidak bisa mengandalkan perasaan ataupun intuisi sebelum perasaan tersebut terkondisikan oleh dua epistemologi sebelumnya yakni burhani dan bayani. Hal ini dikhawatirkan akan menjerumuskan manusia pada permainan perasaan.

Dalam diri manusia terdapat naluri mengagungkan sesuatu (gharizatul tadayyun), naluri beragama dan mensakralkan sesuatu entitas yang dianggap lebih tinggi dari dirinya. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menyebutkan sebagai wijdan atau hati nurani sanubari manusia. Kecendrungan ini tidak dapat dinafikan oleh siapapun meski oleh mereka yang menafikan eksistensi Tuhan sekalipun. Orang ateis atau mungkin sebagian sosialis-komunis hanya mengalihkan naluri menyucian ini dari tuhan kepada objek yang lain, entah kepada manusia, materi, benda atau moral, dan etika yang mereka anggap benar.

(21)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Dalam kitab Nizhomul Islam disebutkan bahwa “Memang benar, iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangatlah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama. Dalam kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang diimaninya. Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumuskannya ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong) dan ajaran kebathinan, tidak lain merupakan akibat kesalahan perasaan hati ini. Islam tidak membiarkan perasaan hati sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak menambah sifat-sifat Allah SWT dengan sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat keTuhanan; atau memberinya kesempatan untuk mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam bentuk materi; atau beranggapan bahwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya dapat ditempuh melalui penyembahan benda-benda, sehingga menjurus ke arah kekufuran, syirik, khurafat, dan imajinasi keliru yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus. Karena itu, Islam menegaskan agar senantiasa menggunakan akal disamping adanya perasaan hati. Islam mewajibkan setiap umatnya untuk menggunakan akal dalamberiman kepada Allah SWT, serta melarang bertaqlid dalam masalah akidah. Untuk itulah, Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah

Bahasan kitab ini menegaskan bahwa perasaan bukanlah sumber, manakala tidak ditimbang oleh akal, dalam artian pertimbangan Rasional yang harus didahulukan.

Fungsi wahyu sebagai pengarah bagaimana tata cara menyembah Tuhan. Naluri ini berfungsi memperkuat akidah, pengetahuan, bukan sebagai sumber.

Setiap aktifitas manusia tidak lepas dari aspek fisik sehingga disebut dengan aspek eksoteris. Aktifitas yang bersifat materi ini harus terhubung dengan aspek esoteris, oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani disebut idraksillatubillah, sebagai penyatuan antara materi dengan ruh. Ruh bermakna kesadaran seorang hamba untuk selalu terhubung dengan Allah SWT. Selalu terikat dengan hukum syara dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam seluruh gerak dan aktifitas baik hati ataupun perbuatan.

Inilah yang disebut sebagai al-Ihsan, beribadah kepada Alllah SWT seakan-akan melihat-Nya, dan jika tidak melihat-Nya, yakin bahwa Dia melihat kita. Inilah jalan yang ditempuh oleh para sufi, dimana tokoh utamanya adalah Hujjatul Islam Imam Al- Ghazali, dan Tasawuf yang dikembangkan adalah Tasawuf Akhlaki, bukan Tasawwuf

(22)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Falsafi yang penuh dengan kontroversi. Dikemudian hari berkembang menjadi Thariqah dengan tokoh utamanya adalah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Tahapan ini mestinya berurutan, dari Burhani, kemudian Bayani, lalu Irfani, sebagaimana dicontohkan sendiri oleh Imam Ghazali, beliau menjadikan Epistemologi

‘irfani sebagai akhir, bukan di awal. Intuisi bukanlah sumber, tidak boleh diposisikan di awal hal ini bisa bahaya dan melahirkan fanatisme buta berbalut dogma dan doktrin.Inilah yang dikhawatirkan dari Guru Gembul ketika Iman kepada Tuhan tidak melalui proses akal, logika Rasionalitas lantas pengakuan eksistensi Tuhan dan akidah lantas pakai apa? Perasaan? Beriman tanpa bertanya dan tanpa penjelasan.

D. PENUTUP

Jika ditinjau dari pandangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani anggapan Ust. Nuruddin mengenai pengertian metode ilmiah seperti contoh-contoh dan berbagai refrensi yang beliau hadirkan sebenarnya adalah Metode Rasional itu sendiri. Tidak bisa disebut metode ilmiah karena tidak lahir dari hasil eksperimental dalam laboratorium.

Kelemahan argumentasi beliau terlihat berkali-kali hanya menyerang Guru Gembul dari sisi ketiadaan refrensi dan dihukuni tidak ilmiah karena tidak berbasis referensi.

Hanya karena Guru Gembul tidak menghadirikan refrensi. Tapi Ust.Nururddin tidak mampu mematahkan logika-logika yang dibawakan oleh lawan diskusi mengenai pembuktian indrawi atau sebeberapa pentingnya panca indera dalam membangun argumen ilmiah.

Jadi wajarlah jika Guru Gembul mengaku kalah debat, tapi tetap belum bisa menerima argumentasi Ust.Nuruddin, karena secara logika Guru Gembul belum bisa dipatahkan.

Justru salah satu audiens mengaku dengan jujur kecewa karena memang logika yang dihadirkan Guru Gembul mampu meruntuhkan premis-premis mantiq yang telah dipelajarinya selama ini. Ia kalah dari sisi tanpa referensi tapi belum kalah dari sisi penggunaan logika saintifiknya. Kelemahan Guru Gembul terlihat ketika tidak bisa membedakan mana Metode Rasional dan ilmiah dalam hal menahas Dzat Tuhan dan mana bahasan al-Wujud (Eksistensi Tuhan). Untuk itulah penulis terinspirasi untuk mencoba menawarkan refrensi tambahan yang mungkin jadi alternatif bagi perdebatan dua orang ini.

Tidak lupa dan tidak dipungkiri bahwa perdebatan Kalam klasik ini dan filsafat dipicu oleh perdebatan mengenai nasab Baalawi. Membuka fron baru, yang lagi-lagi memiliki dua sisi jika dapat menghabiskan waktu berlarut-larut malah akan semakin menambah

(23)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

kemunduran, jika dibahas secara proporsional akan membawa pada kebangkitan.

Paling tidak bisa mengobati penyakit lama umat ini yang telah dihinggapi pola pikir barat dan disatu sisi dilingkupi oleh model berpikir doktriner, ghuluw berlebihan, taklid buta dengan menjadikan ketaatan mutlak kepada guru, serta pengkultusan para ulama, kiyai dengan kisah-kisah yang irransiaonal bahkan bertentangan dengan syariat. Seharusnya, guru ditaati dan diikuti selama guru tidak menyalahi Kitabullah dan Sunnah.

Menyatakan pengetahuan Rasional sebagai pengetahuan yang tidak ilmiah (tidak saintis) itu tidak dapat meruntuhkan keabsahan pengetahuan empirik itu sendiri. Dan, sekali lagi, jika akidah Islam bersandar pada argumen Rasional—dan argumen Rasional itu terbukti sahih secara keilmuan (baca: Rasional) ataupun cocok hasil penelitian saintifik-ilmiah—memang sangat masuk akal jika kita menyebutnya sebagai akidah ilmiah. Namun ini kurang tepat, meski akidah ini berbasis pada ilmu bukan penerimaan subjektif yang bersifat semu. Tetap saja disebut sebagai akidah akliah atau akidah Rasional.

Sebab istilah ilmiah itu sifatnya saintifik (science), sementara Rasional disebut sebagai knowledge. Pemakaian kata Akidah Ilmiah kurang tepat, yang benar adalah Aqidah aqliyah yang dibangun berdasarkan penalaran dan metode berpikir Rasional. Atau lahir dari metode Rasional. Filsafat, Kalam, Mantiq, Sufisme, semua adalah buah dari akal, lahir proses berpikir yang Rasional. Meski dibeberapa bagian hanyalah imajinasi, fantasi dan hayalan para filsuf dan mutakallimin, atau sufi tetaplah dihasilkan lewat metode Rasional, walau terkadang kesimpulan-kesimpulan bisa mengarah pada irrasional.

Metode Rasional, untuk sebagian orang yang belum benar-benar berpikir dan mengenal Tuhan, atau bahkan berlaku bagi setiap manusia yang dari kondisi kertas kosong, baik beragama atau tidak, memang berawal dari Garis Keraguan, diawali pengamatan pada objek, (nadzhari), sembari berpikir, ragu (syak), taklim, I’tibar, abshar, yaqin dengan ‘ainul haq atau ‘ainul yaqin, ‘amal, sebarkan/dakwah. Proses inilah disebut oleh penulis dalam senbuah risalah sederhana dengan judul Minal Syaq ilal Haq, dari keraguan menuju kepastian, berawal dari Syak uluhiyyah, keraguan teologis, melahirkan keraguan ideologis (syak al-mabda’i) berubah menjadi “dari kepastian teologis menuju kesadaran ideology” atau minal haqq ulihiyyah ilal wa’yil al- mabda’i (يئادبملايعوىلإ ةيهوللأاقحنم).

(24)

AKIDAH RASIONAL SYAIKH SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI AN-NABHANI (Refleksi diskusi antara Ust. Nuruddin dan Guru Gembul) Oleh: Husain Rahim, S.Ag 30 Oktober 2024

Ditinjau dari kacamata Metode Rasional dan definisi berpikir syaikh Taqiyuddinan an- Nabhani, epistemologi burhani menjadikan akal laksana pintu gerbang halaman, berpikir sains (ilmiah) dan mantiq sebagai tangga sebelum mencapai pintu sebuah bangunan pengetahuan teologis, bayani diibaratkan seperti pintu rumah tersebut, adapun irfani adalah ruang khusus, atau bisa juga diartikan sebagai bagian lantai atas bangunan.

Burhani mengantarkan pada makrifat al-wujud (pengenalan eksistensi), Bayani membawa pada makrifat asma’ wal shifat (pengenalan nama & sifat) adapun Irfani membawa pada tingkat idraksillatubillah (kesadaran hamba kepada pencipta) secara kontinu. Bukan sekedar kesadaran tapi bersamaan dengan komitmen terikat pada seluruh aturan-aturanya. Sebagaimana hadist

Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa(HR al-Hakim, al-Khathib, Ibn Abi ‘Ashim dan al-Hasan

bin Sufyan).

Dapat juga diilustrasikan seperti pondasi, batu tanpa semen ibarat tumpukan bebatuan yang tidak bisa membentuk pondasi yang kokoh, begitupula akal yakni burhani tanpa bayani. Bangunan tua yang kosong tak berpenghuni, tanpa ada fungsi dan arti, begitulah irfani adalah makna terdalam yang membuat bangunan itu seolah hidup.

Ketiga Epistemologi ini menjadi berfungsi sebagiamana mestinya, sesuai apa yang diharapkan yaitu kebangkitan (an-Nahdhah) dari peradaban Islam yang rahmatan lil alamin, selama syarat dan ketentuan berlaku (diantaranya, penetapan hasan-qabih, khair-syar kembali pada nash, teks, bayani, bukan kembali pada burhani atau akal) dengan memakai pendekatan definisi berpikir menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Bagi seorang muslim, proses nalar burhani dalam aqidah hanyalah untuk memperkuat akidah, dan menjaga akidah dari serangan pemikiran luar, baik dari keyakinan lain mauopun pemikiran khususnya ateis. Adapun bagi seorang ateis dan siapapun yang berusaha mencari jalan kebenaran maka tahapan yang tepat untuk ditempuh memang diawali dari dari pendekatan rasional, pemahaman berpikir yang benar. Diawali dari nalar burhani, kemudian bayani, dan terakhir adalah irfani.

Khatimah Dari Kitab At-Tafkir

“Sesungguhnya umat Islam telah mendapatkan cobaan pada abad ke-4 H dengan adanya ulama-ulama yang berusaha untuk meniadakan proses berpikir di tengah-tengah umat. Mereka menyerukan bahayanya berpikir atas Islam dan kaum muslimin. Itu terjadi ketika segolongan ulama seperti seorang alim yang masyhur dengan nama Al-Qaffal menyerukan agar umat Islam menutup pintu ijtihad, berusaha mencegah ijtihad, serta meyakinkan manusia akan bahayanya ijtihad. Kaum muslimin

Referensi

Dokumen terkait