• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONTRUKSI PEMENTASAN TARI SAKRAL TABOR PADA PIODALAN Di PURA KAHYANGAN DESA ADAT PATEMON (Kajian Nilai Agama Hindu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "REKONTRUKSI PEMENTASAN TARI SAKRAL TABOR PADA PIODALAN Di PURA KAHYANGAN DESA ADAT PATEMON (Kajian Nilai Agama Hindu)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

REKONTRUKSI PEMENTASAN TARI SAKRAL TABOR PADA PIODALAN Di PURA KAHYANGAN DESA ADAT PATEMON

(Kajian Nilai Agama Hindu)

I Gusti Ayu Desy Wahyuni

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email : [email protected]

I Ketut Pasek Gunawan

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja Email: [email protected]

ABSTRACT

The aim of this research is to reconstruct sacred dance, the history of which is not yet fully known, the form of the dance and the basis of the concept of sacred dance as well as the value of Hindu religious education. The theory used as a reference in this research is structural functional theory to study the Tabor dance form and uses value theory to help analyze the values contained in the Tabor dance performance. Meanwhile, the method used in this research is qualitative research, using data collection techniques from observation, interviews and document study with data analysis techniques, data reduction.

The form of the Tabor dance performance in Patemon village, Seririt subdistrict, generally looks like the Pendet dance in terms of the form of the dance, the clothes, the gambel and also the movements, except that the Tabor dance does not use bowlers or flowers in dancing. Tabor dancers consist of two groups, namely female Tabor dancers and male Tabor dancers. The Tabor dance performance differs from the performance time, namely that it is performed at the end of all the piodalan ceremonies after prayers or after the sidakarya mask dance performance. The minimum number of dancers is 5 and the maximum is not limited according to the area of the performance venue. Performances carried out in offal are only performed during piodalan at the Kanyangan village temple in Patemon. There are 21 movement terms that exist in the Tabor dance, then there are 43 series of movements in one female Tabor dance performed. The teaching values of Hinduism consist of (a) Educational Values of the tattwa/philosophy of the Basic Tri Krangka of Hinduism, Tri Hita Karana and Catur Purusha Arta. (b) The value of learning an attitude of devotion to God, the gods and fellow humans is very important to create harmony and peace. (c) The value of socio-cultural education has an impact on social life, mutually maintaining the original ancestral culture in Patemon village.

(d) The social value of dancing together educates everyone's social life and social sensitivity.

(e) Aesthetic values, namely Balinese art and culture that is inspired by Hinduism. (f) The sacred value of dance educates Hindus to always respect the sanctity and sacredness of their ancestral culture and traditions.

Keywords: Reconstruction, Performance, Sacred Tabor Dance and Nila Hindu Religion

GENTA HREDAYA Volume 7 No 2 Oktober 2023

P ISSN 2598-6848 E ISSN 2722-1415

(2)

I. Pendahuluan

Saat ini seni sakral dibeberapa daerah sudah mulai menurun eksistensinya terutama akibat tidak adanya proses regenerasi pendidikan seni sakral tersebut.

Masih didominasi pada kelompok tertentu, juga dikarenakan masyarakat dan tokoh masyarakat menganggap kesenian tersebut enting pada tahapa upacara agama. Beberapa oknum masyarakat beranggapan pementasan seni tersebut menyita waktu dan anggaran yang ada sehingga menjadi menghilang begitu saja walaupun kesenian tersebut tergolong seni sakral. Tidak juga hanya karena itu fenomena terlihat ada kalangan masyarakat justru menyepelekan seni sakral yang ada bahkan kegiatan ritual keagamaan hanya sebagai serimonial belaka tanpa adanya penghayatan dan keyakinan mendalam. Tentu hal ini tidak terlepas dari adanya pengaruh globalisasi dan teknologi di dalam masayrakat yang menyebabkan masyarakat berkembang pribadi yang eksklusif dan dengan tingkat kepercayaan dan keyakinan beragama yang cenderung rendah.

Seperti yang sudah diuraikan di atas, maka jika dikaji dari dasar keyakinan umat Hindu yang dijabarkan secara sistematik dalam suatu kerangka dasar yang disebut Tri Kerangka Dasar agama Hindu, yang meliputi Tattwa (filsafat), Susila (Etika) dan Ritual (upacara). Dalam hal ini semua umat Hindu dalam melaksanakan aktivitas

keagamaannya diharapkan agar selalu berpegang pada konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu seperti tersebut di atas.

Demikian juga keberadaan kesenian sakral Tari Tabor seperti, fungsi tari Tabor adalah sangat berarti dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Patemon karena rangkaian upacara yajna yang dilakukan di desa Patemon tidak sempurna tanpa mementasakan Tari tersebut. Juga terkat dengan nyanyian, maupun sarana-sarana lain yang ditampilkan dalam tari Tabor sebaga cerminan dinamika kehidupan masyarakat baik kehidupan sosial maupun cultural dan merupakan bentuk komunikasi masyarakat. Tari Tabor merupakan salah satu bentuk seni klasik Bali yang ada di desa Patemon yang mempunyai bentuk-bentuk gerak yang indah dan abstrak, sehingga mampu mengantarkan imajinasi penonton ke dalam bentuk ekspresi yang digambarkan melalui gerak penarinya. Tarian ini merupakan salah satu kesenian tradisional dengan bentuk tarian sangat berbeda kalau dibandingkan dengan bentuk tari sakral lainnya.

Masyarakat di desa Adat Patemon yang telah lama mementaskan Tari Tabor setiap melaksanakan upacara piodalan sebab masyarakat menyakini bahwa memberikan kedudukan pada Tari Tabor bukanlah sebagai tari yang bersifat balih- balihan melainkan sebagai Tari wali/Bali.

Namun fenomena beberapa tahun

(3)

belakangan ini justru tari ini sudah jarang dipentaskan pada piodalan pura kahyangan tiga di desa adat Patemon. Sesuai dengan keterangan informan selaku Bendesa Adat Patemon bahwa hampir 7 Tahun lamanya tari ini tidak dipentaskan pada upacara piodalan pura Kahyangan Tiga di Patemon.

Padahal tari ini termasuk tari sakral yang langka yang hanya ada di patemon sebagai tari sakral pengiring upacara piodalan.

Tari Tabor diperkirakan berbeda dengan tari Tabor lainnya baik bentuk tarinya dan ganmbelannya, karena peruntukkan untuk kegiatan keagamaan yang bersifat sakral. Gerakan tarinya sangatlah khas dan unik demikian juga instrumen gambelannya memiliki perbedaan antara tari Tabor laki-laki dengan perempuan. Tentu hal ini yang membuat tari Tabor desa Patemon yang menarik dan unik yang sangat perlu dilestarikan dan dijaga.

Namun sesuai hasil pengamatan peneliti pementasan tari ini sudah jarang dipentaskan dan jika dipentaskan saaat piodalan besar saja dan kadang yang menarikan bukan yang mahir atau memahami tari tersebut.

Sehingga pakem dan juga nilai keidnahanya tidak muncul yang menyebabkan kesan tari ini membosankan dan kurang menarik.

Walau sudah ada usaha dari desa adat melalui pasraman Nawa Darsana bekerjasama dengan yayasan Widya Santhi terus melatih anak-anak dan remaja untuk belajar tari Tabor tersebut. Namun telah

diketahui bahwa pelatih dan juga masyarakat sendiri belum memahami sejarah, nilai seni dan nilai agama Hindu yang terkandung dalam tari sakral Tabor tersebut. Sehingga sangat diperlukan sekali adanya sebuah penelitian atau kajian terkait tersebut untuk dapat mengungkapkan nilai seni dan agama Hindu yang terkandung dalam seni sakral Tabor tersebut. Sehingga sangat diperlukan sekali adanya sebuah penelitian atau kajian terkait tersebut untuk dapat mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data akurat dan ilmiah terkait keberadaan tari sakral Tabor di desa adat Patemon untuk nantinya dapat dipedomani oleh masyarakat desa adat Patemon dan juga degan mudah melestarikannya. Dengan demikian tema atau judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah "Rekontruksi Tari Sakral Tabor Pada Piodalan di Pura Kahyangan Desa Adat Patemon (Kajian Nilai Agama Hindu)".

II. PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Singkat Tari Tabor

Tari Tabor yang beberapa daerah dan situasi disebut dengan Tari Pependetan, namun jika ditelusuri dengan seksama dan berdasarkan penjelasan informan bahwa tari Tabor bukanlah tari Pependetan sebab ada beberapa pakem dan juga aturan pelaksanaanya berbeda. Tari Tabor yang berada di desa Patemon keberadaanya sangat unik sebab diperkirakan hanya ada

(4)

di desa Patemon saja walau secara umum dan kasat mata terlihat seperti tari Pependetan pada umumnya. Sebab tari ini sepintas terlihat mirip dengan tari Pendet atau Tari Taboran namun jika dilihat dan ditelusuri setiap gerakan dan sejarahnya baru diketahui bahwa tari Tabor ini unik dan khusus hanya ada di Patemon.

Tari Tabor ini sepintas seperti tari pependetan namun sebenarnya tari ini adalah tari khusus diciptakan sebagai pertanda segala runtunan pokok piodalan di pura kahyangan desa sudah selesai. Kami pun tidak mengetahui pastinya kapan tari ini diciptakan dan siapa penciptanya kami tidak mengetahuinya. Tari Tabor ini sejak dahulu dikenal dalam satu rangkaian dengan tari penutup acara yang dipentaskan pada akhir atau puncak acara piodalan di pura kahyangan desa Patemon, biasanya dipentaskan setelah adanya tari topeng Sidakarya sebaga penanda telah selesainya rangkaian upacara sakral piodalan di pura kemudian baru dilanjutkan dengan hiburan lainnya. Tentu berdasarkan penjelasan informan tersebut sudah sangat jelas bahwa keberadaan tari Tabor masih dalam golongan tari yang disakralkan oleh masyarakat desa Patemon dalam rangkaian piodalan di pura kahyangan desa.

Tari Tabor sejak awal saya kenal dan lihat gerakannya sederhana tidak jelas mana batas agem dan tanjek kemudian saya bersama Gusti Biyang Karmika

menghaluskan gerakan tari dengan bentuk gerakan Agem dan Tanjek yang sesuai dengan pakem tari sakral sehingga yang saat ini dipentaskan sudah berdasakan hasil gubahan kami berdua, tentu gubahan ini tidak sama sekali mengubah gerakan yang sudah ada atau mengurangi melainkan hanya memastikan setiap gerakan sesuai dengan pakem tari sakral saja.

2.2 Bentuk Pementasan Tari Tabor a) Prosesi dan rangkaian Pementasan Tari Tabor

Pementasan Tari Tabor yang berlokasi di jeroan pura kahyangan atau bagian inti pura kahyangan desa yang memiliki persyaratan yang cukup luas, kalangan dibuat berdasarkan pengier-ider Dewata Nawa Sanggha atau Para Dewa yang bersemayam di sembilan arah mata angin yang masih diyakini oleh umat Hindu.

Menurut keyakinan umat Hindu selatan merupakan arah gunung dan merupakan turunnya Bhatara Kabeh, serta utara (laut) adalah merupakan dasar untuk di buat kalangan. Jadi kalangan untuk pertunjukan tari wali biasanya memanjang dari selatan ke utara dan para penari dapat mempersembahkan tariannya kehadapan Ida Bhatara Kabeh dan para leluhur. Namun sekarang yang menjadi standar pementasan tari bukan saja arah utara dan selatan, namun bagi beberapa pertunjukan yang bersifat wali

(5)

biasanya berhadapan dengan pelinggih Pementasan tari Tabor di pura kahyangan desa adat Patemon Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng yang dipentaskan dalam bentuk tari lepas (tidak menggunakan lakon) ditarikan secara mengalir, yakni tidak adanya jeda/berhenti baik di depan, ditengah-tengah, maupun di belakang. Tari Tabor ini dibangun dari ragam gerak antara lain : (a) ngegol, yaitu gerakan menggerakkan pinggul ke kiri dan ke kanan sambil berjalan ataupun diam ditempat. Tari Tabor di pimpin oleh 1 orang penari yang disebut pengenter. Penari Tabor tidak membawa properti apapun dalam menari. Penari pengenter menari dengan berjalan dengan melakukan gerakan yang terus bergerak melangkah mundur sambil

ngegol; (b) gerak ngembat tangan kiri, yaitu gerakan tangan kiri lurus kesamping diiringin dengan gerakan ngegol kekanan dan kekiri; (c). Nyalud, yaitu gerak kedua telapak tangan tangan dibolak balik dengan kaki kiri persis berada agak ke depan dari kaki kanan (dalam Tari Bali disebut dengan tapak sirang pada) sedangkan kepala menoleh ke bawah bersamaan dengan gerakan kaki dan tangan; (d). Ngembat kiri dan ngembat kanan yaitu gerakan yang dilakukan setelah nyalud dengan tangan kiri ngembat kekiri dan dilanjutkan dengan gerakan kaki ngegol. Semua gerakan tersebut diulang-ulang dengan menggunakan tempo lambat hingga pementasan berakhir.

b) Gerakan Tari Tabor

Adapun nama-nama gerakan pada tari Tabor seperti berikut ini.

No. Nama Ragam Uraian Gerak

1. Ngumbang ombak segara

Kedua tangan didepan gerak diawali dengan melangkah kaki kiri, bergerak ke depan dilanjutkan ke belakang, dan ke depan.

2. Angsel Tugak

Mengangkat kaki kiri dilanjutkan gerak bahu secara cepat, memindahkan kaki kanan kesamping kanan kedua tangan sogok kanan, kaki kiri berada di depan mata kaki kanan, kedua tangan berada disamping kanan dan kiri hanya saja lengan kanan lebih tinggi.

3.

Angsel Rangkep

Gerak ini memberi perubahan dinamika pada musik, gerak ini juga berfungsi sebagai penghubung dari posisi agem kanan ke posisi agem kiri dan juga pepindahan dari ragam satu keragam berikutnya. Cara melakukan yaitu kaki kanan dan kiri diangkat secara bergantian (pada waktu melakukan gerak ini penekan atau kekuatan sepenuhnya ada pada pergelangan tangan) dan diakhiri dengan gerak bahu.

4. Ngeseh Menggerakan kedua bahu secara cepat

(6)

5.

Sogok

Memindahkan kaki kesamping kanan atau kiri, kedua tangan mendorong ke samping sesuai dengan fungsinya

6.

Agem kanan

Posisi diam atau pose dalam tari Bali, posisi kanan dalam keadaan tapak sirang, kaki kanan ada di belakang kaki kiri dengan jarak satu tapak, semua jari kaki kiri ditarik ke atas (nyelekenting), badan tegak, tangan kanan sepat pala dan tangan kiri ugel sirang susu, serta semua jari tangan jeriring.

7.

Luk nerudut

Sikap badan posisi agem, kemudian gerakan kedua tangan mendorong ke atas, kemudian kebawah, kemudian didorong ke samping secara stakato, diakhiri dengan kedua tangan ukel.

8. Ngunjal angkihan

Posisi badan agem, kemudian badan naik turun mengikuti irama nafas sesuai dengan iringan.

9. Ngelier

Gerakan mata untuk melihat dari kejauhan dengan mengecilkan salah satu kelopak mata (ngicir), kemudian disertai dagu yang diputar.

10. Seledet

Gerakan mata melirik ke samping kanan atau ke samping kiri, dengan membesarkan ke dua bola mata.

11. Miles Gerakan tumit diputar ke dalam (kanan atau kiri) kemudian diangkat.

12.

Agem kiri

Posisi diam atau pose dalam tari Bali, kaki kiri ada dibelakang kaki kanan dengan jarak satu tapak, semua jari kaki kanan ditarik ke atas (nyelekenting), badan tegak, tangan kiri sepat pala dan tangan kanan ugel sirang susu, serta semua jari tangan jeriring.

13. Ngegol

Gerakan pinggul yang digerakkan ke kanan dan kiri secara berulang-ulang. Gerak ini disertai dengan menggerakan kepala ke kanan dan kiri bersamaan dengan pinggul.

14. Ngelung kanan

Lengan tangan kanan lurus ke samping kanan, lengan kiri nekuk siku sejajar dengan pundak tangan sejajar dada, kaki kanan sebagai tumpuan, kaki kiri jinjit digetar- getarkan.

15. Ngelung kiri

Lengan tangan kiri lurus ke samping kanan, lengan kanan nekuk siku sejajar dengan pundak tangan sejajar dada, kaki kiri sebagai tumpuan, kaki kanan jinjit digetar-getarkan.

16. Nyereseg

Gerak perpindahan yang dilakukan ke arah kanan atau kiri dengan tempo yang cepat. Fokus gerak nyereseg adalah pada kedua kaki, berat badan bertumpu dikedua kaki jinjit dan pada saat sreseg badan merendah.

17. Ngutek

Menghentakan atau menginjakan kaki ke lantai disertai dengan gerakan kepala dan tangan.

18.

Ngumbang luk penyalin

Gerakan berjalan cepat mengikuti irama pukulan kajar yang diikuti gerakan kepala sesuai pijakan kaki dengan sikap badan merendah, berjalan ke samping dengan membuat angka delapan.

(7)

19.

Melingser atau berputar

Sikap kaki dalam keadaan ngagem hadap depan, kemudian tumit yang diangkat sedikit, lalu berputar ke arah kanan atau kiri belakang, bergeser (nyeregseg) sampai 360o sehingga arah hadap kembali ke depan dalam keadaan sikap (agem) yang berlawanan.

20. Ulap-ulap

Gerakan tangan di depan wajah dengan sikap telapak tangan ke arah bawah, seperti melihat sesuatu dari kejauhan.

21. Ngumbang ombak segara

Berjalan ke depan dan ke belakang dengan cepat. Cara melakukan kedua kaki merapat, badan dalam posisi merendah (mendhak), kepala digerakan ke samping kanan dan kiri sesuai dengan ayunan kaki sedangkan kedua tangan ada di depan badan memegang bokor.

(Sumber: Rekontruksi peneliti berdasarkan informan dan pedoman tari 2023)

c). Tata busana Tari Tabor

Tari Tabor menggunakan tata busana yang termasuk sederhana seperti halnya pakaian sembahyang ke pura antara lain:

(a). Kamen warna kuning; (b). Kebaya lengan panjang warna putih; (c). Selendang biasa warna kuning. Sementara penari Tabor Muani (penari laki-laki) menggunakan busana: (a) Kamen putih;

(b). Saput putih; (c). Baju putih; (d). Udeng putih.

Pementasan tari Tabor diiringi Gamelan Gong Kebyar dan kadang gambelan Gong Gede/Tua. Mereka menyajikan tari upacara itu untuk menanda telah berhasilnya atau selesainya segala rangkaian upacara piodalan sebagai penanda batas kegiatan sakral menuju ke bali-balian/provan. Ketika itu tari Tabor yang ditarikan oleh para pangempon (pendukung) pura diiringi Gamelan Gong Kebyar. Gamelan yang digunakan untuk mengiringi tari Tabor itu adalah gamelan yang disakralkan oleh masyarakat

setempat. Tari Tabor yang diiringi gamelan Gong Kebyar tersebut digunakan untuk membangun suasana dan untuk memberi tanda pada struktur koreografi, musik iringan tari juga mampu memberi identitas pada tari yang disajikan.

2.3 Nilai Pendidikan Agama dari Pementasan Tari Tabor a) Nilai Filsafat Agama Hindu

Tari Tabor yang hanya dipentaskan di Pura kahyangan desa di Desa Adat Patemon merupakan tari yang memiliki arti atau simbol filsafat ketuhanan yaitu ajaran Tri Hita Karana diantaranya yaitu harmonis dengan para dewa atau pencipta, harmonis dengan sesama manusia dan harmonis dengan alam semesta. Ajaran Tri Hita Karana yang terdapat dalam Tari Tabor ini dibentukkan dalam gerak tari seperti gerak yang menyerupai pepohonan, binatang, angin, api, air, gunung dan gerak manusia. Selain gerak para penari reruntutan atau rangkaian tari dalam pementasan di Pura kahyangan desa pada

(8)

Piodalan Agung menunjukkan sarat ajaran Tri Hita Karana yaitu penari menari sebagai penghubung antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan alam. Hal di atas menunjukkan bahwa kita sebagai manusia hendaknya harmonis dengan ketiga alam yaitu harmonis dengan lingkungan dengan saling menyayangi.

Hendaknya manusia selalu bersyukur dan selalu memuja Tuhan sebagai pencipta alam semesta yaitu Ida sang Hyang Widhi.

Selain dari pada ajaran Tri Hita Karana di atas terdapat juga ajaran kesucian yaitu ajaran Panca Nyama Brata yaitupengendalian diri dapat menuntun mencapai keabadaian. Sama halnya dengan ajaran Catur Purusa Artha ajaran Panca Nyama Bratha yang terdapat pada Tari Tabor mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagian yang tertinggi yaitu bersatu dengan Brahman adalah berawal dari pengendalian tingkat dasar atau membersihkan dari dalam diri sendiri.

Dengan kata lain untuk mencapai Tuhan tanpa keyakinan tidaklah sampai.

Pengendalian diri adalah suatu cara membersihkan diri dalam tingkat rohani yang ditunjukkan dengan gerakan tari tersebut. Sedangkan ajaran Catur Purusa Arta dalam Tari Tabor mengajarkan bahwa untuk mencapai Tuhan hendaknya berlandaskan dharma baik dalam mencari arta, melaksanakan kewajiban, tugas dan tangung jawab seperti yang ditunjukkan

pada reruntutan tari yaitu semua berawal dari dasar yaitu Dharma.

b). Nilai Pembelajaran Sikap Bhakti Pemberian pemaknaan terhadap Tari Tabor oleh masyarakat di Patemon merupakan bentuk nyata rasa bhakti, sujud dan menempatkan sang pencipta di hati yang paling dalam melalui salah satu bentuk tari yang bernilai seni dan bermakna spiritual tinggi. Dengan mementaskan Tari Tabor ini seorang penari akan semakin menyakini betapa kuasanya Tuhan dapat menciptakan segala yang sudah mereka nikmati, selain dari para penari masyarakat yang mengikuti pementasan akan merasa terpanggil dengan mengaungkan karya Tuhan yang maha dahsyat. Dengan rasa tersebut setiap orang akan memiliki rasa Bhakti yang tinggi ini dibuktikan dalam perayaan Piodalan atau pujawali agung maupun biasa di Pura kahyangan desa seluruh masyarakat berduyun-duyun datang ke pura untuk menghaturkan Bhakti atau ngayah hinga upacara Piodalan selesai.

Seperti wawancara dengan Riasi mengatakan masyarakat akan merasa senang dan lengan bila sudah dapat tangkil atau ngayah di piodalan Pura kahyangan desa sampai selesai. Sehingga seluruh pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik karena masyarakat telah dengan sadar dan atas kemauannya sendiri datang untuk ngayah dan bekerja bersama dengan

(9)

masyarakat lainnya. Masyarakat yang datang beraneka ragam dari anak-anak, orang dewasa bahkan orang yang sudah tua sehinga upacara piodalan yang dilaksanakan di Pura kahyangan desa terlihat penuh dengan spiritual dan kasih sayang.

b) Nilai Pendidikan Sosial Budaya Pada dasarnya pementasan Tari Tabor sebagai sarana umat Hindu di Desa Adat Patemon untuk meningkatkan antusiasme masyarakat dalam rangka piodalan agung di Pura kahyangan desa dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa tampak pada partisipasi umat dengan tulus ikhlas dan tolong menolong mempersiapkan sarana upacara dan menghias pura yang dilandasi dengan konsep ngayah. Semangat masyarakat bekerja bhakti tanpa sedikit mengeluh bahkan bahu membahu dan saling pengertian menyelesaikan tugasnya masing-masing dan bila belum ada yang terselesaikan dikerjakan secara bersama- sama.

Hal ini sejalan dengan pendapat Suka (2009:5) dalam hubungan manusia dengan Tuhannya adalah terpulang kepada manusia Hindu bukanlah manusia yang terasing secara inter-personal (hubungan horizontal antara yang satu dengan yang lainnya) atau sosio-kultural. Berkaitan dengan kedua sudut pandang (point of

view) itulah maka konsep ngayah sangat relevan sebagai konteknya dengan kehidupan sosioreligius-kultural Hinduisme.

Sosial budaya masyarakat di Desa Adat Patemon dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, wujud budaya aktivitas dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan yang diyakini masyarakat desa Patemon di mana dewa/bhatara yang bersthana di Pura kahyangan desa. Selain itu, upacara pujawali yang dilaksanakan di Pura kahyangan desa di mana sarana upakara, menghias pura dan proses upacaranya dilaksanakan oleh masyarakat dengan tulus ikhlas dan tolong menolong yang dilandasi dengan konsep ngayah.

d) Nilai Sosial

Salah satu tarian sakral yang mampu mempersatukan dan mempererat rasa sosial kita adalah tari sakral Tabor sebab selan penarinya yang banyak juga tidak harus memiliki keahlian menari juga bisa menarikan tarian ini. Nilai ajaran subha asubha karma, mampu dipahami dengan tidak langsung bila manusia mampu hidup bersosial dan bersama satu sama lannya.

Dalam Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan sebagai berikut:

Ri sakwehning sarwa Bhuta, ikang janma wwang juga wenang

(10)

gumawayaken ikang cubhacubhakarm, kuneng panetasakena ring cubhakarma juga ikangcubhakarma, phalaning dadi wwang.

Terjemahannya:

Diantara semua mahluk hidup, hanya menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah perbuatan buruk kedalam perbuatan yang baik, demikian pahalanya menjadi manusia (Kajeng ; 2003).

Nilai Tari Tabor adalah sebagai pusat Komunikasi sosial bagi umat Hindu di Desa Adat Patemon, juga berpengaruh terhadap peroses adaptasi umat Hindu dari berbagai wangsa yang datang untuk mengikuti persembahyangan di pura kahyangan desa, kidung pengiring upacara dan lagu dalam pengucapan mantra juga berbeda. Dengan berkumpul dalam suatu upacara, maka terjadi peroses adaptasi atau penyesuaian sehingga umat dari berbagai daerah akan menumbuhkan sikap saling mengerti, menghargai, menghormati, dan menumbuhkan semangat rasa persaudaraan sesama umat Hindu, khususnya di daerah Buleleng.

Ritus dan upacara di Pura kahyangan desa juga berfungsi untuk meningkatkan solidaritas kelompok.

Solidaritas berarti rasa kesetia kawanan, senasib-sepenanggungan sehingga mau bersama-samamenanggung penderitaan dengan kawan yang kena musibah, kesukaran atau tertindas. Dengan

demikian, pelaksanaan upacara di Pura kahyangan desa yang dihadiri oleh umat Hindu dari berbagai wangsa di desa Patemon bahkan dari desa tetanga seperti Seririt, Bubunan, Lokapaksa, Ularan dan sebaganya, bahkan dari luar daerah Buleleng meningkatkan solidaritas antarumat. Hal ini menunjukan, melalui semangat kegotongroyongan dan kekeluargaan, baik dalam persiapan upacara maupun pada saat upacara berlangsung, misalnya pada waktu Piodalan, umat Hindu bebas dari kota-kota wilayah darimana mereka berasal sehingga nampak rasa kebersamaan. Hal ini muncul karena mereka beranggapan bahwa aktivitas ritual yang dilaksanakan adalah aktivitas Bersama.

e) Nilai Estetika

Pementasan tari sakral Tabor yang hanya dipentaskan di pura kahyangan desa Patemon memiliki nila estetika atau keindahan tersebunyi. Pementasan tari sacral Tabor di desa Patemon memiliki nilai keindahan yatu keindahan gerakannya, kombinasi gerakanya, koreografinya unik, gambelannya dan juga penempatan pementasannya memiliki unsur keindahan yang luar biasa berbeda dengan seni sakral lainnya. Tentu ini yang membuat seni tari Tabor tetap bertahan sampa sekarang selain sebagai persembahan kepada Tuhan dan para Dewa juga sebaga hiburan kepada masyarakat.

(11)

Pada pementasan Tari Tabor di pura kahyangan desa terlihat adanya nilai keindahan sebagai akibat rasa bakti dan rasa cinta manusia dalam menghubungkan diri kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa.

Makna keindahan yang tercermin dalam upacara tersebut adalah gerak tari, sarana tari dan peran dalam Tari Tabor yang hanya di tarikan di Pura kahyangan desa Desa Adat Patemon. Demikian pendidikan estetika/seni yang dapat penulis gambarkan di dalam pementasan Tari Tabor yang berwujud dalam gerak tari maupun sikap masyarakat penyungsung.

Selan sebagai persembahan kepada Ida Hyang Widhi Wasa, makna estetika/seni dapat juga digunakan sebagai faktor tercapainya kesucian dalam suatu Yajña.

f) Nilai Kesakralan Tari

Pementasan Tari Tabor di Pura kahyangan desa sebagai hasil budaya spiritual Hindu mengandung nilai kesakralan yang mendalam, terlihat dari bentuk tarian yang masih bersifat alami dan natural serta tidak dapat dipentaskan disembarang waktu dan tempat selain di pura kahyangan desa. Pementasan Tari Tabor ini masih sangat bersifat alami karena masyarakat di desa adat Patemon tidak berani tidak dipentaskan pada upacara Piodalan agung di Pura kahyangan desa, hal tersebut didasari oleh konsepsi supra natural power yaitu

kekuatan dari luar batas kemampuan manusia, fenomena tersebut mencerminkan bahwa Tari Tabor sebagai hasil budaya spiritual Hindu yang diwariskan secara turun-temurun tidak boleh dirubah keberadaanya namun tetap dilestarikan dengan memperbaiki gerakan dan pengiringnya dengan bentuk dan sarana kekinian dan tidak mengubah esensi atau dengan tidak menghilangkan atau merubah unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, baik dari segi bentuk arsitektur dan keberadaanya, yang perlu di tingkatkan adalah spiritual di dalam diri masyarakat desa adat Patemon untuk mewaris pementasan Tari Tabor di Pura kahyangan desa di Desa Adat Patemon dengan upaya kebersaman, untuk meningkatkan rasa spiritual keagamaan masayarakat secara relegius.

III. Penutup

Berdasarkan pada penjelasan hasil penelitian di atas peneliti dapat menarik beberapa simpulan sebaga berikut:

1. Bentuk pementasan tari Tabor di desa Patemon kecamatan Seririt secara umum terlihat seperti tari Pendet bak dari bentuk tariannya, pakaiannya, gambelannya dan juga gerakan- geraknnya hanya saja tari Tabor tidak menggunakan sarana bokor atau bunga dalam menari. Penari Tabor terdiri dari dua kelompok yatu panari Tabor

(12)

perempuan dan penari Tabor laki-laki.

Namun dalam hal ini penelitian terfokus pada tari Tabor penarinya adalah perempuan. Pementasan tari Tabor memiliki perbedaan dari waktu pementasan yatu dipentaskan diakhir segala rangkaian upacara piodalan setelah persembahyangan atau setelah pementasan tari topeng Sidakarya.

Penari minimal terdiri dari 5 dan maksimalnya tidak dibatasi sesuai dengan luas wilayah tempat pementasan. Pementasan dilaksanakan di bagian utama atau jeroan pura kahyangan desa Patemon. Pementasan Tri Tabor ini hanya dipentaskan saat piodalan di pura kanyangan desa di Patemon. Terdapat 21 istilah gerakan yang ada alam tarian tari Tabor tersebut kemudian terdapat 43 rangkaian gerakan dalam satu kali tarian Tabor perempuan dilaksanakan. Tari Tabor ini tidak diketahui kapan pertama kali dipentaskan dan siapa penciptanya, kemudian tari Tabor ini sudah pernah dilakukan rekontruksi pada tahun 2000 an oleh 2 tokoh penari yang saat ini sebagai informan dalam penelitian ini.

Namun hasil rekontruksi tersebut belum

sempurna dan belum

didokumentasikan.

2. Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terdapat dalam penelitian ini adalah terdiri dari (a) Nilai Pendidikan

tattwa/filsafat mengenai ajaran Tri Krangka Dasar Agama Hindu yaitu hubungan filsafat tattwa, susila dan acara. Kemudian terdapat ajaran Tri Hita Karana, juga ajaran Catur Purusha Arta. (b) Nilai Pembelajaran sikap bhakti memberikan pendidikan langsung tentang bhakti kepada Tuhan, para dewa dan sesama manusia. (c) Nilai pendidikan sosial budaya secara bersama-sama saling menjaga budaya leluhur asli di desa Patemon. (d) Nilai sosial para penari laki-laki dan perempuan, para penabuh dan penonton dan juga saat pelaksaan piodalan mendidik bahwa pentingnya kehidupan sosial dan kepekaan sosial setiap orang.

(e) Nilai estetika seni dan budaya Bali yang diberjiwakan agama Hindu. (f) Nilai kesakralan tari mendidik umat Hindu untuk selalu menghormati kesucian dan kesakralan pada sebuah budaya dan tradisi leluhur.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Edisi Revisi 5.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Aryasa, I Wayan Madra. 1996. Seni Sakral. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.

Bandem, I Made. 1996. Tari Bali.

Yogyakarta: Kanisius.

Bogdan, dan Biklen. 1982. Qualitative

(13)

Balai Research for Education ,an

Introduction to Theory and Methods. Second Edition. Allyn and Bacon A Division of Simon &

Schuster Inc.

Dibia, I Wayan. 2000. “Tari Wali Sanghyang, Rejang”, Baris.

Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Donder, I Ketut. 2001. Panca Dhatu Atom, Atman dan Animisme.

Surabaya: Paramita.

Gertz,C. 1973. The Interprtion Of Culture. Basic Bokks, New York: Inc. Publisher.

Gede Rudia Adiputra, 2003. Pengertian Dasar Agama Hindu. Jakarta : Sekolah Tinggi Agama Hindu.

Gie, The Liang.1976.Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan).

Yogyakarta: Karya.

Hendropuspito D.OC. 1984. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Iqbal, Hasan. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

The Liang Gie.1996.Filsafat Kindahan.

Yogyakarta : Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIBE)

Koentjaraningrat, 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:Dian Rakyat.

Koentajaraningrat, 1987. Manusia dan Kebudayaan di

Indonesia.

Jakarta: Djambatan

Koentjaraningrat, 1990.Pengantar Antropologi I. Jakarta:

Universitas Indonesia Press Margono. 1996. Metodologi Penelitian

Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Maswinara, I Wayan. 1997 Bhagawdgita.

Surabaya: Paramita

Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis ( A Sourcebook of New Mwthods). London : Sage Publication Beverly Hills.

Moleong , Lexy. J.1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Musna, I Wayan. 1986. Pengantar Filsafat Hindu, Sad Dharsana.

Denpasar: Kayu Mas.

Musna, I Wayan. 1991. Kamus Agama Hindu. Denpasar: Kayu Mas.

Nasikum, 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

awawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurjanah, Nunuy at.al. 2000. “Pelaporan Penelitian Kualitatif “(Kumpulan Makalah ), Bandung: Program Pengembangan Bahasa S-3.

Universitas Pendidikan Indonesia.

Oka I Gusti Agung.1994. Slokantar.

Jakarta : Hanoman Sakti Jakarta Punyatmadja, Oka. 1993. Panca Sradha, Denpasar : Upada Sastra.

Parmajaya, I Putu Gede dkk., 2007.

Kesenian Sakral. Surabaya : Paramita

Perwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Jakarta : Pustaka.

Pals DL. 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam.

Panji, IGBN. 1976. “Barong di Bali Ditinjau Dari Segi Ritual dan Perkembangan Sebagai Seni Pertunjukan”. Denpasar: Pryek Sasana Budaya Bali.

Pitana, 1994. Mozaik Masyarakat dan Kebudayaan Bali.

Pudja, G. 1979. Sarasamuscaya. Jakarta:

Mayasari

………..2005. Bhagawatgita. Surabaya:

Paramita

Pudja Gede , tjokorda Rai Sudharta .1995. Manawa Dharma Sastra Hanoman Sakti Jakarta

Pius Partanto, M.Dahlan Barry, 2001, Kamus Ilmiah Populer,Surabaya, PT Arkala.

Pudja Gede. Dan I Wayan Sadia, 1980.

(14)

: Usaha

“Reg Weda Mandala II dan III”.

Jakarta :Dirjen Bimas Hindu dan Budha.

Redana, Made, 2006. Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah Dan Proposal Riset, Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya)

Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Segara Yoga, N. 2000. Barong dan Rangda. Surabaya: Paramita.

Simanjuntak, 1995. (dalam Johnatan, H.

Turner. 1974). Teori Interaksionisme Imperatif.

Yogyakarta: Kanisius.

Sudikan, Setya Yuana.2001.Metode Penelitian Kebudayaan.

Surabaya: Citra Wicana.

Soedarso, SP. (2006). Trilogi Seni – Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni.

Yogyakarta: Penerbit ISI Yogyakarta.

Soetomo, 1993. Dasar dasar Interaksi belajar Mengajar. Surabaya Nasional.

Suparno, Paul. 1996. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta: Kanisius.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suprayogo Imam dan Tobroni. 2001.

Metodologi Penelitian Sosial- Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tarmudji, Tarsis. 1991. Aspek Dasar Kehidupan Sosial. Yogyakarta : Liberty The

Liang Gie.1996.Filsafat Kindahan.

Yogyakarta : Pusat Belajar Ilmu Berguna Titib,

I Made. 2001. Pengantar Weda. Jakarta : Hanuman Sakti.

Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol- simbol dalam Agama Hindu.

Surabaya: Paramita.

Tim Penyusun, 1987. Himpunan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek- aspek Agama Hindu I-XIV, Denpasar : tp.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988.

Kamus Besar bahasa Indonesia.

Jakarta : Balai Pustaka.

Tim Penyusun. 2000. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I – XV. 2000.

Pemerintah Propinsi Bali.

Triguna, Yudha. IB.2000. Perubahan Sosial dan Respon Kultural Masyarakat Hindu Bali, Widya Satya Dharma; Jurnal Kajian Hindu Budaya dan Pembangunan.

Singaraja : STIE Satya Dharma.

Walter, Spies,Zoete de Beryl, 1973. Dance and Drama in Bali.London:

Exoford University Press.

Warna dkk. 1991. ”Kamus Bali Indonesia”. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Prop.Dati I Bali.

Wiana, Ketut. 1994. Yadnya dan Bhakti dari Sudut pandang Hindu.

Denpasar : Pt.

Pustaka Manik Geni.

Yin, Robert. K. 2000. Studi Kasus ( Desain dan Metode ). Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Yudabakti, I Made & Watra, I Wayan.

2007. Filasafat Seni Sakral Dalam Kebudayaan Bali, Surabaya : Paramita.

Referensi

Dokumen terkait

APPROPRIATENESS, MANAGEMENT SUPPORT Page 3 of 104 CHANGE EFFICACY, PERSONAL VALENCE ASSESMENT TO DEVELOP INTERVENTION AT HEAVY MACHINERY AND EQUIPMENT COMPANY Nikolas Bastanta

Implikasi dari pementasan Tari Baris Keraras dalam upacara Aci Tulak Tunggul yang dapat disampaikan dalam penelitian ini diantaranya, 1 Implikasi Sosial Budaya yaitu segala hal yang