• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Budaya Suap dan Perilaku Koruptif: Telaah Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang Rakyat dan Pemimpin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Relasi Budaya Suap dan Perilaku Koruptif: Telaah Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang Rakyat dan Pemimpin"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Relasi Budaya Suap dan Perilaku Koruptif: Telaah Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang Rakyat dan Pemimpin

Muhammad Wahdini,1 Norcahyono,2 Ariyadi3

*123 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya

Keywords : Relationship, Bribery, Corruption, Ibn Qayyim Al- Jauziah

Abstract

This paper discusses the thoughts of Ibn Qayyim Al-Gauziah on the relationship between the leader and the people. This research refers to several literatures and is classified as a qualitative research.

The results of this study present that Ibn Qayyim explained that the leaders and protectors of mankind are the same as the deeds of their people, even the actions of the people seem to be a reflection of their leaders and rulers. This phenomenon is in line with the condition of Indonesia which is one of the most corrupt countries based on Corruption Perception Index (CPI) data. From 2004 to early 2022 no less than 22 governors and 148 regents/mayors have been prosecuted by the KPK. This is in line with money politics that occurs at the grassroots level. This money politics has become rampant and has become a culture in every general election. Society considers that giving money by candidates is a normal thing, because this money politics is always done repeatedly, so that the proportion of political money continues to increase nowadays. The results of this study present that Ibn Qayyim emphasizes that there is a relationship between the culture of bribery that occurs in the people and the corrupt behavior carried out by the authorities. Simultaneously found interpretations of verses related to these thoughts such as QS. Ar-Ra'ad verse 11.

Kata Kunci : Relasi, Suap, Koruptif, Ibnu

Qayyim Al-

Jauziah

Abstrak

Tulisan ini membahas pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziah tentang relasi Pemimpin dan rakyat.

Penelitian ini beracuan pada beberapa literatur pustaka dan tergolong penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menyajikan bahwa Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Fenomena tersebut sejalan dengan kondisi Negara Indonesia yang menjadi salah satu negara terkorup berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Sejak tahun 2004 hingga awal tahun 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Hal ini sejalan dengan budaya Politik Uang yang terjadi pada arus bawah. Politik uang ini telah merajalela dan menjadi suatu budaya disetiap menjelang pemilihan umum. Masyarakat menganggap bahwa pemberian uang oleh kandidat merupakan suatu hal yang biasa, karena politik uang ini selalu dilakukan berulang kali, hingga persentase politik uang terus meningkat di masa sekarang ini. Hasil penelitian ini menyajikan bahwa Ibnu Qayyim memberi penekanan bahwa terdapatnya relasi antara budaya suap yang terjadi pada rakyat dengan perilaku koruptif yang dilakukan oleh penguasa. Bersamaan ditemukan tafsiran ayat yang berkaitan dengan pemikiran tersebut seperti QS. Ar-Ra’ad ayat 11.

PENDAHULUAN

Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial.

Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald

menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.

Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendiri semata-mata.

Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang (Setiadi 2018).

(2)

Korupsi masih menjadi problem di negara-negara berkembang hingga saat ini termasuk Indonesia. Korupsi memang sudah menjadi budaya di negara-negara berkembang dan sangat sulit diberantas.

Untuk melakukan pemberantasan korupsi ternyata juga sangat banyak hambatannya.

Sehingga bagaimanapun kerasnya usaha yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga- lembaga negara ternyata korupsi juga tidak mudah dikurangi apalagi dihilangkan.

Indonesia. Sebagai negara yang menggunakan adat dan budaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai - nilai moralitas dan kejujuran, sangat miris rasanya bila mengetahui bahwa negara ini menempati posisi 2 sebagai negara terkorup di Asia pasifik menurut survei The World Justice Project (Argiya 2013).

Corruption Perception Index (CPI) 2014 yang diterbitkan secara global oleh Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). Korupsi secara khusus disebut menempati urutan teratas dari 18 (delapan belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di Indonesia (Juarsa 2016). Hasil Indeks Persepsi tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia menduduki poin 37 dan mengalami kenaikan satu poin saja dari sebelumnya yang menduduki poin 36. Masih terpaut jauh dari negara Malaysia yang menduduki poin 49, meskipun mengalami penurunan satu poin dari tahun sebelumnya (Mahfudh 2017).

Fenomena pemimpin korupsi berbanding lurus dengan Salah satu penyakit politik dan penyimpangan hukum yang menodai citra pesta demokrasi dalam memilih pemimin (pemilukada) yaitu politik uang (money politics). Fenomena politik uang (money politics) mewarnai berbagai even pemilihan umum di tanah air. Hal ini tentu menjadi gambaran bahwa tingkat kecurangan

dalam melaksanakan pemilu tersebut sangat tinggi (Prasetyo 2020).

Kurangnya pemahaman mengenai pondasi dan substansi demokrasi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesia melihat demokrasi sekadar sebagai ritual (pemilu, pemungutan suara, voting, kebebasan berpendapat, dan sebagainya) sedangkan relevansinya terhadap perbaikan kualitas kebijakan publik cenderung diabaikan. Selain itu melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap para wakilnya karena dianggap bahwa semua wakil hanya mengumbar janji, sehingga selama mereka mendapatkan keuntungan kenapa tidak diambil, maka kesemuanya ini menyebabkan politik uang semakin merajalela dan seolah-olah tidak ada yang salah dengan itu (Zen 2015).

Dalam literasi kajian Islam klasik, korupsi dan politik uang memang tidak ada bab tersendiri yang membahasnya tetapi ada pembahasan yang menyerupai seperti Ghulul (penggelapan), Risywah (penyuapan), Ghasab (mengambil paksa harta orang lain) Khianat, Sariqah (pencurian) Hirabah (perampokan), dan al-Maks (pungutan liar).

Harmonisasi antara fenomena perilaku pemimpin yang koruptif dan budaya politik uang (suap) yang sejalan dan berbanding lurus mengingatkan penulis terhadap salah satu ungkapan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Miftah Daris Sa‟adah bahwa pemimpin adalah cerminan rakyat.

Berdasarkan hal itulah penelitian ini menguji perspektif tersebut secara komprehensif.

PEMBAHASAN

Pola Hubungan Pemimpin dan Rakyat dalam Politik Islam

Pendelegasian dan uji coba kekuasaan,untuk pertama kalinya diberikan dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw,.Meskipun ini dipandang sebagai sesuatu yang unik, karena selain sebagai Nabi dan Rasul, juga sebagai penguasa yang memegang kedaulatan dan menjadi sumber inspirasi bagi perundang-undangan Islam.

(3)

Sebagai penguasa, Nabi Muhammad saw, mengkonsolidasikan dan mengakomodir orang-orang Islam dan semua warga yang tergabung dalam satu masyarakat yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok-kelompok lain.

Tidak ada pengertian lain mengenai siapa yangharus memegang tampuk pimpinan dalam konfederasi semacam itu. Dan secara tegas menyebutkan Allah dan Nabi Muhamamad sebagai hakim dan sumber segenap kekuasaan dan kekuatan. Dalam rangka konsulidasi politik, beliau berperan sebagai pemimpin bagisebuah pemerintahanIslam yang baru lahir itu.

Sebagai nabi, dan sekaligus sebagai pemegang kekuasaan, beliau meletakkan prinsip-prinsip dasar agama dan memimpin umat yang hetrogen. Kekuasaan Nabi Muhammad saw,di Madinah tidak berlangsung lama karena beliau wafat.Peristiwa wafatnya Nabi yang tidak terduga menjadi sebab larutnya masyarakat dalam ketidakpastian tentang kepemimpinan Islam selanjutnya (Usman 2017).

Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan yang menyeluruh untuk menata kehidupan umat manusia, dengan politik sebagai satusatunya alat yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap rancangan tersebut (Enayat and Hikmat 1988). Konsep ini telah difahami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai sebuah cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik Ketatanegaraan. Dan itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan sebuah negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam pada masa pemerintahan Islam waktu itu.

Pola hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam islam telah banyak internalisasinya didalam nash. Islam mewajibkan atas seorang muslim supaya taat kepada Allah, Rasul-Nya dan mentaati pemimpin; pemimpin dalam hal ini adalah pemerintah, akan tetapi ketaatan terhadap pemerintah (negara) bukanlah kewajiban taat yang mutlak tetapi ketaatan dengan syarat.

Tidak akan ada ketaatan kepada pemimpin

jika dapat membawa seorang muslim keluar dari mentaati Allah dan rasul-Nya. Dengan kata lain, Islam mewajibkan kepada tiap- tiap muslim untuk mendurhakai pemimpin (pemerintah dan penguasa-penguasanya) bila mereka melakukan perintah yang dapat membawa maksiat kepada Allah SWT (Yuningsih 2007).

Menjadi kewajiban setiap muslim untuk menetapkan kepemimpinan yang dapat mendorong pada pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar. Menurut Ibni Taimiyah kepemimpinan merupakan bagian dari menunaiakan amanat. Islam memiliki empat pasal dalam penetapan kepemimpinan.

Pertama, memakai tenaga yang lebih patut (ashlah), maka menjadi kewajiban bagi pemimpin (pemerintahan) untuk menempatkan segala macam urusan kaum muslimin kepada orang-orang yang lebih patut/cakap untuk jabatan tersebut. Kedua, memilih yang lebih utama (Afdhal); jika tidak di dapat orang yang pantas untuk menduduki suatu jabatan tertentu, maka pilihlah orang yang lebih utama (afdhal) yaitu mereka yang afdhal dalam segala macam jabatan yang sesuai dengan orangnya, karena kekuatan dalam lapangan kepemimpinan haruslah menurut ketentuan bidangnya pula.

Ketiga, amanah dan kekuatan yang jarang di temui pada seorang manusia. Dalam tiap-tia jabatan kepemimpinan perlulah menempatkan orang yang lebih cocok dengan kedudukannya. Artinya bila ternyata terdapat dua orang laki-laki satudiantaranya lebih besar “Amanah” dan lainnya lebih besar “kekuatan” maka haruslah diutamakan kemanfaatannya bagi bidang jabatannya dan yang lebih sedikit resikonya. Misalnya dalam suatu peperanganuntuk jabatan pimpinan adalah orang yang kuat fisiknya dan berani meskipun ia fasik daripada orang yang lemah dan tak bersemangat sekalipun ia orang yang kepercayaan. Keempat, mengenal yang lebih maslahat dan cara kesempurnaannya. Hal ini terkait dengan maksud/motif dan jalan/metode, artinya untuk mengenal mana yang lebih baik hanya dapat disempurnakan dengan menginsyafi maksud (motif) daripada

(4)

pimpinan dan mengetahui pula jalan (metode) yang dimaksud (Yuningsih 2007).

Lebih jauh dapat dilihat Al-Qur‟an menyebutkan prinsip-prinsip kepemimpinan antara lain, amanah, adil, syura (musyawarah), dan amr bi al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar. Dalam Kamus Kontemporer (al-

‘Ashr), amanah diartikan dengan kejujuran, kepercayaan (hal dapat dipercaya).18 Amanah ini merupakan salah satu sifat wajib bagi Rasul. Ada sebuah ungkapan “kekuasan adalah amanah, karena itu harus dilaksanakan dengan penuh amanah”. Ungkapan ini menurut Said Agil Husin Al-Munawwar, menyiratkan dua hal.

Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah SWT (delegation of authority) karena Allah sebagai sumber segala kekuasaan. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah yang bersifat relatif, yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Kedua, karena kekuasaan itu pada dasarnya amanah, maka pelaksanaannya pun memerlukan amanah.

Amanah dalam hal ini adalah sikap penuh pertanggungjawaban, jujur dan memegang teguh prinsip. Amanah dalam arti ini sebagai prinsip atau nilai (Zuhdi 2014).

Selanjutnya Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam Al-Qur‟an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan hendaknya kalian menghukum atau mengambil keputusan atas dasar keadilan. Secara keseluruhan, pengertian- pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan.

Dari terkaitnya beberapa pengertian kata „adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi warna keadilan mendapat tempat dalam Al-qur‟an. Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan

dorongan Al-qur‟an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesam warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam Al-Qur‟an (Rangkuti 2017).

Dilihat dari segi kewajiban rakyat terhadap pemimpin sebagaimana dikemukakan sebelumnya yaitu harus terdapat ketaatan. Ketaatan terhadap pemimpin tidaklah berdiri sendiri, tetapi berada dalam bingkai ketaatan kepada Allah swt dan Rasulullah saw (Seff 2009). Artinya jika kebijakan pemimpin tidak dalam ruang yang sama yaitu ketaatan kepada Allah dan RasulNya maka rakyat boleh tidak bersikap taat terhadap kebijakan tersebut.

Pemikiran Ibnu Qayyim tentang Hubungan Rakyat dan Pemimpin

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w.751 H / 1350 M) adalah seorang faqih, mujtahid dan mujaddid abad ke 8 Hijriyah, murid dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau hidup di masa dunia Islam mengalami kemunduran politik pasca runtuhnya bagdad di tangan Hulagu Khan tahun 656 H/1258 M. Diikuti oleh degradasi sosial akibat konflik politik dan peperangan yang tiada akhir. Kondisi ini berimplikasi kepada tradisi intelektual yang melemah dan munculnya taqlid. Umat telah terkondisikan dalam budaya taqlid yang mewabah. Kajiankajian keilmuan terkadang hanyalah sebatas melegitimasi kajian lama yang tidak berdasarkan standar berpikir kritis dari ideide baru. Ibnu Qayyim muncul menentang arus dan mendobrak kejumudan berfikir, meneruskan gurunya Ibnu Taimiyyah. Beliau hadir dengan pemikiran- pemikiran gemilang ditopang oleh keilmuan yang mumpuni, terutama di Bidang Fiqih dan Ushul Fiqih (Zaelani 2020).

Ibnu Qayyim lahir dengan nama Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa'd bin Harith al-Zar'i al-Dimashqi. Lebih populer dengan sebutan Ibnu Qayyim

(5)

alJawziyyah karena ayahnya adalah pengelola madrasah al-Jauziyyah yang dibangun oleh Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdurahman bin Ali al-Jawzi, yang wafat pada pada tahun 656. Ibnu Qayyim lahir di desa Zar„i bagian dari Hawran 55 mil sebelah tenggara Damaskus pada tanggal 7 Safar tahun 691 H (1292 M). Lalu ia pindah ke Damaskus dan belajar di sana.23 Beliau wafat pada penghujung waktu Isya' malam kamis 23 Rajab 751 H ( 1350 M). Keesokan harinya ia dishalati di masjid Jami' Damaskus (Masjid Umayyah), kemudian dishalati lagi di Masjid Jami al-Jarrah di dekat tempat ia dimakamkan, yakni di Bab al-Saghir, di pinggir kota Damaskus. Pola pemikiran Ibnu Qayyim banyak dibentuk oleh gurunya Ibnu Taimiyyah. Ia selalu bersama sekembalinya Ibnu Taimiyyah dari Mesir tahun 712 H sampai kewafatan gurunya itu tahun 728.

Ibnu Qayyim terkenal sebagai penyebar dan penganjur pikiran-pikiran ibnu Taimiyyah.

Di antara ide-ide yang ia adopsi adalah berpegang teguh kepada al-Qur‟an dan sunnah yang sahih dan memahaminya sebagaimana pemahaman kaum salaf. ideide pembaharuan dan kebebasan berijtihad pun ia terima dan teladan dari gurunya tersebut, termasuk oposisinya terhadap taqlid, khurafat-khurafat tasawwuf dan logika Yunani. Hal inilah yang kemudian mengantarkannya ke bilik penjara menemani gurunya (Muslim 2020).

Ibn Qayyim hidup di masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Dari segi politik kekuasaan pemerintahnya yang seharusnya berada di tangan penguasa secara total beralih kepada penguasa lokal. Khalifah seolah kehilangan

“taring”nya dalam memanage negara, semua diambil alih oleh penguasa daerah atau wilayah baik yang bergelar sultan, raja maupun amir. Wilayah kekuasaanpun semakin dipersempit dan bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari Timur dan oleh Krusades dari Barat.

Sementara dari segi sosial, masyarakat dimana Ibn Qayyim hidup ini sangat

heterogen baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum.

Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa: Arab asal Irak, Arab asal Turki, Mesir, Turki, Tartar dan sebagainya sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, perilaku dan alam pikiran. Dan kesemuanya ini sangat merupakan potensi untuk timbulnya kerawanan-kerawanan kehidupan bernegara dan kelangsungan hidup sosial.

Keserasian sosial dan pemupukan moral dan akhlaq merupakan suatu hal yang sangat sulit diciptakan Pada masa itu kekuasaan politik umat Islam berada pada titik nadir, karena negeri-negeri Islam yang terbagi kepada kerajaan-kerajaan kecil, berada dalam taklukan penjajah. Khalifah pada saat itu hanyalah simbol yang tidak memilki kekuatan politik yang rill. Keadaan ini diperparah dengan diluluh-lantakkannya Bagdad sebagai pusat politik, ilmu pengetahuan dan kebudayaan oleh Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M yang ikut pula meruntuhkan kekuatan politik umat Islam sampai pada tingkatan terendah (Syamsi 2018).

Kehidupan sosial politik yang tidak kondusif ini ternyata berimplikasi juga pada dunia ilmiah. Kesulitan ekonomi dan kekacauan politik yang begitu berat, membuat masyarakat Islam waktu itu meninggalkan dunia keilmuan dan daya pikir kritis. Umat telah terkondisikan dalam budaya taqlid yang demikian mewabah.

Kemerosotan politik itu kemudian menimbulkan niat yang kurang serang sehat di sementara fuqaha sunni. Dengan dalih demi persatuan umat Islam, maka digiringlah pemahaman umat menuju keseragaman pemahaman agama dan kehidupan sosial yang implikasinya menghentikan segala pembaharuan yang substansial dalam berbagai bidang kehidupan beragama.

Kajian-kajian keilmuan terkadang memandang ada, itu hanyalah sebatas melegitimasi kajian lama yang tidak

(6)

berdasarkan standar berpikir kritis dari ide- ide baru.

Di tengah kondisi sosial politik umat Islam seperti itu, Ibn Qayyim muncul sebagai salah satu sosok ulama yang mampu produktif dan berani menghidupkan tradisi kritisnya terbukti karyanya masih berpengaruh hingga saat ini. Di antara pemikiran cemerlangnya adalah teori perubahan fatwa yang tertuang dalam karyanya I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-

‘Alamin, pada sebuah pasal khusus tentang perubahan fatwa karena perbedaan waktu, tempat, keadaan, niat dan tradisi. Kemudian ia menyebutkan bahwa karakteristik syariat adalah kemahlahatan untuk hamba di dunia dan akhirat yang tertera dalam pernyataan al- syariah mabniyyah ‘ala mashalih al-‘ibad (Syariah dibangun atas kemaslahatan hamba) sehingga dapat dipastikan kaidah perubahan fatwa dibangun untuk mewujudkan kemaslahatan itu sendiri (Zaelani 2020).

Berkaitan dengan konsep relasi antara pemimpin dan rakyat Ibnu Qayyim al- Jauziyah mengatakan:

“Dengan perenungan akan didapati bahwa diantara hikmah Allah Ta‟ala adalah Dia menjadikan perilaku para raja, pemimpin dan penguasa adalah sejenis dengan perilaku rakyatnya, bahkan seakan-akan perilaku rakyat tercermin dalam gambaran perilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus maka akan lurus pula penguasa mereka.

Jika rakyat adil maka akan adil pula penguasa mereka. Jika rakyat berbuat lalim maka penguasa mereka akan berbuat lalim pula.”

(Syafi‟i 2017).

Berdasarkan kaidah tersebut sebenarnya pandangan yang lebih tepat adalah bahwa hubungan rakyat-penguasa bersifat timbal balik. Harus dilihat dari semua sisi sekaligus, yakni pemimpin itu cerminan dari mayoritas rakyatnya, mayoritas rakyat cerminan dari pemimpinnya.

Menyimak pandangan Ibnu al-Qayyim di atas, jelas bahwa salah satu tanda rusaknya rakyat adalah saat mereka tidak mau mengkritik dan meluruskan kemungkaran, termasuk kemungkaran penguasanya,

mereka mendiamkannya lalu menyibukkan diri dalam memberi nasihat kepada umat supaya mereka “ridha” menerima kezhaliman. Perilaku seperti inilah yang diancam oleh Rasulullah akan diberi

“hadiah” berupa pemimpin yang zhalim.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah merekomendasikan pentingnya pemerintah berperan sebagai Wilayatul Hisbah sebagai lembaga yang mengemban tugas dan tanggung jawab penuh untuk mengoreksi jika ada tindakan yang menyimpang dan sebagi fungsi kontrol terhadap transaksi yang terjadi di pasar (Fuad 2020).

Larangan Korupsi dan Suap dalam Islam Terdapat dua konsep dalam hadis Nabi saw. yang memiliki kesejajaran secara konseptual dengan korupsi, yaitu ghulûl dan Risywah. Ghulûl secara kebahasaan memiliki beberapa makna. Ada yang memaknai ghulûl sebagai tindakan berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang khususnya; atau sebagai tindakan berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang dan pencurian (terhadapnya); atau tindakan berkhianat dalam segala hal. Ada pula yang memaknainya sebagai tindakan berkhianat, berbuat curang, beramal secara tidak ikhlas semata-mata karena Allah, dan beramal tidak karena menyampaikan nasihat kepada pemimpin dan berpihak kepada (kepentingan) jamaah kaum Muslimin.

Pengertian ghulûl sebagai khianat terhadap amanat dalam segala urusan merupakan makna yang terkandung dalam hadis yang menyebutkan ghulûl sebagai lafal yang muthlaq. Dalam Musnad Ahmad no.

21335 kitâb bâqî musnad al-anshâr bâb wa min hadîts Thawbân disebutkan hadis sebagai berikut: Dari Thawbân dari Nabi saw.

bersabda, “Barangsiapa yang (saat) ruhnya berpisah dari jasadnya terbebas dari tiga hal:

kesombongan, utang, dan ghulûl, masuk surga.”

Pengertian ghulûl secara umum ini sejalan dengan pengertian korupsi secara umum pula. Korupsi secara umum didefinisikan sebagai the abuse of public office for

(7)

private gain, penyalahgunaan kewenangan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Senada dengan itu, ghulûl bermakna perbuatan khianat terhadap segala jenis amanah. Dalam korupsi dan ghulûl ada unsur khianat atau penyalahgunaan;

sementara objeknya adalah amanah atau kepercayaan orang lain atau publik. Dengan demikian, konsep ghulûl merupakan konsep yang maknanya paling dekat dengan konsep korupsi (Tasrif 2014).

Dalam ayat tersebut al-Qur`an memberikan peringatan tegas untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam segala bentuk, khususnya korupsi, dan mengingatkan kepada hisab dan akan dibalasnya dengan sempurna setiap perbuatan, yang terlihat dari ungkapan ayat, “pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan setimpal”. Sebagian ulama menafsirkan ayat ini dalam arti yang dibawa pada hari kiamat itu adalah dosa akibat khianatnya itu (Shihab 2002).

Dalam pandangan Sayyid Qutb, melalui ayat Al-Imran ayat 161, al-Qur`an sebetulnya ingin menunjukkan perhatiannya terhadap masalah korupsi.

Ayat tersebut menegaskan betapa pentingnya pendidikan anti-korupsi ditanamkan kepada kaum muslimin melalui upaya membentuk masyarakat yang bersikap amanah, wara„, menghindari sesuatu yang diragukan kehalalannya, dan merasa jijik terhadap tindak korupsi dalam bentuk apa pun. Upaya al-Qur`an ini, menurutnya, telah terbukti membentuk kehidupan praktis kaum muslim yang bebas korupsi. Qutb menceritakan pernah ada seorang lelakimuslim yang sudah tua mendapatkan rampasan perang yang sangat berharga tanpa ada seorangpun yang melihatnya, namun demikian dia memutuskan untuk menyerahkan harta itu kepada pemimpinnya karena khawatir termasuk ke dalam sasaran nas al-Qur`an di

atas, dia khawatir jika kelak di Akhirat bertemu Rasulullah sementara dia dalam keadaan yang memalukan sebagaimana digambarkan ayat tersebut (Quṭb 2009).

Selanjutnya berkaitan dengan suap dalam islam dikenal secara lughawi atau etimologis al-Risywah atau al-Rasywah (penggunaan kata al-Risywah lebih populer dibandingkan al-Rasywah) berarti al-Ju’i (hadiah, upah, pemberian, atau komisi), atau disebut juga dengan istilah rasywah atau rasya, yang secara bahasa bermakna

“memasang tali, mengambil hati. Dalam Kamus al-Munawwir, risywah diartikan sebagai (uang) suap. Sementara dalam pengertian terminologis, Ibn al-Atsir mendefinisikan term al-Risywah adalah al- Wushlah ila al-Hajah bi alMushana’ah (mengantarkan sesuatu yang diinginkan dengan mempersembahkan sesuatu).

Dengan kata lain, Risywah adalah sesuatu (uang atau benda) yang diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Al-Risywah diambil dari kata al- Risya yang berarti tali yang dapat menghantarkan ke air di sumur. Dua kata tersebut mempunyai arti sejalan, yakni menggunakan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

Dalam Islam, baik yang menerima (murtasyi) dan yang memberi (al-Rasyi) ataupun yang menjadi perantara (raisyi).

Mereka sama-sama mendapat predikat dilaknat Allah SWT. Dengan kata lain, risywah adalah suatu pemberian berupa uang atau benda yang diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan (Umar 2015).

Relasi Pemimpin yang Korupsi dan Rakyat yang Gemar Menerima Suap

Tindak Pidana Korupsi sebagai perilaku extra ordinary crime yang mengancam citacita negara yang memerlukan penanganan hukum secara lebih serius dimana tindakan money politics ini akal berujung pada terjadinya tindak pidana korupsi.

Begitu banyak kasus-kasus korupsi yang terjadi karena pemimpin

(8)

menyalahgunakan jabatan politiknya demi kepentingan pribadi dan bukan untuk kepentingan umum. Para calon pemimpin tersebut berdalih karena sebelum menduduki kursi baik legislatif maupun pemerintahan, mereka sudah menggelontorkan modal besar. Dengan demikian korupsi

“dilegalkan” agar modal yang telah habis digunakan dalam pemilu dapat kembali lagi, istilahnya “kembali modal”. Para pemimpin umumnya hanya dapat mengumbar janji yang kadang tidak relevan untuk dilaksanakan. Tidak heran, pola “gali lubang tutup lubang” menjadi tren di kalangan elite politik yang cendrung menggunakan politik uang. Dampak money politic bagi masyarakat ialah demokrasi dijadikan ajang untuk menambah atau bahkan mencari penghasilan tambahan. Masyarakat tidak mempedulikan nilai-nilai demokrasi, yang terpenting ialah mendapatkan uang atau bentuk penyuapan lainnya. Dampak lainnya ialah mesyarakat merasa “berhutang budi”

kepada calon pemimpin yang telah memberikan uang supaya dapat dipilih.

Dalam hal ini hak asasi seseorang dalam menentukan pilihan dengan penuh kebebasan tidak diperhatikan. Selain itu politik uang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin atau wakil-wakil rakyat. Ketidak percayaan masyarakat terhadap calon pemimpin memberikan efek negatif bagi bangsa, khususnya Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi dengan system perwakilan. Money politic juga mengakibatkan perpecahan antar masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa berhutang budi kepada calon pemimpin yang telah memberikan “sesuatu”, sehingga sikap fanatik akan timbul dan mereka menganggap para calon pemimpin lainnya buruk jika dibandingkan dengan yang didukung oleh

masyarakat tersebut. Konflik antar pendukung masing-masing para calon pemimpin akan terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sangat disayangkan apabila terjadi perpecahan di masyarakat akibat para politisi dengan modus money politic (Sacipto 2019).

Penyebab korupsi politik juga tidak berdiri sendiri. Ada faktor keinginan memperkaya diri sendiri, mendanai partai politik, mendanai aktivitas politik dan kepentingan pemilunya, atau bahkan kolaborasi faktor-faktor tersebut. Faktor yang beragam ini bisa terlihat dari untuk apa atau ke mana uang hasil korupsi mengalir. Dilihat dari aliran dana atau penggunaan uang hasil korupsi, terlihat bahwa tidak semua kasus korupsi politik mempunyai relevansi langsung dengan kepentingan pendanaan dan pemenangan pemilu. Tiga belas kasus korupsi yang telah ditangani oleh KPK ini dapat menjadi rujukan untuk melihat adanya korelasi antara kebutuhan pendanaan pemilu dan korupsi politik (Sjafrina 2019).

KESIMPULAN

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah seorang faqih, mujtahid dan mujaddid abad ke 8 Hijriyah, murid dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan konsep relasi atau hubungan antara rakyat dan penguasa bersifat timbal balik. Harus dilihat dari semua sisi sekaligus, yakni pemimpin itu cerminan dari mayoritas rakyatnya, mayoritas rakyat cerminan dari pemimpinnya. Konteks pemikiran tersebut dalam tulisan ini mencoba melihat maraknya pemimpin di Indonesia yang melakukan korupsi dan budaya politik uang (suap) dikalangan masyarakat yang juga menjadi kebiasaan dalam kontestasi pemilihan umum.

REFERENSI

Argiya, Viola Sinda Putri Mita. 2013. „Mengupas Tuntas Budaya Korupsi Yang Mengakar Serta Pembasmian Mafia Koruptor Menuju Indonesia Bersih‟. Jurnal Hukum Pidana Dan Penanggulangan Kejahatan 2 (2).

(9)

Enayat, Hamid, and Asep Hikmat. 1988. Reaksi Politik Sunni Dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Mengahadapi Abad Ke-20. Penerbit Pustaka.

Fuad, Zakiyyul. 2020. „Kebijakan Harga Pangan Dalam Perspektif Ekonomi Syari‟ah Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah‟. PhD Thesis, IAIN KUDUS.

Juarsa, Eka. 2016. „Kebijakan Adjudikasi Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia‟. Al-Adl: Jurnal Hukum 8 (1).

Mahfudh, Nur Iqbal. 2017. „Hukum Pidana Islam Tentang Korupsi‟. IN RIGHT: Jurnal Agama Dan Hak Azazi Manusia 6 (2).

Muslim, Haris. 2020. „Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (w. 751H/1350 M) Tentang Perubahan Fatwa Dan Relevansinya Dengan Penerapan Hukum Islam Di Indonesia‟.

PhD Thesis, UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG.

Prasetyo, Mujiono Hafidh. 2020. „Kejahatan Politik Uang (Money Politics) Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Terhadap Konstruksi Pemerintahan‟. Administrative Law and Governance Journal 3 (3): 464–80.

Quṭb, Sayyid. 2009. Fī Ẓilāl Al-Qur’ān. Dār al-Shurūq.

Rangkuti, Afifa. 2017. „Konsep Keadilan Dalam Perspektif Islam‟. TAZKIYA: Jurnal Pendidikan Islam 6 (1).

Sacipto, R. 2019. „Kajian Praktik Money Politics Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Sebagai Cikal Bakal Tindak Pidana Korupsi‟. ADIL Indonesia Journal 1 (2).

Seff, Syaugi Mubarak. 2009. „Ketaatan Terhadap Ulu Al-Amr Dalam Tinjauan Hukum Islam‟.

Journal de Jure 1 (2).

Setiadi, Wicipto. 2018. „Korupsi Di Indonesia Penyebab, Hambatan, Solusi Dan Regulasi‟. Jurnal Legislasi Indonesia 15 (3): 249–62.

Shihab, M. Quraish. 2002. „Tafsir Al-Misbah‟. Jakarta: Lentera Hati 2.

Sjafrina, Almas Ghaliya Putri. 2019. „Dampak Politik Uang Terhadap Mahalnya Biaya Pemenangan Pemilu Dan Korupsi Politik‟. Integritas: Jurnal Antikorupsi 5 (1): 43–53.

Syafi‟i, Imam. 2017. „KONSEP MASHLAHAH IBNU QOYYIM Al-JAUZIYYAH‟.

Syamsi, Moh. 2018. „Konsep Pendidikan Agama Islam; Studi Atas Pemikiran Ibnu Qayyim Al- Jawziyyah‟. Attaqwa: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam 14 (2): 15–35.

Tasrif, Muh. 2014. „Bentuk, Argumen Larangan, Dan Upaya Penanggulangan Korupsi Dalam Perspektif Hadis Nabi Saw‟. Dialogia: Islamic Studies and Social Journal 12 (1).

Umar, Mashudi. 2015. „Money Politic Dalam Pemilu Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Keputusan Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama)‟. AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman 2 (1).

Usman, Usman. 2017. „Kekuasaan Dalam Tradisi Pemikiran Politik Islam (Refleksi Atas Pemikiran Politik Islam)‟. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan 6 (2): 345–

57.

Yuningsih, Neneng Yani. 2007. „Pola Interaksi (Hubungan) Antara Agama, Politik Dan Negara (Pemerintahan) Dalam Kajian Pemikiran Politik (Islam)‟. Jurnal Ilmu Pemerintah Fisip UNPAD, 1–18.

Zaelani, Haris Muslim. 2020. „PEMIKIRAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH (W 751 H/1350 M) TENTANG PERUBAHAN FATWA DAN RELEVANSINYA DENGAN PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA‟. Al-Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial 8 (02): 287–314.

Zen, Hepi Riza. 2015. „Politik Uang Dalam Pandangan Hukum Positif Dan Syariah‟. Al-’Adalah 12 (1): 525–40.

Zuhdi, Muhammad Harfin. 2014. „Konsep Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam‟.

AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam 19 (1): 35–57.

Referensi

Dokumen terkait