Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbang khazanah ilmu-ilmu sosial mengenai hubungan kiai dengan pejabat pemerintah (penguasa). Hasil survei ini menunjukkan bahwa hubungan Kiai dengan pejabat pemerintah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ada beberapa dalil yang saya kemukakan dalam penelitian ini, antara lain: Pertama, pola hubungan kiai dengan PNS.
KERANGKA ANALISIS DATA PENELITIAN
Sesuai dengan teori fenomenologi, peneliti tidak datang ke tempat dengan membawa teori atau konsep, peneliti hanya membekali diri dengan pedoman wawancara dan membiarkan wawancara berjalan apa adanya, dengan harapan akan menghasilkan temuan-temuan baru dari para kiai dan pejabat yang menjadi narasumber. objek penelitian. Kemudian peneliti dengan menggunakan teori fenomenologi mencoba menyusun pernyataan-pernyataan sebagai teori fenomenologis yang dibangun dari hubungan kiai dan pejabat di wilayah Kediri.
WACANA TENTANG POSISI KIAI DAN BIROKRASI DALAM DINAMIKA RELASI KUASA DAN
Biasanya suatu masyarakat menyebut seseorang sebagai kiai, karena kapasitas dan peran yang dimilikinya, yaitu seseorang yang mempunyai kapasitas ilmu agama di atas rata-rata dan mempunyai peran untuk mengajarkan ilmunya di tengah-tengah.
MASYARAKAT
نولماعلا berbeda karena yang pertama adalah bentuk jamak taksir dari kata al alim ملياعلا sedangkan yang kedua adalah bentuk jamak muzakar salim dari kata al alim ملياعلا. Penggunaan kata ulama dalam Al-Qur’an selalu diawali dengan ajakan untuk mempertimbangkan keadaan alam, sedangkan kata al alimun menganggap peristiwa yang telah terjadi sebagai bahan evaluasi.
ءايبنلأا ةثرو ءاملعلا
Prinsip asas kedua-dua pandangan ini masih merujuk kepada nas-nas al-Quran, tetapi perbezaan pandangan ini dikompromi supaya ia dapat melengkapi antara satu sama lain. Menurut Quraish Shihab, ciri-ciri ulama yang dimaksudkan dalam teks al-Quran ialah mereka yang memperhatikan dan memahami kitab Allah yang tersebar di alam ini. Mereka adalah orang yang mengetahui tentang ilmu alam dan rahsianya, dan juga orang yang mengetahui tentang kehidupan (Al Zuhaili, Wahbah, 1998: XXII, 261).
Menurut ketua pertama MUI ini, ulama adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan terbatas tentang hukum-hukum agama, dan bukan orang-orang yang hanya mempelajari kitab-kitab fiqh, juga tidak berpenampilan jubah besar dan sorban. Mereka berpura-pura serius di hadapan banyak orang dan bersikap seperti orang yang wara'. Perilaku ini muncul karena mereka sangat mengharapkan hadiah, namun sebenarnya kelompok ini tidak khawatir dengan pemahaman agama orang kaya yang salah.
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada manusia (QS. An Nakhl: 44). Ketiga, dengan menentukan perkara atau masalah yang dihadapi masyarakat, pemahaman ini berlandaskan al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 213;.
لاِب َباَتِك ْ
Kiai sebagai tokoh agama diposisikan sebagai tokoh yang mempunyai kewenangan menentukan sah atau tidaknya perbuatan seseorang atau masyarakat menurut agama. Kedudukan kiai sebagai “panotogomo” atau pengurus agama menjadikan beliau sangat disegani, disegani, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat sekitar. Kebudayaan pesantren merupakan representasi dari hubungan ayah-anak, kiai sebagai pengayom santri dan masyarakat sekitar pesantren.
Peran kiai sebagai mursyid mula-mula dimulai ketika pelajar Indonesia yang mempelajari bahasa Arab mulai tertarik mendalami tarekat pada abad ke-18 di bawah bimbingan tokoh sufi kharismatik, Muhammad Abd al Karim al-Saman di Madinah. Kiai sebagai sosok yang dinilai mampu menyumbang suara cukup signifikan terhadap calon kepala daerah akan menjadi bahan rebutan para calon. Dalam masyarakat dimana kiai masih menjadi patron, maka pengaruh kepemimpinan kiai bahkan lebih besar dibandingkan dengan pemimpin formal, sehingga pendapat kiai lebih didengar dibandingkan lurah, camat, bupati, gubernur bahkan Presiden.
Faktor inilah yang mendorong para calon atau calon walikota/bupati, gubernur, bahkan presiden saling bersaing untuk menjadikan kiai sebagai pendukung utamanya. Tempat tinggal umat Islam pada umumnya mempunyai pengaruh hingga mereka keluar, sehingga kedudukan kiai sebagai elite tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar.
لا
Oleh karena itu, dalam kerangka kajian ini, interaksi simbolik akan menjelaskan hakikat dinamika hubungan antara kiai dan pejabat yang terdiri dari aksi dan reaksi yang sangat banyak. Meski dalam beberapa hal penelitian ini telah mengungkap naik turunnya hubungan antara kiai dan pemerintah, namun penelitian ini belum sampai pada klasifikasi kiai. Penelitian Turmudzi yang menggambarkan hubungan antara kiai dan pejabat akan dianggap sepanjang memiliki kaitan dengan stratifikasi kiai.
Meskipun penelitian ini telah mengungkap naik turunnya hubungan antara kiai dan pemerintah dalam beberapa hal, namun belum sampai pada titik di mana kiai diklasifikasi dari sudut pandang resmi. Penelitian Dirjosanjoto yang menggambarkan respon kiai dan perubahan sosial politik akan dipertimbangkan sepanjang ada kaitan antara tindakan kiai dan pejabat. Kajian ini belum memfokuskan analisisnya pada hubungan kiai dengan pejabat pemerintah, sehingga terjadi stratifikasi kiai dari sudut pandang pejabat.
Penelitian Patton akan dipertimbangkan sepanjang ada kaitan naik turunnya interaksi antara Kia dan pejabat pemerintah. Penelitian ini fokus pada hubungan kiai dengan politik yang terjadi di Kecamatan Tebon Malang.
RELASI KIAI DAN PEJABAT DI KOTA KEDIRI
Dari segi kehidupan sosial, komposisi masyarakat kota Kediri sebagian besar terdiri dari suku Jawa, kemudian sebagian kecil Tionghoa, Arab, Sunda, dan Batak. Bersifat paternalistik, secara umum masyarakat kota Kediri dapat dikatakan Mituhu yang artinya dalam kehidupan sosial masyarakatnya masih sangat bergantung pada pemimpin yang menjadi teladan bagi mereka dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. dan masalah sehari-hari untuk mengambil keputusan. kehidupan. Dilihat dari komposisi penduduknya, masyarakat Kota Kediri pada umumnya terdiri atas suku Jawa yang bercirikan Mataraman, dan sebagian lagi.
Bahkan jika dilihat dari pola hidup masyarakatnya, Kota Kediri dapat dikatakan merupakan masyarakat yang serba beragama, hal ini setidaknya ditandai dengan banyaknya lembaga keagamaan dan rumah ibadah yang tersebar di setiap sudut kota ini. kota. Dan di forum inilah pula para tokoh agama dan keyakinan yang berbeda mengadakan pertemuan rutin dengan pejabat Pemkot Kediri dengan mengambil tempat bergantian mulai dari Balai Kota, Masjid, Perumahan Islam, Gereja, Murni, Kampus dan tempat-tempat lain yang melambangkan agama atau pemerintah. Hal ini terlihat dari maraknya perayaan keagamaan di kota ini, selain tersebarnya pesantren di berbagai penjuru Kota Kediri juga turut berkontribusi dalam terbentuknya religiusitas masyarakat.
Peneliti melakukan observasi, wawancara, bahkan sering terlibat dalam kegiatan sejumlah kiai yang menjalin hubungan dengan birokrat pemerintah kota Kediri. Pada tahun 1982, ia dipercaya oleh anggota NU Kediri untuk memimpin organisasi tersebut selama dua periode dengan jabatan Ketua Tanfidziyah, dan pada tahun 1992 menjabat sebagai Rois Syuriah NU Cabang Kota Kediri.
امهو لاأ سالنا دسف ادسف اذاو سالنا حلص احلص اذا تىمأ نم نافنص .ءارملأاو ءاملعلا
Saya menjalinkan hubungan baik dengan pegawai kerajaan berdasarkan satu peraturan yang saya petik dari situ ada satu peraturan yang saya petik dari kitab Ali Ibn Nayif yang berbunyi;.
مهكلم نيد على سالنا
Anwar Iskandar mengawali karir di kalangan pejabat Kota Kediri saat terpilih menjadi pengurus kelurahan NU Kota Kediri pada awal tahun 1990an. Pada tanggal 5 Januari 2005, Walikota beserta rombongan berkunjung ke rumah saya di kompleks Pondok Pesantren Al Amien Ngasinan Rejomulyo, Kota Kediri. Tahun berikutnya dibuka SMK kecil di Pondok Pesantren Al Amien sebagai kelas di luar SMK Negeri di Kota Kediri.
Dalam nota kerjasama antara Pondok Pesantren Al Amien, Kepala SMK Negeri 1 Kediri dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Kediri sepakat untuk melakukan transplantasi SMK Al Amien dengan SMK Negeri, hasil tiga tahun berturut-turut. Komunikasi yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan adanya simbiosis timbal balik antara aparat pemerintah kota Kediri dengan kiai kota tersebut. Di bidang organisasi, KH Abu Bakar mengawali karirnya dengan menjabat sebagai Katib (Sekretaris) Majelis Cabang NU Kabupaten Mojoroto, kemudian naik jabatan di NU hingga Wakil Ketua NU Cabang Kota Kediri.
Komunikasi antara kiai Abu Bakar dengan pejabat pemerintah kota Kediri tidak hanya dilakukan dalam forum-forum resmi saja, namun silaturahmi jauh lebih intens secara informal, para birokrat juga sering berkunjung ke rumah kiai untuk membicarakan permasalahan yang ada. Selain itu, beliau juga menjabat sebagai Ketua BUI Kota Kediri, setelah sebelumnya menjabat Wakil Ketua MUI.
أرملاا نوتأي نبلذا أملعلا شر و ءاملعلا نوتأي نبلذا أرملاا يرخ
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa Kiai Kafabihi berpendapat bahwa menjalin hubungan dengan pejabat juga merupakan bagian yang harus diatur sedemikian rupa untuk kepentingan dakwah yang lebih luas. Dalam penuturan di atas, Kiai Kafabihi lebih memilih bagaimana melakukan hubungan dengan pejabat atas dasar kapasitasnya sebagai pemimpin suatu organisasi, dan bukan atas dasar individu, hal ini untuk mencegah tercampurnya kepentingan dan kepentingan pribadinya. masyarakat. Aksi Wildan dan jajarannya mulai dilakukan saat dirinya menjadi pengurus NU Cabang Kecamatan Kota, diawali dari silaturahmi Camat Kota Kediri, kemudian sering dilibatkan dalam kajian dan diskusi permasalahan sosial yang berkembang di kecamatan tersebut. wilayah kabupaten, hingga ia diminta memberikan ceramah pada Perayaan Hari Besar Islam di Kantor Kecamatan.
Wildan menjalin hubungan dengan Camat, dan pada saat lain, ia menjalin hubungan dengan pejabat pemerintah tingkat kota. Wildan dalam kepengurusan organisasi NU melihat jelas hal ini menimbulkan rotasi dalam hubungan dengan pejabat pemerintah. Artinya, surat keputusan (SK) menjadi pengurus NU pada tingkat tertentu (Cabang/Desa, MWC/Lurah, Dinas/Kota) dapat menjamin bahwa seorang kiai mempunyai peluang untuk membina hubungan dengan pejabat pemerintah yang setara. sudah sesuai dengan level yang dibutuhkan oleh jabatan di kepengurusan NU. Namun, hubungan antara kiai dan pejabat pemerintah tidak selalu berjalan mulus. Contoh nyata hubungan sosial yang terjadi antara KH Wildan dan pejabat pemerintah jelang pemilu parlemen adalah pernah terjadi ketegangan.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa hubungan kiai dengan pejabat pemerintah di kota Kediri pernah menimbulkan ketegangan karena adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah, pejabat pemerintah ingin merebut suara Golkar pada pemilu di daerah tertentu, sedangkan masyarakat masih kental dengan politik PPP. Wildan dalam menjalin hubungan dengan pejabat pemerintah dalam konteks amar ma'ruf nahi munkar.
أرملاا تىأي نم أملعلا شر و ءاملعلا تىأي نم أرملاا يرخ
Pernyataan kedua pejabat di atas menunjukkan, saat kamera dibuat, keduanya menjalin hubungan dengan Kiai yang punya pengaruh di tingkat kecamatan. Dalam masyarakat yang paternalistik seperti Kediri, tidak dapat dipungkiri bahwa birokrat akan menjalin relasi dengan kiai. Peserta yang datang mempunyai hubungan emosional dengan beberapa ulama daerah, Camat dan MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Daerah yang terdiri dari Kapolsek dan Pangdam di tingkat Kabupaten).
Hubungan antara pejabat dan kiai juga dipengaruhi oleh kedudukan seseorang dalam struktur pemerintahan. Jabatan yang tidak berkaitan langsung dengan wilayah tertentu membuat intensitas hubungan dengan kiai menjadi kurang intens. Hubungan antara pejabat dan kyai dipengaruhi oleh kedudukan seseorang dalam suatu struktur pemerintahan yang mempunyai wilayah dan bidang.
Karena jabatannya yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan wilayah dan wilayah serta wilayah tertentu, maka intensitas hubungan antara pejabat dan kiai tidak lagi intens. Ketika saya tidak lagi menjadi camat, hubungan saya dengan kiai tidak seperti dulu, karena sekarang kami sudah tidak mempunyai pekerjaan lagi. Ketika hubungan antara kjai dan pejabat terbangun maka berlaku pula sistem nilai kesetaraan, sehingga penelitian menunjukkan bahwa camat akan mempunyai hubungan dengan kjai yang setingkat dengannya, seperti dengan seorang camat. dari dinas atau walikota, dalam hubungannya dengan kyai juga menggunakan ukuran kesetaraan yang ada.
Seorang kepala daerah menemukan hubungan yang membangun kiai, dan begitu pula walikota, yang akan membangun hubungan dengan kiai yang dianggap setara dengannya di mata walikota.