• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Relationship Between Dust Exposure (Total Suspended Particulate), Working Period, and Smoking Habit With Symptoms of Acute Respiratory Infection (ARI) Among Sand Miner Workers In Sungai Kunjang Samarinda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "The Relationship Between Dust Exposure (Total Suspended Particulate), Working Period, and Smoking Habit With Symptoms of Acute Respiratory Infection (ARI) Among Sand Miner Workers In Sungai Kunjang Samarinda"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

The Relationship Between Dust Exposure (Total Suspended Particulate), Working Period, and Smoking Habit With Symptoms of Acute Respiratory Infection (ARI)

Among Sand Miner Workers In Sungai Kunjang Samarinda

Fajar Wahyu Pratama1)

1Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman Email: [email protected]

ABSTRACT

Workers are a group at risk of health problems caused by work processes, worker behavior, and the workplace environment that can cause occupational diseases. The mortality rate of ARI disease is very high in infants, children, and the elderly, especially in countries with low per capita income.

ARI disease is endemic and one of the public health problems. This study aims to determine the relationship between exposure to dust (Total Suspended Particulate) during the work period and smoking habits with ARI symptoms in sand miner workers in Sungai Kunjang Samarinda. This type of research is an analytic survey with a Cross-sectional approach. The population of this study were 50 workers. The sample was 50 sand transport workers who were taken by the Total sampling method. Data collection using questionnaires and Hight Volume Air Sampler tools. Data analysis using the Spearman Rank test which has a 95% confidence level (α = 0.05). The results showed that there were 25 respondents (50%) experiencing symptoms of ARI and 25 respondents (50%) not experiencing symptoms of ARI. The results of dust measurements (Total Suspended Particulate) carried out at point 1 and point 2 of the results show below the quality standard < 230 µg/m3. Statistical test results showed that there was a relationship between working period (p- value=0.000) and smoking habits (p-value=0.009) with ARI symptoms among sand miner workers in Sungai Kunjang Samarinda. In this study, the suggestions put forward are spraying water around the work environment, workers should arrange adequate rest periods, using PPE (masks), reducing smoking by replacing it with candy, applying clean and healthy living behavior to minimize disease transmission, especially ARI, and check themselves to the nearest health service if symptoms and complaints occur.

Keywords : Dust Exposure (Total Suspended Particulate), Working Period, Smoking Habit, and Symptoms of ARI

(2)

Hubungan Paparan Debu (Total Suspended Particulate), Masa Kerja Dan Kebiasaan Merokok Dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pekerja

Penambang Pasir Di Sungai Kunjang Samarinda

Fajar Wahyu Pratama1)

1Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman Email: [email protected]

ABSTRAK

Pekerja merupakan kelompok beresiko mengalami masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses kerja, perilaku pekerja dan lingkungan tempat kerja. Tingkat mortalitas penyakit ISPA sangat tinggi pada balita, anak-anak, dan orang lanjut usia terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah. Penyakit ISPA bersifat endemik dan salah satu masalah kesehatan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan paparan debu (Total Suspended Particulate), masa kerja dan kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di Sungai Kunjang Samarinda. Jenis penelitian ini survei analitik dengan pendekatan Cross-sectional.

Populasi penelitian 50 pekerja. Sampel sebanyak 50 pekerja pengangkut pasir yang diambil dengan metode Total sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner dan alat Hight Volume Air Sampler. Analisis data menggunakan uji Rank Spearman. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat 25 responden (50%) ada mengalami gejala ISPA dan 25 responden (50%) tidak ada mengalami gejala ISPA. Hasil pengukuran debu (Total Suspended Particulate) yang dilakukan pada titik 1 dan titik 2 dari hasil menunjukkan dibawah baku mutu < 230 µg/m3. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja (p-value=0,000) dan kebiasaan merokok (p-value=0,009) dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di Sungai Kunjang Samarinda. Dalam penelitian ini saran yang diajukan melakukan peyemprotan air disekitar lingkungan kerja, pekerja sebaiknya mengatur waktu istirahat yang cukup, menggunakan APD (masker), mengurangi mengisap rokok menggantinya dengan permen, menerapkan PHBS guna meminimalisir penularan penyakit khususnya ISPA, dan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan terdekat jika terjadi gejala dan keluhan sakit.

Kata Kunci : Paparan Debu (Total Suspended Particulate), Masa Kerja, Kebiasaan Merokok dan Gejala ISPA

1. PENDAHULUAN

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit saluran pernapasan atas ataupun bawah yang dapat menular dan menimbulkan berbagai spectrum penyakit yang biasanya dari penyakit tanpa gejala hingga parah dan mematikan, hal ini tergantung pada penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor pejamu (Najmah, 2016).

Menurut WHO, kasus ISPA di seluruh dunia sebanyak 18,8 miliar dan kematian sebanyak 4 juta orang per tahun. Tingkat mortalitas penyakit ISPA sangat tinggi pada balita, anak-anak, dan orang lanjut usia terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapital rendah dan menengah.

Kasus ISPA di Indonesia pada tahun 2015 menempati urutan pertama sebanyak 25.000 jiwa se-Asia Tenggara pada tahun 2015 (Zulfikar, 2021).

Berdasarkan Laporan Nasional Riskedas Tahun 2018, salah satu negara berkembang dengan angka kejadian ISPA yang tinggi adalah Indonesia. Di Indonesia, kejadian ISPA mencapai 1.017.290 kasus sebesar (9,3%) (Kemenkes RI, 2019).

Penyakit infeksi saluran pernapasan akut bersifat endemik dan salah satu masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan data profil kesehatan indonesia infeksi saluran pernapasan akut merupakan salah satu masalah kesehatan dan berada pada daftar 10 penyakit terbanyak. Kejadian ISPA di

(3)

Indonesia selalu menempati urutan pertama penyebab kematian bayi dan menempati urutan kedua penyebab kematian pada anak- anak, remaja dan lansia.

Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang melaporkan adanya kasus ISPA di wilayahnya. Berdasarkan data profil Kesehatan Indonesia tahun 2020 prevalensi penyakit ISPA di Kalimantan Timur sebanyak 2.167 kasus sebesar (20,5%) yang dilaporkan dengan 4 diantaranya meninggal dunia karena ISPA dengan Case Fatality Rate sebesar (0,18%) (Kemenkes RI, 2021). Dibandingkan data profil Kesehatan Indonesia tahun 2021 dengan kejadian sebanyak 1.519 kasus ISPA sebesar (13,50%) yang dilaporkan dengan 2 diantaranya meninggal dunia karena ISPA dengan Case Fatality Rate sebesar (0,38%), maka dari itu terjadi penurunan untuk jumlah kasus kematian pada tahun 2021 (Kemenkes RI, 2022).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur tahun 2021 mencapai 1.492 kasus (Dinkes Provinsi Kalimantan Timur, 2021). Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda tahun 2021 diketahui angka ISPA sebanyak 165 kasus. Dari 26 wilayah kerja Puskesmas Kota Samarinda, Puskesmas Karang Asam merupakan salah satu puskesmas dengan angka jumlah penyakit ISPA tertinggi yaitu 25 kasus (Dinkes Kabupaten Kota Samarinda, 2021).

Pekerja mempunyai resiko mengalami masalah kesehatan yang diakibatkan oleh proses kerja, perilaku pekerja dan lingkungan kerja. Pekerja tidak hanya beresiko menderita penyakit menular dan tidak menular, namun pekerja juga dapat menderita penyakit akibat kerja. Pekerja merupakan kelompok beresiko terhadap masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses pada saat kerja, lingkungan kerja, dan perilaku pekerja sehingga berpotensi mengalami penyakit akibat kerja (Permenkes RI, 2016).

Partikel debu yang terhirup oleh pekerja dapat menyebabkan gangguan pernapasan akut, salah satu nya adalah produksi industri yang dapat mencemari

udara seperti, debu batu-bara, semen, kapas, asbes, bahan kimia, gas beracun, debu pada penggilingan padi (debu organik) dan lain-lain. Berbagai faktor berpengaruh terjadinya penyakit atau gangguan pernapasan yang disebabkan oleh debu. Faktor debu meliputi partikel, bentuk, konsentrasi, kelarutan dan sifat kimia dan durasi paparan. Faktor individu termasuk mekanisme pertahanan paru, anatomi saluran pernapasan dan fisiologi (Cahyana, 2012).

Debu yang terhirup oleh pekerja dapat menyebabkan fungsi paru-paru tidak normal sehingga mempengaruhi produktivitas dan kualitas kerja. Debu campuran yang terhirup oleh pekerja adalah hasil dari proses kerja atau faktor lingkungan. Dalam kondisi tertentu debu, debu merupakan bahaya yang dapat menyebabkan mengurangi kenyamanan bekerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi paru-paru bahkan keracunan (Depkes RI, 2003).

Masa kerja memiliki resiko lebih tinggi mengalami gejala ISPA selama jam kerja yang lebih tinggi pada pekerja batu bata. Pekerja dapat bersentuhan dengan polusi di lingkungan kerja sejak pertama kali bekerja yang dalam hal ini terdapat faktor resiko polusi asap, debu dan kimia sehingga masa kerja berhubungan dengan paparan udara kontaminasi saluran pernapasan (Putra, 2017).

Rokok adalah benda beracun yang memberi efek santai dan sugesti merasa lebih jantan. Rokok mengandung kurang lebih 4000 jenis bahan kimia, dimana 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh. Merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan karena asap hasil merokok tersebut beserta zat-zat berbahaya lainnya masuk kedalam tubuh melalui saluran pernapasan kemudian diserap dan disimpan dalam alveolus. Semakin sering

(4)

mengonsumsi rokok, maka semakin berisiko mengalami gangguan pernapasan (Jaya, 2009).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah saya lakukan pada tanggal 17 November 2022 diketahui setelah melakukan wawancara dengan 10 orang pekerja ada yang mengalami keluhan seperti batuk, pilek, nyeri dada, sesak napas, dan juga demam serta para pekerja juga memiliki kebiasaan merokok dan rata-rata para pekerja bekerja ada yang lebih dari 5 tahun. Keluhan-keluhan pernapasan tersebut dapat menyebabkan terjadinya ISPA dan dapat menurunkan produktifitas dalam bekerja. Melalui observasi atau pengamatan secara langsung di tempat pengangkutan pasir yang sebagai lokasi penelitian terutama pada saat keluar masuknya kendaraan truk yang lalu lalang dari area bongkar muat pasir, sering ada kemacetan panjang karena keluar masuknya kendaraan. Sehingga proses terpapar debu ditempat kerja dapat membuat pekerja beresiko mengalami ISPA.

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di industri penambang pasir di sungai kunjang yang berkaitan dengan Paparan debu (Total Suspended Particulate), Masa kerja dan Kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di Sungai Kunjang Samarinda

.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini kuantitatif dengan metode survei analitik menggunakan pendekatan Cross-sectional. Dalam penelitian variabel bebas paparan debu TSP dan variabel terikal gejala ISPA yang dilakukan pengukuran pada waktu yang sama. Waktu penelitian dilakukan bulan maret-april 2023 dan tempat berada di jalan untung suropati RT.25 kelurahan karang asam ulu kecamatan sungai kunjang.

Populasi adalah seluruh pekerja pengangkut pasir dan sampel 50 orang pekerja pengangkut pasir.

Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran debu TSP dan wawancara dengan responden yang bekerja di kawasan industri penambangan pasir. Pengukuran

debu TSP dilakukan sebanyak 2 titik di persimpangan lalu lalang kendaraan bongkar muat pasit dan area bongkar muat pasir di daerah kawasan tersebut. Sampel debu diambil dengan menggunakan alat High Volume Air Sampler (HVAS) yang dilakukan selama 1 jam pada pagi hari dan siang hari.

Kadar debu udara ambien ditimbulkan karena aktifitas lalu lalang kendaraan dan aktifitas bongkar muat pasir oleh pekerja. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner.

Analisis data menggunakan uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran data norrmal atau tidak. Bila sebaran data tidak normal maka digunakan uji korelasi Rank Spearman. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 1. dapat diketahui bahwa dari 50 responden, kelompok umur terbanyak pada umur 27-32 sebanyak 13 orang (26%) dan kelompok umur terendah 52-57 sebanyak 2 orang (4%).

Umur Frekuensi (n)

Persentase (%)

21-26 tahun 5 10

27-32 tahun 13 26

33-38 tahun 11 22

39-44 tahun 12 24

45-51 tahun 7 14

52-57 tahun 2 4

Total 50 100

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 2. dapat diketahui bahwa jumlah responden mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebanyak 50 orang (100%).

Jenis Kelamin Frekuensi (n)

Persentase (%)

Laki-Laki 50 100

Perempuan 0 0

Total 50 100

(5)

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 3. dapat diketahui bahwa dari 50 responden, pendidikan terbanyak berada pada kelompok SMA sebanyak 23 orang (46%) dan pendidikan terendah pada kelompok SD sebanyak 10 orang (20%).

Pendidikan Terakhir

Frekuensi (n)

Persentase (%)

Tidak TS 0 0

SD 10 20

SMP 17 34

SMA 23 46

Total 50 100

Tabel 4. Hasil Uji Laboratorium Pengukuran Debu TSP No Titik Sampling

Hasil Metode Canter

Kadar Maksimum 1

Persimpangan Lalu Lalang Kendaraan

24,48 230 µg/m3

2 Area Bongkar

Muat Pasir 19,92 230 µg/m3 Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 4. diketahui hasil uji laboratorium diatas terlihat bahwa hasil pengukuran uji Paparan Debu TSP di lokasi penelitian pada pekerja penambang pasir di titik 1 persimpangan lalu lalang kendaraan bongkar muat pasir dengan hasil pengukuran 24,48 ug/m3 dan sedangkan titik 2 area bongkar muat pasir dengan hasil pengukuran 19,92 ug/m3. Dengan baku mutu udara ambien sebesar 230 ug/m3.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Masa Kerja Masa Kerja Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Baru 21 42

Lama 29 58

Total 50 100

Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 5. dapat diketahui bahwa dari 50 responden yang memiliki masa kerja lama sebanyak 29 orang (58%) dan yang memiliki masa kerja baru sebanyak 21 orang (42%).

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kebiasan Merokok

Kebiasaan Merokok

Frekuensi (n)

Persentase (%)

Merokok 41 82

Tidak Merokok 9 18

Total 50 100

Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 6. dapat diketahui bahwa mayoritas responden yang merokok sebanyak 41 orang (82%) dan yang tidak merokok hanya 9 orang (18%).

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Gejala ISPA Gejala ISPA Frekuensi

(n)

Persentase (%)

Ada Gejala 25 50

Tidak Ada Gejala 25 50

Total 50 100

Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 7. dapat diketahui bahwa dari 50 orang terdapat responden yang ada mengalami gejala ISPA sebanyak 25 orang (50%) dan yang tidak ada mengalami gejala ISPA sebanyak 25 orang (50%).

Analisis Bivariat

Tabel 8. Hubungan Masa Kerja Dengan Gejala ISPA Pada Pekerja Penambang

Pasir Di Sungai Kunjang Samarinda Masa

Kerja

Gejala ISPA Ada

Gejala

Tidak Ada Gejala

Total Sig*

n % n % N %

0,000 Baru 2 4 19 38 21 42

Lama 23 46 6 12 29 58 Total 25 50 25 50 50 100 Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 8. dapat diketahui bahwa dari 21 responden dengan masa kerja baru, ada sebanyak 2 orang (4%) yang mengalami gejala ISPA dan 19 orang (38%) tidak mengalami gejala ISPA. Sedangkan dari 29 responden dengan masa kerja lama,

(6)

ada 23 orang (46%) yang mengalami gejala ISPA dan 6 orang (12%) tidak mengalami gejala ISPA.

Berdasarkan hasil analisis uji statistik menggunakan uji rank spearman antara variabel bebas yaitu masa kerja dengan variabel terikat yaitu gejala ISPA yang sudah dilakukan menunjukkan nilai p-value = 0,000 (p < 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di sungai kunjang samarinda.

Tabel 9. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Gejala ISPA Pada Pekerja Penambang Pasir Di Sungai Kunjang

Samarinda

Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 9. dapat diketahui bahwa dari 41 responden mayoritas dengan kebiasaan merokok, ada sebanyak 17 orang (34%) yang mengalami gejala ISPA dan 24 orang ( 48%) tidak mengalami gejala ISPA.

Sedangkan dari 9 responden dengan kebiasaan tidak merokok, ada 8 orang (16%) yang mengalami gejala ISPA dan 1 orang (2%) tidak mengalami gejala ISPA.

Berdasarkan hasil analisis uji statistik menggunakan uji rank spearman antara variabel bebas yaitu kebiasaan merokok dengan variabel terikat yaitu gejala ISPA yang sudah dilakukan menunjukkan nilai p- value = 0,009 (p < 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di sungai kunjang samarinda.

Kebiasaan Merokok

Gejala ISPA Ada

Gejala

Tidak

Ada Gejala Total Sig*

n % n % N %

0,009 Merokok 17 34 24 48 41 82

Tidak

Merokok 8 16 1 2 9 18 Total 25 50 25 50 50 100

PEMBAHASAN

Hubungan Paparan Debu (Total Suspended Particulate) Dengan Gejala ISPA Pada Pekerja Penambang Pasir Di Sungai Kunjang Samarinda

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik di dalam maupun di luar gedung debu sering dijadikan sebagai indikator pencemaran. Digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya terhadap lingkungan dan keselamatan kesehatan kerja (Pudjiastuti, 2002).

Debu adalah partikel zat kimia padat yang tercipta akibat adanya kekuatan alam atau mekanik seperti pengolahan, penghancuran, penghalusan, pengepakan secara cepat, peledakan dan sejenisnya atas zat organik atau anorganik seperti batu bara, kayu, bijih logam, kapur dan batu. Sifat debu adalah tidak berflokulasi (tidak menggumpal) jika ada tarikan elektris, tidak menyebar dan dapat mengendap akibat adanya pengaruh gravitasi bumi (Suma’mur, 2009)

.

Baku mutu udara ambien diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebesar 230 µg/m3. Pengukuran debu (Total Suspended Particulate) di tempat pekerja pengangkut pasir di sungai kunjang samarinda menggunakan alat Hight Volume Air Sampler (HVAS). Adapun hasil pengukuran debu yang telah dilakukan di tempat pekerja pengangkut pasir tersebut yaitu titik 1 persimpangan lalu lalang kendaraan bongkar muat pasir yaitu 24,48 µg/m3 dan titik 2 area bongkar muat pasir yaitu 19,92 µg/m3.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan hasil pengukuran debu TSP yang didapatkan dari lingkungan pekerja pengangkut pasir di sungai kunjang samarinda menunjukkan bahwa konsentrasi masih berada dibawah baku mutu < 230 µg/m3 (PP RI, 2021).

Kualitas debu TSP yang berada dibawah baku mutu berdampak pada kesehatan masyarakat ketika menghirup udara yang tercemar debu. Jika terhirup terus menerus, debu tersebut dapat menyebabkan pneumokoniosis, yaitu penyakit akibat debu

(7)

menumpuk di paru-paru dengan gejala pernapasan seperti batuk, sesak nafas, kelelahan umum, penurunan berat badan, berdahak, bersin dan gejala rasa tidak nyaman pada hidung (Azmi, 2015).

Debu yang terhirup dapat menyebabkan kelainan pada fungsi paru dan kapasitas paru- paru. Debu dapat merusak jaringan paru-paru dan mempersempit saluran pernpasan. Akibat yang ditimbulkan kemudian mulai dari bersin, batuk, hingga penumpukan debu disaluran pernpasan. Dampak debu terhadap kesehatan sangat ditentukan oleh ukuran partikel dan bahan kimia yang dikandungnya.

Semakin kecil diameternya, maka semakin dalam debu masuk ke dalam saluran napas bawah alveoli (Abidin, 2019).

Dalam jumlah tertentu yang relatif kecil, parameter TSP tidak menimbulkan efek negatif. Namun, jika keberadaannya di udara ambien melebihi standar kualitas, hal ini akan menimbulkan dampak negatif yang serius, bervariasi, dan merusak, baik secara ekonomi maupun ekologi. Penyakit yang diakibatkannya antara lain asma, sedangkan kerusakan yang terbukti mencakup berkurangnya jarak pandang dan terganggunya ekosistem (Azmi, 2015).

Penurunan fungsi paru akibat berkurangnya kapasitas paru pada pekerja sangat bergantung pada durasi paparan dan jumlah debu yang terhirup. Hal ini bergantung pada tiga hal, yaitu konsentrasi debu di udara, besarnya konsentrasi di udara dengan lama paparan/dosis kumulatif, dan waktu tinggal (retensi) debu di paru-paru.

Berdasarkan observasi peneliti, pekerja pengangkut pasir sebagian besar tidak menggunakan APD seperti masker alasan mereka dikarekan susah atau ribet ketika menggunakan masker pada saat bekerja membuat sulit bernapas dan aktifitas dalam bekerja menjadi terganggu. Sehingga paparan debu dapat mengganggu saluran pernapasan seperti debu arus kendaraan yang melintas padahal tempat mereka bekerja merupakan daerah kerja yang dapat menghasilkan debu sehingga beresiko mengalami gejala ISPA.

Hal ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karena dari orang itu sendiri

ataupun dari lingkungan di sekitarnya, sehingga orang tersebutlah yang paling beresiko terpapar debu TSP. Faktor dari orang sendiri karena berada lama di lingkungan tempat bekerja, yaitu lebih dari 12 jam per harinya, sedangkan faktor lingkungan karena kendaraan sebagai sumber polutan TSP yang lewat dan aktifitas para pekerja.

Hal ini menunjukkan bahwa semua tempat tersebut memiliki kandungan kadar debu TSP yang sedikit sehingga tidak menimbulkan bahaya dan masih aman bagi kesehatan pekerja maupun masyarakat yang berada di sekitarnya. Meskipun semua titik pengukuran nilai resikonya masih dibawah baku mutu udara ambien, tetapi bisa saja pekerja maupun masyarakat berada di sekitar tempat tersebut bisa sakit akibat paparan debu TSP meski dalam julah kecil, tetapi tidak secara langsung dan dalam jangka waktu yang lama, yaitu lebih dari 30 tahun dan juga bisa disebabkan oleh faktor lain.

Untuk pekerja bisa menggunakan masker pada saat bekerja agar dapat mengurangi resiko terpapar debu secara langsung dan terus-menerus di lingkungan tempat kerja.

Untuk menghindari lamanya paparan debu yang berulang-ulang yang berlebihan oleh pekerja, pekerja seharusnya mengurangi waktu lembur agar pekerja memperoleh waktu untuk beristirahat yang cukup, menggunakan alat pelindug diri (APD) seperti masker yang sesuai untuk mencegah terhirupnya debu, dan melakukan penyiraman air disekitar lingkungan kerja untuk mengurangi debu yang beterbangan guna mencegah terhirupnya partikel debu.

Hubungan Masa Kerja Dengan Gejala ISPA Pada Pekerja Penambang Pasir Di Sungai Kunjang Samarinda

Masa kerja adalah lamanya seseorang sudah berapa lama (tahun) bekerja ditempat tertentu. Seseorang yang bekerja di lingkungan yang menghasilkan debu akan memiliki resiko gangguan kesehatan.

Semakin lama seorang pekerja terpapar dengan debu di lingkungan kerja maka semakin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan terutama gangguan saluran

(8)

pernapasan terdapat resiko paparan debu terutama yang berukuran 3-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah dan memunculkan reaksi gangguan pernapasan (Suma’mur, 2009).

Pekerja yang memiliki masa kerja < 5 tahun dikategorikan dalam masa kerja baru dan masa kerja > 5 tahun dikategorikan dalam masa kerja lama. Masa kerja menunjukkan suatu berlangsungnya kegiatan seseorang dalam waktu tertentu. Seseorang yang bekerja di lingkungan yang menghasilkan debu akan memiliki resiko gangguan kesehatan. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan ditempat bekerja (Suma’mur, 2009).

Debu yang dihirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan berbahaya. Akibat menghirup udara, langsung akan kita rasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan saluran pernapasan. Paparan debu jangka panjang pada kadar konsentrasi yang rendah tetapi di atas batas paparan jelas menunjukkan efek toksik yang jelas.

Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seseorang merasa lebih betah dalam suatu tempat, hal ini disebabkan diantaranya telah beradaptasi dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga seseorang akan merasa nyaman dengan pekerjaanya (Suma’mur, 1991).

Hasil univariat diperoleh data bahwa responden dengan masa kerja baru yakni sebanyak 21 orang (42%) sedangkan dengan masa kerja lama yakni sebanyak 29 orang (58%).

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara masa kerja dengan gejala ISPA di sungai kunjang samarinda terlihat bahwa dari 21 responden dengan masa kerja baru, ada sebanyak 2 orang (4%) yang mengalami gejala ISPA dan 19 orang (38%) tidak mengalami gejala ISPA. Sedangkan dari 29 responden dengan masa kerja lama, ada 23 orang (46%) yang mengalami gejala ISPA dan 6 orang (12%) tidak mengalami gejala ISPA.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji rank spearman menunjukkan nilai p-value

= 0,000 (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di sungai kunjang samarinda.

Hasil analisis hubungan menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di sungai kunjang samarinda. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Lantong (2016), yang menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian ISPA pada pekerja penggilingan padi di Desa Wononggere dengan nilai p-value = 0,000 ( p

< 0,05) dengan pekerja yang memiliki masa kerja > 5 tahun sebanyak (76,7%) yang menderita ISPA dibandingkan dengan pekerja yang masa kerja < 5 tahun sebanyak (11,1%) yang menderita ISPA.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Ainurrazaq (2021), yang menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan gangguan pernapasan pada pekerja batu bata di Desa Talang Belido dengan nilai p-value = 0,000 ( p < 0,05) dengan pekerja yang memiliki masa kerja lama > 5 tahun sebanyak (57,9%).

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Fitriani (2022), yang menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan resiko tejadinya ISPA pada pekerja penambang Batu Kapur dengan nilai p-value

= 0,049 ( p < 0,05) dengan pekerja masa kerja lama sebanyak (65,7%) lebih beresiko 0.303 kali terhadap resiko kejadian ISPA dibandingkan dengan pekerja masa kerja baru sebanyak (34,3%).

Berdasarkan observasi peneliti, pada pekerja pengangkut pasir bahwa pekerja yang memiliki masa kerja lama yakni sebanyak 29 orang (58%), hal ini disebabkan karena banyak pekerja tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan lain karena keterbatasan sumber daya manusia seperti tingkat pendidikan dan terbatasnya keterampilan banyak juga responden yang pendidikannya tidak terlalu tinggi sehingga mereka hanya bekerja sesuai dengan

(9)

pendidikan terakhir yang mereka punya.

Pekerja yang memiliki masa kerja lama akan menghirup debu dalam konsentrasi dan jangka waktu yang lama akan membahayakan. Akibat menghirup debu langsung yang akan dirasakan sesak napas, batuk, dan nyeri dada karena karena adanya gangguan saluran pernapasan. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin lama pula ia terpapar bahaya yang timbul dari lingkungan kerja.

Dalam hal ini menunjukkan bahwa paparan debu yang berada di lingkungan dan konsentrasi tinggi serta masa kerja yang semakin lama dapat menyebabkan gangguan fungsi paru pada seseorang. Oleh karena itu, pekerja yang dengan masa kerja lama lebih lama terpajan debu sehingga beresiko untuk terkena ISPA lebih tinggi. Untuk menghindari lamanya pekerjaan yang bersifat menoton dan berulang-ulang dalam bekerja pekerja pengangkut pasir terhadap paparan debu dengan membatasi waktu untuk tidak melakukan lembur agar waktu istirahat yang dibutuhkan oleh pekerja tercukupi.

Hubungan Masa Kerja Dengan Gejala ISPA Pada Pekerja Penambang Pasir Di Sungai Kunjang Samarinda

Perilaku merokok adalah suatu aktivitas menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar. Salah satu pencemaran udara yang diketahui turut menjadi faktor timbulnya gangguan saluran pernapasan adalah partikulat. Perilaku merokok didefinisikan sebagi aktifitas membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik langsung menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap yang dihisap asapnya baik langsung menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap yang dihisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan ke udara oleh perokok sisebut sidestream megakibatkan sesorang menjadi perokok pasif (Sitepoe, 2000).

Perilaku merokok merupakan suatu fenomena yang muncul dalam masyarakat dimana sebagian beasar msyarakat sudah mengetahui dampak negatif merokok, namun bersikeras menghalalkan tindakan merokok (Aula, 2010). Selain itu, asap rokok juga mengakibatkan ruangan menjadi berbau kurang enak serta menyumbang peningkatan pencemaran udara (Sukmana, 2009).

Merokok merupakan hal yang mudah dijumpai dimana saja, seperti telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini juga dapat dijumpai di sungai kunjang samarinda, dimana berdasarkan hasil wawancara menggunakan kuesioner diperoleh data bahwa mayoritas responden memiliki kebiasaan merokok yakni sebanyak 41 orang (82%) sedangkan yang tidak memiliki kebiasaan tidak merokok hanya 9 orang (18%).

Pekerja banyak yang merokok dikarenakan sudah mempunyai kebiasaan merokok sebelumnya. Selain itu, merokok juga dilakukan untuk mengurangi rasa jenuh dan stres ketika sebelum dan sesudah selesai bekerja dengan tidak adanya aturan atau larangan terkait merokok sehingga kebiasaan merokok pekerja tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.

Berdasarkan hasil analisis hubungan kebiasaan merokok dengan gejala ISPA di sungai kunjang samarinda bahwa dari 41 responden yang merokok, ada sebanyak 17 orang (34%) yang mengalami gejala ISPA dan ada 24 orang (48%) yang merokok tetapi tidak mengalami gejala ISPA.

Dari 9 responden dengan kebiasaan tidak merokok, ada 8 orang (16%) yang mengalami gejala ISPA. Hal ini terjadi karena asap rokok dari perokok aktif juga terhirup oleh perokok pasif apalagi mereka berada pada lingkungan tempat kerja yang sama. Selain itu juga rokok juga menyebabkan peningkatan pencemaran udara di lingkungan kerja asap rokok juga dapat menyebabkan gangguan saluran pernapasan seperti nyeri di paru-paru, batuk kering dan infeksi saluran pernapasan. Akibat rokok yang parah menyebabkan sakit paru-paru, serangan jantung, stroke, kanker, impotensi

(10)

dan gangguan kehamilan. Sehingga responden yang tidak merokok juga rentan mengalami ISPA. Sedangkan ada 1 orang (2%) yang kebiasaan tidak merokok dan tidak mengalami gejala ISPA. Hal ini dapat terjadi karena responden memiliki personal hygiene yang baik sehingga daya tahan tubuh juga optimal dan menerapkan pola hidup sehat yang baik.

Rokok adalah benda beracun yang memberi efek santui dan sugesti merasa lebih jantan. Rokok mengandung kurang lebih 4000 jenis bahan kimia, dimana 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh (Jaya, 2009).

Merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan karena asap hasil merokok tersebut beserta zat-zat berbahaya lainnya masuk kedalam tubuh melalui saluran pernpasan dan diserap serta disimpan dalam alveolus. Semakin sering mengkonsumsi rokok, maka dapat semakin beresiko mengalami gangguan pernapasan.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji rank spearman menunjukkan nilai p-value

= 0,009 (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di sungai kunjang samarinda.

Hasil analisis hubungan menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di sungai kunjang samarinda. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Ardianto (2012), yang menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada pekerja pabrik di Kecamatan Rungkut Surabaya dengan nilai p-value = 0,000 ( p < 0,05) dengan responden yang merokok beresiko ISPA 45,90 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak merokok.

Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan penelitian Putra (2017), yang menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang antara kebiasaan merokok dengan gejala penyakit ISPA pada pekerja pabrik

batu bata Manggis Gantiang Bukittinggi dengan nilai p-value = 0,031 ( p < 0,05) dengan responden yang merokok sebanyak (78,2%) akan mengalami gejala ISPA 9.000 kali dibandingkan dengan responden yang tidak merokok sebanyak (21,7%).

Kemudian penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Ainurrazaq (2021), yang menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan gangguan pernapasan pada pekerja batu bata di Desa Talang Belido dengan nilai p-value = 0,000 ( p < 0,05) dengan pekerja yang memiliki kebiasaan merokok 24 orang sebanyak (63,2%).

Adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan gejala ISPA dapat dikarenakan pekerja yang merokok tanpa batasan waktu dan dimana saja termasuk di lingkungan tempat mereka bekerja, dimana asap rokok ini yang dapat menyebabkan pencemaran udara yang dapat merusak mekanisme paru-paru bagi orang yang menghisapnya. Selain itu, kesehatan pekerja tentunya dipengaruhi oleh kualitas udara di lingkungan tempat kerja, dimana resiko gangguan kesehatan dapat diperparah oleh asap rokok serta kondisi lingkungan yang berdebu.

Merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan karena asap hasil merokok tersebut beserta zat-zat berbahaya lainnya masuk kedalam tubuh melalui saluran pernpasan dan diserap serta disimpan dalam alveolus. Semakin sering mengkonsumsi rokok, maka dapat semakin beresiko mengalami gangguan pernapasan.

Berdasarkan hasil observasi peneliti, pekerja pengangkut pasir responden memiliki kebiasaan merokok yakni sebanyak 41 orang (82%). Banyaknya pekerja yang memiliki kebiasaan merokok dikarenakan sudah mempunyai kebiasaan merokok sebelumnya.

Selain itu, merokok juga dilakukan untuk mengurangi rasa jenuh dan stres dengan merokok membuat perasaan menjadi nyaman dan tubuh menjadi lebih ringan ketika sebelum dan sesudah selesai bekerja dengan tidak adanya aturan atau larangan terkait merokok sehingga kebiasaan merokok

(11)

pekerja tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.

Kebiasaan merokok juga sulit untuk dihilangkan oleh para pekerja karena mereka merasa sudah kecanduan dan membuat mereka lebih nyaman melakukan pekerjaannya. Untuk mengurangi kebiasaan merokok para pekerja pengangkut pasir disarankan mengurangi mengisap rokok atau mengganti rokok dengan permen dan pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat agar mampu mencegah timbulnya penyakit yang tidak di inginkan.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja penambang pasir di Sungai Kunjang Samarinda, maka adalah hasil pengukuran pada titik 1 (satu) persimpangan lalu lalang kendaraan bongkar muat dan titik 2 (dua) area bongkar muat pasir dibawah baku mutu < 230 ug/m3, ada hubungan antara masa kerja dan kebiasaan merokok dengan gejala ISPA pada pekerja penambang pasir di Sungai Kunjang Samarinda.

Saran diharapkan kepada pekerja melakukan peyemprotan air disekitar lingkungan kerja, pekerja sebaiknya mengatur waktu istirahat yang cukup, menggunakan APD (masker), mengurangi mengisap rokok menggantinya dengan permen, menerapkan PHBS guna meminimalisir penularan penyakit khususnya ISPA, dan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan terdekat jika terjadi gejala dan keluhan sakit.

5. REFERENSI

Abidin, J., & Hasibuan, F. A. (2019).

Pengaruh dampak pencemaran udara terhadap kesehatan untuk menambah pemahaman masyarakat awam tentang bahaya dari polusi udara. Prosiding Snfur, 4, 1–7.

Ainurrazaq, M., Abdul Ainin Hapis, &

Hamdani. (2022). Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Pada Pekerja Batu Bata Di Desa Talang Belido kecamatan Sungai Delam Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2021. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(12), 3927–3932.

Ardianto, Y. Denny, & R. Y. (2012).

Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Pekerja Pabrik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6(5), 1–7.

Aula, L. E. (2010). Stop Merokok.

Yogyakarta: Garailmu.

Azmi, A., Yuwono, A. S., Erizal, A. K., &

Mulyanto, B. (2015). Analysis of dustfall generation from regosol soil in Java Island, Indonesia. measurement, 10, 8184–8191.

Cahyana, A. (2012). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Tambang Batubara Pt. Indominco Mandiri Kalimantan Timur. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, 1–18.

Depkes, R. (2003). Pedoman Advokasi Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Depkes RI, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Samarinda.

(2021). Profil Kesehatan Kabupaten Kota Samarinda Tahun 2021. Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Samarinda.

Dinas kesehatan Provinsi Kalimantan Timur.

(2021). Profil Kesehatan Kalimantan Timur Tahun 2021. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur.

Fitriani, Y. & A. S. R. (2022). Risiko Terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) Pada Pekerja Penambang Batu Kapur di Desa Taman Sari Kabupaten Karawang Jawa Barat Tahun 2022. 1–6.

Jaya, M. (2009). Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok. Riz’ma.

Kemenkes, R. (2021). Profil Kesehatan Indoensia Tahun 2020 (hal. 1–480).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes, R. (2022). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2021 (hal. 1–538).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018. In Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (hal. 1–

(12)

674).

Lantong, J. F., Asfian, P., & Erawan, P. E.

M. (2017). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Pekerja Penggilingan Padi Di Desa Wononggere Kecamatan Polinggona Kabupaten Kolaka Tahun 2016.

JIMKESMAS (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat), 2(6), 1–11.

Permenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

56 Tahun 2016 Tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Menteri Kesehatan, 1–35.

PP Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 2021 Tentang

Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Nomor 1, hal. 1–5).

Pudjiastuti, W. (2002). Debu sebagai bahan pencemar yang membahayakan kesehatan kerja. Pusat kesehatan kerja departemen kesehatan RI.

Putra, B. H., & Afriani, R. (2017). Kajian Hubungan Masa Kerja, Pengetahuan, Kebiasaan Merokok, dan Penggunaan Maker dengan Gejala Penyakit ISPA pada Pekerja Pabrik Batu Bata Manggis Gantiang Bukittinggi. Human Care Journal, 2(2), 48–54.

Sitepoe, M. (2000). Kekhususan Rokok Indonesia, PT. In Gramedia widiasarana Indonesia.

Sukmana, T. (2009). Mengenal Rokok dan Bahayanya. Be Champion.

Suma’mur, P. K. (1991). Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES).

Suma’mur, P. K. (2009). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) Edisi 2. Penerbit Sagung Seto. Jakarta.

Zulfikar, S. (2021). Hubungan Kepadatan Hunian Kamar dan Kebiasaan Merokok Dalam Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Desa Tingkem Bersatu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah. Journal of Healthcare Technology and Medicine, 7(1), 225–

235.

Referensi

Dokumen terkait