• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resensi Sekolah Itu Candu (2)

N/A
N/A
Harmasto Hendro Kusworo

Academic year: 2023

Membagikan "Resensi Sekolah Itu Candu (2)"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

Resensi: Sekolah Itu Candu

...Bab 3 tentang Seragam Sekolah. Akhir bab membelalakkan mata akal kita pada tulisan fiksi George Orwell berjudul “Nineteen Eighty Four”.

Novel tersebut mengisahkan satu negara raksasa di kawasan Eurasia —pada 1984— yang mengendalikan sedemikian rupa totaliter semua rakyatnya, termasuk isi hati dan isi pikiran mereka.

Novel George Orwell tersebut dimaksudkan untuk mengilustrasikan bagaimana politik sudah mencengkeram sampai institusi pendidikan, di mana sekolah sebagai alat ‘mewariskan dan melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui oleh yang berkuasa. Sampai-sampai pakaian dibuat seragam, mata pelajaran dibuat seragam, bahasa dan cara bicara dibuat seragam, tingkah laku dibuat seragam. Jangan-jangan, isi kepala dan isi hati pun harus seragam!

Bab 4 membahas obrolan dua orang dewasa berbeda usia. Di mana seorang yang lebih muda mencoba memberikan letupan-letupan ide bagi lawan bicaranya yang lebih tua yang sedang kebingungan menghadapi masa depan.

Bab ini memang satire. Bahwa “Dirikanlah Sekolah!” adalah jalan ’ninja’ bagi mereka-mereka yang tak tahu harus berbuat apa. Bahwa ada institusi pendidikan yang didirikan oleh mereka yang tak memiliki kompetensi terhadap pendidikan.

Bab 5 mencuplik kekesalan seorang Kepala Sekolah yang ia ungkapkan kepada salah seorang guru terkait narasi yang dibangun media massa yang menyoroti mahalnya biaya sekolah. Bahwa pengelolaan Sekolah dan Perusahaan tak jauh beda, seperti ungkapan Ivan Illich dalam “Bebas dari Sekolah” terbitan Sinar Harapan. “Sistem sekolah yang ada sekarang pada dasarnya menuntut pengelolaan sebagai suatu perusahaan. Dan sekolah zaman sekarang sudah menjadi majikan terbesar dan paling anonim dari semua majikan.”

Bab 6 berjudul Sekolah Anak-anak Tenda. Kisah seorang relawan dari Amerika bernama Jane yang pernah terjun di tengah barak-barak pengungsi di Palestina, Yordania, dan Lebanon Selatan.

Pandangannya terhadap masa depan Palestina —jika nanti merdeka— sangat dilematis.

Generasi ke depan adalah anak-anak di masa kini yang dikonstruksi dengan suasana perang, slogan- slogan perlawanan, hasutan semangat kesyahidan (martirdomship) berlebihan, dan ‘kesantunan’

yang galak. Sebuah asupan dewasa yang belum layak dikonsumsi olah usia anak-anak.

Apa yang direnungi Jane dari fenomena yang ia alami, melahirkan satu kesimpulan, bahwa anak- anak di tempat ‘merdeka’ pun tak jauh berbeda dengan anak-anak yang tumbuh di tengah konflik, yakni mengorbankan sebagian waktu mereka yang amat berharga untuk melakukan berbagai kegiatan yang semestinya hanya menjadi bagian pekerjaan orangtua mereka. »»» lihat selengkapnya https://warung-arsip.blogspot.com/2023/06/resensi-sekolah-itu-candu.html

Referensi

Dokumen terkait