UNIVERSITAS INDONESIA
EKSPLORASI PENGALAMAN PASIEN HIPERTENSI DALAM MENJALANI TERAPI ALTERNATIF
KOMPLEMENTER HERBAL
TESIS
NURUL LAILI 1306346140
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
JULI 2105
UNIVERSITAS INDONESIA
EKSPLORASI PENGALAMAN PASIEN HIPERTENSI DALAM MENJALANI TERAPI ALTERNATIF
KOMPLEMENTER HERBAL
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan
NURUL LAILI 1306346140
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK
JULI 2105
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Alloh Robb semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sholawat serta salam atas nabi Muhammmad SAW yang membawa ajaran mulia sampai akhir zaman, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Eksplorasi Pengalaman Pasien Hipertensi Dalam Menjalani Terapi Alternatif Komplementer Herbal”. Penyusunan tesis ini digunakan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan di Universitas Indonesia.
Selama penyusunan tesis ini saya memperoleh dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh sebab itu saya mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp, M. App. Sc., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2. Ibu Dr. Novy Helena, C. D, S.Kp., M. Sc selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia dan coordinator mata ajar tesis.
3. Ibu Yulia, S.Kp.,MN.,PhD sebagai pembimbing I dan ibu yang luar biasa dalam membimbing, memotivasi dengan penuh kesabaran, ketulusan dan senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan masukan selama penyusunan tesis ini.
4. Ibu Sri Yona, S.Kp.,MN.,PhD sebagai pembimbing II yang telah membimbing dengan sabar, tulus dan meluangkan waktu untuk memberikan masukan selama penyusunan tesis ini.
5. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
6. Ibundaku tercinta, Ibu Muazzizah yang selalu mendoakanku di usia senjamu dengan penuh kasih sayang.
7. Suamiku tersayang, ayah Ayatulloh Khumaini atas keridhoannya, motivasi, doa, cinta dan semangatnya kepada saya selama menempuh studi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
8. Ananda tercinta Mbak Hasna, Mas Azzam dan Adek Najma atas dukungan, semangat, cinta dan do’a yang selalu mengiringi dalam menempuh studi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
9. Bapak FX.Retriatmadja, MMRS selaku Direktur Rumah Sakit Amelia Pare Kediri
10.Ibu Ns. Anik Lestari, S.Kep selaku Kepala Perawatan Rumah Sakit Amelia Pare Kediri yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut.
11.Teman-teman sekelas peminatan KMB Angkatan 2013 di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, yang telah berjuang bersama dalam proses penyelesaian tesis ini.
12.Griya Adzanier’s, adik adik ku Qiqi, Dika, Anggi, Sri, Dewi, Lady, Niken, Mbak Ike dan Mbak Dyah, kalian keluargaku di sini.
Semoga segala bantuan dan kebaikan serta dukungan yang telah diberikan kepada peneliti mendapatkan ridho dan pahala dari Alloh SWT. Penulis menyadaritesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan tesis ini.
Depok, 10 Juli 2015
Penulis
ABSTRAK
Nama : Nurul Laili
Program Studi : Magister Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Judul: Eksplorasi Pengalaman Pasien Hipertensi Dalam Menjalani Terapi Alternatif Komplementer Herbal
Penggunaan terapi alternatif komplementer cenderung meningkat setiap tahunnya dan sudah menjadi pilihan dalam mengatasi masalah kesehatan Penelitian ini berfokus pada pengalaman pasien hipertensi dalam menjalani terapi alternatif komplementer herbal. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif pada duabelas partisipan ini menggunakan metodepurposive samplingdalam penentuan partisipan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dianalisis menggunakanmetodeCollaizi. Tema yang ditemukan sebagai hasil penelitian yaitu: keputusan menjalani terapi alternatif komplementer herbal terpicu kekhawatiran efek samping terapi medis, peningkatan kenyamanan fisik yang dirasakan setelah mengkonsumsi terapi herbal, aksesibilitas sarana untuk lebih mendapatkan kemudahan dalam terapi herbal, dan pembuatan sediaan herbal yang tidak praktis menyebabkan inkonsistensi dalam menjalani terapi herbal.
Kata kunci: Pengalaman, Hipertensi, Terapi alternatif komplementer, Herbal
ABSTRACT
Name: Nurul Laili
Programe of Study : Magister of Nursing Faculty : Nursing Faculty
Title: An exploration of hypertension patients experience in herb complementary and alternative medicine
The use of complementary and alternative medicines tend to increase and has became a choice in addressing health problems. This study focuses hypertension patients experience towards the use ofherbscomplementary and alternative medicine. This qualitative study applied a descriptive phenomenology approach twelve participants who gathered with purposive sampling. An indepth interview was used to collected data and analyzed with Collaizi Method. Themes revealed were: the decisions to use herbs complementary and alternative medicinetriggered by worries about an effects of medical therapy, an increase of perceived physical comfort after consumed herb therapies, accessibility of means to got herb ingredients easily in herb therapies, and impracticability in preparing herbs that caused inconsistencies in herb therapies.
Key word : Experience, Hypertension, Complementary and Alternative Medicine, Herb
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ……….. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... viii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ……… xi
DAFTAR SKEMA ………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1
1.2 Rumusan Masalah ………... 7
1.3 Tujuan Penelitian ……….… 8
1.4 Manfaat Penelitian ……….. 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Hipertensi 2.1.1 Definisi ……….……… 10
2.1.2 Etiologi ...………..……… 10
2.1.3 Klasifikasi Hipertensi ……… 12
2.1.4 Faktor Resiko ...………... 14
2.1.5 Manifestasi Klinis ....………... 17
2.1.6 Perjalanan Penyakit ………... 18
2.1.7 Komplikasi ……….…... 19
2.1.8 Penatalaksanaan ………. 21
2.2 Konsep Terapi Alternatif dan Komplementer 2.2.1 Pengertian ……… 26
2.2.2 Jenis Terapi Alternatif dan Komplementer …………..…….. 27
2.3 Konsep Terapi Herbal 2.3.1 Pengertian ………..………..….. 30
2.3.2 Kualitas, Keamanan dan Efficacy Obat herbal .……… 30
2.3.3 Konsep Pengembangan Herbal Indonesia ………... 33
2.3.4 Senyawa Kimia Obat Herbal………..………..… 40
2.3.5 Obat Herbal Pada Hipertensi ... 43
2.4 Terapi Alternatif dan Komplementer Dalam Keperawatan….……. 49
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ……….………. 51
3.2 Partisipan penelitian ……….……… 53
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ……….…….. 54
3.4 Etika Penelitian ……….………... 54
3.5 Alat Pengumpulan Data ………...… 56
3.6 Prosedur Pengumpulan Data ……… 58
3.7 Analisa Data ...……… 60
3.8 Keabsahan Data ...………. 62
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Partisipan …………...……….………... 64
4.2 Analisis Data ...……….……… 67
BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Hasil Penelitian ………...……….………. 79
5.2 Keterbatasan penelitian ……….…...…… 92
5.3 Implikasi Bagi keperawatan ………..……….…….. 92
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan …………...…………...……….………... 94
6.2 Saran ...………...………….……… 95
DAFTAR PUSTAKA ……….. 97 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut AHA 2014 ………. 13
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut PERHI 2007 ... 13
Tabel 2.3 Hubungan lama pemberian obat pada manusia dan lama Pemberian obat pada hewan coba pada uji toksisitas... 36
Tabel 4.1 Data dasar partisipan ... 65
Tabel 4.2 Analisis Tematik ... 68
Skema 2.1 Konsep pengembangan herbal di Indonesia ... 33
Skema 2.2 Tahapan pembuktian obat herbal ... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 SPMSQ(Short Portable Mental Status Questionaire) Lampiran 2 Flyer Research (Brosur Penelitian)
Lampiran 3 Penjelasan Penelitian
Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan Lampiran 5 Data Dasar Partisipan
Lampiran 6 Panduan Wawancara Lampiran 7 Lembar Catatan Lapangan Lampiran 8 Timeline Penelitian
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hipertensi merupakan penyakit yang masih menjadi topik masalah kesehatan di dunia. Berdasarkan data World Health Organization & International Society of Hypertension 2013, pada tahun 2013 terdapat 1 miliar orang mengalami hipertensi diseluruh dunia dan 3 juta diantaranya meninggal setiap tahunnya (WHO & ISH, 2013). WHO memperkirakan bahwa 1,5 miliar usia dewasa akan mengalami hipertensi pada tahun 2025 dan dua pertiga orang yang mengalami hipertensi ada di negara berkembang. Di Asia tenggara, sekitar sepertiga dari seluruh jumlah penduduk usia dewasa mengalami hipertensi (WHO, 2011).
Prevalensi hipertensi di Indonesia yang diperoleh dari data Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang mengalami hipertensi sebesar 26,5 %. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur 2012 didapatkan bahwa hipertensi sebagai penyakit degeneratif yang mendominasi dengan jumlah rawat jalan sejumlah 226.668 kasus.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah penyakit yang tidak memiliki gejala spesifik, tetapi akan menimbulkan komplikasi dan kematian apabila tidak ditangani (American Heart Association, 2014). Komplikasi tersebut meliputi terjadinya stroke, serangan jantung, gagal jantung dan gagal ginjal kronik (Black & Hawks, 2014). Untuk mencegah terjadinya komplikasi, seseorang yang mengalami hipertensi dapat memeriksakan tekanan darahnya secara rutin (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya meliputi hipertensi primer dan hipertensi sekunder (Black & Hawks, 2014). Hipertensi primer dipengaruhi oleh faktor genetik, jenis kelamin, geografi dan lingkungan. Sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit pada ginjal, kelenjar adrenal, kelenjar tiroid, kelainan pembuluh darah dan kehamilan (LeMone & Burke, 2008).
Menurut American Heart Association 2014, terdapat beberapa cara penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup yang terdiri dari:
diet dan mengurangi konsumsi garam, aktivitas fisik, mengontrol berat badan, management stres, mengurangi rokok, mematuhi pengobatan medis, dan mengurangi alkohol (AHA, 2014). Penatalaksanaan hipertensi menurut European Society of Hypertension & European Society of Cardiology 2013, meliputi: modifikasi gaya hidup (misalnya membatasi asupan garam 5-6 g/hari, menurunkan IMT 25 kg/m2), pengobatan farmakologi monoterapi atau kombinasi, dan monitoring tekanan darah secara rutin melalui rawat jalan atau dirumah. Di Indonesia, penatalaksanaan hipertensi menurut Perhimpunan Hipertensi & Indonesian Society of Hypertension 2014, dalam buku Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2014 meliputi: olah raga, mengkonsumsi buah- buahan dan sayuran, mengurangi asupan garam, meningkatkan aktivitas fisik dan tidak merokok.
Penatalaksanaan hipertensi memerlukan kepatuhan dalam mengontrol tekanan darah (Jeschke, et al, 2009; Tsiantou, et al, 2010; Saleem, et al, 2012; Kretchy, et al, 2014). Kepatuhan merupakan sikap dalam melakukan perubahan gaya hidup dan meminum obat sesuai rekomendasi (WHO, 2003). Pada beberapa penelitian menyebutkan tingkat kepatuhan pasien hipertensi terhadap terapi farmakologi yaitu antara 50-75 % (Mohan & Campbell, 2009; Nichols &
Poirier, 2000). Pada laporan WHO 2003, tingkat kepatuhan pasien hipertensi terhadap terapi farmakologi antara 50-70 % dan lebih dari 50 % pasien mengalami putus obat pada tahun pertama (WHO, 2003). Di Indonesia, berdasarkan data dari Departemen Kesehatan 2012 disebutkan bahwa dari 7,2
% pasien yang mengetahui memiliki tekanan darah yang tinggi, hanya 0,4 % yang mau mengkonsumsi obat antihipertensi.
Ketidakpatuhan terhadap managemen hipertensi karena beberapa alasan diantaranya: pemahaman yang kurang tentang pengelolaan dan resiko hipertensi, biaya pengobatan yang relatif tinggi (Lin, et al, 2007); sifat penyakit yang secara alami pada sebagian orang tidak menimbulkan gejala, terapi jangka panjang, efek samping obat dan regimen terapi yang kompleks (Margado, Rolo,
& Branco, 2011); tidak mampu membeli obat dan pengetahuan yang kurang tentang penanganan hipertensi (Rohman, Hersunarti, Soenarta, Mayza, dkk, 2011); pengetahuan yang kurang tentang regimen pengobatan (Sarampang, Tjitrosantoso dan Citraningtyas, 2014); dan kurangnya dukungan sosial keluarga (Rahajeng dan Tuminah, 2009).
Ketidakpatuhan pada pengobatan modern secara signifikan tidak berhubungan dengan penggunaan terapi alternatif komplementer (Amira & Okubadejo, 2007;
Nuwaha & Musinguzi, 2013; Kretchy, et al 2014). Pada beberapa penelitian menyebutkan penggunaan obat modern dan kombinasi obat modern dengan terapi alternatif komplementer digunakan pada penderita hipertensi, diantaranya adalah: dari 258 pasien hipertensi yang mengkonsumsi obat modern 103 pasien, kombinasi obat modern dengan terapi alternatif komplementer 134 pasien dan 21 pasien menggunakan terapi alternatif komplementer (Nuwaha &
Musinguzi, 2013); dari 225 pasien hipertensi yang menggunakan obat modern 137 pasien dan kombinasi obat modern dengan terapi alternatif komplementer 88 pasien (Amira & Okubadejo, 2007); dari 400 pasien hipertensi yang menggunakan obat modern 322 pasien dan kombinasi obat modern dengan terapi alternatif komplementer 78 pasien (Kretchy, et al 2014).
Penggunaan terapi alternatif komplementer di dunia cenderung meningkat setiap tahunnya (Eisenberg, et al, 1998; Ortiz, et al, 2007; Ritchie, et al, 2007).
Terapi alternatif komplementer sudah menjadi pilihan dalam mengatasi masalah kesehatan (Mansoor, 2001; Nahin, et al, 2009). Data dari WHO 2013 menyebutkan bahwa terapi alternatif komplementer digunakan di beberapa negara sebagai berikut: Australia pada tahun 1995-2005 mengalami peningkatan 30 %, Amerika serikat pada tahun 1997-2007 mengalami
peningkatan 38,3 % dan Cina pada tahun 1999-2009 mengalami peningkatan 34 %.
Terapi alternatif komplementer merupakan kelompok beberapa jenis pengobatan dan perawatan kesehatan yang bukan bagian dari pengobatan konvensional (WHO, 2013). Terapi alternatif komplementer menurut The National Institute of Health (NIH) terdiri dari lima kategori utama yaitu:
Alternative Medical System, Mind-body interventions, Biologic-based therapies (herbal), Manipulative and body-based methods, dan Energy therapies (Hughes, Jacobs, & Berman, 2005).
Terapi alternatif komplementer herbal merupakan jenis pengobatan yang terdiri dari suplemen makanan, tumbuhan, ekstrak hewani, vitamin, mineral, asam lemak, protein dan makanan fungsional (National Center for Complementary and Alternative Medicine, 2005). Data penelitian menyebutkan penggunaan herbal sebagai terapi alternatif komplementer, yaitu: dari 29 % yang menggunakan terapi alternatif komplementer 63 % menggunakan herbal (Osamor & Owumi, 2010); dari 69,1 % yang menggunakan terapi alternatif komplementer 90,7 % menggunakan herbal (Chu, et al, 2013); dan dari 19,5 % yang menggunakan terapi alternatif komplementer 65, 38 % menggunakan herbal (Kretchy, et, al, 2014).
Terapi alternatif komplementer herbal digunakan pada kondisi penyakit degeneratif, misalnya hipertensi (Shafiq, et al, 2003; Amira & Okubadejo, 2007; Osamor & Owumi, 2010; Hughes, et al, 2013; Nuwaha & Musinguzi, 2013; Kretchy, et al, 2014). Penelitian menyebutkan dari 128 pasien hipertensi yang menggunakan terapi alternatif komplementer, 77 pasien menggunakan terapi alternatif komplementer herbal (Osamor & Owumi, 2010) dan dari 78 pasien hipertensi yang menggunakan terapi alternatif komplementer, 50 pasien menggunakan terapi alternatif komplementer herbal (Kretchy, et al, 2014).
Alasan menggunakan terapi alternatif komplementer herbal diantaranya adalah:
efek kekambuhan penyakit jarang terjadi sehingga status kesehatan menjadi
lebih baik dan sedikit efek samping (Chu, et al, 2013); alami, mudah didapatkan, pasien tidak mampu membeli dan memiliki kekhawatiran terhadap efek samping obat antihipertensi (Kretchy, et al, 2014); mengurangi biaya pengobatan (Hughes, et al, 2013); keyakinan dan sosial budaya pasien (Osamor
& Owumi, 2010).
Penggunaan terapi alternatif komplementer herbal cenderung meningkat, tetapi bukti ilmiah yang mendukung keberhasilannya masih kurang sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut melalui penelitian (Clement, et al, 2007; Kitai, et al, 1998; Eisenberg, et al, 2001; Hughes, et al, 2005). Pada penelitian menyebutkan bahwa masalah dari terapi alternatif komplementer herbal diantaranya adalah:
belum terstandarisasinya dosis yang diberikan (Vora & Mansoor, 2005;
Rahman, 2001); kemungkinan interaksi dengan obat modern dan memberikan efek samping (Hughes, et al, 2005; Awang & Fugh-Berman, 2002); belum ada kajian ilmiah pada beberapa jenis terapi herbal yang memiliki potensi menimbulkan efek toksik apabila berinteraksi dengan obat modern (Amira &
Okubadejo, 2007).
Di Indonesia, penggunaan obat tradisional telah dikenal sejak lama sebagai salah satu upaya dalam mengatasi masalah kesehatan (Sukandar, 2006). Data Riskesdas 2013 menyebutkan adanya pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional yang berupa ramuan sejumlah 89.753 orang dari 294.962 (30,4%), dan alasan menggunakan ramuan adalah untuk menjaga kesehatan (52,7 %).
Penggunaan bahan alam atau herbal sebagai obat tradisional telah menjadi budaya dan mendapat dukungan dari keluarga secara turun temurun (Sukandar, 2006).
Pengaruh psikososial dan budaya merupakan faktor yang paling umum mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk memilih dan menjalani terapi alternatif komplementer herbal (Amira & Okubadejo, 2007;
Osamor & Owumi, 2010; Nuwaha & Musinguzi, 2013). Faktor psikososial yang meliputi sikap, pengaruh sosial dan keyakinan merupakan faktor yang
mendukung seseorang dalam menggunakan terapi alternatif komplementer herbal (Hughes, et al, 2013). Penelitian terkait faktor psikososial dan budaya pada terapi alternatif komplementer, diketahui bahwa pengaruh keluarga dan teman umumnya terjadi pada saat seseorang memutuskan untuk memilih terapi alternatif komplementer herbal (Gulian, Barnes, & Francis, 2002). Penelitian lain menyebutkan bahwa tradisi keluarga dan budaya menjadi alasan seseorang menerima dan menjalani terapi alternatif komplementer herbal, dimana keluarga menjadi bagian dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan terapi alternatif komplementer herbal (Clement, et al, 2007). Pada penelitian di Cina menyebutkan bahwa latar belakang budaya merupakan faktor yang menentukan seseorang dalam menggunakan terapi alternatif komplementer herbal (Chu, et al, 2013).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, didapatkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri 2014 menyebutkan bahwa penyakit hipertensi merupakan penyakit dengan kasus tertinggi untuk pasien rawat jalan sejumlah 14.835 kasus. Data tentang usaha atau industri obat tradisional yang terdaftar sejumlah 6 lokasi, meskipun daerah pemasaran tidak hanya di wilayah Kabupaten Kediri.
Tempat penjualan produk herbal dengan merk tertentu yang ada di wilayah Kediri sejumlah 18 lokasi, dengan rata-rata yang aktif mengkonsumsi setiap harinya di masing-masing tempat sejumlah 40-50 orang. Hasil komunikasi personal peneliti dengan salah satu petugas pelayanan kesehatan di poli rawat jalan rumah sakit menyebutkan bahwa petugas kesehatan sering mendapatkan pertanyaan terkait penggunaan dan pemanfaatan terapi alternatif komplementer.
Hal ini memberikan gambaran bahwa terapi alternatif komplementer digunakan di masyarakat.
Penelitian terkait terapi alternatif komplementer, umumnya bersifat survey dan experiment. Sedangkan penelitian yang berfokus pada pengalaman pasien hipertensi dalam menjalani terapi alternatif komplementer herbal, belum banyak dilakukan di Indonesia. Dalam penelitian ini akan di lakukan eksplorasi secara mendalam bagaimana pengalaman pasien hipertensi dalam menjalani
terapi alternatif komplementer herbal, seperti apa pasien memaknai pilihannya serta bagaimana pasien meyakini pilihannya sehingga pasien memutuskan untuk mengkonsumsinya, karena penyakit yang diderita oleh pasien membutuhkan pengobatan seumur hidupnya.
1.2 Rumusan Masalah
Hipertensi yang terjadi secara terus menerus dan tidak ditangani melalui managemen yang tepat, akan menimbulkan komplikasi. Managemen hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup, pengobatan dan monitoring tekanan darah.
Managemen hipertensi memerlukan kepatuhan dari penderitanya. Terapi alternatif komplementer menjadi pilihan dalam mengatasi masalah kesehatan pasien hipertensi. Kecenderungan penggunaan terapi alternatif komplementer di dunia meningkat setiap tahunnya, meskipun belum banyak bukti ilmiah yang menunjukkan keberhasilan terapi. Salah satu terapi alternatif komplementer yang menjadi pilihan adalah herbal. Alasan menggunakan herbal diantaranya adalah karena herbal memiliki sedikit efek samping, alami, mudah di dapatkan, keyakinan dan sosial budaya.
Pengaruh sosial, keyakinan dan sikap merupakan faktor yang paling umum mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk memilih dan menjalani terapi alternatif komplementer. Tradisi keluarga dan pengaruh teman umumnya terjadi pada saat seseorang memutuskan untuk memilih terapi alternatif komplementer herbal. Latar belakang budaya juga merupakan faktor yang menentukan seseorang dalam menggunakan terapi alternatif komplementer.
Penelitian-penelitian yang terkait terapi alternatif komplementer herbal, umumnya bersifat survey dan experiment. Penelitian kualitatif yang berfokus pada pengalaman pasien dalam menjalani terapi alternatif komplementer herbal, belum banyak dilakukan di Indonesia. Peneliti akan melakukan penelitian tentang bagaimana pasien hipertensi menjalani terapi alternatif komplementer herbal, apa yang melatar belakangi pasien memutuskan untuk
menjalani terapi alternatif komplementer herbal, seperti apa pasien memaknai pengalaman hidupnya serta bagaimana persepsi pasien saat memutuskan untuk menjalani terapi alternatif komplementer herbal melalui pendekatan kualitatif fenomenologi. Rumusan masalah penelitian ini adalah “bagaimana pengalaman pasien hipertensi dalam menjalani terapi alternatif komplementer herbal?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam pengalaman pasien hipertensi dalam menjalani terapi alternatif komplementer herbal.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya latar belakang pengambilan keputusan pasien hipertensi dalam memilih terapi alternatif komplementer herbal
1.3.2.2 Diketahuinya persepsi pasien hipertensi dalam menjalani terapi alternatif komplementer herbal
1.3.2.3 Diketahuinya hal-hal yang mendukung dan menghambat pasien hipertensi dalam menjalani terapi alternatif komplementer herbal 1.3.2.4 Diketahuinya harapan pasien hipertensi dalam menjalani terapi
alternatif komplementer herbal
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pelayanan Keperawatan Medikal Bedah
Hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang pengalaman pasien hipertensi dalam mengelola penyakitnya dengan menggunakan terapi alternatif komplementer. Diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan holistik yang mengacu pada kebutuhan biopsikososial spiritual melalui terapi alternatif komplementer.
1.4.2 Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan Medikal Bedah
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah wacana keilmuwan keperawatan medikal bedah dalam memahami latar belakang pasien mengambil keputusan untuk menjalani terapi alternatif komplementer herbal, kebutuhan dalam mengelola penyakitnya sebagai upaya meningkatkan status kesehatannya dalam konteks asuhan keperawatan.
1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil dari penelitian ini akan didapatkan pengalaman pasien hipertensi tentang latar belakang pengambilan keputusan, persepsi, hal-hal yang mendukung dan menghambat, harapan dan kebutuhan saat menjalani terapi alternatif komplementer herbal. Data tersebut di harapkan dapat menjadi landasan dasar dalam melakukan penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini menjelaskan tentang studi literatur terkait penelitian yang dilakukan. Bab ini meliputi: konsep hipertensi, konsep terapi alternatif dan komplementer, konsep terapi herbal dan terapi alternatif dan komplementer dalam keperawatan.
2.1 Konsep Hipertensi 2.1.1 Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara terus menerus dan dalam waktu yang lama dimana tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (Black & Hawks, 2014). Menurut American Heart Association 2014, hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan kondisi dengan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥140 mmHg, yang tidak memiliki gejala spesifik tetapi dapat mengakibatkan masalah kesehatan dan kematian apabila tidak di tangani (AHA, 2014)
Batasan normal tekanan darah adalah 120–140 mmHg tekanan sistolik dan 80 – 90 mmHg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan mengalami hipertensi bila tekanan darahnya > 140/90 mmHg pada usia > 18 tahun (WHO, 2013). Pada usia >60 tahun, hipertensi terjadi apabila tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (The Joint National Commitee 8, 2013)
2.1.2 Etiologi
Lebih dari 90 % kasus hipertensi merupakan hipertensi primer yang tidak dapat ditentukan penyebabnya. Sisanya mengalami hipertensi sekunder dengan penyebab tertentu, seperti penyempitan arteri renalis, disfungsi organ, obat, tumor dan kehamilan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Hipertensi primer terjadi akibat
peningkatan tekanan arteri secara terus menerus dalam waktu yang lama akibat ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal tanpa penyebab sekunder yang jelas. Hipertensi sekunder terjadi disebabkan karena penyakit pada ginjal, kelenjar adrenal, kelenjar tiroid, kelainan pembuluh darah dan kehamilan (LeMone &
Burke, 2008).
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hipertensi adalah, penurunan sensitivitas baroreseptor dan peningkatan aktifitas saraf simpatis (Guyton & Hall, 2006). Pengaturan tekanan arteri lebih banyak dipengaruhi oleh refleks baroreseptor. Peningkatan tekanan dapat meregangkan baroreseptor dan menyebabkan menjalarnya sinyal menuju sistem saraf pusat, selanjutnya umpan balik terjadi melalui sistem saraf otonom ke sirkulasi untuk mengurangi tekanan arteri sehingga kembali normal (Guyton & Hall, 2006). Implus baroreseptor akan merangsang pusat kardio inhibit, vasodilatasi, penurunan tekanan darah, bradikardi dan penurunan curah jantung (Ganong, 2001).
Peningkatan aktifitas saraf simpatis dapat menurunkan ekskresi natrium dan air, dengan mekanisme adanya konstriksi arteriol- arteriol ginjal yang dapat menurunkan glomerulo filtrasi rate.
Peningkatan reabsorbsi tubulus terhadap air dan garam akan menyebabkan rangsangan pelepasan renin sehingga meningkatkan pembentukan angiotensin II. Dampak yang terjadi sesudah pelepasan angiotensin II adalah vasokontriksi dan kontraktilitas jantung. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan curah jantung dan tahanan perifer sehingga tekanan darah menjadi meningkat (Guyton & Hall, 2006).
Sel endotel vaskuler juga memegang peranan dalam mengatur fungsi kardiovaskuler yaitu dengan memproduksi zat vasoaktif lokal yang kuat, termasuk molekul vasodilator oksida nitrogen dan peptida vasokonstriktor endotelin. Disfungsi endotelium dapat menyebabkan hipertensi primer (Kaplan, 2002).
2.1.3 Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dikelompokkan menjadi 2 yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer juga disebut hipertensi esensial atau idiopatik, merupakan hipertensi yang masih belum di ketahui penyebabnya (Black & Hawks, 2014).
Hipertensi primer dialamai oleh 95 % pasien hipertensi. Beberapa faktor yang dikemukakan relevan terhadap mekanisme penyebab hipertensi primer antara lain: genetik, geografi dan lingkungan, janin, jenis kelamin, diet natrium (garam), hiperaktifitas sistem renin- angiotensin-aldosteron dan sistem syaraf simpatis (ASH/ISH Hypertension Guidelines, 2012 ).
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang terjadi karena penyakit yang menyertai sebelumnya. Sekitar 5% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder. Penyakit yang memicu timbulnya hipertensi sekunder diantaranya gagal ginjal kronik, stenosis artei renalis, sekresi aldosteron yang berlebihan, efek obat-obatan, kelainan pembuluh darah, dan pre eklamsia pada kehamilan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
American Heart Association 2014, mengklasifikasikan tekanan darah untuk usia 20-55 tahun sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut AHA 2014
Kategori Tekanan
Sistolik (mmHg)
Tekanan Diastolik
(mmHg)
Normal ≤ 120 Dan ≤ 80
Pre Hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Krisis Hipertensi (Emergency)
>180 Atau >110
Sumber: American Heart Association, 2014
Sedangkan klasifikasi tekanan darah berdasarkan hasil konsensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia 2007, adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah menurut PERHI, 2007
Kategori Sistol
(mmHg)
Diastol (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre Hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99 Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100 Hipertensi sistol
terisolasi
≥ 140 Atau <90
Sumber: Perhimpunan Hipertensi Indonesia, 2007
Klasifikasi berdasarkan hasil konsesus Perhimpunan Hipertensi Indonesia, menjelaskan bahwa tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diastolik dengan merujuk hasil JNC dan WHO. Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan tingginya tekanan darah, adanya
faktor resiko lain, kerusakan organ target dan penyakit penyerta tertentu (PERHI, 2007).
American Heart Association merekomendasikan untuk orang yang berusia mulai 20 tahun dan dalam keadaan sehat, supaya memeriksakan tekanan darah setiap 2 tahun sekali. Tekanan darah dapat berubah dari menit ke menit dengan perubahan postur, aktifitas fisik dan stres. Jika tekanan darah melebihi batas normal secara signifikan dari waktu ke waktu, yakni tekanan darah ≥ 140/90 mmHg maka perlu mendapatkan penanganan. Penanganan tersebut meliputi perubahan gaya hidup dan pemberian obat-obatan. Jika tekanan darah sistolik ≥ 180 mm Hg atau diastolik ≥ 110 mm Hg, diperlukan perawatan medis darurat untuk krisis hipertensi (AHA, 2014).
Tekanan darah secara signifikan akan meningkat sesuai pertambahan usia. Klasifikasi hipertensi pada usia ≥ 60 tahun, jika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (The Joint National Commitee 8, 2014).
2.1.4 Faktor Risiko
Faktor resiko hipertensi meliputi faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi atau dikontrol.
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah riwayat keluarga atau genetik, usia, dan jenis kelamin. Faktor yang dapat dikontrol adalah kebiasaan merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak, obesitas, kurang aktivitas fisik dan stressor (Black & Hawk, 2014).
Faktor genetik berkaitan dengan peningkatan jumlah sodium di intraseluler dan penurunan ratio potassium dan sodium. Klien dengan kedua orangtuanya menderita hipertensi lebih besar resikonya terjadi pada usia lebih muda. Penelitian tentang pengaruh
genetik terhadap hipertensi menyimpulkan bahwa setengah atau kurang dari variasi peningkatan tekanan darah disebabkan oleh faktor riwayat keluarga atau keturunan (Izzo & Black, 2003). Pada penelitian Shih & O’Connor (2008) menyebutkan data riwayat keluarga memberikan kerentanan terhadap hipertensi. Kemungkinan yang terjadi berkisar antara 30-60 %, melalui gabungan gen, interaksi gen, dan kesempatan heterosis molekul (fenotipe lebih beresiko untuk heterozigot daripada homozigot).
Pertambahan usia berdampak pada fungsi sistem kardiovaskuler yaitu terjadi peningkatan tahanan pembuluh darah dan kekakuan arteri. Selain itu proses menua juga dapat menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus, aliran darah ginjal, dan aktivitas renin.
Kombinasi tersebut menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Proses menua juga akan menyebabkan penurunan metabolisme otak, kecepatan sambungan saraf, metabolisme basal, kapasitas vital dan kemampuan pernapasan maksimal sehingga sehingga kemungkinan dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah (Weber, 2001).
Dalam penelitian Dogan, Toprak & Demir (2012), yang melibatkan 2035 responden menyebutkan terjadi peningkatan kejadian hipertensi yang berkaitan dengan pertambahan usia yakni 2,2 % sampai 50,4 %, p < 0,001.
Laki-laki memiliki tekanan darah lebih tinggi dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Perempuan memiliki toleransi yang baik terhadap peningkatan tekanan darah (Bategay, Lin &
Bakris, 2005). Data yang di dapatkan di Indonesia melalui survey Riskesdas 2013 menyebutkan prosentase hipertensi pada usia > 18 tahun pada perempuan 28,8 % dan laki-laki 22,8 %. Hipertensi pada laki-laki terjadi karena pola prilaku dan kebiasaan dan hipertensi pada perempuan disebabkan karena adanya pengaruh hormon esterogen pada wanita (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ongeti, et al (2013) yang melibatkan 400 responden menyebutkan terdapat 13 % pasien hipertensi, dimana 17,8 % nya adalah laki-laki dan 11,1 % nya adalah perempuan. Jenis kelamin laki-laki memiliki faktor resiko yang terkait dengan hipertensi (p=0,001).
Stres meningkatkan tahanan vaskuler perifer dan cardiac output serta merangsang aktifitas sistem saraf simpatik, yang menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Pada hipertensi primer peran stres belum jelas, tetapi bila sering dan berkelanjutan dapat menyebabkan hipertropi otot halus vaskuler atau mempengaruhi jalur koordinasi pusat di otak (Kaplan, 2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Abdus-salam, et al (2014) yang melibatkan 367 responden yang berusia > 18 tahun menyebutkan 94,0 % pasien hipertensi pernah mengalami stress (p < 0,01).
Obesitas merupakan salah satu faktor terjadinya hipertensi.
Kemungkinan terjadi hipertensi pada orang dengan obesitas adalah 20-30 %. Terdapat hubungan yang positif antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan tekanan darah (Battegay, Lin, & Bakris, 2005).
Dalam penelitian Dogan, Toprak, & Demir (2012) dengan metode cross sectional yang melibatkan 2035 responden menyebutkan bahwa resiko hipertensi akan meningkat 2,15 kali (p<0,001) pada orang yang memiliki BMI ≥30 kg/m2 atau obesitas.
Konsumsi tinggi sodium dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi primer. Diet tinggi garam merangsang pengeluaran hormon natriuretik yang kemungkinan secara tidak langsung meningkatkan tekanan darah. Muatan sodium juga merangsang mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat (Kaplan, 2002).
Berdasarkan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) dari National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood
Institute, konsumsi garam di bawah 1500 mg akan mengurangi tekanan darah. Penelitian yang dilakukan oleh Cook, et al (2007) dengan metode RCT (Randomized Controlled Trial), menyebutkan dari 744 responden, yang di berikan intervensi penurunan konsumsi Natrium 327, dan kontrol (usual care) 1608. Hasilnya selama 18 bulan intervensi di dapatkan penurunan tekanan darah sistolik (1,7 mmHg) dan diastolik (0,8 mmHg) (p < 0,05).
Merokok merupakan faktor terjadinya hipertensi. Nikotin sebagai bahan utama rokok dapat merangsang pelepasan adrenalin sehingga meningkatkan tekanan darah, denyut nadi, dan kontraksi otot jantung. Resiko terjadinya hipertensi berhubungan dengan lama merokok dan semakin berat bila jumlah rokok yang dihisap semakin banyak dalam satu hari. Seorang yang merokok lebih dari satu pak rokok dalam sehari akan berisiko 2 kali terkena hipertensi dibandingkan dengan yang tidak merokok (Price & Wilson, 2006).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Abathi, et al (2011), dengan metode cross sectional yang melibatkan 3115 responden, didapatkan 5, 83 % responden merokok (42,6 % mengalami kondisi pre- hipertensi dan 18,2 % mengalami hipertensi.
2.1.5 Manifestasi Klinis
Pada tahap awal perkembangan hipertensi, tidak ada manifestasi klinik yang dirasakan oleh klien. Jika tidak terdiagnosa maka tekanan darah akan meningkat terus dan muncul manifestasi klinik.
Klien akan melaporkan keluhan seperti nyeri kepala yang menetap, kelelahan, pusing, berdebar debar, penglihatan kabur dan epistaksis (Black & Hawks, 2014).
Pada pemeriksaan fisik, mungkin tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan) dan
penyempitan pembuluh darah. Pada kasus yang berat, dapat terjadi edema pupil (edema pada diskus optikus). Penyakit arteri koronaria seperti angina pectoris dan infark miokard dapat terjadi sebagai komplikasi adanya hipertensi. Hipertropi ventrikel kiri dapat terjadi sebagai akibat peningkatan kerja ventrikel melawan tekanan sistemik yang meningkat. Gagal jantung, kerusakan ginjal dan gangguan vaskuler di otak dapat ditemukan pada hipertensi dengan kondisi lanjut dan tidak ditangani secara tepat (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
2.1.6 Perjalanan Penyakit
Beberapa sumber menjelaskan tentang proses perjalanan penyakit hipertensi, Black & Hawks (2014) menjelaskan terdapat 4 sistem kontrol yang memiliki peran utama dalam menjaga tekanan darah yaitu sistem baroreseptor dan kemoreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angio-tensin dan autoregulasi vasculer.
Baroreseptor dan kemoreseptor arteri bekerja untuk mengontrol tekanan darah. Baroreseptor memonitor tingkat tekanan arteri dan memperlambat denyut jantung melalui saraf vagus. Kemoreseptor peka terhadap perubahan konsentrasi oksigen, karbondioksida dan ion hidrogen dalam darah. Autoregulasi kemoreseptor menyebabkan perubahan volume darah dan rangsangan simpatik yang berlebihan.
Perubahan volume cairan mempengaruhi tekanan arteri sistemik.
Apabila sodium dan cairan berlebih, akan terjadi peningkatan volume darah total sehingga menyebabkan tekanan darah meningkat (Black & Hawks, 2014).
Sistem renin – angiotensin tubuh berperan dalam pengaturan tekanan darah. Renin adalah enzim yang dihasilkan oleh ginjal untuk merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angiotensin I
kemudian dirubah oleh converting enzyme yang dikeluarkan oleh paru menjadi angiotensin II. Angiotensin II sebagai vasokonstriktor dan merangsang pengeluaran aldosteron (Price & Wilson, 2006).
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer yang terjadi pada lanjut usia dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan relaksasi otot polos pembuluh darah yang akan menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Dampaknya aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) dan dapat mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010)
2.1.7 Komplikasi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif dan down regulation.
Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, FKUI 2006).
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke
dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang.
Arteri-arteri di otak yang mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2009).
Beban kerja jantung akan meningkat pada hipertensi. Jantung yang terus-menerus memompa darah dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan pembesaran ventrikel kiri sehingga darah yang dipompa oleh jantung akan berkurang. Hal ini menimbulkan komplikasi gagal jantung kongestif (Smeltzer, Bare, Hinkle &
Cheever, 2010).
Terjadinya infark miokardium apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distritma, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Gray, Dawkins, Morgan & Simpson, 2005).
Gagal ginjal dapat terjadi pada hipertensi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal atau glomerolus.
Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerous, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan
osmotik koloid plasma berkurang menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2009).
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi menurut American Heart Association 2014 meliputi modifikasi gaya hidup yang terdiri dari: diet dan mengurangi konsumsi garam, aktivitas fisik, mengontrol berat badan, management stres, mengurangi rokok, mematuhi pengobatan medis, dan mengurangi alkohol. Penatalaksanaan hipertensi menurut European Society of Hypertension & European Society of Cardiology 2013 meliputi modifikasi gaya hidup (misalnya membatasi asupan garam 5-6 g/hari, menurunkan IMT 25 kg/m2), pengobatan farmakologi monoterapi atau kombinasi, dan monitoring tekanan darah secara rutin melalui rawat jalan atau dirumah. Di Indonesia, penatalaksanaan hipertensi menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia & Indonesian Society of Hipertension 2014 meliputi olah raga, mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, mengurangi asupan garam, meningkatkan aktivitas fisik dan tidak merokok.
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, mencegah kerusakan organ, dan mencapai target tekanan darah < 130/80 mmHg dan 140/90 mmHg untuk individu berisiko tinggi dengan diabetes atau gagal ginjal (Yogiantoro, FKUI 2006). Penurunan tekanan darah meskipun sedikit sangat bermakna untuk mengurangi insiden dari penyakit kardiovaskular. Penurunan sebesar 2 mmHg akan menurunkan resiko stroke sebesar 15 %, resiko penyakit jantung koroner sebesar 6 %, dan akan mengurangi sebanyak 17 % komplikasi penyakit kardiovaskuler apabila pengobatan diminum secara teratur (Riaz, 2012).
2.1.8.1 Penatalaksanaan farmakoterapi
Tujuan utama dari farmakoterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah terjadinya komplikasi. Keputusan untuk memulai pengobatan antihipertensi berdasarkan pada derajat hipertensi, terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskuler, kerusakan organ target dan terdapatnya penyakit penyerta yang memperberat kondisi pasien. Penatalaksanaan hipertensi dengan obat dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan kebutuhan dan usia. Terapi harus efektif selama 24 jam dan pasien lebih menyukai diberikan dalam dosis tunggal karena lebih murah dan kepatuhan pasien akan lebih baik. Pemberian obat juga harus dapat melindungi pasien terhadap peningkatan tekanan darah saat bangun tidur (Casey, 2011; Riaz, 2012)
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang di anjurkan oleh JNC 8 yaitu ACE inhibitors (captopril, enalapril, lisinopril), Angiotensin reseptor blockers (eposartan, candesartan, losartan, valsartan, irbesartan), β-Blockers (atenolol, metoprolol),Calcium chanel blockers (amlodipine, diltiazem extended release, nitrendipine), Thiazide-type diuretics (bendroflumethiazide, chlortalidone, hydrochlorothiazide, indapamide) (James, et al 2014).
ACE inhibitors menurunkan pembentukan angiotensin II, karena faktor yang berkontribusi terhadap hipertensi adalah aktivasi dari sistem renin angitensin. Dengan ekskresi ACE inhibitor akan mengurangi retensi natrium dan air, mengurangi volume darah, terjadi vasodilatasi terutama di otak, jantung dan ginjal serta menurunkan resistensi tahanan perifer (Casey, 2011). Rekomendasi medikasi yang dianjurkan JNC 8 sesuai dengan evidence-based dosis obat antihipertensi pada pedoman managemen hipertensi 2014 menyebutkan captopril (dosis harian: 50 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs:
150-200 mg), Enalapril (dosis harian: 5 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs:
20 mg), Lisinopril (dosis harian: 10 mg, dosis berdasarkan evidence- based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 40 mg) (James, et al 2014).
Beta blocker merupakan penghalang ikatan noradrenalin dengan reseptor pada sel miokardium, saluran pernafasan dan pembuluh darah perifer. Efek pada jantung adalah mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas terutama saat saraf simpatik terstimulasi seperti saat olahraga dan stress. Penurunan curah jantung mengakibatkan penurunan tekanan darah. Obat ini juga mengurangi efek noradrenalin pada sistem renin angiotensin-aldosteron dan menyebabkan vasodilatasi dari arteriol yang mengurangi resistensi tahanan perifer (Casey, 2011). Rekomendasi medikasi yang dianjurkan JNC 8 sesuai dengan evidence-based dosis obat antihipertensi pada pedoman managemen hipertensi 2014 menyebutkan atenolol (dosis harian: 25- 50 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 100 mg), metoprolol (dosis harian: 50 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 100-200 mg) (James, et al 2014).
Calcium chanel bloker dapat mengurangi variabilitas pada tekanan darah. Efek dari kalsium extra selular adalah pada kontraksi otot polos jantung dan pembuluh darah. Obat akan menghalangi masuknya kalsium ke dalam otot-otot polos sehingga mengurangi kontraksi otot jantung (Casey, 2011). Rekomendasi medikasi yang dianjurkan JNC 8 sesuai dengan evidence-based dosis obat antihipertensi pada pedoman managemen hipertensi 2014 menyebutkan amlodipine (dosis harian: 2,5 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 10 mg), diltiazem extended release (dosis harian: 120-180 mg, dosis berdasarkan
evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs:
360 mg), nitrendipine (dosis harian: 10 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs:
20 mg) (James, et al 2014).
Angiotensin receptor blockers memiliki efek fisiologis hampir sama dengan ACE-inhibitor, obat ini dibutuhkan karena ACE-inhibitor tidak memblokir semua aktivitas angiotensin. Rekomendasi medikasi yang dianjurkan JNC 8 sesuai dengan evidence-based dosis obat antihipertensi pada pedoman managemen hipertensi 2014 menyebutkan eprosartan (dosis harian: 400 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs:
600-800 mg), candesartan (dosis harian: 4 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs:
12-32 mg), losartan (dosis harian: 50 mg, dosis berdasarkan evidence- based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 100 mg), valsartan (dosis harian: 40-80 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 160-320 mg), irbesartan (dosis harian: 75 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 300 mg) (James, et al 2014).
Diuretik bekerja dengan cara meningkatkan ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Hal ini mengurangi volume darah dan aliran balik vena, sehingga mengurangi curah jantung (Casey, 2011).
Rekomendasi medikasi yang dianjurkan JNC 8 sesuai dengan evidence-based dosis obat antihipertensi pada pedoman managemen hipertensi 2014 menyebutkan bendroflumethiazide (dosis harian: 5 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 10 mg), chlortalidone (dosis harian: 12,5 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 12,5-25 mg), hydrochlorothiazide (dosis harian:
12,5-25 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 25-50 mg), indapamide (dosis harian: 1,25 mg, dosis berdasarkan evidence-based yang menyeimbangkan efikasi dan keamanan-RCTs: 1,25-2,5 mg), (James, et al 2014).
2.1.8.2 Penatalaksanaan nonfarmakoterapi
Penatalaksanaan nonfarmakoterapi dilakukan dengan melakukan modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dianjurkan sebagai terapi definitif awal, paling tidak untuk 6-12 bulan pertama setelah diagnosis awal. Rekomendasi untuk modifikasi gaya hidup diantaranya adalah pengurangan berat badan, pembatasan natrium, modifikasi diet lemak, olah raga, pembatasan alkohol, pembatasan kafein, tehnik relaksasi dan menghentikan kebiasaan merokok (Black&Hawks, 2014). Rekomendasi digunakan untuk menjaga tekanan darah tetap dalam keadaan terkontrol terutama pada orang yang memiliki resiko terkena hipertensi (Ijzenlenberg, et al, 2012).
Ada beberapa penelitian yang merekomendasikan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan resiko penyakit kardiovaskuler, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ziv, et al (2013) menggunakan metode RCTs, yang melibatkan 113 responden. Hasil dari penelitian tersebut merekomendasikan Comprehensive Approach to Lower Blood Pressure (CALM-BP) yaitu latihan fisik; 45 menit latihan berjalan dilakukan 3x seminggu, diet rendah lemak dan diet vegetarian, relaksasi dan manajemen stres dan evaluasi kepatuhan (Ziv, et al 2013).
Penelitian yang berkaitan dengan intervensi aktifitas fisik dalam penatalaksanaan hipertensi diantaranya adalah rekomendasi aktivitas fisik selama 20 menit yang dilakukan 3 kali dalam seminggu (Halbert,
et al 2000), Jogging, jalan kaki dan senam selama 60 menit yang dilakukan 2 kali seminggu (Tsuda, et al 2003), berjalan selama 30 menit yang dilakukan 5-7 kali seminggu (Sohn, et al 2007), bersepeda selama 60 menit yang dilakukan 5 kali dalam seminggu (Sridhar, et al, 2010).
Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi dalam penelitian Campbell, et al, (1999) menyebutkan rekomendasinya sebagai berikut: menurunkan berat badan (BMI yang direkomendasikan dalam mencegah hipertensi 20-25, kondisi overweight dengan BMI>25 dianjurkan untuk menurunkan sampai 4,5 kg), mengurangi konsumsi alkohol sampai batas tidak boleh melebihi 2 gelas standar dalam sehari, melakukan aktivitas fisik (berjalan, bersepeda) secara intensif selama 50-60 menit selama 3-4 kali dalam seminggu, mengurangi konsumsi garam sampai batas 90-130 mmol per hari, managemen stres dengan melakukan intervensi prilaku kognitif dan menganjurkan latihan relaksasi atau meditasi.
2.2 Terapi Alternatif dan Komplementer 2.2.1 Pengertian
Terapi alternatif komplementer sebagai sebuah domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan, modalitas, praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau budaya yang ada (Complementary and Alternative Medicine Research Methodology Conference, 1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
Terapi alternatif komplementer termasuk didalamnya seluruh praktik dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai pencegahan, pengobatan penyakit, promosi kesehatan dan kesejahteraan. Terapi alternatif komplementer merupakan sebuah kelompok dari bermacam-macam sistem pengobatan dan perawatan kesehatan, praktek dan produk yang
secara umum tidak menjadi bagian dari pengobatan konvensional (National Institutes of Health, 2007). Terapi alternatif komplementer menjelaskan tentang praktek-praktek dan produk-produk dimana masyarakat memilihnya sebagai sebuah tambahan atau alternatif dalam pendekatan pengobatan modern (Debas, Laxminarayan&Strauss, 2006)
2.2.2 Jenis terapi alternatif komplementer
The United States National Institutes of Health mengklasifikasikan terapi alternatif komplementer menjadi 5 jenis:
a. Biologically based practice
Merupakan jenis terapi alternatif komplementer dengan jenis pengobatan seperti; suplemen makanan, tumbuhan, ekstrak dari hewan, vitamin, mineral, asam lemak, asam amino, protein, prebiotics dan probiotik, dan makanan fungsional (NCCAM, 2005).
Beberapa jenis dari biologically based practice diantaranya adalah biofeeback, herbal theraphy, hydrotheraphy dan nutritional counseling. Penggunaan herbal memiliki tiga fungsi dasar yaitu eliminasi dan detoksifikasi, manajemen kesehatan dan pemeliharaan serta meningkatkan kesehatan (American Holistic Nurses Association, 2015).
Minat dan penggunaan produk alami telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Menurut National Health Interview Survey (NHIS) 2007, yang melakukan survei komprehensif tentang penggunaan pendekatan kesehatan komplementer oleh masyarakat Amerika, 17,7 % orang dewasa Amerika telah menggunakan nonvitamin / produk alami nonmineral dalam satu tahun terakhir.
Produk kesehatan komplementer ini paling populer di kalangan orang dewasa dan anak-anak. Produk alami yang paling umum digunakan pada orang dewasa pada 30 hari terakhir adalah minyak ikan/ omega3 (dilaporkan oleh 37,4 persen dari seluruh orang
dewasa mengatakan menggunakan produk alami), sedangkan produk populer untuk anak-anak (diambil dalam 30 hari terakhir) adalah echinacea (37,2 persen) dan minyak ikan / omega3 (30,5 persen) (NIH-NCCAM 2008).
b. Manipuative and body-based approaches
Manipulative and body-based practice memiliki karakteristik bahwa tubuh manusia mengatur dirinya sendiri dan memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri karena bagian- bagian tubuh manusia saling terkait (NCCAM, 2005)
Jenis pendekatan ini meliputi acupressure, acupuncture, alexander technique, aromatherapy, body work, breema bodywork, chiropractic medicine, cranial osteopathy, cranio-sacral therapy, dance theraphy, Jin Shin Jyutsu, lymphatic therapy, massage, movement therapy, neuromuscular therapy, physical therapy, Qi Gong, Shiatsu, dan trigger point therapy (American Holistic Nurses Association, 2015).
c. Mind-Body medicine
Tujuan dari Mind-Body medicine adalah untuk mendapatkan tubuh dan pikiran rileks dan mengurangi tingkat hormon stress dalam tubuh, sehingga sistem kekebalan tubuh lebih mampu melawan penyakit. Mind-Body medicine dapat bermanfaat bagi banyak kondisi karena mendorong relaksasi, meningkatkan kemampuan, mengurangi ketegangan dan rasa sakit, dan mengurangi kebutuhan akan obat-obatan (NCCAM, 2005).
Mind-Body medicine menggunakan kekuatan pikiran dan emosi mempengaruhi kesehatan fisik. Kunci untuk Mind-Body medicine adalah untuk melatih pikiran dalam memusatkan perhatian pada tubuh tanpa gangguan. Dalam keadaan ini, fokus konsentrasi
seseorang dapat meningkatkan kesehatan mereka (NIH-NCCAM, 2008)
Jenis pendekatan ini meliputi pendekatan art therapy, color therapy, psychotherapy, Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), guided imagery, hypnotherapy, meditation, music therapy, neuro-linguistic programming (NLP), stress management, Tai Chi dan Yoga therapy. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Herbert Benson dari Harvard University menyatakan bahwa kemampuan mengkondisikan fikiran dalam keadaan santai sangat baik untuk kesehatan dan respon sistem kekebalan tubuh, dalam hal ini cara yang dianjurkan adalah berdo’a (American Holistic Nurses Association, 2015).
d. Alternative Medical System
Jenis pendekatan alternative medical system meliputi homeopathy dan osteopathic medicine. Homeopathy merupakan sistem pengobatan yang dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa tubuh bisa menyembuhkan. Prinsip dasar tersebut meliputi penyembuhan, bahan alami seperti ekstrak tumbuh-tumbuhan dan mineral disiapkan dalam konsentarsi yang rendah dan dengan cara yang spesifik. Semakin encer obat homeopati, dianggap semakin kuat.
Osteopathi menggunakan berbagai bentuk manipulasi fisik, untuk memfasilitasi mekanisme penyembuhan dalam tubuh. Memiliki kecenderungan pada terapi medis konvensional sehingga mampu mendiagnosa dan mengobati (American Holistic Nurses Association, 2015).
e. Energy Medicine.
Pendekatan ini menggunakan terapi yang meliputi Chi Kung Healing Touch, energy work, healing touch, magnetic therapy, prayer, Reiki, therapeutic touch dan touch for health (American Holistic Nurses Association, 2015).
2.3 Terapi Herbal 2.3.1 Pengertian
Obat-obatan herbal merupakan kumpulan dari beberapa komponen yang meliputi; herbal (bahan tanaman mentah seperti daun, bunga, biji, batang, kayu, kulit kayu, akar, rimpang, atau bagian tanaman lainnya), bahan herbal (juice segar, minyak essensial, dan bubuk kering herbal), obat herbal (dasar dari hasil akhir produk herbal yang meliputi bubuk herbal, ekstrak dan minyak herbal), produk akhir herbal (obat herbal yang terbuat dari satu atau lebih herbal/ kombinasi) (WHO, 2000). Obat Herbal adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral, dapat berupa obat herbal tradisional atau obat herbal non tradisional (BPOM RI, 2014)
2.3.2 Kualitas, Keamanan dan Efficacy Obat Herbal
Dalam rangka untuk memastikan kesehatan masyarakat, produk obat harus aman, berkhasiat, berkualitas dan cocok untuk digunakan. Selama satu dekade terakhir kualitas produk herbal terus menjadi perhatian utama.
Pentingnya kualitas dalam memastikan keamanan dan kemanjuran produk herbal perlu dikaji lebih intensif (DeSmet, 2004). Penggantian dan pemalsuan produk dapat berakibat sangat membahayakan bagi kesehatan.
Adanya kasus nefrotoksisitas dan carcinogenicity menunjukkan perlunya kontrol yang baik dan ketat terhadap kualitas produk herbal (European Medicines Agency, 2005).
Kasus nefropati irreversibel pernah dilaporkan lebih dari 100 kasus di Belgia tahun 1993, 7 kasus mengalami gagal ginjal stadium akhir di Prancis, dan pada tahun 1999 ditemukan 2 kasus di Inggris dengan gagal ginjal, 17 kasus di Cina dengan 12 kasus mengalami kematian, 10 kasus di Jepang karena mengkonsumsi produk penurun berat badan yang mengandung asam aristolochic (European Medicines Agency, 2005).
Menurut The International Agency for Research on Cancer, spesies aristolochia merupakan komponen yang nefrotoksik, karsinogenik dan mutagenik (International Agency for Research on Cancer, 2002). Masalah yang terkait dengan Aristolochia telah mendorong tindakan pengaturan seluruh dunia dan undang-undang baru telah diperkenalkan di Inggris untuk melarang penggunaan spesies Aristolochia dalam obat-obatan tanpa izin (Medicines Control Agency, 2001).
Kualitas produk herbal memerlukan proses pertimbangan yang kompleks dan unik. Hal ini dikarenakan sifat dari ramuan herbal yang merupakan campuran kompleks dari konsentrasi variasi tanaman yang tergantung pada lingkungan dan faktor genetik (Barnes, Anderson & Philipson, 2007).
Pengendalian bahan awal sangat penting untuk memastikan kualitas produk obat herbal (DeSmet, 2004). Ramuan herbal harus akurat dan dapat diidentifikasi perbandingan makroskopis dan mikroskopisnya dari bahan asli atau melalui gambaran keaslian dari herbal tersebut (Houghton P, 1998).
Kualitas bahan herbal dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti iklim, ketinggian dan kondisi pertumbuhan. Kondisi perawatan saat penyimpanan dan pengelolaan juga mempengaruhi kualitas bahan herbal.
Penyimpanan yang tidak tepat akan menyebabkan kontaminasi dari mikroba dan proses pengeringan yang tidak sesuai dapat menyebabkan hilangnya senyawa aktif dalam bahan tersebut (Barnes, Anderson &
Philipson, 2007).
Keamanan dari produk herbal memerlukan evaluasi dan monitoring manfaat, resiko dan efek samping. Keamanan dari produk herbal sangat penting karena sebagian dari produk ini dikonsumsi dengan resep individu.
Hal ini akan mempersulit identifikasi, karena kemungkinan resiko efek samping misalnya toksisitas belum diketahui oleh pengguna. Resiko keracunan kronis seperti karsinogenitas, mutagenisitas dan hepatotoksisitas, mungkin telah diabaikan oleh generasi sebelumnya dan itu adalah jenis toksisitas yang paling berbahaya ketika menilai keamanan obat herbal (Brevoort P, 1998; DeSmet, 2004).
Obat herbal semakin populer di seluruh dunia, tetapi kelangkaan bukti ilmiah tentang khasiatnya masih sangat terbatas. Di Eropa, banyak obat herbal yamg memiliki reputasi baik pada penggunanya, tetapi hanya sedikit dokumentasi ilmiah senyawa aktif, farmakologi tindakan dan efficacy klinis (Barnes J, 2002). Data fitokimia atau data farmakologi dari studi hewan dapat memberikan dasar yang rasional penggunaan obat herbal, namun bukti keberhasilan dari studi klinis juga terbatas. Penekanan bukti keberhasilan melalui evidance-based dibutuhkan percobaan terkontrol, acak dan ketat. Percobaan klinis dengan seleksi yang meminimalkan bias dan kesalahan menjadi ulasan sistematis yang sedang diterapkan. Sejumlah bahan herbal yang sudah dilakukan tinjauan sistematis, diantarnya adalah aloe vera, bawang putih, jahi, ginko, gingseng, peppermint dan echinacea (Ernst E, 2005).
Salah satu masalah mendasar dari karakteristik obat herbal adalah bahan- bahannya bersifat sangat individual meskipun kandungan kimianya sangat banyak. Banyak bahan herbal yang dilakukan pencampuran dari bahan lain untuk mendapatkan hasil terapi yang maksimal, tetapi efek samping dan toksisitas juga dapat muncul (Williamson, 2001). Pada beberapa kasus, kurangnya pengetahuan tentang fitokimia pada senyawa herbal memiliki dampak pada pembenaran dan efek samping penggunaan herbal. Dengan variasi yang beragam dari senyawa bahan herbal dalam bentuk sediaan,
mempengaruhi proses identifikasi dan penilaian keberhasilan klinis. Hal ini mencetuskan adanya standarisasi. Tujuan dari standarisasi adalah untuk mendapatkan hasil yang optimal dari senyawa yang terdapat pada bahan herbal sehingga dapat digunakan untuk aktivitas terapi (Barnes, Anderson
& Philipson, 2007).
2.3.3 Konsep Pengembangan Obat Herbal Indonesia
Berdasarkan tingkat pembuktian khasiat, persyaratan baku yang digunakan dan pemanfaatannya, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: jamu, obat herbal terstandar, dan fitofamaka (Ritiasa, 2004).
Skema 2.1 Konsep Pengembangan Obat Herbal di Indonesia Jamu
Obat herbal terstandar
Fitofarmaka
Penggunaannya secara turun temurun, empiris
Bahan baku tidak distandarisasi
Untuk Pengobatan sendiri
Pembuktian khasiat dan keamanan berdasarkan uji preklinik dan uji klinik
Bahan baku, produk distandarisasi
Untuk pelayanan kesehatan formal
Pembuktian khasiat dan keamanan berdasarkan uji pre klinik
Bahan baku distandarisasi
Untuk pengobatan sendiri