345
SEBARAN DAN KARAKTERISTIK KONFLIK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus) DENGAN MANUSIA DI KALIMANTAN TIMUR
Yoyok Sugianto1, Rachmad Budiwijaya1, Marlon Ivanhoe Aipassa1, Sukartiningsih1, Wawan Kustiawan1, dan Yaya Rayadin1,2*
1Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Kampus Gunung Kelua JL. Penajam Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
2PT Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (ECOSITROP), Komplek Talang Sari Regency Cluster Dahlia No. C15 RT 07 Samarinda, Kalimantan Timur,
Indonesia
*Corresponding Author. E-Mail: [email protected]
Submit: 21-3-2023 Revisi: 6-6-2023 Diterima: 16-6-2023
ABSTRAK
Sebaran dan Karakteristik Konflik Orangutan (Pongo pygmaeus) dengan Manusia di Kalimantan Timur. Orangutan di Kalimantan saat ini memiliki status konservasi critically endangered. Kerusakan habitat orangutan menyebabkan orangutan hidup pada lokasi yang berdekatan dengan aktivitas manusia, sehingga rawan menimbulkan konflik antara orangutan dan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data dan informasi tentang sebaran dan karakteristik konflik antara orangutan (Pongo pygmaeus) dengan manusia yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur. Pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui berbagai kejadian konflik antara orangutan dan manusia dilakukan melalui pengamatan deskriptif dan kuisioner. Di Provinsi Kalimantan Timur dalam periode waktu 10 tahun terakhir yakni tahun 2012 hingga 2021, ada 109 kejadian penanganan konflik antara manusia dengan orangutan. Terdapat 67 usaha baik secara rehabilitasi maupun translokasi. Orangutan berjenis kelamin jantan lebih banyak terlibat konflik yakni sebanyak 68 individu, sedangkan orangutan berjenis kelamin betina sebanyak 28 individu.
Banyaknya kejadian konflik berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur adalah sebanyak 96 kejadian, dimana orangutan dewasa memiliki kejadian yang paling banyak yakni sebanyak 42 kejadian, dan yang paling sedikit kejadian konfliknya yakni pada kelas umur bayi yaitu sebanyak 8 kejadian konflik. Menurut asal usul atau lokasi konflik, kebun masyarakat menjadi lokasi yang sering terjadi konflik yakni sebanyak 39 kejadian, areal kebun sawit merupakan lokasi terbanyak kedua yang mengalami kejadian konflik yakni sebanyak 17 kali kejadian.
Kata kunci : Critically endangered, Orangutan, Kalimantan Timur, Kelas umur, Tipologi konflik.
ABSTRACT
Distribution and Characteristics of Orangutan (Pongo pygmaeus) Conflict with Humans in East Kalimantan. Orangutans in Kalimantan currently have a critically endangered conservation status.
Destruction of orangutan habitat causes orangutans to live in locations close to human activities, ma k i n g i t prone to conflict between orangutans and humans. This study aims to provide data and information about t he distribution and characteristics of conflicts between orangutans (Pongo pygmaeus) and humans that occur in East Kalimantan Province. Data collection was carried out to find out various incidents of conflict between orangutans and humans by means of descriptive observations and questionnaires. In the Province o f East Kalimantan in the last 10 years, from 2012 to 2021, there were 109 incidents of conflict resolution between humans and orangutans. There are 67 businesses both in terms of rehabilitation and transloc at i o n.
Male orangutans are involved in more conflicts, as many as 68 individuals, while female orangutans are 28 individuals. The number of conflict incidents based on gender and age class was 96 incidents, where adult orangutans had the most incidents, as many as 42 incidents, and the least number of conflict incidents was i n the infant age class, as many as 8 conflict incidents. According to the origin or location of the conflict,
346
community plantations were the location where conflicts often occurred, as many as 39 incidents, the area o f oil palm plantations was the second most frequent location where conflicts occurred, as many as 17 incidents.
Keywords : Conflict typology, Critically endangered, East Kalimantan, Orangutan .
1. PENDAHULUAN
Spesies orangutan di Kalimantan saat ini memiliki status konservasi critically endangered yang berarti sudah kritis dan di ambang kepunahan.
Berdasarkan estimasi penghitungan populasi orangutan di Kalimantan tahun antara 1999 sampai dengan 2015 telah mengalami penurunan populasi lebih dari 100.000 individu (Voigt et al., 2018).
Peristiwa tersebut merupakan indikasi bahwa keberadaan populasi orangutan dan habitatnya di alam liar semakin terancam. Kerusakan habitat oranguutan disebabkan banyak faktor. Kebutuhan ruang untuk pembangunan wilayah seperti perkebunan besar, pertambangan, hutan industri serta infrastruktur menyebabkan adanya alih fungsi lahan (Anjarani et al., 2022). Industri kelapa sawit (Putra, 2019) dan tambang (Kamim, 2018) merupakan faktor utama dari alih fungsi hutan. Faktor lain yaitu dinamika populasi penduduk yang meningkat menyebabkan ekosistem hutan di Kalimantan menjadi terfragmentasi (Final Report, 2016). Kerusakan hutan diperkirakan menyebabkan orangutan memilih tipe-tipe habitat tertentu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan orangutan hidup pada area- area yang berdekatan dengan aktivitas manusia, sehingga rawan menimbulkan konflik antara orangutan dan manusia.
Adanya konflik antara orangutan dan manusia akan menyebabkan banyak masalah terhadap kelangsungan hidup satwa liar (Meijaard et al., 2011). Konflik merupakan segala bentuk interaksi yang berdampak negatif dalam bentuk kerugian disalah satu maupun kedua belah pihak yang terlibat. Konflik yang
ada perlu dikendalikan, untuk mengurangi dampak, maka diperlukan upaya penanggulangan (mitigasi) berkelanjutan (Lubis et al., 2014).
Sayangnya fakta di lapangan yakni perusahaan belum membekali pegawainya apabila terjadi konflik satwa atau bahkan perusahaan menutup mata dengan mengelak bahwa satwa yang bersinggungan dengan aktivitas kerja perusahaan berasal dari luar kawasan.
Populasi orangutan tidak bertahan hidup di luar hutan yang tidak terganggu. Ini menjadi perhatian karena hampir 75%
dari semua orangutan hidup di luar kawasan lindung, di mana degradasi hutan alam mungkin terjadi, atau digantikan oleh hutan tanaman (Meijaard et al., 2010).
Berbagai usaha penegakan hukum perlindungan orangutan dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan keberadaan orangutan. Salah satunya dengan jalan menangkap para penyelundup, penjual, pemelihara ilegal orangutan, serta pelayanan call center masyarakat yang dikelola BKSDA Kalimantan Timur. Namun demikian selalu saja mengelak apabila dilakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang terlibat konflik dengan bukti sarang dan keberadaan yang dikaitkan dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Perusahaan perlu menerapkan model baru terkait pencegahan terjadinya konflik untuk menurunkan intensitas bertemunya orangutan sehingga proses aktivitas perusahaan tidak akan terganggu.
Perubahan hutan menjadi areal penggunaan lain yang dilakukan tidak mempertimbangkan faktor ekologi dan konservasi akan menjadi penyebab
347 gesekan antara kepentingan manusia dan
satwa liar.
Konflik yang seringkali muncul semakin mengesampingkan posisi dan keberadaan satwa liar terutama yang dilindungi. Padahal struktur dan komposisi dari ekosistem saling terkait dan berkesinambungan. Apabila terjadi perubahan pada salah satu satwa maka akan mempengaruhi satwa yang lain kemudian satwa tersebut harus beradaptasi atau akan punah sama sekali.
Berangkat dari kondisi yang disebutkan diatas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan data dan informasi tentang sebaran dan karakteristik konflik antara orangutan (Pongo pygmaeus) dengan manusia yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur.
2. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini lebih diarahkan pada lokasi yang bersentuhan dengan konflik satwa liar yaitu perusahaan perkebunan sawit, pertambangan, perusahaan yang memiliki hak untuk melakukan perizinan berusaha pemanfaatan hutan baik di hutan alam maupun di hutan tanaman industri dan kebun masyarakat serta di sekitar kawasan konservasi di Provinsi Kalimantan Timur. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2021 sampai dengan Mei 2022 mulai dari pengumpulan data dan pengamatan lapangan, sedangkan pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2022.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian.
2.2. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah alat tulis, form isian terjadinya kejadian, panduan penanggulangan konflik,
kamera, GPS, peta wilayah administratif Provinsi Kalimantan Timur, peta penggunaan lahan Provinsi Kalimantan Timur dan kuisioner.
348
2.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data untuk mengetahui berbagai kejadian konflik antara orangutan dan manusia dilakukan melalui pengamatan deskriptif dan kuisioner. Pengamatan deskriptif dilakukan pada berbagai lokasi yang diidentifikasi sebagai ancaman terhadap habitat orangutan dan pada lokasi yang dilaporkan terjadi kegiatan penanganan konflik yang diterima oleh BKSDA Kalimantan Timur.
Penyebaran kuisioner dilakukan pada desa-desa yang masyarakatnya berinteraksi langsung dengan perusahaan perkebunan sawit, pertambangan, perusahaan yang memiliki hak untuk melakukan perizinan berusaha pemanfaatan hutan baik di hutan alam maupun, di hutan tanaman industri dan kebun masyarakat serta di sekitar kawasan konservasi di Provinsi Kalimantan Timur. Isian kuisioner difokuskan untuk mengetahui interaksi atau aktivitas dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dari dalam atau sekitar kawasan tersebut.
2.4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan secara deksriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis statistik yang bertujuan untuk memberikan deskripsi atau gambaran mengenai subjek penelitian berdasarkan data variabel yang diperoleh dari kelompok subjek tertentu.
Analisis deskriptif dapat ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, tabel histogram, nilai rata-rata, nilai standar deviasi dan lainnya. Manfaat yang diperoleh dari penggunaan analisis deskriptif dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran lengkap dari data baik dalam bentuk verbal atau numerik yang berhubungan dengan data yang terkait dalam penanganan konflik orangutan. Tabel frekuensi digunakan untuk menganalisis persentase aktivitas
dan penanganan konflik orangutan yang melalui tahapan editing data, pengklasifikasian data, menghitung frekuensi, dan menyusun tabel frekuensi yang memuat jumlah dan persentase frekuensi.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Penanganan Konflik
Mengurangi konflik antara manusia dengan satwa liar merupakan prioritas konservasi yang mendesak dan kunci koeksistensi atara manusia dan hewan (Mekonen, 2020). Penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar adalah proses dan upaya atau kegiatan mengatasi atau mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar dengan mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar. Pemerintah telah menetapkan peraturan perundangan melalui Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.53/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar.
Kegiatan penanganan konflik orangutan yang telah dilakukan oleh Balai KSDA Kalimantan Timur bersumber dari laporan masyarakat dalam rangka penanganan konflik antara orangutan dengan manusia. Kegiatan penanganan yang dilakukan diantaranya adalah penangkapan, serah terima, pengusiran/penggiringan dan pemantauan.
Kegiatan penangkapan adalah proses penangananan konflik dengan melakukan pembiusan hal ini dilakukan apabila orangutan yang berkonflik berada pada habitat yang sudah tidak layak dan berpotensi menimbulkan konflik berulang untuk kemudian dapat di translokasi ataupun di rehabilitasi. Kegiatan serah
349 terima adalah penyerahan satwa
Orangutan dari masyarakat kepada pihak Balai KSDA yang berasal dari hasil pemeliharaan ataupun temuan masyarakat untuk kemudian dilakukan rehabilitasi.
Kegiatan pengusiran/penggiringan adalah penanganan konflik yang dilakukan dengan tindakan pengusiran ke daerah yang berhutan dengan tujuan agar orangutan tidak kembali lagi berkonflik.
Kegiatan pemantauan adalah proses
penanganan konflik yang dilakukan berdasarkan hasil informasi masyarakat namun pada saat dilakukan pengecekan lapangan tidak ditemukan individu orangutan yang berkonflik.
Kegiatan penanganan konflik orangutan selama periode tahun 2012 hingga tahun 2021 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kegiatan Penanganan Konflik Orangutan dari Tahun 2012–2022.
Dari data yang didapat, dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan penanganan konflik antara manusia dengan orangutan. Ada 109 kejadian penanganan konflik antara manusia dengan orangutan yang terjadi dalam periode waktu antara tahun 2012 hingga 2022.
Pada tahun 2012 penanganan konflik hanya dengan cara penangkapan yaitu sebanyak 16 kejadian, kemudian menurun pada tahun 2013 dan 2014.
Sampai tahun 2015 dan 2016, tercatat tiap tahunnya ada 9 kejadian penanganan konflik manusia dengan orangutan.
Terjadi fluktuasi secara dinamis, pada tahun 2017 penanganan konflik mengalami penurunan sekitar 4 peristiwa kejadian. Dalam rentang 4 tahun berikutnya yakni tahun 2018–2021 konflik semakin meningkat, sehingga 4
tahun terakhir ada peningkatan konflik yang signifikan antara manusia dengan orangutan. Menurut (Yuwono et al., 2007) konflik antara manusia dengan orangutan yang meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir ini akan selalu berakhir dengan penyusutan populasi orangutan.
Hal ini akan menjadi masalah yang serius jika tidak diantisipasi.
Masalah ini tidak cukup menjadi perhatian pemerintah saja, dibutuhkan penanganan yang lebih optimal dan berkelanjutan serta perlu kerja sama dengan masyarakat di desa, organisasi non-pemerintah, pemerintah daerah (Qomari, 2020) ataupun dengan unit-unit di bawah KLHK. Konflik manusia dengan orangutan terjadi karena pesatnya perkembangan kegiatan manusia, baik pembangunan, kegiatan ekonomi yang
350
terus diekspansi seperti peningkatan jumlah penduduk, hingga pertambahan lahan perkebunan dan pertambangan.
Meluasnya konversi hutan alam menjadi kawasan konsesi perkebunan, hutan produksi, pertambangan, dan pemukiman telah menimbulkan konflik antara manusia dengan orangutan yang berdampak kepada tekanan populasi dan genetik sebagai implikasi dari habitat yang hilang dan terfragmentasi (Spehar &
Rayadin, 2017).
Dominasi perkebunan menjadi ekosistem baru hasil dari alih fungsi lahan, lanskap perkebunan berpotensi dimasukkan ke dalam perencanaan konservasi orangutan. Meskipun perkebunan memiliki nilai yang lebih rendah untuk keanekaragaman hayati tapi berpotensi meningkatkan peluang kelangsungan hidup orangutan (Meijaard et al., 2010).
3.1.1. Penanganan Konflik Berdasarkan Kesehatan
Orangutan yang menjadi korban konflik ditangani secara baik agar tetap sehat. Berdasarkan kesehatan orangutan, penanganan konflik terdiri dari kegiatan rehabilitasi dan translokasi (Arif, 2022).
Rehabilitasi adalah suatu proses dimana orangutan yang ditangkap diberikan perawatan khusus dan bila perlu dilatih atau diberi pengamanan khusus supaya dapat bertahan hidup pada saat dilepasliarkan di alam bebas. Sedangkan translokasi atau pemindahan orangutan adalah pergerakan orangutan hidup yang dimediasi oleh manusia dari suatu area/lokasi ke area lain dalam bentuk pelepasliaran. Translokasi dapat dilakukan dengan memindahkan orangutan hidup dari alam liar atau dari hasil penangkaran ke habitat alami (Sherman et al., 2021). Penyelamatan orangutan belum sepenuhnya difasilitasi dalam melaksanakan penegakan hukum, atau mencegah terhadap hilangnya
orangutan. Translokasi menimbulkan risiko serius terhadap konservasi metapopulasi orangutan (Sherman et al., 2020).
Penanganan konflik berdasarkan kesehatan orangutan dari tahun 2012 hingga 2021 dapat dilihat pada Gambar 3.
Dimana dalam waktu 10 tahun terakhir dilaporkan terjadi peningkatan dalam menjaga kesehatan orangutan. Dari grafik terlihat bahwa sejak tahun 2012 hingga 2021 terdapat 67 usaha baik secara rehabilitasi maupun translokasi.
Translokasi orangutan selama kurun waktu 10 tahun pada periode 2012 hingga 2012 dilakukan sebanyak 42 kali, kegiatan ini merupakan upaya menangkap orangutan di daerah yang miskin daya dukung habitat kemudian diangkut untuk dipindahkan ke daerah hutan yang masih mempunyai daya dukung habitat yang baik. Daya dukung habitat yang dikatakan baik apabila memenuhi kriteria antara lain, mempunyai fungsi ruang (space) bagi satwa untuk bersosialisasi dengan satwa sejenis maupun berhubungan dengan satwa lain. Ruang ini juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari gangguan luar baik manusia atau predator. Paling penting dalam translokasi adalah habitat mempunyai daya dukung sebagai penyedia pakan bagi orangutan. Apabila faktor ini tidak terpenuhi niscaya orangutan akan berpindah mencari hutan atau lokasi lain yang mampu menyediakan pakan. Translokasi oleh karena itu harus dilakukan dengan cara wellfar agar satwa tidak mengalami gangguan yang berlebih. Kegiatan ini harus dilakukan oleh instansi dan personel yang mempunyai kewenangan serta keahlian dibidang penanganan satwa.
Selain itu, selama kurun waktu 10 tahun pada periode 2012 hingga 2012 ada pula penanganan konflik dengan rehabilitasi orangutan yakni sebanyak 25
351 kali. Mengapa rehabilitasi orangutan
perlu dilakukan, karena orangutan berperan penting dalam ekosistem hutan di Pulau Kalimantan. Selain itu karena orangutan adalah hewan yang sangat sulit
bereproduksi, sehingga sangat sulit menaikkan populasi orangutan di alam.
Hal inilah yang membuat proses dan rehabilitasi orangutan menjadi sangat penting.
Gambar 3. Penanganan Konflik Berdasarkan Kesehatan Orangutan dari Tahun 2012–2021.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa pada periode kejadian tahun 2012–2013 penanganan konflik hanya dengan cara translokasi, kemudian menurun pada tahun 2013. Tahun 2014 sampai 2021, tercatat tiap tahunnya antara 2–3 kejadian terhadap orangutan. Seperti penanganan sebelumnya terjadi fluktuasi secara dinamis, pada tahun 2017 penanganan konflik mengalami penurunan sekitar 3 peristiwa kejadian. Dalam rentang 4 tahun berikutnya yakni tahun 2018–2021 penanganan konflik untuk menjaga kesehatan orangutan semakin meningkat.
Konflik manusia dengan orangutan dan perburuan dianggap sebagai ancaman serius bagi keberadaan orangutan di Kalimantan (Meijaard et al., 2011). Dalam memahami konflik orangutan, persepsi kadang berbeda antar kelompok, bagaimana variasi lokal kadangkala terabaikan dalam pembahasan nasional atau regional.
Pentingnya menekankan untuk memahami isu-isu sosial yang terjadi
dalam konflik terkait satwa liar jika tujuan pengelolaan ingin disepakati dan dicapai bersama (Marshall et al., 2007).
Persepsi dan sikap masyarakat lokal berpengaruh terhadap konservasi satwa liar di Kalimantan. Konservasi satwa liar di Kalimantan harus fokus pada sosialisasi pengetahuan tradisional masyarakat tentang satwa liar (Suba, 2017). Faktor budaya dan pengalaman memberi pengaruh besar terhadap persepsi dan perilaku masyarakat dalam upaya konservasi (Pangaribuan, 2020).
3.1.2. Penanganan Konflik Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas Umur
Ada beberapa tahapan atau kelas umur orangutan, yaitu bayi, anak-anak, remaja dan dewasa. Orangutan dalam tahapan bayi yaitu umur 0 bulan sampai dengan 2,5 tahun berada pada fase lahir hingga menyusui, memiliki fungsi sosial yakni proteksi, emosi, dependent dan sangat sosial dengan kemampuan sosial
352
seperti menghormati orangutan dewasa, komunikasi, tradisi dan status dalam grup. Orangutan dalam tahapan anak- anak yaitu umur 2,5 sampai dengan 5 tahun berada pada fase menyusui hingga pubertas, memiliki fungsi sosial yakni semi independen, afiliasi lebih besar daripada kompetisi, dan sangat sosial dengan kemampuan sosial seperti mempunyai kawan-kawan di luar induk, mempunyai kawan sebaya, bermain dan kekuasaan (dominan). Orangutan dalam tahapan remaja yaitu umur 5 sampai dengan 8 atau 10 tahun berada pada fase pubertas hingga melahirkan, memiliki fungsi sosial yang mandiri (lepas dari induk), masuk dunia dewasa (pacaran, memaksa, dan mengambil risiko) dan sangat sosial dengan kemampuan sosial seperti mengerti seks, kompetisi sama besarnya dengan afiliasi, sebaya/dewasa dan mencari kawasan sendiri. Orangutan dalam tahapan dewasa yaitu umur lebih dari 8 tahun atau lebih dari 15 tahun berada pada fase melahirkan hingga mati, memiliki fungsi sosial yakni telah
bereproduksi, peran dewasa, mulai soliter (suka sendiri), dengan kemampuan sosial berkompetisi reproduksi (mencari pakan) lebih besar daripada afiliasi dan berperan sebagai induk.
Berdasarkan jenis kelamin secara umum ukuran tubuh orangutan jantan lebih besar dibanding jenis betina. Tinggi orangutan jantan mencapai sekitar 1,5 meter dengan berat sekitar 90 kilogram.
Tidak terlalu sulit membedakan orangutan jantan dan orangutan betina.
Pada Tabel 1 tersaji kejadian konflik berdasarkan jenis kelamin yang menunjukkan bahwa orangutan berjenis kelamin jantan lebih banyak terlibat konflik yakni sebanyak 68 individu dibandingkan dengan orangutan berjenis kelamin betina yakni sebanyak 28 individu orangutan. Ukuran tubuh orangutan liar Kalimantan yang hidup dalam dominasi manusia berimplikasi pada pemahaman ekologi dan konservasinya (Rayadin & Spehar, 2015).
Tabel 1. Konflik Orangutan Berdasarkan Kelas Umur.
Tahun Jantan Betina Total
Jumlah Bayi Anakan Remaja Dewasa Jumlah B ayi Anakan Remaja Dewasa Jumlah
2012 3 1 7 11 3 2 7 12 23
2013 0 1 1 1
2014 1 1 2 0 2
2015 3 2 1 6 0 6
2016 1 1 3 1 6 2 1 3 9
2017 2 1 3 1 1 4
2018 2 4 7 13 2 2 4 17
2019 2 2 2 6 2 2 8
2020 1 6 7 0 7
2021 1 1 7 5 14 2 1 2 5 19
Jumlah 5 13 21 29 68 3 5 7 13 28 96
Orangutan jantan biasanya ditemukan sendirian dan orangutan betina biasanya ditemani oleh beberapa anaknya. Orangtan jantan lebih sering terjadi konflik karena memiliki
karakteristik ingin menunjukkan keberanian, ingin mempertahankan daerah kekuasaan dan memiliki suara yang keras. Kantong suara yang besar yang dimiliki orangutan jantan
353 memungkinkan mereka mampu
mengeluarkan suara yang sangat keras, hingga dapat didengar dalam radius 3 kilometer. Biasanya mereka mengeluarkan suara nyaring untuk menantang orangutan jantan lainnya, menunjukkan daerah kekuasaannya, atau memanggil sang betina.
Induk orangutan mengajarkan bagaimana cara mendapatkan makanan, bagaimana cara mendapatkan minuman, dan berbagai jenis pohon pada musim yang berbeda-beda. Anaknya juga dapat mengetahui beragam jenis pohon dan tanaman, yang mana bisa dimakan dan bagaimana cara memproses makanan yang terlindungi oleh cangkang dan duri yang tajam.
Secara detail kejadian konflik orangutan berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur dapat dilihat seperti pada Gambar 4 berikut. Banyaknya kejadian konflik dari tahun 2012 hingga tahun
2021 berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur adalah sebanyak 96 kejadian.
Kejadian konflik dari tahun 2012–
2013 didominasi kelas umur orangutan dewasa, empat tahun kemudian dari 2014–2017 konflik terjadi hampir merata dari semua kelas umur mulai bayi sampai remaja. Kemudian 3 tahun terakhir meningkat lagi kejadian konflik pada usia orangutan dewasa yaitu tahun 2018–
2021. Orangutan dewasa sering mengalami konflik, dikarenakan perilaku orangutan sudah sangat sempurna mulai dari aspek perilaku makan, seksual dan pergerakan. Orangutan dewasa dapat bergerak cepat dari pohon ke pohon dengan cara berayun pada cabang-cabang pohon atau brachiating. Mereka juga dapat berjalan dengan kedua kakinya, namun jarang sekali ditemukan.
Pergerakan ini yang akhirnya bisa menjangkau daerah di luar kasasan hutan, atau di luar habitatnya.
Gambar 4. Kejadian Konflik Orangutan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelas Umur.
Meskipun jangkauan orangutan yang luas, penanganan konflik dilakukan dengan tidak menyakiti satwa liar.
Terdapat tiga metode penghalau yaitu visual, akustik dan kimia. Metode akustik, yakni digunakan dalam jarak >10
meter dari orangutan serta tidak menyakiti orangutan (hanya menghasilkan suara), kekurangan dari metode akustik ini belum diketahui berapa lama masa tenggangnya dalam mengusir orangutan (Osborn & Hill, 2006).
354
Penanganan konflik orangutan perlu kerjasama semua pihak. Kerjasama dilakukan dengan kemitraan kolaboratif sebagai jaringan sosial. Prevalensi atribut struktural terkait dengan proses sosial dianggap penting untuk memecahkan masalah tindakan kolektif seperti kepercayaan dan inovasi (Morgans et al., 2017).
Konflik manusia dengan orangutan dapat dihindari dan dicegah dengan pengelolaan kawasan yang memperhatikan habitat dan perilaku orangutan. Orangutan hanya dapat bertahan hidup di alam apabila keberadaan orangutan dan habitatnya dikelola dengan benar, seperti pembuatan sistem zonasi yang dibatasi penghalang alami, pembuatan koridor, dan pengayaan habitat. Upaya pengelolaan hutan yang menjadi habitat orangutan perlu melibatkan para pemangku kepentingan karena orangutan memerlukan habitat hutan yang relatif luas (Rifki et al., 2014).
3.2. Konflik Orangutan Berdasarkan Asal Usul dan Lokasi
Konflik orangutan berdasarkan lokasi biasanya disebabkan karena rusaknya hutan sebagai habitat satwa liar.
Pada lokasi kebun masyarakat atau lahan pertanian paling sering terjadi konflik dikarenakan lokasinya paling dekat dengan hutan. Rusaknya habitat akibat aktivitas manusia yang menjadikan hutan sebagai lahan pertanian untuk kepentingan ekonomi seperti dialih fungsikan menjadi kebun dan ladang.
Pembukaan hutan untuk pembangunan demi peningkatan taraf kehidupan manusia menyebabkan populasi satwaliar yang semula berada di hutan menjadi terpisah-pisah untuk mencari dan menempati habitat yang tersisa.
Penjagaan pada hasil-hasil pertanian adalah langkah yang biasa diambil di
perbatasan antara kawasan pertanian dan habitat satwa (Hockings, 2010).
Pada Tabel 2 disajikan data banyaknya kejadian konflik orangutan pada berbagai asal usul atau lokasi konflik selama 10 tahun terakhir dari tahun 2012 hingga 2021. Kebun masyarakat menjadi lokasi yang sering terjadi konflik yakni sebanyak 39 kejadian atau 35,8% dan areal industri serta areal IUPHHK-HA menjadi lokasi yang sedikit terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan yakni hanya 1 kali kejadian saja atau sekitar 1%. Areal kebun sawit merupakan lokasi terbanyak kedua yang mengalami kejadian konflik yakni sebanyak 17 kali kejadian atau sekitar 15,6% dari 109 kejadian konflik.
Aktivitas perkebunan, pertambangan dan pemukiman menyebabkan luasan habitat satwa liar yang tersisa relatif kecil dengan kondisi pakan yang tidak mendukung. Semakin tinggi aktivitas manusia di sekitar kawasan hutan maka semakin meningkatnya laju kerusakan hutan yang menyebabkan habitat satwaliar menjadi sempit dan memaksa satwaliar untuk mencari ruang gerak baru sehingga sampai ke pemukiman penduduk dan mengakibatkan konflik antara masyarakat dan satwaliar (Arif, 2022). Konflik sering kali terjadi di daerah pemukiman dan sekitar kebun masyarakat karena area tersebut memiliki pohon atau tanaman yang dimanfaatkan satwa liar sebagai sumber pangan. Petani sering mengusir dengan melempar satwa liar, dan direspon orangutan dengan menjatuhkan ranting (Lubis et al., 2014) . Selain kebun masyarakat lokasi yang sering terjadi yaitu di area pertambangan dan kebun sawit. Hal ini terjadi karena lokasi sebelumnya merupakan habitat asli orangutan, yang semula hijau sumber pakan bagi satwa liar diubah menjadi lahan untuk kepentingan lain.
355
Tabel 2. Banyaknya Kejadian Konflik Orangutan Pada Berbagai Asal Usul/Lokasi Konflik Pada Tahun 2012–2021.
No Asal Usul/Lokasi Konflik Jumlah Persentase
1 Areal Industri 1 0.9
2 IUPHHK-HA 1 0.9
3 IUPHHK-HT 12 11.0
4 Jalan umum 3 2.8
5 Kebun Masyarakat 39 35.8
6 Penyerahan Masyarakat 24 22.0
7 Pemukiman 7 6.4
8 Perkebunan Sawit 17 15.6
9 Pertambangan 5 4.6
Jumlah 109 100.0
Gambar 5. Kejadian Konflik Orangutan Berdasarkan Kelas Umur Pada Berbagai Asal Usul/Lokasi Konflik Pada Tahun 2012–2021.
Seperti telah dijelaskan di atas, perilaku manusia seringkali mengakibatkan peningkatan angka perjumpaan antara manusia dengan orangutan. Aktivitas manusia ini dapat meningkatkan aktivitas pengambilan hasil tanaman pertanian (Hockings, 2010), kompetisi sumber daya alam, pemangsaan pada hewan domestikasi, pembatasan ruang gerak masyarakat atau bahkan penyerangan pada manusia oleh orangutan (Dellatore, 2007) yang mana berpotensi menjadi situasi konflik. Pada Gambar 5 di atas terlihat bahwa kejadian konflik orangutan berdasarkan kelas umur pada berbagai asal usul/lokasi konflik pada tahun 2012–2021 menunjukkan bahwa kejadian konflik
orangutan pada kelas umur dewasa memiliki kejadian yang paling banyak yakni sebanyak 42 kejadian, pada kelas umur remaja sebanyak 28 kejadian, pada kelas umur anak-anak sebanyak 18 kejadian dan yang paling sedikit kejadian konfliknya yakni pada kelas umur bayi yaitu sebanyak 8 kejadian konflik.
Areal hutan tanaman, kebun masyarakat dan kebun sawit menjadi lokasi paling banyak konflik orangutan dengan kelas umur dewasa, karena lokasi-lokasi ini seringkali berbatasan dengan hutan alam dan kawasan lindung, aktivitas pengambilan hasil tanaman oleh satwa liar dan orangutan menjadi penyebab utama terjadinya konflik dengan manusia. Hilangnya habitat,
356
rusaknya sumber daya alam maupun kompetisi sumber daya dapat mengganggu aktivitas harian dan pola pergerakan orangutan, dimana pada akhirnya menyebabkan makin tumpang tindihnya daerah jelajah antar individu orangutan (Wrangham et al., 2006).
3.3. Sebaran Konflik di Kalimantan Timur Berdasarkan Wilayah Administratif
Sementara sebaran konflik Orangutan dengan Manusia yang terjadi di wilayah administratif Provinsi
Kalimantan Timur tersaji pada Tabel 3.
Pada tabel tersebut, terlihat bahwa konflik orangutan paling banyak terjadi di wilayah Kabupaten Kutai Timur selama kurun waktu sepuluh tahun pada periode tahun 2012 hingga 2021 sebanyak 72 kali dan paling sedikit kejadian konflik berada di Kabupaten Paser sebanyak 1 kali kejadian konflik.
Kabupaten Berau, Penajam Paser utara dan Bontang terjadi konflik namun angkanya relatif kecil bila dibanding dengan Kutai Timur dan Kutai Kartanegara.
Tabel 3. Sebaran Konflik Orangutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
No
Lokasi Kabupate n/
Kota
Tahun Kejadian Total
201 2
201 3
201 4
201 5
201 6
201 7
201 8
201 9
202 0
20 21
1 Kukar 8 - - - 2 1 3 1 4 6 25
2 Berau - - - - - - 2 - - 2
3 Bontang - - 1 - - - 1 1 1 3 7
4 Kutai Timur 8 1 1 9 7 3 11 7 9 16 72
5 Penajam
Paser - - - - - - 2 - - - 2
6 Paser - - - - - - - - 1 - 1
Total Kejadian 109
Gambar 6. Grafik sebaran konflik di wilayah administari Provinsi Kalimantan Timur.
Berdasarkan hasil analisis, konflik orangutan dengan manusia yang terjadi di wilayah Kutai Timur pada tahun 2021
memiliki kejadian konflik yang paling banyak, yakni sejumlah 16 (enam belas) kali kejadian, sedangkan kejadian konflik
357 yang paling sedikit terjadi yaitu pada
tahun 2013 sebanyak 1 (satu) kali kejadian. Secara administratif, wilayah di Provinsi Kalimantan Timur yang paling sedikit memiliki kejadian konflik selama periode waktu 10 tahun dari tahun 2012 sampai dengan 2021 adalah Kabupaten Berau dan Kabupaten Paser.
Berdasarkan grafik pada Gambar 6, pada tahun 2021 menurut wilayah administratif, konflik mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan sering terjadinya interaksi dengan penduduk jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang mengalami sedikit konflik dikarenakan rendahnya interaksi dengan penduduk sekitar dan orangutan masih merasa
nyaman dengan habitatnya di hutan yang belum mengalami banyak gangguan dari manusia.
Salah satu penyebab tingginya konflik orangutan dengan manusia yang terjadi di Kabupaten Kutai Timur selama periode waktu 10 tahun dari tahun 2012 sampai dengan 2021 yakni populasi terbanyak orangutan di Provinsi Kalimantan Timur adalah berada pada lanskap Taman Nasional Kutai, lanskap Wehea-Lesan dan lanskap Sangkulirang dengan total populasi sekitar 2.630 individu (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016).
Gambar 7. Peta sebaran konflik wilayah Kalimantan Timur.
358
4. KESIMPULAN
Dalam periode waktu 10 tahun terakhir yakni tahun 2012 hingga 2021, ada 109 kejadian penanganan konflik antara manusia dengan orangutan yang terjadi di Kalimantan Timur. Dimana setidaknya terdapat 67 usaha baik secara rehabilitasi maupun translokasi yang dilakukan dalam penanganan konflik berdasarkan kesehatan orangutan, tepatnya sebanyak 25 kali upaya rehabilitasi dan 42 kali upaya translokasi
Kejadian konflik berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa orangutan berjenis kelamin jantan lebih banyak terlibat konflik yakni sebanyak 68 individu, sedangkan orangutan berjenis kelamin betina sebanyak 28 individu orangutan. Banyaknya kejadian konflik tersebut dikarenakan perilaku orangutan sudah sangat sempurna mulai dari aspek perilaku makan, seksual dan pergerakan.
Menurut asal usul atau lokasi konflik, kebun masyarakat menjadi lokasi yang sering terjadi konflik yakni sebanyak 39 kejadian atau 35,8%, sedangkan untuk areal industri dan IUPHHK-HA tercatat hanya 1 kali kejadian saja atau sekitar 1%. Areal kebun sawit merupakan lokasi terbanyak kedua yang mengalami kejadian konflik yakni sebanyak 17 kali kejadian atau sekitar 15,6% dari 109 kejadian konflik.
Kejadian konflik orangutan berdasarkan kelas umur menunjukkan bahwa orangutan dewasa memiliki jumlah konflik terbanyak yakni 42 kejadian, disusul oleh kelas umur remaja sebanyak 28 kejadian, kemudian kelas umur anak-anak sebanyak 18 kejadian dan yang paling sedikit terdapat pada kelas umur bayi yaitu sebanyak 8 kejadian.
DAFTAR PUSTAKA
Anjarani, P. M., Yunita, M., & Mailoa, G. C. (2022). Literature Analysis
on the Bornean Orangutan (Pongo Pygmaeus) Conservation Ecotourism in Tanjung Puting National Park, Waringin Barat City, Central Kalimantan.
International Journal of Travel, Hospitality and Events, 1(3), 248–
265.
https://doi.org/10.56743/ijothe.v1i 3.175
Arif, M. (2022). Pola Perilaku Satwa Liar Terhadap Lingkungan Sekitar : Stimulus Dan Respon. OSF
Preprints, 1–6.
https://doi.org/10.31219/osf.io/3b w9y
Dellatore, D. F. (2007). Behavioural Health of Reintroduced Orangutans (Pongo abelii) in Bukit Lawang, Sumatra (Issue October). Oxpord Brookes University.
Final Report, O. P. and H. V. A. (2016).
Final Report Orangutan Population and Habitat Viability assessment. The Directorat General Of Nature Resources and Ecosystem Conservatin, Ministry of Environment and Forestry of Indonesia, 21.
Hockings, K. (2010). Panduan Pencegahan dan Mitigasi Konflik antara Manusia dan Kera Besar (Issue 37). Species Survival Commission.
Kamim, A. B. M. (2018). Perebutan Ruang Kehidupan dan Gangguan terhadap Animal Rights. Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia, 1, 199–216.
Lubis, F. D. W., Afifuddin, Y., & Patana, P. (2014). Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera ( Pongo abelii ) Dengan Masyarakat Di Sekitar Taman Nasional Gunung
359 Leuseur. Peronema Forestry
Science Journal, 3(2), 1–11.
Marshall, K., White, R., & Fischer, A.
(2007). Conflicts between humans over wildlife management: On the diversity of stakeholder attitudes and implications for conflict management. Biodiversity and Conservation, 16(11), 3129–3146.
https://doi.org/10.1007/s10531- 007-9167-5
Meijaard, E., Albar, G., Nardiyono, Rayadin, Y., Ancrenaz, M., &
Spehar, S. (2010). Unexpected ecological resilience in Bornean orangutans and implications for pulp and paper plantation management. PLoS ONE, 5(9), 1–
7.
https://doi.org/10.1371/journal.po ne.0012813
Meijaard, E., Buchori, D., Hadiprakarsa, Y., Utami-Atmoko, S. S., Nurcahyo, A., Tjiu, A., Prasetyo, D., Nardiyono, Christie, L., Ancrenaz, M., Abadi, F., Antoni, I. N. G., Armayadi, D., Dinato, A., Ella, Gumelar, P., Indrawan, T. P., Kussaritano, Munajat, C.,
… Mengersen, K. (2011).
Quantifying killing of orangutans and human-orangutan conflict in Kalimantan, Indonesia. PLoS
ONE, 6(11), 1–10.
https://doi.org/10.1371/journal.po ne.0027491
Mekonen, S. (2020). Coexistence between human and wildlife: The nature, causes and mitigations of human wildlife conflict around Bale Mountains National Park, Southeast Ethiopia. BMC Ecology, 20(1), 1–9.
https://doi.org/10.1186/s12898- 020-00319-1
Morgans, C. L., Guerrero, A. M., Ancrenaz, M., Meijaard, E., &
Wilson, K. A. (2017). Not more, but strategic collaboration needed to conserve Borneo’s orangutan.
Global Ecology and
Conservation, 11, 236–246.
https://doi.org/10.1016/j.gecco.20 17.07.004
Nurul Qomari, A. (2020). Islamic World and Politics The Effort of, NGO, BOS, in (Borneo Orangutan Survival) Foundation in Saving Orangutans in Central Kalimantan (2016-2019). Islamic World and Politics, 4(1).
Osborn, F. V., & Hill, C. M. (2006).
Techniques to reduce crop loss:
human and technical dimensions in Africa. People and Wildlife, January 2006, 72–85.
https://doi.org/10.1017/cbo97805 11614774.006
Pangaribuan, I. J. P. (2020). Analisis Konflik Dan Persepsi Terhadap Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) Di Desa Aek Nabara. Instiut Pertanian Bogor.
Putra, I. M. K. A. (2019). Pengendalian Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Upaya Pelestarian Habitat Orangutan di Indonesia. Jurist-Diction, 2(2), 459.
https://doi.org/10.20473/jd.v2i2.1 4228
Rayadin, Y., & Spehar, S. N. (2015).
Body mass of wild bornean orangutans living in human- dominated landscapes:
Implications for understanding their ecology and conservation.
American Journal of Physical Anthropology, 157(2), 339–346.
https://doi.org/10.1002/ajpa.22709
360
Rifki, M. A., Atomoko, S. S. U., Ermayanti, Susilo, H. D., &
Siregar, P. G. (2014). Prosedur Konservasi In Situ Orangutan Diluar Kawasan Konservasi.
Forum Orangutan Indonesia (FORINA).
Sherman, J., Ancrenaz, M., & Meijaard, E. (2020). Shifting apes:
Conservation and welfare outcomes of Bornean orangutan rescue and release in Kalimantan, Indonesia. Journal for Nature Conservation, 55(March), 125807.
https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.
125807
Sherman, J., Unwin, S., Travis, D. A., Oram, F., Wich, S. A., Jaya, R. L., Voigt, M., Santika, T., Massingham, E., Seaman, D. J. I., Meijaard, E., & Ancrenaz, M.
(2021). Disease Risk and Conservation Implications of Orangutan Translocations.
Frontiers in Veterinary Science,
8(November), 1–18.
https://doi.org/10.3389/fvets.2021 .749547
Spehar, S. N., & Rayadin, Y. (2017).
Habitat use of Bornean Orangutans (Pongo pygmaeus morio) in an Industrial Forestry Plantation in East Kalimantan, Indonesia. International Journal of Primatology, 38(2), 358–384.
https://doi.org/10.1007/s10764- 017-9959-8
Suba, R. B. (2017). Impact of land use changes on the human-elephant conflict. Universiteit Leiden.
Voigt, M., Wich, S. A., Ancrenaz, M., Meijaard, E., Abram, N., Banes, G. L., Campbell-Smith, G., d’Arcy, L. J., Delgado, R. A., Erman, A., Gaveau, D., Goossens,
B., Heinicke, S., Houghton, M., Husson, S. J., Leiman, A., Sanchez, K. L., Makinuddin, N., Marshall, A. J., … Kühl, H. S.
(2018). Global Demand for Natural Resources Eliminated More Than 100,000 Bornean Orangutans. Current Biology,
28(5), 761-769.e5.
https://doi.org/10.1016/j.cub.2018 .01.053
Wrangham, R. W., Wilson, M. L., &
Muller, M. N. (2006).
Comparative rates of violence in chimpanzees and humans.
Primates, 47(1), 14–26.
https://doi.org/10.1007/s10329- 005-0140-1
Yuwono, H., Susanto, P., Saleh, C., Andayani, N., Prasetyo, D., &
Atmoko, S. (2007). Guidelines for Better Management Practices on Avoidance, Mitigation and Management of Human- Orangutan Conflict in and around Oil Palm Plantations (Issue December).