• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejak zaman Belanda, Hak Cipta diatur pada Auteurswet Tahun 1912 Stb

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Sejak zaman Belanda, Hak Cipta diatur pada Auteurswet Tahun 1912 Stb"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEWENANGAN PEMERINTAH MENGAWASI PEREDARAN DAN PENJUALAN COMPACT DISC DAN VIDEO COMPACT DISC

A. Kewenangan Pengawasan oleh Pemerintah Menurut Perundang-undangan di Bidang Hak Cipta

Indonesia adalah Negara hukum. Esensi dari Negara hukum ialah menjunjung tinggi nilai dasar atau hak pokok, seperti hak hidup, dan hak mendapatkan perlindungan. Di Indonesia permasalahan hak cipta merupakan permasalahan yang banyak dijumpai dan menjadi sorotan masyarakat. Karya cipta tersebut haruslah mendapat perlindungan hukum, perbuatan pelanggaran hak cipta tersebut merupakan perbuatan yang tidak bermoral dan tidak memperhatikan jerih payah si pencipta. Dalam kondisi ini, adanya kecenderungan sebagian orang/kelompok yang menginginkan dengan berbagai cara untuk menangguk keuntungan finansial tanpa usaha, mengeluarkan modal dan kejujuran dengan membajak hasil ciptaan orang lain sehingga merugikan penciptanya. Untuk menjalankan tugas menjaga kedaulatan atas wilayah Negara tersebut pemerintah memerlukan adanya suatu pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan yang dimaksut seperti perbuatan sewenang-wenang (detournament de pouvair), perbuatan menyalahgunakan kewenangan (willekeur), melampaui wewenang (ultravires), tergelincir kearah perbuatan melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad) yang bermuara pada pelanggaran hak-hak asasi

(2)

manusia. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintah guna memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat maupun bagi badan/pejabat tata usaha Negara sendiri.60 Sehingga Pemerintah pun mulai membuat aturan-aturan yang dapat melindungi dan mengawasi hak cipta.

Sejak zaman Belanda, Hak Cipta diatur pada Auteurswet Tahun 1912 Stb. No.

600. Tetapi dalam pelaksanaannya Peraturan tentang Hak Cipta ini tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat serta cita-cita hukum nasional, sehingga Auteurswet ini dicabut. Untuk pertama kalinya setelah Indonesia merdeka hak cipta diatur pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982, yang diubah Undang- Undang Hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987, selanjutnya diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, dan selanjutnya diundangkan dengan Undang-Undang Nompr 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dan terakhir kali diundangkan dengan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi pencipta dan hasil karya ciptaannya diharapkan penyebarluasan hasil kebudayaan dibidang karya ilmu seni dan sastra dapat dilindungi secara yuridis yang pada gilirannya dapat mempercepat proses pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Sehingga UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ini pun di pergunakan sebagai Dasar Hukum Perlindungan Hak Cipta hingga sekarang ini.

60 S.F. Marbun, Hukum Administrasi Negara II, cet.1, FH UII Press, 2013, hal.2.

(3)

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Berdasarkan konteks perlindungan Hak Cipta, maka berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 (Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 huruf a)

Pasal 53 ayat (1) menyebutkan:

“Ciptaan atau produk Hak Terkait yang menggunakan sarana produksi dan/atau penyimpanan data berbasis teknologi informasi dan/atau teknologi tinggi, wajib memenuhi aturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang”

Penjelasan Pasal 53 ayat (1) tersebut dijelaskan: “Yang dimaksud dengan

“sarana produksidan/atau penyimpanan data berbasis teknologi informasi dan/atau teknologi tinggi” antara lain cakram optic, server, komputasi awan (cloud), kode rahasia, password, barcode, serial number, teknologi deskripsi (description), dan enkripsi (encryption) yang digunakaan untuk melindungi Ciptaan.”

Pasal 54 huruf a menyebutkan:

“Pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait”

Penjelasan Pasal 54 huruf a tersebut dijelaskan: “Yang dimaksud dengan

“konten” adalah isi dari hasil Ciptaan yang tersedia dalam media apapun. Bentuk penyebarluasan konten antara lain mengunggah (upload) konten melalui media internet.”

(4)

Peredaran dan penjualan CD dan VCD bajakan ini bukan hanya berdasarkan pada peredaran dan penjualan yang berupa cakram optic di pasaran, tetapi juga bersumber dari penjualan konten yang melanggar Hak Cipta di Internet. Maka dari UU Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 huruf a, merupakan landasan hukum kewenangan pemerintah dalam pengawasi perederan dan penjualan CD dan VCD bajakan di pasaran maupun lewat internet. Tetapi dalam pelaksanaannya, aparat penegak hukum dan pemerintah sangat lengah dalam menanggapi kasus tersebut. Dapat dilihat dari maraknya pembajakan yang dilakukan melalui CD dan VCD yang bebas diperjual belikan tanpa ada kontrol pengawasan dari pemerintah. Hal ini lantas menjadi perhatian bagi pemerintah dan aparat penegak hukum, karena dalam prakteknya tidak dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum hak cipta belum dilakukan maksimal. Putusan-putusan pengadilan yang ada seolah-olah tidak ada yang menyentuh dan menghukum pelanggar atau pelaku tindak pidana hak cipta kelas kakap melainkan adalah terhadap mereka para pedagang kaki lima yang menjual CD dan VCD bajakan yang digolongkan kepada pelaku tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 112 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang sebagai orang yang menjual karya cipta hasil bajakan atau hasil pelanggaran hak cipta, sedangkan kepada pembajaknya sendiri sebagai pelaku tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 114 UU Nomor 28 tahun 2014 tidak ada terdengar yang ditangkap dan bahkan dijatuhi hukuman di Pengadilan. Harusnya Pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan tidakan preventif yang ditunjukan untuk menyadarkan semua tentang pentingnya Hak Kekayaan

(5)

Interlektual, tindakan prefentif diartikan sebagai pengawasan terhadap tempat yang diduga memproduksi, mengedarkan atau menjual belikan produk bajakan.

Sedangkan tindakan represif ditunjukan kepada pelangar HKI. Juga dilakukan tindakan represif dengan cara merazia tempat penjualan hasil karya cipta bajakan yang berupa kepingan cakram. Selain melakukan pengawasan secara prefentif dan represif, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pemahaman hukum terhadap Undang-undang Hak Cipta. Sehinggah masyarakat pun memiliki kesadaran hukum dan hal tersebut dapat menurunkan angka pelanggaran Hak cipta yang ada di Indonesia.

2. Perundang-undangan Lainnya

Penegakan Pengawasan Hak Cipta bukan hanya sebatas UU. Nomor 28 Tahun 2014, tetapi aturan yang menguatkan kewenangan Pemerintah untuk melakukan pengawasan pun dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-Ol.Hl.07.02 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kekayaan Intelektual. Dalam Keputusan Menteri ini pun dijelaskan bahwa “Pengawasan, Pengamatan, Penelitian atau Pemeriksaan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum yang disebut dalam undang-undang yang terkait dengan Kekayaan Intelektual sesuai dengan lingkup tugas dan wewenangnya”. Sehingga dapat dilihat dalam tugas dan tanggung jawabnya bahwa pemerintah dalam hal ini dapat melakukan fungsi pengawasan

(6)

terhadap pelanggaran Hak Cipta yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya dalam penulisan ini disingkat PPNS Kekayaan Intelektual) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang di bidang Kekayaan Intelektual. Jadi dalam hal ini PPNS bersama dengan pihak kepolisian melakukan tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum yang disebut dalam undang-undang yang terkait dengan Kekayaan Intelektual sesuai dengan lingkup tugas dan wewenangnya. Pengawasan yang di maksudkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 ialah penyelidikan dan pencarian barang bukti pelanggaran hak cipta sesuai dengan laporan dari pihak yang dirugikan. Dijelaskan pula bahwa Pelapor yang berhak melaporkan adanya tindak pidana atau pelanggaran di bidang Kekayaan Intelektual adalah:

a. Pemilik, pemegang dan/ atau penerima lisensi kekayaan Intelektual yang sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual;

b. Pencipta, Pemegang dan/ atau penerima lisensi hak cipta dan/ atau hak terkait;

c. Lembaga Managemen Kolektif Nasional;

d. Lembaga Managemen Kolektif;

e. Asosiasi di Bidang Kekayaan Intelektual;

f. Pihak lainnya yang diberikan kuasa oleh pemilik Kekayaan Intelektual;

g. Kuasa hukum dari Pemilik, Pemegang dan/ atau penerima lisensi

(7)

Kekayaan Intelektual.

Laporan Kejadian diterima oleh PPNS baik langsung ataupun melalui media Elektronik dan melaporkanya kepada Atasan PPNS baik di Ditjen Kekayaan Intelektual maupun PPNS Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dengan melampirkan/ menyertakan barang bukti dan/ atau alat-alat bukti terkait. Adapun Terhadap laporan/ pengaduan masyarakat, kepada pelapor diberikan surat tanda penerimaan laporan, atau untuk laporan secara elektronik berupa email/ tanda terima laporan. Laporan kejadian berisikan uraian singkat mengenai peristiwa yang terjadi atau dugaan terjadinya tindak pidana pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.

Sehingga Prosedur Pengawasan PPNS dalam hal ini harus berdasarkan pada laporan dan pengaduan pelanggaran Hak Cipta dari Pihak yang dirugikan. Jadi dalam hal ini PPNS akan bersama-sama deng pihak kepolisian untuk pelakukan pengawasan, pengamatan dan penyelidikan terhadap bukti-bukti tidak pidana pelanggaran Hak Cipta tersebut.

B. Kewenangan Pengawasan oleh Pemerintah Daerah Menurut Peraturan Perundang-undangan

Kota Ambon merupakan kota yang dinobatkan sebagai salah satu Kota Musik Dunia oleh UNESCO, Hal itu bertepatan dengan Hari Kota Sedunia yang jatuh pada 31 Oktober 2019. Ambon pun bersanding dengan 65 kota lainnya yang ditunjuk UNESCO dan akan bergabung dalam Jaringan Organisasi Kota Kreatif yang kini berjumlah total 246 anggota.

(8)

Pemerintah Kota Ambon pun mulai menata garis besar rencana strategisnya untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UNESCO. Problema berat yang sedang dihadapi oleh kota Pemerintah Ambon yaitu bagaimana dapat melindungi Hak Cipta setiap musisi baik dari dalam daerah maupun dari luar daerah. Karena diera sekarang sedang marak dengan adanya pembajakan dan pelanggaran Hak Cipta. Hal tersebut juga dialami di Kota Ambon. Sehingga Pemerintah membutuhkan wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Jika dilihat dari UU. Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, telah mengatur sebagaimana kewenangan Pemerintah dalam mengawasi peredaran dan penjualan CD dan VCD bajakan di Kota Ambon.

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Berdasarkan UU. Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dapat dijelaskan dengan tepat dalam Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 huruf a. Pemegang Kewenangan pengawasan itu sendiri dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disingkat PPNS Kekayaan Intelektual adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang di bidang Kekayaan Intelektual. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual memiliki kewenangan untuk dapat melakukan pengawasan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Sehingga di butuhkan kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual untuk dapat bersama-sama melakukan pengawasan. Tetapi hal ini juga menjadi sebuah kelemahan Pemerintah Daerah yang

(9)

tidak memiliki kewenangan secara khusus untuk dapat melakukan pengawasan sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2014. Sehingga Pemerintah daerah hanya dapat merespons Laporan saat pelanggaran itu telah terjadi dan merugikan Korban Pelanggaran Hak Cipta. Pemerintah pun selanjutnya akan melaporkan kasus tersebut bersama dengan korban pelanggaran Hak Cipta kepada pihak Kepolisian dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan Penyidikan sesuai dengan Pasal 110 ayat (1)

Pasal 110 ayat (1) menyebutkan

“Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana Hak Cipta dan Hak Terkait”.

Pasal 110 ayat (1) dapat dilihat bahwa Pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan khusus dalam menangani pelanggaran Hak Cipta. Jadi dapat dilihat dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan secara khusus untuk dapat melakukan pengawasan terhadap pelanggaran Hak Cipta.

2. Perundang-undangan Lainnya

Setelah melihat dari UU Nomor 28 Tahun 2014, maka Pemerintah daerah pun berupaya untuk membuat aturan yang mengatur tentang perlindungan Hak Cipta di

(10)

dalam lingkup daerahnya. Peraturan yang coba dibuat oleh Pemerintah Kota Ambon mulai dari Peraturan Walikota Ambon Nomor 26 Tahun 2017 sampai pada Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2019 (selanjutnya dalam penulisan ini disingkat Perda. Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2019) tentang Ambon Kota Kreatif Berbasis Musik. Tetapi dalam Peraturan Daerah ini pun Pemerintah Daerah belum memiliki kewenangan khusus untuk dapat melakukan pengawasan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Seperti dapat dilihat pada Pasal 23 Perda Kota Ambon No.

2 Tahun 2019.

Pasal 23 menyebutkan:

“Hak Cipta pelaku musik sebagai hasil karya kreativitas dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan”

Jika dilihat dari Pasal 23 ini pun, segala kewenangan pengawasan terhadap perlindungan Hak Cipta masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku secara umum yaitu UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Sehingga Pemerintah Daerah hanya dapat bertindak jika Korban Pelanggaran Hak Cipta melapor kepada Pemerintah Daerah bagian Hukum, barulah dapat di proses oleh Pihak Kepolisian dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang di bidang Kekayaan Intelektual. Jika dilihat dari kewenangan pengawasan Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan khusus untuk dapat melakukan pengawasan, sehingga upaya yang dilakukan oleh Pemerinth daerah yaitu melakukan kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kekayaan

(11)

Intelekual dalam hal ini sebagai Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang di bidang Kekayaan Intelektual.

Kebijakan perlindungan hak cipta karya musik setidaknya perlu mencakup dua aspek utama yakni kebijakan anti pembajakan yakni segenap kebijakan yang dimaksud untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi tumbuhnya aksi pembajakan hak cipta karya musik dan kebijakan kontra pembajakan yakni merupakan segenap instrumen yang menitikberatkan pada aspek penindakan terhadap pelaku pembajakan hak cipta karya musik. Inilah yang kemudian penulis artikan sebagai suatu konsep baru dalam mengatasi persoalan pembajakan hak cipta.

Konsep tersebut berupa pembentukan badan baru dalam mengatasi persoalan pembajakan hak cipta. Ini merupakan upaya-upaya yang sudah seharusnya dipikirkan.

Selama ini, upaya penanggulangan aksi pembajakan hak cipta karya musik berupa VCD dan CD yang dilakukan oleh masing-masing institusi yang ada sesuai dengan kompetensi dari masing-masing belum memberikan hasil yang maksimal.

Sehingga dalam hal ini pemerintah daerah juga harus melakukan koordinasi dengan seniman untuk sama-sama melihat dan memperhatikan masalah pelanggaran hak cipta. Di Kota Ambon sendiri memiliki kantor music yang disebut Ambon Music Office (Selanjunya dalam penulisan ini disingkat AMO). Dengan adanya AMO, diharapkan pemerintah mampu bersama-sama dengan seniman dalam melakukan pengawasan terhadap Hak Cipta menyangkut Perlindungan dan pencatatan Hak

(12)

Cipta.61 Sehingga nantinya disaat ada pelanggaran Hak Cipta, pemerintah bisa cepat menindak lanjuti laporan tersebut untuk bisa dilaporkan kepada PPNS dan pihak kepolisian yang memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. Dalam konsep pembentukan badan baru ini, kiranya dapat menunjang kinerja pemerintah. Sehingga Pemerintah daerah wajib menjalin komunikasi dengan Dirjen Kekayaan Intelektual guna membahas fungsi AMO dalam mengawasi pelanggaran Hak Cipta serta melakukan pendaftaran Hak Cipta bagi para seniman.62 Hal ini pun dapat menjadi tolak ukur kesuksesan pemerintah daerah dalam menyingkapi persoalan pelanggaran Hak Cipta berupa pembajakan CD dan VCD yang dilakukan oleh oknum-oknum yang merugikan hak ekonomi pencipta dan seniman. Berikutnya Pemerintah daerah harus terus berkoordinasi dengan Pihak Kepolisian dalam hal ini yang memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan bersama dengan PPNS. Koordinasi dengan kepolisian ini guna untuk menindak tegas oknum-oknum yang menjual, menyebarkan, dan melakukan pembajakan hak cipta. Sehingga upaya ini dapat memberikan efek jera bagi para pembajak sampai penjual CD dan VCD bajakan. Karena jika dilihat kurangnya penegasan hukum oleh pihak kepolisian dalam hal pelanggaran hak cipta ini, serta kurangnya fungsi pengawasan yang dilakukan pula oleh pihak kepolisian.

Jadi untuk membuat upaya pengawasan ini berjalan dengan baik, maka pemerintah

61 Wawancara dengan Sirjohn Slarmanat, 30 September 2020, Kantor Kotamadya Ambon.

62 Ibid.

(13)

daerah pun harus terus berkoordinasi dengan pihak kepolisian.63 Peranan polisi dalam menegakkan hukum memiliki posisi yang sangat penting karena mereka berhubungan langsung dengan masyarakat maupun pelanggar hukum.

Kepolisian merupakan salah satu lembaga dalam sistem peradilan pidana yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap peristiwa kejahatan. Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”

Sedangkan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini sama dengan yang dijelaskan dalam pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Polisi diberi ruang oleh hukum untuk mengambil berbagai tindakan yang diperlukan menurut pertimbangan sesaat pada waktu kejadian berlangsung.

Berdasarkan kewenangan tersebut, polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindakan kejahatan berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah ditetapkan.

Polisi juga diberi kewenangan untuk meminta keterangan kepada setiap warga

63 Wawancara dengan Elkyopas Silooy, 1 oktober 2020, Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Ambon.

(14)

masyarakat yang mengetahui jalannya suatu peristiwa kejahatan, untuk dijadikan saksi yang diperlukan dalam proses pemeriksaan tersangka pelaku kejahatan.

Sepak terjang polisi akan langsung dilihat dan dirasakan oleh masyarakat.

Pada kontak langsung dengan masyarakat inilah citra polisi akan sangat ditentukan.

Citra polisi yang buruk di masyarakat dikarenakan polisi kurang mampu bersikap mandiri dalam mengusut kasus kejahatan yang akan membawa dampak pada proses pemeriksaan pelaku kejahatan pada tahap berikutnya. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 13 menyatakan bahwa “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

Akibat kewenangan polisi tersebut, bagi orang yang dicurigai melakukan tindakan kejahatan maka polisi akan menangkap dan menahan pelaku kejahatan.

Pemerintah daerah harus terus dan tegas melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian, sehingga pihak kepolisian pun bisa melakukan wewenang pengawasannya dengan baik dan dapat menindak tegas para pelanggar hak cipta.

Berikutnya Pemerintah daerah harus berkoordinasi juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk bisa membuat Peraturan daerah khusus yang menyangkut tentang pengawasan hak cipta dan perlindungannya. Karena jika dilihat dari Pasal 23 Perda Kota Ambon No. 2 Tahun 2019 masih bermakna atributif, sehingga harusnya dari pasal tersebut harus ada aturan lanjutan dari Pemerintah

(15)

daerah tentang Hak cipta dan perlindungannya.64 Oleh karena itu fungsi DPRD juga sangat penting untuk bisa memacu Pemerintah daerah dalam membuat Perda khusus untuk Hak Cipta. Jadi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Penulis dapat dilihat bahwa UU Nomor 28 Tahun 2014 merupakan landasan hukum kewenangan Pemerintah untuk melakukan pengawasan. Tetapi dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 maupun Perda Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2019 tidak menjelaskan tentang kewenangan khusus bagi Pemerintah Daerah Kota Ambon untuk melakukan pengawasan terhadap penjualan dan peredaran CD dan VCD bajakan di Kota Ambon. Sehingga dalam hal ini Pemerintah Daerah Kota Ambon harus lebih mengutamakan pengawasan secara preventif, dalam hal ini melakukan Sosialisasi kepada para Pedagang tentang Hak Cipta dan perlindungan Penyebaran CD dan VCD bajakan yang nantinya jika terjadi pelanggaran terhadap Hak Cipta pemerintah daerah Kota Ambon dapat memberikan sanksi peringatan sampai pada pencabutan izin usaha penjualan sesuai dengan aturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Ambon.

64 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

“THE EFFECT OF LEARNING STYLE ON STUDENTS’ READING COMPREHENSION ACHIEVEMENT Nita.” Unila Journal of English Teaching vol 4, no 2015.. Pashler, Harold, Mark Mcdaniel, Doug Rohrer, and

ISSN: Print 1682-3206, Online 1947-9417 © 2010 The University of Johannesburg A project-based learning approach as a method of teaching entrepreneurship to a large group of