i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA III
REVITALISASI IDENTITAS MELALUI BAHASA DAN BUDAYA MARITIM
Penyunting Ahli Dr. I Ketut Sudewa, M.Hum
Penyunting Pelaksana Drs. I Wayan Teguh, M.Hum
DENPASAR, 25 – 26 SEPTEMBER 2018
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2018
ii
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan ini kami selaku panitia mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pemakalah kunci Dr. Darmoko, M.Hum. (Universitas Indonesia); pemakalah utama: Prof. Dr. I Gde Arya Sugiartha, S.Skar., M.Hum.
(Institut Seni Indonesia Bali), dan Dr. Purwadi, M.Hum. (Universitas Udayana) telah bersedia menyampaikan ide-ide dan gagasannya untuk memperkuat kegiatan SNBB III. Terimakasih pula kami ucapkan kepada para pemakalah pendamping, peserta dan mahasiswa yang sudah berupaya untuk turut berpartisipasi mengikuti kegiatan SNBB III.
Kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan Ibu Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. selaku dekan FIB serta koordinator Program Studi di lingkungan FIB, Bapak/Ibu Dosen, Mahasiswa dan civitas Akademika FIB Unud, yang telah ikut berpartisipasi pada kegiatan SNBB III ini. Dan tentunya tidak lupa pula kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh panitia SNBB III atas kerja kerasnya untuk mewujudkan kegiatan seminar ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Akhirnya kami tidak pernah lupa dengan pepatah yang mengatakan bahwa
―Tiada gading yang tak retak‖. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu selama acara ini berlangsung. Kritik dan saran sangat kami harapkan demi terlaksananya SNBB III yang lebih berkualitas di masa mendatang akan kami terima dengan tangan terbuka.
Panitia Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, M.Hum.
iii SAMBUTAN
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka buku kumpulan makalah-makalah yang dikompilasi dalam bentuk proceeding untuk Seminar Nasional Bahasa dan Budaya (SNBB) III dengan mengusung tema ‗Revitalisasi Identitas melalui Bahasa dan Budaya Maritim‘ dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Budaya kemaritiman menarik untuk dibahas dan didiskusikan secara akademis dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun ke-60, dan Badan Kekeluargaan ke-37 Fakultas Ilmu Budaya, serta Dies Natalis Universitas Udayana ke-56. Maritim adalah bagian budaya Nusantara karena merupakan identitas bagi Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara Nusantara (archipelagic state). Melalui SNBB III, pembahasan mengenai wilayah perairan bukan saja sebagai pembatas, tetapi juga sebagai penghubung antarpulau yang menyatukan Nusantara sekaligus sumber daya melimpah yang harus dikelola dengan baik diharapkan menjadi fokus utama seminar ini. Budaya maritim sebagai identitas menyentuh dapat semua lini tata perilaku masyarakat, dan negara untuk melahirkan teknologi, seni, bahasa, dan budaya yang unik.
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu bahasa dan budaya memiliki peran untuk merevitalisasi identitas masyarakat dan bangsa.
Dinamika budaya kemaritiman yang berkaitan dengan konteks ideologi, sejarah, antropologi, arkeologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan ketahanan tidak terbebas dari kerawanan dan kepunahan shingga perlu untuk merevitalisasi identitas tersebut.
Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga seminar bersama bisa dilaksanakan.
2. Dr. Darmoko, M.Hum. (Unversitas Indonesia) sebagai pembicara kunci; pemakalah utama: Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Kar.,
iv
M.Hum (ISI Denpasar), Dr. Purwadi, M.Hum. (FIB Unud), serta para pemakalah pendamping lainnya.
3. Peserta SNBB III, 2018 yang terdiri atas, peneliti dan/atau dosen bahasa, sastra, dan budaya, mahasiswa, pekerja dan pengamat media, dll yang terlalu panjang bila disebutkan semuanya.
4. Panitia SNBB III yang telah bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya.
SNBB III yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dapat memberikan pencerahan, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi keilmuan yang berlandaskan kebudayaan.
Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan SNBB III, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penyelengaraan acara ini. Kami ucapkan Selamat Berseminar, dan semoga bermanfaat.
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dekan,
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.
v DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
SAMBUTAN ... iii
DAFTAR ISI ... v
PEMAKALAH KUNCI REVITALISASI TEKS-TEKS KEARIFAN LOKAL KEMARITIMAN UNTUK MEMBANGUN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA Darmoko ... 1
PEMAKALAH UTAMA SENI KELAUTAN MEMBANGUN HARMONISASI MANUSIA DENGAN ALAM I Gede Arya Sugiartha ... 15
STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI KEMISKINAN Purwadi Soeriadiredja ... 22
PEMAKALAH PENDAMPING EKSISTENSI PURI AGUNG KARANGASEM DALAM DINAMIKA SOSIAL BUDAYA A.A.A Dewi Girindrawardani ... 41
VARIASI BAHASA SUNDA DI DAERAH PESISIR JABAR SELATAN Asri Soraya Afsari, Teddi Muhtadin ... 50
PERILAKU BUDAYA KESEHATAN DALAM PRAKTIK PERAWATAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN PADA MASYARAKAT PESISIR DI MANGGARAI, NTT Bambang Dharwiyanto Putro ... 57
ANALISIS PEMAKAIAN RAGAM JURNALISTIK DI SMAN 1 ABIANSEMAL: KASUS MENULIS BERITA LANGSUNG I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, Anak Agung Putu Putra, I Ketut Nama, Ni Putu N. Widarsini, Sri Jumadiah ... 67
vi
IDEOLOGI BUDAYA MARITIM DALAM PIDATO MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
I Gusti Ayu Gde Sosiowati ... 73 CITRA DIRI PADA TEKS VERBAL MEDIA KAMPANYE PILGUB BALI I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri ... 82 HEGEMONI BUDAYA DALAM PRAKTIK KEKUASAAN MARITIM I Ketut Darma Laksana ... 88 SITUS KAPAL U.S.A.T LIBERTY DI PANTAI TULAMBEN DALAM
PERSPEKTIF ARKEOLOGI MARITIM DAN PARIWISATA
I Ketut Setiawan ... 94 KECENDERUNGAN PEMAKAIAN BAHASA BALI SEBAGAI CERMIN IDENTITAS MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA NUSA DUA I Made Rajeg, Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini ... 100 KERAS, KASAR, PEDAS, PENUH GAIRAH KARAKTERISTIK
MASYARAKAT PESISIR DALAM DRAMA ―MALAM JAHANAM‖
KARYA MOTINGGO BUSYE
I Made Suarsa ... 108 GAMBARAN PERJALANAN LAUT A.A. ISTRI AGUNG DAN
SUAMINYA DARI KARANGASEM KE JEMBRANA
I Made Suastika ... 114 PERAIRAN BALI SEBAGAI RUANG BUDAYA DAN PERADABAN
I Putu Gede Suwitha ... 120 MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PELESTARIAN DAN PENGIMPLEMENTASIAN NILAI BUDAYA: PERSPEKTIF
BUDAYA BALI
I Wayan Cika... 128 MELACAK KEBAHARIAN NUSANTARA BERDASARKAN
BUKTI-BUKTI ARKEOLOGIS
I Wayan Srijaya ... 135 REVOLUSI BIRU DAN HUMAN SECURITY NELAYAN DI KUSAMBA KLUNGKUNG
I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ... 146 MEMAHAMI KATA TUGAS DALAM BAHASA INDONESIA DITINJAU DARI PELONCATAN KATEGORI DAN FUNGSI
I Wayan Teguh ... 156
vii
TERJEMAHAN ISTILAH KELAUTAN BAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA INDONESIA
Ida Ayu Made Puspani ... 163 FUNGSI DAERAH PESISIR DARI MASA KE MASA DI BALI
(KAJIAN KEPUSTAKAAN)
Ida Ayu Putu Mahyuni ... 172 SISTEM SEWA KONTRAK BERDASARKAN KURS DALAM NIAGA
BANDAR DI BULELENGBALI, PERTENGAHAN ABAD XIX
Ida Ayu Wirasmini Sidemen ... 178 FUNGSI MITOS BHATARA BAGUS BALIAN: PUTRA DEWA DAN PUTRI PENDETA
Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada ... 186 KONTROVERSIAL PERDAGANGAN KERAMIK KUNO HASIL
PENGANGKUTAN DI LAUT CIREBON JAWA BARAT
Ida Bagus Sapta Jaya ... 197 WISATA BAHARI SEBAGAI DAYA TARIK OBYEK WISATA
POTENSIAL:STUDI KASUS PANTAI SANUR, DENPASAR SELATAN, KOTA DENPASAR-BALI
Ketut Darmana ... 203 PELATIHAN PENULISAN JURNALISTIK BAGI SISWA SMAN 1 KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG
Ketut Riana, S.U, Putu Evi Wahyu Citrawati, I Nyoman Darma Putra,
Made Sri Satyawati, Wayan Teguh ... 212 MITOS TOKOH KEBO IWA DI PANTAI SOKA, TABANAN
Luh Putu Puspawati ... 218 PENGAMAN BATIN SEBAGAI SUMBER GAGASAN PENULISAN
KREATIF JURNALISTIK-SASTRA DI SMAN I PETANG KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG
Maria Matildis Banda, Ida Bagus Jelantik SP, I Made Suarsa,
Sri Jumadiah dan I Komang Paramartha ... 223 ASPEK MODAL DALAM PENULISAN KARYA SASTRA PRAGMATIS Maria Matildis Banda, Sri Jumadiah ... 232 AMA DAN EMANSIPASI WANITA
Ngurah Indra Pradhana ... 242 VARIASI POLA DESKRIPSI PADA ISTILAH BUDAYA BALI PADA TEKS BERBAHASA INGGRIS
Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama ... 247
viii
PERDAGANGAN ANTAR PULAU OLEH MASYARAKAT BALI KUNO PADA ABAD IX-XIV MASEHI: KAJIAN EPIGRAFIS DAN TAPONIMI Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan ... 253 REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM SAMPUL NOVEL TEENLIT INDONESIA
Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi ... 260 AKTIVITAS KEMARITIMAN PADA MASA BALI KUNA
Ni Luh Sutjiati Beratha, I Wayan Ardika... 266 PENGGUNAAN KENJŌGO MŌSHIWAKE ARIMASEN DAN MŌSHIWAKE GOZAIMASEN DALAM DRAMA BERBAHASA JEPANG
Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti ... 275 MENCERMATI KEHIDUPAN REMAJA BERMASALAH DI KOTA
DENPASAR-BALI
Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani, I Ketut Kaler ... 282 PENGAJARAN BERBASIS ICT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA JEPANG MAHASISWA DALAM KELAS CHUJOKYU KAIWA (Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana)
Ni Putu Luhur Wedayanti, Choleta Palupi Titasari ... 289 BENTUK IKONIK KELAUTAN DALAM NOVEL SUARA SAMUDRA KARYA MARIA MATILDIS BANDA
Ni Putu N. Widarsini ... 294 TATA CARA PENULISAN DAN FUNGSI SURAT RESMI, SERTA
ANALISIS PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA
Ni Wayan Arnati ... 301 PENINGGALAN ARKEOLOGI DI WILAYAH DESA ADAT KEMONING MERUPAKAN PENGARUH CORAK BUDAYA HINDU/INDIA SEBAGAI AKIBAT HUBUNGAN SECARA MARITIM
Ni Wayan Herawathi ... 318 PARIWISATA BUDAYA: MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERIMBANG ANTARA PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN BALI
Nyoman Reni Ariasri ... 324 KEPERCAYAAN DALAM SIKLUS KEHIDUPAN PADA MASYARAKAT SUNDA PESISIR (KECAMATAN PAMEUNGPEUK, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT)
Risma Rismelati, Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani ... 330
ix
JEJAK AWAL KEMARITIMAN PADA CADAS LIANG PU‘EN DI LEMBATA NTT
Rochtri Agung Bawono, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan, Coleta Palupi Titasari... 337 PURI TAMAN SABA : SIMBOLISASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA BALI Sulandjari ... 343 MITOS AIR (KASUS DI DESA TEJAKULA)
I Wayan Simpen ... 353
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 353 Denpasar, 25-26 September 2018
MITOS AIR (KASUS DI DESA TEJAKULA) I WAYAN SIMPEN
Sejak jaman dahulu ketika manusia berada dalam masa berburu dan meramu, air menjadi sesuatu yang diperebutkan, Kawanan binatang dan manusia menjadikan air sebagai tempat pemukiman. Atau paling sedikit, pusat pemukiman dan tempat binatang hidup tidak jauh dari keberadaan air.
Laut, danau, sungai, mata air, dan air terjun merupakan tempat pemujaan bagi sebagain besar penganut kepercayaan. Bahkan, kota-kota industri yang maju hampir sebagian besar bermula dari pelabuhan. Jakarta, Surabaya, dan bahkan Shang Hai di China adalah kota besar dan maju yang cikal-bakalnya adalah pelabuhan.
Mengingat air merupakan hal yang sangat penting dan vital bagi kehidupan manusia, maka tidak jarang air memicu terjadinya sengketa antardesa, dan bahkan konflik horizontal dan konflik antarindividu. Oleh karena itu, asal- usul air sangat penting diketahui.
Tulisan ini mengulas asal-usual air yang ada di Desa Tejakula berdasarkan mitos yang ada. Kajian dilakukan berdasarkan teori ekolinguistik. Berdasarkan kajian itu, maka tilikan dititikberatkan pada uunsur leksikal, gramatikal, terkstual, dan kultural yang berkaitan dengan air.
Hasil kajian membuktikan bahawa ditemukan unsur-unsur leksikal yang khas berkaitan dengan air. Di samping itu, juga ditemuakn sejumlah metpfora dan ungkapan berkaiatan dengan air. Ada teks utama dan teks turunan tentang air. Di samping itu, ditemukan pula penggunaan bebeapa leksion yang digunakan secara budaya.
Kata kunci: mitos, leksikal, gramatikal, kultural, dan tekstual
1.Pendahuluan
Air merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Bahkan, ungkapan tanah air seolah-olah menggambarkan bahwa alam semesta ini hanya terdiri atas tanah dan air. Meskipun demikian, tidak semua daerah/wilayah memiliki air (mengalir). Kondisi geografis yang berbeda-beda mengakibatkan bahwa ada daerah yang memiliki air yang melimpah, dan ada pula daerah yang kering kerontang.
Simpen (2016: 73) mencatat bahwa di Jawa Barat banyak sekali ditemukan leksikal yang diawali dengan unsur CI, seperti dalam kata Cisedane, Cibadak, Cimanggis, Cisarua, Cimacan, Cibeurem, Cilandak, dan masih banyak lagi ci yang lain. Semua leksikal yang mengandung unsur ci-, ternyata
354 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Denpasar, 25-26 September 2018
mengacu pada konsep yang sama, yaitu air atau sungai. Ini berarti bahwa, bahasa digunakan untuk menggambarkan realita bagi penuturnya.
Kenyataan yang sangat berbeda ditemukan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Sumba dan di Kota Kupang. Seperti diketahui, bahwa di NTT air merupakan barang yang langka. Daerah ini terkenal dengan curah hujannya yang sangat rendah, sehingga sebagian besar daerah NTT merupakan daerah padang sabana yang kering dan tandus. Sejumlah leksikal yang mengandung unsur wai, seperti: Waingapu, waikabubak, waijelu, waitabula, waimangura, waikelo, waikaka, dan lain-lain, ternyata di daerah ini air sangat langka. Hal yang sama dijumpai di Kota Kupang. Kata-kata yang mengandung unsur oe, seperti:
Oebobo, oesusu, oetata, oeperigi, oeba, oenesu, oelamasi, dan lain-lain semua merujuk pada tempat yang langka air.
Apabila di Jawa Barat, melipahnya air adalah sebuah realita, di NTT pun langkanya air adalah realitas. Pertanyaannya, mengapa leksikal yang merujuk pada entitas yang sama, dalam hal ini airjustru bertolak belakang dengan realitas?
Bagi masyarakat NTT, bahasa digunakan sebagai alat untuk menggantungkan harapan, betapa rindunya masyarakat di NTT akan adanya air yang melimpah.
Sementara itu, bagi masyarakat Jawa Barat bahasa digunakan sebagai alat agar masyarakat waspada karena melimpahnya air juga dapat membawa bencana.
Air dapat dianggap sebagi pusat berkembangnya peradaban umat manusia.
Banyak kota-kota besar dan maju bermula dari kota pelabuhan yang tentunya berada di air. Kota Shang Hai di China bermula dari kota pelabuhan, Jakarta dari kota pelabuhan Sunda Kelapa, dan juga Surabaya, dan Semarang. Kawanan binatang liar dan pemukiman manusia purba juga tidak jauh dari keberadaaan air (sungai, air terjun, danau, embung, dan mata air).
Keberadaan air juga berkaitan dengan ritual tertentu. Misalnya, upacara memanggil hujan, upacara ngameg di Beji, upacara mepekelm di Danau Batur yang dilakukan masyarakat Bali. Di samping itu, ada pula upacara nampah batu di Desa Depeha, upacara barong wae di Manggarai (Lihat Simpen, 2016: 73).
Mengingat air merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia, tidak jarang air juga dapat menimbulkan konflik horizontal, baik pada tataran individu, kelompok, maupun desa. Misalnya, perkelahian individu para
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 355 Denpasar, 25-26 September 2018
petani yang berebut air atau sengketa antardesa karena memperebutkan sumber mata air. Dalam hal ini, mitos mengenai asal-usul keberadaan air dalam suatu wilayah juga tidak dapat diabaikan.
2. Pembahasan
Makalah ini membahas salah satu mitos tentang asal-usul keberadaan air di Desa Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Hal ini, dilakukan karena air di Desa Tejakula dianggap menjadi sumber konflik antardesa. Paparan mitos diharapkan dapat memberikan pencerahan, sehingga ke depan konflik yang sama tidak akan terjadi.
2.1 Mitos Air di Desa Tejakula
Mitos bagi sebagian masyarakat dianggap sebagai omong kosong. Lebih- lebih di era modern seperti sekarang, membicarakan mitos dianggap membuang- buang waktu. Namun, ada pula masyarakat yang menganggap bahwa ada sesuatu di balik mitos itu. Mitos adalah tipe wicara. Atau mitos merupakan sistem komunikasi, yakni sebuah pesan (Barthes, 2004: 151).
Jika benar bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, maka melalui mitos manusia ingin mengomunikasikan sesuatu dengan caranya yang khas. Mitos mengandung ketaatan dan kebebasan karena manusia dapat menjadikan mitos sebagai acuan, atau mitos dapat diabaikan sama sekali. Dianggap mengandung unsur ketaatan karena mitos biasanya bersumber dari Sang Pencipta, atau dikaitkan dengan Sang Pencipta. Sementara itu, mitos dapat diabaikan karena seringkali manusia mengaitkannya dengan kesehatan nalar.
Mitos tentang asal-usul air di Desa Tejakula sangat diyakini kebenarannya.
Oleh karena itu, mitos dijadikan acuan berperilaku dan bertindak. Di bawah ini, adalah mitos air yang dimaksud.
Bahasa Bali
Dumun duk imaluan sadurung wenten toya ring Desa Les lan Tejakula, gumini iriki mejanten tuh kiut, medaging tanah cebuk. Nika mawinan Ida Bhatara sane malinggih ring Danu Batur mepikayun jagi ngadakang toya ring gumi Belelenge bagian kangin, minakadi Tembok, Sambirenteng, Penuktukan, Les, Tejakula, Bondalem, Julah Pacung, tur Sembiran.
Sesampune ngadakang bebaosan ida Bhatara sane melingga ring Danu Batur, sane maparab (Dewi Danu) mapikayun jagi tedun ke gumin Belelenge ngadol
356 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Denpasar, 25-26 September 2018
toya. Tatujone tuah asiki mangde gumen Belelenge kangin subur gemah lipah loh jinawi.
Ida Bhatara tedun nyati rupa, marupa anak tua cakluk, mebaju wek pasuranting, tur berung borok, negen bumbung madaging toya. Pamargin ida ngawit saking Desa Tembok, penikadi desa sane paling si kangin ring wawidangan Kecamatan Tejakula. Nanging serauh Ida ring Tembok, Sambirenteng, lan Penuktukan nenten wenten jatma sane numbas toyan ida.
Pamargine ngelantur ngawangang saget tiba ring Desa Les. Iriki toyan ida laku aji aketeng, nanging kataur antuk tah. Nika mawinan ring desa Les kayang kamangkin kaadanin yeh tah.Rauh ring desa Tejakula (dahulu bernama Hiliran) toyan ida laku duang keteng. Nika mawinan toyane ring Tejakula dobel gedene yen kabandingang toya ring Les.
Ida Bhatara ngelanturang pemargi ngawangang, saget tiba ring Desa Bondalem.
Driki ida Bhatara kasabatin batu, kakecuin, sawireh marupa anak tua dekil, mabusana uek, pasuranting, tur medaging berung. Sedih king-king ida, raris mastu jatmane sane wenten ring Bondalem mangde sayan keweh nemuang toya.
Toyane mejanten joh tuun. Nika mawinan ring tengah desa Bondalem wenten semer dalem pisan .Niki silih sinunggil semer sane wenten dumun ring Bondalem.
Pamargin ida kalanturang, saget sampun rauh ring Julah, Pacung, lan Sembiran.
Nanging driki nenten wenten jadma sane numbas toya. Pemargin ida kalangkung lesu, nika mawinan toyane sane kagambel ngeloncok ring Ponjok Batu. Kayang mangkin ring Ponjok Batu wenten toya kelebutan ageng. Ngelantur ngawangang toyane petretes ring Goa Landak. Serauh Ida Bhatara ring Yeh Sanih, ida kalangkung bendu. Bumbunge sane madaging toya kapantigang, tur toyane makesami bobok iriki. Nika mawinan kayang mangkin toyane di Yeh Sanih ageng pisan.
Bahasa Indonesia
‗ Dulu, sebelum ada air di Desa Les dan Tejakula, daerah ini sangat kering kerontang dan berdebu. Itulah sebabnya Tuhan yang berstana di Danau Batur bermaksud memberikan air di daerah Buleleng Timur, seperti Tembok, Sambirenteng, Penuktukan, Les, Tejakula, Bondalem, Julah, Pacung, dan Sembiran.
Setelah melakukan perundingan, Ida Bhatara (Tuhan) yang berstana di Danau Batur yang bergelar Dewi Danu berniat akan menjelma ke dunia, ke tanah Buleleng menjual air. Tujuannya hanya satu , yaitu agar tanah di Buleleng Timur subur, sehingga masyarakatnya tata tentram kerta raharja.
Ida Bhatara turun menjelma ke dunia menjadi laki-laki tua renta, penuh luka dan borok, serta berpakaian compang-camping. Memikul potongan bambu berisi air.
Perjalanan beliau dimulai dari desa Tembok, yaitu desa paling timur di Kecamatan Tejakula. Akan tetapi, setiba beliau di Tembok, Sambirenteng, dan Penuktukan tidak seorang pun warga masyarakat berniat membeli air beliau.
Perjalanan beliau lanjutkan, tiba-tiba beliau sampai di desa Les. Di sini, air beliau laku seharga satu keteng, dan pembayaranya ditukar dengan sebilah parang. Itulah sebabnya, sampai sekarang di Les ada yeh tah‘ air parang‘. Tiba di Desa Tejakula (dahulu bernama Hiliran) air beliau laku dua keteng. Itulah sebabnya air di Tejakula besarnya dua kali lipat dari air di Les.
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 357 Denpasar, 25-26 September 2018
Ida Bhatara melanjutkan perjalanan ke barat, sekonyong-konyong beliau tiba di desa Bondalem. D i sini, beliau dilempari batu, diludahi karena berpenampilan penuh luka, compang-camping, dan borok. Jangankan membeli air, seluruh masyarakat di sini tidak mau menerima beliau. Beliau sangat marah, kemudian mengutuk masyarakat di Bondalem agar semakin susah mendapatkan air.
Kenyataannya, di Bondalem air sangat susah, kalaupun membuat sumur itupun sangat dalam. Satu-satunya sumur di tengah desa Bondalem memang sangat dalam.
Perjalanan beliau lanjutkan dan telah melewati desa Julah, Pacung, dan Sembiran, tetapi airnya tidak laku. Oleh karena beliau kesal dan lelah, perjalanan beliau gontai dan air yang dibawanya tercecer di Ponjok Batu. Sampai sekarang di Ponjok Batu ada mata air yang besar. Semakin ke barat, melewati Goa Landak airnya terus berceceran. Namun, setibanya di Air Sanih kekesan belaiu memuncak.
Potongan bambu tempat penampungan air tadi dibanting, sehingga pecah. Semua air tumpah di air Sanih dan Penyusuan. Itulah sebabnya sampai sekarang di Air Sanih dan Penyusuam ada mata air yang sangat besar.
Mitos mengenai asal-usul air di Les dan Tejakula sampai sekarang sangat diyakini kebenarannya. Kedua desa adat ini memelihara keberadaan air melalui ritual secara teratur dan berkala, berupa upacara pakelem di Pura Ulun Danu Batur, tempat asal-muaasalnya air. Oleh karena itu, secara adat-istiadat kedua desa inilah yang secara penuh berhak memanfaatkan kebedaraan air ini secara maksimal. Jadi, tidak satu pun desa tetangga yang boleh mengambil air dari dua desa ini.
Dalam UUD 45 memang disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, tidak serta merta dapat diterapkan di sini. Desa-desa di luar Les dan Tejakula secara historis dianggap tidak berhak. Pemerintah kabupaten pernah mengusahakan air ledeng untuk desa Bondalem, Penuktukan, dan Sambirenteng dengan memanfatkan air di Les dan Tejakula mendapat penolakan dari kedua desa ini. Ujung-ujungnya sering terjadi konflik horizontal antara warga Bondalem dengan warga Tejakula.
Beberapa tahun yang lalu, secara sembunyi-sembunyi masyarakat Sembiran membuat bak penampungan untuk menampung rembesan sumber mata air di Tejakula, yang rencananya akan dialirkan dengan pipa ke Sembiran.
Aktivitas ini diketahui oleh pemuka desa Tejakula, dan secara spontan ratusan warga Tejakula datang ke lokasi bak dan menghancurkannya.
Pemerintah daerah Kabupaten Buleleng juga tidak bisa memaksakan kehendak dan menghormati sikap warga desa Tejakula. Oleh akrena itu, untuk
358 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Denpasar, 25-26 September 2018
menanggulangi kelangkaan air bersih di Bondalem dan sekitarnya, dimanfaatkanlah mata air yang ada di Air Sanih..
Mitos utama tentang keberadaan air di Tejakula, melahirkan mitos turunan. Mitos turunan ini lahir karena adanya niat Ida Bhatara di Bondalem untuk memiliki air mengalir di desa ini. Mitos turunan ini juga diyakini sebagai penyebab perseteruan kedua desa secara turun-temurun. Mitos itu terpapar sebagai berikut.
Bahasa Bali
Duk imaluan ring tengahing wengi. Ida bhatara sane melinggih ring Desa Bondalem mapikayun jagi nyolong toyane ring Tejakula. Ida mamargi nyujur ka ulu tukad Yeh Lalang, wewidangan desa Tejakula bagian kawuh. Driki ida mapikayun jagi mamargiang toyane sane kacolong.
Ngregep sarwa kasaktiyan raris bukite driki kasepeg, majanten pegat (mangkin genahe iriki kaadanin pegat). Nanging, pamargin ida kadapetang oleh Ida Bhatara sane malingga ring Tejakula. Raris iriki ida mayuda sareng kalih.
Payudane pada nganggen sarana kebo. Ida bhatara ring Bondalem nedunang kebo istri sedeng menyonyoin, nanging ida Bhatara ring Tejakula nedunang kebo godel.
Payudane kalangkung sengit. Kebo istri sane menyonyoin kakasorang antuk kebo godel. Nika mawinan Ida Bhatara ring Bondalem ngaku kasor. Pikayun jagi nyolong toya mejanten wangde. Nika mawinan kayang mangkin di Bondalem nenten toya membah.
Bahasa Indonesia
Pada jaman dahulu kala, di tengah gelepan malam, Ida Bhatara yang berstana di Desa Bondalem bermaksud mencuri air yang ada di Desa Tejakula. Beliau pergi menuju hulu sungai Tukad Yeh Lalang, yaitu wilayah desa Tejakula bagian barat.
Dari sini, rencananya air yang akan dicuri itu dialirkan
Dengan mengerahkan segala kesaktian, akhirnya bukit di tempat ini dipotong, sehingga terbelah. Sampai saat ini, tempat ini disebut pegat‘putus‘. Akan tetapi, sepak terjang beliau dipergoki oleh Ida Bhatara yang berstana di Tejakula.
Perkelahian tidak terhindarkan. Ida bhatara Bondalem mengeluarkan kerbau betina yang sedang menyusui, dan ida bhatara Tejakula mengeluarkan anak kerbau
Perkelahian berjalan sangat sengit. Kerbau betina dapat dikalahkan oleh anak kerbau, yang selalu merangsek berpura-pura menyusui. Itulah sebabnya, ida bhatara Bondalem mengaku kalah, dan tindakan pencurian air dapat digagalkan.
Sampai sekrang di Bondalem tidak ada air mengalair.
Mitos turunan di atas sering kali memicu konflik horizontal kedua desa dimaksud. Pada era tahun 70-an hingga 90-an urusan sepele, seperti pertandingan sepak bola antardesa membuat kedua desa ini bertikai. Pembenaran selalu dicari
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 359 Denpasar, 25-26 September 2018
berdasarkan mitos turunan di atas. Kata mreka,‘Jangankan kita sebagai manusia, ida bhatara pun memang sejak dulu sudah bermusuhan”. Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, semoga warga di kedua desa ini dapat menyikapi mitos ini secara bijak, sehingga peristiwa tahun 1999 tidak terulang kembali karena pada saat itu telah terjadi perang terbuka antara Bondalem dan Tejakula dengan korban luka berat di kedua belah pihak.
2.2 Air dan Ekologi Kebahasaan
Di atas telah disebutkan bahwa, debit air di desa Tejakula dua kali lipat besarnya dengan yang ada di desa Les. Oleh karena itu, sampai tahun 70-an di desa Tejakula masyarakat melaksanakan sistem pertanian menanam padi serta palawija. Dengan demikian, sampai tahun ini, masyarakat sangat akrab dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan sistem pertanian padi sawah. Sejumlah leksikal yang berkaitan dengan alat-alat pertanian, hasil panen, hasil olahan, dan benda-benda yang berkaitan dengan sistem tanam padi sawah menjadi keseharian kehidupan berbahasa warga Tejakula. Demikian pula leksikal yang berkaitan dengan aktivitas mengolah lahan, memanen hasil sawah, dan mengolah hasil panen menjadi sangat beragam dan kaya. Oleh karena itu, ekologi kebahasaan yang berkembang pada era tahun 70-an adalah ekologi kebahasan masyarakat petani padi sawah.
Pada akhir tahun 70-an, mulai terjadi perubahan ekologi kebahasaan di Tejakula karena sistem pertanian menanam padi sawah diganti dengan tanaman jeruk. Petani tidak lagi menanam padi, tetapi telah beralih menanam jeruk.
Menanam padi sangat jauh berbeda dengan menanam jeruk, mulai dari persiapan lahan, penanaman, sampai pada pemanenan Di samping itu, secara ekonomi menannam jeruk jauh lebih gampang dan jauh lebih menguntungkan dari pada menanam padi.
Implikasi dari perubahan sistem pertanian padi sawah ke tanaman jeruk adalah terjadinya perubahan ekologi kebahasaan masyarakat Tejakula. Hal ini, berakibat pada punahnya sejumlah leksikal, baik nomina, verba, adjektiva, dan degradasi pada sistem gramatikal. Banyak istilah pertanian tidak dikenal lagi oleh generasi muda saat ini. Sebagian besar generasi tua juga sudah mulai lupa akan istilah pertanian tanam padi sawah.
360 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Denpasar, 25-26 September 2018
Tampaknya, sistem pertanian tanam jeruk tidaklah berumur panjang karena jeruk telah digantikan dengan mangga dan rambutan sejak jeruk hancur oleh CVVD pada awal athun 2000-an. Namun, perubahan dari jeruk ke rambutan dan mangga tidak sehebat perubahan dari padi sawah ke jeruk. Di bawah ini, disajikan sejumlah leksikal tanam padi sawah yang sudah punah.
2.3 Leksikal Tanam Padi Sawah
Ada sejumlah leksikal tanam padi sawah yang sudah punah pada masyarakat penutur bahasa Bali di Tejakula, khususnya bagi generasi muda saat ini. Kategori leksikal dikelompokkan dari pratanam, tanam, panen, dan pascapanen.
2.3.1 Leksikal Pratanam
Bahasa mewadahi segala sesuatu yang ada di lingkungan hidup, tempat bahasa itu digunakan (Haugen, 1972). Oleh karena lingkungan tanam padi sawah sudah tidak ada lagi, maka bahasa yang berkaitan dengan itu pun mulai tergradasi.
Di bawah ini, adalah sejumlah leksikal yang sudah tidak dikenal lagi oleh penutur bahasa Bali saat ini.
Bulih‘padi khusus untuk bibit‘
Makal ‗pembajakan pertama‘
Ngempesin‘ pembajakan untuk mematikan gulma‘
Malikang‘membajak untuk membalikkan tanah‘
Mapar‘merapikan pematang‘
Ngurit‘membuat bibit padi‘
Nengala‘membajak‘
Ngelampit‘meratakan tanah dengan alat perata yang ditarik sepasang sapi‘
Mecek‘membacak dan meratakan tanah disertai air, sehingga berlumpur‘
Melasah‘membajak dan meratakan tanah secara halus sehingga siap ditanami padi‘
Tenggala‘ bajak‘
Lampit‘alat perata tanah, dibuat dari pecahan pohon kelapa panjangnya satu setengah meter.
Yuga‘alat perangkai sapi pembajak‘
Kunali‘tali pemegang bajak yang digantung di yuga‘
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 361 Denpasar, 25-26 September 2018
Bango-bango‘kayu berbentuk boneka yang dipasang di kayu penarik bajak‘
Pecut‘cemeti‘
Singkal‘alat yang dipasang di bajak berguna untuk membuang hasil bajakan.
Kejen‘mata bajak dari besi tajam‘
Pengotok‘palu kayu yang dipakai pembajak untuk mengetatkan mata bajak‘
Samed‘kalung pengikat sapi yang dibuat dari rotan atau kulit‘
2.3.2 Leksikal Penanaman Mula‘menanam‘
ngajak‘ mengundang untuk bergotong royong‘
pajakan‘diundang untuk bergotong royong‘
Nyulamin‘menanaman pengganti yang mati‘
Nguukang‘melepaskan air di petak sawah, sehingga kering‘
Tembuku‘ukuran ketinggian air di petak sawah‘
Pundukan‘pematang‘
Telabah‘parit‘
Mejukut‘membersihkan tanaman padi dari gulma‘
Nangluk merana‘upacara penolak bala, agar tanaman padi tidak diserang hama‘
Kikis‘alat penggaruk tanah bergagang panjang untuk membersihkan gulma‘
Biah-biah‘enceng gondok‘
Dawang-dawang‘boneka pengusir pipit‘
Arnggon‘dangau tempat mengusir pipit‘
Gelatik‘sejenis burung pipir yang warnanya sangat bagus‘
Bonol‘sejenis pipit berkepala putih‘
Becing-becing‘kecebong‘
Balangsangit‘walangsangit‘
Padi kumasee‘pohon padi sebesar pohon sre‘
Padi beling‘padi yang sedang bunting dan siap mengeluarkan mayang‘
Padi ikut lasan‘mayang yang baru kining ujungnya‘
Padi ukut‘padi/mayang yang sudah terlalu tua‘
Nyarangin‘mengeringkan air di petak beberapa hari sebelum panen‘
2.3.3 Leksikal Pemanenan
Mantenin‘ritual beberapa hari sebelum panen‘
362 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Denpasar, 25-26 September 2018
Sri‘boneka perwujudan dewi sri yang dibuat dari anyaman lontar ditempatkan di tempat pemujaan‘
Manyi‘panen padi‘
Aekek‘satu ikat mayang padi yang ukurannya segenggam‘
Adepuk‘satu ikat mayang yang isinya sepuluh ekek‘
Anggapan‘ani-ani‘
Nyelebong‘gotong royong menuai padi‘
Mederep‘borongan menuai padi‘
Sumi‘pohon padi yang sudah dipanen (tanpa mayang) Sanan cucuk‘alat pemikul padi yang diikat‘
2.3.4 Leksikal Pascapanen Nebuk‘menumbuk padi‘
Lesung‘lesung‘
Rendeng‘alat perontok padi dari bambu yang ujungnya tajam‘
Ketungan‘alat perontok padi menyerupai jukung‘
Gumpang‘batang mayang yang buklirnya sudah rontok‘
Jineng‘bangunan khusus penyimpanan padi‘
Sok‘bakul kecil‘
Bodag‘bakul besar‘
2.4 Gramatika Sistem Tanam Padi Sawah
Halliday (1975) menyebutkan bahwa salah satu fungsi bahasa adalah fungsi instrumnetal. Dalam fungsi ini, bahasa digunakan untuk memanifulasi dan mengendalikan lingkungan, termasuk lingkungan tanam padi sawah di Tejakula.
Berkaitan dengan berubahnya lingkungan tanam padisawah di Tejakula, maka berubah pula sistem gramatika yang ada. Bahkan, ada sejumlah kalimat, ungkapan, atau metafora yang tidak dikenal oleh penutur saat ini. Kalimat-kalimat berikut sama sekali tidak dikenal oleh penutur bahasa Bali di Tejakula saat ini.
(1) I bapa metekap di carik‘ayah membajak di sawah‘
(2) Petanine suba ngurit ibi sanja‘para petani sudah membibit kemarin sore‘
(3) Satonden mula padi melasah malu‘sebelum menanam padi mengolah tanah terlebih dahulu‘
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 363 Denpasar, 25-26 September 2018
Ketiga kalimat di atas tidak dimengerti oleh generasi saat ini karena ada leksikal yang samasekali asing baginya. Hal ini, disebabkan karena leksikal itu tidak ada pada sistem pertanian jeruk, mangga atau rambutan. Untuk tanaman jeruk, mangga, atau rambutan tanah tidak diolah dengan pembajakan, tetapi cukup dicangkul. Bahkan, sekarang dicangkul pun tidak. Di sisi lain, tanaman padi memerlukan olahan tanah dengan air/lumpur, yang bertolak belakang dengan tanaman jeruk, rambutan atau mangga.
Pada saat ini, petani juga jarang memelihara sapi karena tanaman jeruk, rambutan, atau mangga mengakibatkan padang susah tumbuh, sehingga pakan ternak tidak ada. Oleh karena itu, sapi pun sekarang jarang bisa digunakan untuk membajak. Demikian juga ngurit hanya dikenal pada tanaman padi, sehingga generasi sekarang sama sekali tidak mengenalnya. Termasuk kata melasah,membajak, meratakan, tanah dengan air sebelum menanam padi tidak ada dalam tanaman jeruk karena pemanfaat air untuk tanaman jeruk tidak sebanyak tanaman padi.
Di sisi lain, ungkapan acekel gonda layu‘segenggam daun gonda layu‘
juga tidak dikenal karena tanaman ini hanya ditemukan di tengah-tengah tanaman padi. Tentu saja termasuk di dalamnya ungkapan ‗seperti mayang mengurai‘ tidak akrab di telinga masyarakat Tejakula. Ikut pula terdegradasi adalah mitos dewi sri yang memiliki anak buah tikus, belalang, ular, dan jenis serangga lain di sawah. Saat ini, jarang didengar ungkapan jro ketut untuk tikus karena binatang pengerat ini sangat ditakuti oleh petani padi. Sementara itu, tikus bukan merupakan ancaman bagi petani jeruk, rambutan, dan mangga.
Dalam masyarakat petani padi penyebutan bikul‘tikus‖ dianggap akan membawa bencana. Oleh karena itu, bikul‘tikus‘ disebut jro ketut. Dengan cara ini, sang penguasa tikus (Dewi Sri) tidak murka sehingga tidak menyerang tanaman padi dan palawija lainnya. Penggunaan pestisida untuk penyemprotan pun tidak sembarangan. Biasanya, dilakukan ritual nangluk merana‘penolak bala‘
terlebih dahulu sebelum melakukan penyemprotan.
Apabila ditilik lebih mendalam, ternyata di balik menabukan bikul‘ tikus‘
ini terkandung kearifan yang sangat dalam karena penggunaan pestisida yang
364 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Denpasar, 25-26 September 2018
berlebihan dan tidak terkendali justru mengancam ekosistem yang ada. Dalam hal ini, mitos sesungguhnya merupakan sistem komunikasi yang amat bijak.
Di sisi lain, sistem tanam jeruk melahirkan satu ungkapan baru sing onya baana acarang’ tidak habis satu cabang. Ungkapan ini digunakan oleh generasi jeruk untuk mereferen suatu keadaan bahwa jeruk itu menghasilkan banyak uang, sehinggga satu cabang pun dapat menghasilkan uang yang banyak. Jadi, jangankan satu petak kebun jeruk, satu cabang pun sudah cukup. Di samping itu, sistem tanam jeruk, mangga, dan rambutan membentuk sistem pembelian borongan. Bahkan, yang diborong bukan buahnya, melainkan pohonnya. Artinya, pohon jeruk, mangga, dan rambutan belum berbuah pun sudah diborong tengkulak. Ini mengakibatkan masyarakat petani di desa ini menjadi malas, suka mabuk-mabukan, dan judi. Bahkan, sejumlah pemuda mencuci motor dengan beer, hanya untuk memenuhi predikat apang oraanga aeng‘ supaya dikatakan hebat‘. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Bunut Bolong di Jembrana karena keberhasilan tanaman cengkeh, membuat mereka lepas kontrol.
2.5 Aspek Budaya Sistem Tanam Padi Sawah
4.oleh sistem tanam jeruk, mangga, atau rambutan. Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini.
1. Budaya Ngajak, yaitu sistem gotong royong yang biasanya dilakukan pada masa pengolahan lahan, penanaman, dan panen. Dalam kegiatan ini, beberapa orang petani diundang untuk
ikut bekerja bersama-sama. Biasanya para pekerja diberi makan dan minum.
2. Budaya Nyarad, yaitu sistem pembagian air yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu
secara bergiliran.
3. Budaya Munuh, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah menuai padi dengan cara
memungut sejumlah mayang yang tertinggal atau luput dari tuaian.
4. Budaya Maurup-urup, yaitu kegiatan barter (tukar-menukar) padi dengan kelepon (salah
Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 365 Denpasar, 25-26 September 2018
satu jenis jajan Bali, daging babi, atau ikan).
2.6 Aspek Lingkungan
Beralihnya sistem tanam padi ke tanam jeruk, mengakibatkan terbengkelainya sistem pengairan karena tanaman jeruk tidak membutuhkan air setiap hari. Oleh karena itu, banyak dam kecil yang dibiarkan rusak. Di samping itu, kali-kali dan parit-parit tidak lagi terpelihara dengan baik. Bahkan, sejumlah parit diperkecil ukurannya dan ada yang sudah dimatikan.
3. Kesimpulan
Dengan caranya sendiri mitos adalah sistem komunikasi yang sangat bijaksana. Mitos tampil apa adanya. Penutur suatu bahasa atau yang empunya budaya diberikan kebebasan untuk menilai mitos. Ketika akal sehat menemui jalan buntu, mitos adalah jawabannya.
Mitos tentang asal-usul air di Tejakula berimplikasi pada terciptanya ekologi kebahasaan yang sangat dinamis. Mulai dari keberadaan sistem tanam padi sawah, sampai pada sistem pertanian tanam jeruk, rambutan, dan mangga.
Dinamika kebahasaan bagi penutur bahasa Bali di Tejakula ditandai dengan adanya kepunahan sistem leksikal, dan gramatika tertentu yang berkaitan dengan sistem tanam padi sawah. Sementara itu, muncul pula ungkapan baru berkaitan dengan ekologi tanaman jeruk.
DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Casson, Ronald W.1981. Language, Culture, and Cognition: Anthrophological Perspective. New York:
Macmilan Publishing Co-Inc.
Duranti,A. 1997.Linguistics Anthrophology. Cambridge: Cambridge University Press.
Fill, Alwin, dan Peter mukhausler (Ed.) 2001.The Ecolinguitics Reader; language, ecology, and
Environment. London and New York: Continuum.
Fox, James J. (ed.). 1997. The Poetic Power of Place. Cambera: The Australian National University.
Haugen, Einar, 1972.The Ecology of Language. Stanford California; Stanford University Press.
Stibbe, Arran. 2015.Ecolinguistics, Language, Ecolgy and Stories We Live By.
London: Routledge.
366 Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Denpasar, 25-26 September 2018
Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta Duta Wacana University Press.
Simpen, I Wayan. 2009. ― Kesantunan Berbahasa Masyarakat Bali di Kabupaten Buleleng: Sebuah
Kajian Linguistik Kebudayaan. Denpasar. LPPM Unud.
Simpen, I Wayan, 2016. ― Air dalam Wacana Kebudayaan Bali‖ (Proseding) Seminar Nasional Bahasa
Ibu (SNBI) IX. Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Linguistik, Badan Pengembang-
an Bahasa, dan APBL