• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Short Communication: Kajian Etik, Kesejahteraan, dan Kesehatan Hewan dalam Fenomena Topeng Monyet

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Short Communication: Kajian Etik, Kesejahteraan, dan Kesehatan Hewan dalam Fenomena Topeng Monyet"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

https://journal.literasisains.id/index.php/INSOLOGI

ISSN 2828-4984 (Media Online) | ISSN 2828-4992 (Media Cetak) Vol. 1 No. 6 (Desember 2022) 915-921

DOI: 10.55123/insologi.v1i6.606

Diterima Redaksi: 27-06-2022 | Selesai Revisi: 20-07-2022 | Diterbitkan Online: 30-12-2022

Short Communication: Kajian Etik, Kesejahteraan, dan Kesehatan Hewan dalam Fenomena Topeng Monyet

Erie Kolya Nasution

Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Indonesia Email: [email protected]

Abstract

The phenomenon of dancing monkeys is a cultural and traditional art in Indonesia by exploiting primates, especially the Macaca fascicularis or long-tailed macaque species. Law enforcement efforts related to the dancing monkey phenomenon seem biased. Apart from the fact that the long-tailed macaque is one of the unprotected animals, there is also no strict enforcement of existing laws, although they can often be charged with animal health and welfare regulations. This study discusses the urgency of ethics, animal welfare, and health in primates who used dancing monkeys as objects. The method used is a descriptive-qualitative approach based on the relevant scientific literature. There is still very little research related to the dancing monkey phenomenon, both in terms of ethics, animal welfare, and health, the urgency and further recommendations from the results of this study can be used to encourage efforts to prevent the dancing monkey phenomenon in the community by providing suggestions that can be applied to the community such as education, development of informative media, management of educative tourism objects based on wildlife and ecotourism, and participating in volunteering for animal observers or animal welfare in Indonesia.

Keywords: Animal Abuse, Bioethics, Conservation, Dancing Monkey, Indonesian Law.

Abstrak

Fenomena topeng monyet merupakan budaya dan kesenian tradisi yang ada di Indonesia dengan mengeksploitasi satwa primata khususnya spesies Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang (MEP).

Upaya penegakan hukum terkait dengan fenomena topeng monyet ini terkesan bias, selain karena MEP salah satu satwa tidak dilindungi, juga belum tegasnya penegakan hukum yang ada, meskipun kerap kali dapat dijerat dengan regulasi kesehatan dan kesejahteraan hewan. Studi ini berusaha mendiskusikan urgensi etik, kesejahteraan hewan (kesrawan), dan kesehatan pada satwa primata yang digunakan obyek topeng monyet. Metode yang dilakukan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif berdasarkan literatur- literatur ilmiah yang relevan. Masih sedikitnya penelitian berkaitan dengan fenomena topeng monyet, baik dari segi etik, kesrawan, dan kesehatannya, urgensi dan rekomendasi lebih lanjut dari hasil studi ini dapat digunakan untuk mendorong upaya pencegahan terjadinya fenomena topeng monyet di masyarakat dengan memberikan saran-saran yang dapat diterapkan kepada masyarakat seperti edukasi, pengembangan media informatif, pengelolaan obyek wisata edukatif berbasis satwa liar dan ekowisata, dan turut serta menjadi relawan pemerhati hewan atau kesrawan di Indonesia.

Kata Kunci: Bioetika, Hukum Indonesia, Konservasi, Kesrawan, Penyiksaan Hewan.

1. PENDAHULUAN

Etika dalam bidang ilmu biologi atau ilmu hayati yang relevan disebut pula bioetika (Stewart, 2016). Bioetika ini salah satu cakupannya ialah mengkaji kesejahteraan hewan (kesrawan) atau animal welfare, animal well-being, tentunya didasarkan pada upaya manusia dalam menggunakan, memanfaatkan, melibatkan, dan segala bentuk interaksi terhadap hewan atau satwa, baik satwa peliharaan maupun satwa liar (Jeramu, 2017;

(2)

Sulianti et al., 2021). Satwa liar seperti monyet (Primata) kerap dijadikan obyek eksploitasi non-riset untuk keperluan hiburan semata, yaitu topeng monyet (Lucanus, 2014).

Salah satu spesies monyet yang dijadikan obyek topeng monyet atau dancing monkey adalah monyet ekor panjang (MEP) (Macaca fascicularis) (Ai, 2015; Chandra, 2014; Indrarini, 2015; Triani et al., 2014). Saat ini status konservasi MEP menurut IUCN dikategorikan sebagai spesies rentan (vulnerable) (Eudey et al., 2021). Selain itu, dengan adanya eksploitasi MEP sebagai obyek topeng monyet membuat kontribusi penurunan populasi dan secara tidak langsung dimungkinkan dapat menjadi faktor penyebab naiknya status konservasinya. Di Indonesia, melalui Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan dibantu beberapa aparat penegak hukum terkait serta organisasi pemerhati satwa liar atau kesejahteraan hewan sudah beberapa kali menangkap dan menindaklanjuti oknum-oknum yang mempekerjakan satwa liar MEP, namun karena spesies MEP tidak dalam kategori satwa yang dilindungi, sehingga dimungkinkan terdapat bias dalam penegakan hukumnya. Adapun upaya jeratan hukum yang kerap kali digunakan berasal dari aturan- aturan hukum lain yang berkaitan dengan peternakan dan kesehatan hewan (Irawan &

Dwiprigitaningtias, 2019; Sejati, 2018), kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan (Irawan & Dwiprigitaningtias, 2019), serta KUHP (Irawan &

Dwiprigitaningtias, 2019; Sejati, 2018). Studi ini bertujuan untuk menyampaikan hasil kajian singkat mengenai etik dan kesrawan pada fenomena topeng monyet yang ada di Indonesia.

2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Penelusuran Literatur

Studi ini merupakan bentuk short communication dalam mendiskusikan kajian etika dan kesejahteraan hewan (kesrawan) pada fenomena topeng monyet yang kerap terjadi di Indonesia. Penelusuran literatur rujukan berasal dari basis data pencarian di Google Scholar, Lens Scholarly Research, Dimension AI, dan Sciencedirect. Tahun penelusuran tidak dibatasi mengingat publikasi ilmiah mengenai topeng monyet dalam bidang ilmu hayati sangat sedikit. Hasil literatur yang relevan dengan studi short communication ini digunakan sebagai bahan diskusi dan pembahasan.

2.2 Analisis Data

Analisis data dalam studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif berdasarkan publikasi-publikasi ilmiah yang relevan. Meskipun upaya penyampaian studi ulasan (seperti systematic review, meta-analysis, atau jenis review lainnya) dapat dilakukan, namun karena terbatasnya literatur ilmiah mengenai topeng monyet dalam bidang ilmu hayati, studi ini menggunakan jenis short communication. Diharapkan hasil studi ini dapat menjadi bahan kajian dan rekomendasi dalam mengupayakan etik, kesejahteraan hewan (kesrawan), dan upaya penegakan hukum di Indonesia untuk mencegah kejadian topeng monyet.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Fenomena topeng monyet sendiri merupakan jenis eksploitasi satwa liar (Irawan &

Dwiprigitaningtias, 2019). Semua satwa dari Ordo Primata merupakan satwa liar, tidak diperkenankan untuk dipelihara. Segala bentuk pemanfaatan, penggunaan, pelibatan satwa liar hanya dikhususkan untuk penelitian yang bertujuan untuk kebutuhan kemaslahatan umat manusia, dalam hal ini penelitian bidang biomedis (Sajuthi et al.,

(3)

2016), maupun penelitian-penelitian dari bidang ilmu sains dan teknologi. Meskipun demikian, bidang ilmu lain yang menggunakan obyek satwa liar sebagai kajian riset, perlu secara hati-hati untuk mengutamakan prinsip-prinsip bioetika dan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan. Prinsip-prinsip bioetika di dalam melakukan suatu penelitian antara lain menghargai bentuk kehidupan atau hewan (respect), melakukan analisis manfaat dan kerugian (beneficiary), dan memenuhi rasa keadilan (justice). Di antara prinsip-prinsip tersebut antara lain prinsip 3R dan 5F. Prinsip 3R terdiri atas replacement, reduction, dan refinement, Prinsip 5F terdiri atas freedom from hunger, malnutrition and thirst (bebas dari rasa lapar, malnutrisi dan haus); freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan stres); freedom from discomfort (bebas dari rasa tidak nyaman); freedom from pain, injury and disease (bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit); dan freedom to express normal patterns of behavior (bebas mengekspresikan perilaku alamiah). Persetujuan etik diperlukan dalam penelitian biomedis, konservasi, dan biologi (Sajuthi et al., 2016).

Bidang ilmu lain apabila diperlukan dapat mengajukan rencana penelitiannya kepada Komisi Etik Penggunaan Hewan atau komisi etik yang relevan.

Jelas dalam hal ini fenomena topeng monyet mutlak eksploitasi satwa liar, tidak akan pernah disetujui oleh komisi etik mana pun. Meskipun fenomena ini telah menjadi budaya (Asmarani, 2007), namun apakah budaya ini harus melibatkan satwa liar dan mengeksploitasinya sehingga akan terdampak pada kesehatan hewan (Ai, 2015;

Ferdinandez et al., 2018; Indrarini, 2015; Triani et al., 2014) dan kesejahteraan hewan (Chandra, 2014). Tentunya etika dalam memperlakukan satwa liar tidak dengan mengeksploitasi, memperbudak, mempekerjakan, memaksa, mengganggu, menjadikan psikisnya tertekan (stress), menyiksa, hingga membunuh tanpa alasan yang jelas.

Meskipun regulasi pada satwa primata MEP sebagai salah satu jenis monyet yang terlibat dalam fenomena topeng monyet tidak dilindungi (Khatijah, 2020), namun apabila seseorang menyebabkan MEP bermasalah kesehatan dan kesrawan-nya tentu dapat dipidana (Adhitya et al., 2022; Irawan & Dwiprigitaningtias, 2019; Ivan, 2013; Sejati, 2018). Upaya untuk menghentikan fenomena topeng monyet dapat dilakukan melalui edukasi yang menjelaskan bahwa satwa primata merupakan satwa liar yang tidak diperkenankan untuk dipelihara (Wolfensohn & Honess, 2008) bahkan dijadikan obyek topeng monyet (Lucanus, 2014), satwa primata juga dapat berpotensi membawa penyakit yang dapat menular ke manusia atau sebaliknya (zoonosis) (Ferdinandez et al., 2018;

Triani et al., 2014), kedua pokok utama alasan inilah yang dapat digunakan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat untuk tidak mengeksploitasi satwa primata khususnya untuk digunakan sebagai ajang topeng monyet, karena telah dilaporkan adanya kasus eksploitasi satwa hingga menyebabkan kematian pada satwa dan bukti forensik menyebutkan dari hasil visum ini menjadi bukti untuk keperluan pidana (Putra et al., 2017).

Budaya atau tradisi yang terus-menerus dilakukan dan turun-temurun seperti topeng monyet ini tentunya harus dihentikan. Tidak ada alasan khusus apa pun yang memperbolehkan satwa liar primata untuk dijadikan obyek topeng monyet. Satwa secara bertahap dilatih dengan tidak menunjukkan tingkah laku alaminya di alam. Satwa dipaksa untuk melakukan aktivitas yang sifatnya abnormal. Belum sampai di sini saja, proses pengandangannya pun tidak sesuai standar perkandangan (housing) yang dikeluarkan instansi penggunaan hewan baik skala nasional bahkan internasional. MEP merupakan satwa primata yang hidup sosial atau berkelompok dengan struktur sosialnya banyak jantan−banyak betina (multi malemulti female) (Supriatna & Wahyono, 2000). Apabila mereka dikandangkan secara individu tanpa alasan yang jelas atau alasan non-riset sebagai hewan model akan menyebabkan perubahan tingkah laku menjadi stereotype (Ai,

(4)

2015; Indrarini, 2015), hal ini dapat menyebabkan terganggunya kesehatan dan kesrawan dari individu tersebut. Gambar 1 merupakan contoh perkandangan (housing) yang tidak sesuai standar housing bagi MEP dengan tipe perkandangan single-housing.

Gambar 1. Tipe perkandangan MEP single-housing yang tidak sesuai standar akan menyebabkan perubahan tingkah laku abnormal atau stereotype.

Sumber gambar: Dokumentasi Mr. Ocid.

Satwa primata merupakan satwa liar, tidak seharusnya tindakan manusia sebagai anggota dari taksa Ordo Primata juga bertindak ‘tidak semestinya’ terhadap satwa primata, bahkan satwa lainnya. Setiap satwa berhak mendapatkan perlakuan ‘human-like

oleh manusia, karena mereka pun mempunyai hak untuk hidup di alam (Keil, 2019).

Mereka harus mendapatkan hak-hak 5F berupa 1) bebas dari rasa lapar dan haus, 2) bebas dari rasa tidak nyaman, 3) bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, 4) bebas mengeskpresikan tingkah laku alami, 5) bebas dari rasa takut dan tertekan (Chandra, 2014). Apabila satwa liar termasuk satwa primata diperlakukan tidak dengan

‘memanusiakan hewan’ tentunya akan berdampak pada tingkah laku, kesehatan, dan kesejahteraannya. Kesejahteraan hewan (kesrawan) akibat dari eksploitasi topeng monyet secara orang awam dapat dipertimbangkan dari ‘penampilan luar mereka’, hal ini berdasarkan kutipan (Lucanus, 2014):

“...monyet itu mengenakan pakaian manusia, berdansa, mengemudi sepeda, dan yang paling mengherankan, merokok kretek. Monyetnya diikat dengan rantai di leher, dan tangan pawang monyet bermain gendang atau gamelan, sambil tangan yang lain memegang tali pengikat monyet.”

Lebih lanjut, pernyataan Lucanus (2014) berpendapat bahwa sebelum monyet- monyet itu mengekspresikan topeng monyet atau dancing monkey-nya, mereka melalui serangkaian proses penyiksaan hewan yang sama sekali tidak menjunjung ‘animal- rights’. Kondisi kesrawan ini juga didukung oleh hasil pemeriksaan medis terhadap satwa primata hasil sitaan topeng monyet, seperti mengandung telur endoparasit beserta frekuensi kehadirannya Ascaris lumbricoides (4,71%), Strongyloides stercoralis (7,85%), Trichuris trichiura (2,85%), Hymenolepis sp. (0,78%), Ancylostoma duodenale (0,79%), dan kista Balantidium coli (0,79%) (Triani et al., 2014). Selain itu dilaporkan dari 87 ekor MEP sitaan topeng monyet setidaknya 11,31% mengandung antibodi terhadap bakteri penyebab TBC (Ferdinandez et al., 2018). Selain pemeriksaan medis, dilaporkan juga melalui pemeriksaan tingkah laku abnormal atau stereotype. Dilaporkan dari 47 monyet sitaan yang dibagi atas 4 kandang sosial stabil dan 2 kandang sosial non-stabil melalui pengamatan instantaneous scan sampling menunjukkan tingkah laku tidak normal berupa geleng-geleng kepala seperti kuda (weaving), angguk kepala serta menggoyangkan tubuh ke depan dan belakang sering bertumpu pada tangan dan lututnya (rocking), dan melukai

(5)

diri sendiri (self-injurious behavior) (Ai, 2015). Penelitian lain juga melaporkan hal serupa, namun terdapat tingkah laku tidak normal lainnya yaitu menggigit jari dan tangannya sendiri (hand-biting) (Li, 2015).

Dampak negatif dari fenomena topeng monyet ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi manusia, sebagai makhluk hidup tingkat tertinggi di dunia. Beberapa saran yang dapat menjadi pertimbangan untuk tidak mengeksploitasi satwa primata sebagai topeng monyet antara lain mengembangkan media interaktif seperti buku elektronik pencegahan pemeliharaan satwa primata (Oktavia, 2022), multimedia pembelajaran primatologi (Al Hakim & Annisa, 2021) atau biologi tingkah laku (etologi) (Al Hakim et al., 2021) atau biologi (Riani et al., 2021), serta multimedia interaktif pencegahan kekerasan terhadap hewan (Pratiwinindya et al., 2021) sehingga hal ini dapat menjadi solusi pembelajaran dengan integrasi teknologi sekaligus memberikan informasi penting mengenai kehidupan satwa liar, sehingga diharapkan secara tidak langsung akan memupuk kesadaran untuk tidak mendukung atau terlibat dalam fenomena topeng monyet. Selain itu, beberapa wilayah di Indonesia berpotensi menjadi tempat wisata edukasi bagi MEP (Juwita & Umami, 2021) dan ekowisata (Nasution et al., 2021), tentunya selain membiarkan satwa primata berada di habitat alaminya di alam, manusia secara tidak langsung juga dapat berkontribusi dalam pelestarian mereka dan mendukung upaya konservasi berkelanjutan. Sedangkan, apabila menyangkut regulasi, perlu adanya urgensi rekomendasi kebijakan yang serius (Johan, 2021) terhadap eksploitasi, penggunaan hewan secara ilegal, dan pemeliharaan satwa liar yang tidak seharusnya dijadikan hewan peliharaan serta perlindungan satwa liar dengan status konservasi rentan ke atas. Selain itu, diharapkan dari kesadaran setiap manusia dapat terpupuk keinginan untuk menjadi sukarelawan satwa liar, karena masih belum adanya perhatian khusus di Indonesia terkait dengan kesejahteraan hewan (kesrawan) (Marzuqi & Kahija, 2020).

4. KESIMPULAN

Studi short communication ini memberikan penjelasan urgensi fenomena topeng monyet di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Eksploitasi satwa primata melalui fenomena topeng monyet ini lebih banyak memberikan manfaat negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan hewan (kesrawan) itu sendiri. Upaya-upaya untuk mencegah terjadinya fenomena topeng monyet dapat dilakukan melalui edukasi, pengembangan media informatif, pengelolaan kawasan wisata edukasi berbasis habitat alami satwa primata, dan turut serta dalam relawan peduli kesrawan. Diharapkan studi ini dapat menjadi pendorong upaya penyelamatan satwa primata dari bentuk-bentuk eksploitasi khususnya fenomena topeng monyet.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis berterima kasih kepada Rosyid R. Al Hakim (Primatologi IPB University) yang memberikan saran masukan serta perbaikan manuskrip ini.

REFERANCES

Adhitya, R., Rd Muhammad, I., & Vera, N. (2022). PENEGAKAN HUKUM PIDANA PADA PELAKU ANIMAL ABUSE DI INDONESIA [Sriwijaya University]. https://repository.unsri.ac.id/62218/

Ai, D. T. A. (2015). Karakter Dominansi dan Perilaku Stereotipe pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sitaan Serta Saran-Saran Pengelolaannya. Institut Pertanian Bogor.

Al Hakim, R. R., & Annisa, I. (2021). Perancangan dan Pengembangan Aplikasi Multimedia Pembelajaran Primatologi Berbasis Android. Prosiding Seminar Nasional Sains, 2(1), 36–44.

(6)

http://proceeding.unindra.ac.id/index.php/sinasis/article/view/5313

Al Hakim, R. R., Annisa, I., Nasution, E. K., Rizaldi, R., & Rukayah, S. (2021). Rancang Bangun Media Pembelajaran Etologi Berbasis Android. Prosiding Biologi Achieving the Sustainable Development Goals with Biodiversity in Confronting Climate Change, 65–71.

https://doi.org/10.24252/psb.v7i1.23069

Asmarani, R. (2007). KESENIAN TOPENG MONYET: Suatu Kejadian Kebudayaan dari Perspektif Feminisme Marxis. Sabda Jurnal Kajian Kebudayaan, 2(1), 9–25.

Chandra, H. (2014). Penilaian Kesejahteraan Hewan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dalam Atraksi Topeng Monyet di Bogor. https://agris.fao.org/agris- search/search.do?recordID=ID2021109697

Eudey, A., Kumar, A., Singh, M., & Boonratana, R. (2021). Macaca fascicularis (amended version of 2020 assessment). The IUCN Red List of Threatened Species, 2021(e.T12551A204494260).

https://doi.org/10.2305/IUCN.UK.2021-2.RLTS.T12551A204494260.en

Ferdinandez, M. K., Benvika, B., Haas, F. Den, & Schure, M. L. (2018). Case Report: Seroprevalensi Tuberkulosis Menggunakan Uji Tuberkulin Kulit Mammalian Old Tuberculine (MOT) Pada Macaca fascicularis Hasil Penyitaan Topeng Monyet. Proceeding of the 20th FAVA CONGRESS &

The 15th KIVNAS PDHI, Bali Nov 1-3, 2018, 601–602.

Indrarini, P. (2015). Perilaku stereotipe pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) hasil sitaan dari pertunjukan topeng monyet : sebuah studi pendahuluan [Universitas Indonesia].

http://lib.ui.ac.id/detail?id=20403063&lokasi=lokal

Irawan, A. S., & Dwiprigitaningtias, I. (2019). Sanksi Terhadap Eksploitasi Hewan Dalam Usaha Topeng Monyet Dikaitkan Dengan Undang Undang Peternakan Dan Kesehatan Lingkungan. Jurnal Dialektika Hukum, 1(2), 184–198.

Ivan, E. (2013). EKSISTENSI PASAL 302 KUHP TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN HEWAN DI INDONESIA [Universitas Atma Jaya Yogyakarta]. http://e-journal.uajy.ac.id/6020/

Jeramu, J. (2017). Bioetik: Manfaat Dan Tantanan Bagi Etika Kristiani. Lumen Veritatis: Jurnal Filsafat Dan Teologi, 9(2), 49–60. https://doi.org/10.30822/lumenveritatis.v9i2.91

Johan, S. (2021). PENGATURAN MENGENAI SATWA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN POTENSI

PANDEMI DI MASA DEPAN. Prosiding SENAPENMAS, 477–486.

https://doi.org/10.24912/PSENAPENMAS.V0I0.15030

Juwita, J., & Umami, M. (2021). PEMANFAATAN MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) SEBAGAI WISATA EDUKASI DI BABAKAN, SUMBER, CIREBON. Bio-Lectura : Jurnal Pendidikan Biologi, 8(2), 129–138. https://doi.org/10.31849/BL.V8I2.7139

Keil, J. (2019). Relationships, Attitudes and Emotions of Human towards Nonhuman Primates in Indonesia.

In Humans and Animals: Intersecting Lives and Worlds (pp. 55–63). BRILL.

https://doi.org/10.1163/9781848884090_006

Khatijah, K. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Satwa (Tidak Dilindungi) Menurut Perspektif Hukum Pidana di Indonesia. Universitas Jember.

Li, K. J. K. (2015). Proyeksi Anomali Perilaku Stereotipe Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sitaan Sebagai Hewan Model Neuropsikopatologi. Institut Pertanian Bogor.

Lucanus, A. J. (2014). Topeng Monyet: Kesenian Tradisional Indonesia Atau Kekejaman terhadap Hewan?

(Perjalanan Menuju Jakarta Bebas Topeng Monyet).

https://www.neliti.com/publications/51150/topeng-monyet-kesenian-tradisional-indonesia-atau- kekejaman-terhadap-hewan

Marzuqi, M. A., & Kahija, Y. F. La. (2020). MAKNA MENJADI SUKARELAWAN PENGGIAT KESEJAHTERAAN HEWAN: Sebuah Interpretative Phenomenological Analysis. Jurnal EMPATI, 7(3), 843–853. https://doi.org/10.14710/EMPATI.2018.21736

Nasution, E. K., Rukayah, S., & Al Hakim, R. R. (2021). Ecological study about long-tailed macaques (Macaca fascicularis Raffles) as potential tourism spot. International Journal of Scientific Research

(7)

in Biological Sciences, 8(4), 6–11. https://www.isroset.org/pdf_paper_view.php?paper_id=2467&

Oktavia, S. (2022). Perancangan E-Book Ilustrasi Interaktif sebagai Media Edukasi Pencegahan Masyarakat Menjadikan Primata sebagai Hewan Peliharaan Bagi Masyarakat Berusia 20-39 Tahun [Universitas Multimedia Nusantara]. https://kc.umn.ac.id/20292/

Pratiwinindya, R. A., Alfatah, N., Nugrahani, R., Triyanto, T., Prameswari, N. S., & Widagdo, P. B. (2021).

The use of interactive multimedia to build awareness against animal exploitation in environmental conservation education for children. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1098, 032019. https://doi.org/10.1088/1757-899X/1098/3/032019

Putra, B. A., Satria, I. N., Hardjanto, P., Haniyah, H., & Sadjijono, S. (2017). The Usage of Visum et Repertum (VeR) as A Scientific Evidence in Animal Abuse according to The perspective of The Penal Code (KUHP) and The Law of Criminal Procedure Code (KUHAP) in Indonesia. Proceedings of the 1st International Conference Postgraduate School Universitas Airlangga : “Implementation of Climate Change Agreement to Meet Sustainable Development Goals” (ICPSUAS 2017), 80–83.

https://doi.org/10.2991/ICPSUAS-17.2018.19

Riani, S., Al Hakim, R. R., & Sukmarani, D. (2021). Pemanfaatan teknologi pembelajaran berbasis multimedia untuk pembelajaran biologi: mini-review. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi - Seminar Nasional VI Prodi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang, 172–176. http://research- report.umm.ac.id/index.php/psnpb/article/view/4747

Sajuthi, D., Astuti, D. A., Perwitasari-Farajallah, D., Iskandar, E., Sulistiawati, E., Suparto, I. H., & Kyes, R. C. (2016). Hewan Model Satwa Primata Macaca fascicularis: Kajian Populasi, Tingkah laku, Status Nutrien, dan Nutrisi untuk Model Penyakit (1st ed.). IPB Press.

Sejati, S. B. (2018). Pelaksanaan Pasal 302 Kitab Undang-Undang Pidana dihubungkan dengan Pasal 66 ayat 2 (e) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait Eksploitasi Hewan : Studi Kasus Topeng Monyet di Kota Bandung [UIN Sunan Gunung Djati]. https://digilib.uinsgd.ac.id/14271/

Stewart, K. A. (2016). Anthropological Perspectives in Bioethics. International Encyclopedia of Public Health, 113–121. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803678-5.00019-9

Sulianti, A., Endi, E., & Supenawinata, A. (2021). Perspektif Bioetika Islam dan Biopsikologi Konflik pada Kasus Kegagalan Aborsi yang Berdampak Kecacatan Anak. Jurnal Psikologi Islam Dan Budaya, 4(1), 15–28. https://doi.org/10.15575/JPIB.V4I1.11266

Supriatna, J., & Wahyono, E. H. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.

Triani, R., Haryono, T., & Faizah, U. (2014). Identifikasi Telur Endoparasit Saluran Pencernaan Macaca fascicularis yang Dipergunakan pada Pertunjukan Topeng Monyet di Surabaya Melalui Pemeriksaan Feses . LenteraBio, 3(3), 174–180.

Wolfensohn, S., & Honess, P. (2008). Handbook of Primate Husbandry and Welfare. Handbook of Primate Husbandry and Welfare, 1–168. https://doi.org/10.1002/9780470752951

Referensi

Dokumen terkait