Shortest Path Clustering Dalam Menyaring Tingkat Kepadatan Arus Lalu Lintas
Noni Selvia1, Erlin Windia Ambarsari2,*, Nurfidah Dwitiyanti3
Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, Program Studi Teknik Informatika, Universitas Indraprasta PGRI, DKI Jakarta, Indonesia Email: 1[email protected], 2,*[email protected], 3[email protected]
Email Penulis Korespondensi: [email protected] Submitted 17-03-2023; Accepted 15-04-2023; Published 30-04-2023
Abstrak
Studi ini mengeksplorasi penerapan pengelompokan graf dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi rute terpendek dalam konteks kepadatan lalu lintas. Kelompok graf digunakan untuk mengkategorikan titik-titik (vertex) berdasarkan fitur jalan. Metode DBSCAN dan algoritma semut diterapkan untuk mengelompokkan vertex berdasarkan tingkat arus lalu lintas dan menemukan rute terpendek.
Studi kasus ini mengambil contoh dari wilayah Tangerang Selatan, menghasilkan pembentukan tiga klaster dan deteksi tujuh nois e.
Dari tiga klaster, dua dipilih untuk mengkalkulasi jarak terpendek, menghasilkan urutan [7, 6, 0, 1, 2, 3, 4, 8, 5] dan total jarak sepanjang 0,2526. Penelitian ini menunjukkan bahwa estimasi durasi perjalanan mempengaruhi waktu yang diperlukan oleh agen untuk mencapai titik-titik yang berbeda. Temuan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang efek kepadatan lalu lintas dan menjadi landasan untuk penelitian lebih lanjut.
Kata Kunci: Pengelompokan Graf; Jalur Terpendek; Lalu Lintas; DBSCAN; Algoritma Semut Abstract
This study explores the application of graph clustering in identifying and analyzing the shortest traffic-related routes. Graph clustering groups points (vertices) based on road attributes. The DBSCAN method and ant algorithm are applied to classify vertices based on traffic intensity and find the optimal shortest path. This case study focuses on the Tangerang Selatan region, resulting in three clusters and identifying seven noises. Two of the three clusters are selected to calculate the shortest distance, resulting in the sequence [7, 6, 0, 1, 2, 3, 4, 8, 5] and a distance of 0.2526. This research provides insights into how to graph clustering can be used to optimize traffic routes and is expected to serve as a foundation for further exploration.
Keywords: Graph Clustering; Shortest Path; Traffic; DBSCAN; Ant Algorithm
1. PENDAHULUAN
Graph secara sederhana memvisualisasikan hubungan antara satu titik dengan titik yang lain, dimana titik tersebut dinamakan vertex dan garis yang menghubungkan dua vertex disebut dengan edge [1]. Sebagai contoh, delapan siswa yang diantaranya berteman satu sama lain. Siswa tersebut dikatakan sebagai vertex dan “berteman” berarti edge yang mempunyai hubungan didalamnya. Jika kedelapan siswa didudukan dalam satu meja berdasarkan pertemanan maka hubungan teman tersebut diilustrasikan dengan garis yang mengkaitkan antara satu siswa dengan siswa yang lain [2].
Satu siswa dapat mempunyai teman lebih dari satu, berarti edge dapat mengkaitkan antara satu vertex dengan vertex lain sehingga membentuk jaringan.
Beberapa penelitian menyusun graph dengan menggunakan algoritma tertentu, seperti [3] yang memetakan graph dari jalur Busway untuk menemukan jalan terpendek berdasarkan algoritma semut, pencarian jalan labirin sebagai alat media pembelajaran dengan algoritma A* [4], dan rute terpendek di Yogyakarta dengan algoritma bee colony [5].
Disamping studi yang membahas mengenai jalur yang dilalui, graph dapat mempresentasikan bagaimana hubungan antar titik. Salah satu contoh pada penelitian dari [6] yang menjelaskan bagaimana hubungan gejala penyakit flu pada graph.
Penelitian-penelitian yang telah dikemukakan hanya membahas mengenai jalur (edge) dihubungkan pada vertex dengan tidak mempertimbangkan keadaan dari vertex. Oleh sebab itu, penelitian ini mengelompokkan vertex yang berelasi dengan edge sehingga membentuk graph clustering dan selanjutnya dilakukan analisis. Jika diselisik dari penelitian [7], graph clustering digunakan untuk menentukan klaster yang tidak beraturan berdasarkan bobot dari edge dengan algoritma Modificafion Maximum Standard Deviation Reduction (MMSDR). Pada penelitian [8] menyatakan bahwa graph clustering digunakan untuk pemetaan dengan visualisasi social graph berdasarkan perilaku pengguna. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan bagaimana karakteristik atapun perilaku data dipetakan sebagai visualisasi data agar menjadi graph clustering yang mudah dipahami. Pemetaan tersebut tergantung dari algoritma yang digunakan untuk menyesuaikan pola data dan tidak hanya dari penentuan klasternya saja. Kemudian, penelitian [9]
membahas pembobotan untuk mendeteksi hubungan pengguna dalam sosial media dengan algoritma attractiveness-based community detection, melalui penggabungan antar klaster yang dimana bobot edge lebih besar dari bobot vertex. Lain halnya penelitian [10] mengembangkan algoritma K dan algoritma M yang merupakan adaptasi dari k-mean dengan mempertimbangkan fungsi cos dan memperkenalkan invers bobot internal dan rata-rata bobot internal.
Kemudian, jika diselusuri bagaimana graph clustering dibangun berdasarkan algoritma semut bekerja maka terdapat beberapa versi, seperti pada riset [11] dengan mengembangkan untuk mengklasifikasi fitur subset, algoritma semut tradisonal dapat dikembangkan sebagai ant clustering [12]–[15], pengelompokan grafik probabilistik berdasarkan algoritma semut [16], ataupun algoritma semut berdasarkan konsep DBSCAN[17], [18]. Namun, pada penelitian- penelitian tersebut hanya menjelaskan satu sisi seperti hanya untuk clustering, klasifikasi, atau pencarian jalur terpendek
saja. Oleh sebab itu, penelitian ini berorientasi pada studi kasus untuk mencari jalur terpendek melalui edge berdasarkan klasifikasi vertex yang sudah dikelompokkan.
Mekanisme yang digunakan adalah melakukan pengelompokkan vertex terlebih dahulu berdasarkan karakteristik jalan, misalkan mengamati kondisi aspal, volume kendaraan, rawan bencana alam dan lain-lain. Kemudian, klasifikasikan vertex yang ditentukan berdasarkan tingkat arus lalu lintas. Kemudian, melakukan pencarian jalur terpendek. Sampel yang diambil sebagai simulasi penelitian adalah wilayah Tangerang Selatan, sedangkan metode yang digunakan adalah DBSCAN dan algoritma semut. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah pemilihan jalur terpendek untuk menghindari kemacetan arus lalu lintas. Dengan demikian, graph sebagai visualisasi data dapat mendeskripsikan kondisi yang terjadi pada geometrik jalan.
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 DBSCAN
Pada kasus arus lalu lintas, setiap titik kemacetan diberi vertex yang nantinya dianalisis karakteristiknya berdasarkan dari tingkat kemacetan. Oleh karena itu, pengambilan data dilakukan dengan mengamati ruas jalan yang ada di wilayah Tangerang Selatan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan Google Map terlebih dahulu untuk menentukan vertex, berikut peta administrasi wilayah Tangerang Selatan yang digunakan untuk penempatan vertex dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Peta Administrasi Tangerang Selatan
Selanjutnya, vertex tersebut dikelompokan sesuai klasifikasinya berdasarkan karakteristik jalan. Pengelompokan dibuat menggunakan metode DBSCAN dan dihitung berdasarkan kepadatan klaster. Oleh karena itu, DBSCAN mempunyai algoritma sebagai berikut [19]:
a. Tentukan nilai Epsilon (ε) dan Minimum Points (MinPts). Nilai Epsilon (ε) merupakan jarak maksimal antara dua titik yang dianggap terkait satu sama lain, sedangkan Minimum Points (MinPts) merupakan jumlah minimum titik yang harus terkait dalam satu kelompok.
b. Tentukan titik yang merupakan core point. Titik yang merupakan core point adalah titik yang memiliki jumlah tetangga yang lebih besar atau sama dengan Minimum Points (MinPts). Titik yang tidak merupakan core point disebut sebagai titik non-core.
c. Hitung jarak dari setiap titik ke titik lainnya. Hitung jarak antara titik ke titik lainnya dengan menggunakan rumus Euclidean Distance:
𝑑(𝑝, 𝑞) = √(𝑝1− 𝑞1)2+ (𝑝2− 𝑞2)2+ ⋯ + (𝑝𝑖− 𝑞𝑖)2+ ⋯ + (𝑝𝑛− 𝑞𝑛)2= √∑𝑛𝑖=1(𝑝𝑖− 𝑞𝑖)2 (1) p,q = dua titik di ruang-n Euclidean
pi, qi = vector euclidean, dimulai dari asal ruang (titik awal) n = ruang-n
d. Tentukan titik yang terkait dengan core point. Tentukan titik yang terkait dengan core point dengan menggunakan nilai Epsilon (ε), yaitu titik yang memiliki jarak ke core point kurang dari atau sama dengan nilai Epsilon (ε).
e. Tentukan kelompok, dimana core point dan titik yang terkait dengan core point akan dikelompokkan ke dalam satu kelompok. Titik yang tidak merupakan core point namun terkait dengan core point akan disebut sebagai titik border.
f. Lanjutkan proses pengecekan ke titik-titik yang belum dikelompokkan. Jika ada titik yang merupakan core point, maka tentukan titik yang terkait dengan core point tersebut dan kelompokkan ke dalam satu kelompok. Jika tidak ada titik yang merupakan core point, maka proses pengecekan dihentikan.
g. Tentukan titik yang tidak terkait dengan core point apapun sebagai titik noise atau outlier.
h. Setelah proses pengecekan selesai, maka data tersebut sudah terkelompokkan ke dalam beberapa kelompok yang terkait dengan kesamaan karakteristik.
2.2 Algoritma Semut
Algoritma semut digunakan untuk menyelesaikan masalah pencarian dan optimisasi dengan cara menirukan perilaku semut. Secara harfiah, semut-semut biasanya mencari makanan secara berkoloni dengan mengikuti rute terbaik yang telah mereka tentukan.
Pada algoritma semut, setiap semut dianggap sebagai sebuah "agen" yang dapat bergerak ke arah yang berbeda- beda dan mengumpulkan informasi tentang lingkungannya. Setiap agen akan mengikuti sebuah aturan yang disebut "regu semut" untuk memutuskan arah gerakannya. Regu semut terdiri dari beberapa tahap, yaitu [3]:
a. Pencarian sumber makanan: Setiap agen akan terus bergerak secara acak ke arah yang berbeda-beda sampai menemukan sumber makanan. Pada algoritma semut, semakin banyak n agen yang digunakan maka semakin akurat pencariannya. Walaupun akibatnya prosesnya menjadi lambat. Pemilihan rute ke sumber makanan dilakukan secara acak dengan menggunakan formula:
𝑝 (𝑡)𝑖𝑗𝑘 = 𝜏𝑖𝑗(𝑡)
𝛼.𝜂𝑖𝑗𝛽
∑ 𝜏𝑖𝑙(𝑡)𝛼.𝜂𝑖𝑙𝛽 𝑙𝜖𝐽𝑖𝑘
(2) pij = pemilihan rute dari vertex i sampai j
k = indek semut t = interasi t
τij = tingkat feromon sepanjang rute i ke j α = konstanta pengontrolan intensitas feromon ηij = visibilitas (1/bobot dari rute i ke j) β = konstanta pengontrol visibilitas
b. Kembali ke sarang: Setelah menemukan sumber makanan, agen akan kembali ke sarang dengan mengikuti rute terbaik yang telah ditemukannya selama proses pencarian. Pada saat agen menemukan sumber makanan, agen meninggalkan jejaknya dengan penambahan tingkat feromon sebagai berikut:
𝜏𝑖𝑗(𝑡) = 𝜏𝑖𝑗(𝑡) + ∆𝜏𝑖𝑗(𝑡) (3) τij = tingkat feromon sepanjang rute i ke j
t = interasi t
Δτij (t) = jumlah feromon yang ditambahkan di sepanjang rute i ke j Penambahan feromon ∆𝜏𝑖𝑗 dapat dihitung:
∆𝜏𝑖𝑗(𝑡) = ( 1
𝑗(𝑡)) (4) Δτij (t) = jumlah feromon yang ditambahkan di sepanjang rute i ke j
t = interasi t
j(t) = Panjang rute yang dilewati semut ketika kembali ke sarang
c. Penyebaran informasi: Setelah kembali ke sarang, agen akan memberikan informasi tentang rute terbaik yang ditemukannya kepada agen lain di koloni. Akibatnya, agen akan sering mengunjungi rute tersebut. Semakin banyak suatu rute dikunjungi oleh agen maka feromon yang ditinggalkan akan semakin jelas. Sebaliknya, semakin jarang agen mengunjungi rute maka feromon menjadi menguap dengan menggunakan rumus:
𝜏𝑖𝑗(𝑡) = (1 − 𝜌)𝜏𝑖𝑗(𝑡) (5) d. Pemilihan rute terbaik: Setelah menerima informasi dari agen lain, setiap agen akan memilih rute terbaik yang telah
ditemukan oleh semua agen berdasarkan banyaknya feromon dan mengikutinya saat pencarian sumber makanan selanjutnya.
2.2 Shortest Path Clustering
Pencarian jalur terpendek untuk menghindari kemacetan di Tangerang Selatan dilakukan dengan mengabungkan metode DSCAN dan Algoritma Semut, dimana susunannya sebagai berikut:
Gambar 2. Tahapan Shortest Path Clustering
Pada gambar 1, pemilihan karakteristik jalan dilakukan berdasarkan dari penelitian [20] yang diantaranya:
Tabel 1. Faktor Kepadatan Lalu Lintas Atribut Keterangan
M1 M2 M3 M4 M5 M6
Ruas jalan sempit Desain putar balik
Persimpangan sebidang menggunakan lalu lintas Persimpangan kereta api
Penggalian gorong-gorong Pembangunan under pass
Berdasarkan tabel 1, karakteristik jalan yang diambil adalah faktor-faktor terjadinya kepadatan lalu lintas yang ditemukan di daerah Tangerang Selatan. Tiap-tiap jalan diberi nilai intensitas yang mempengaruhi kepadatan jalan yaitu rendah (0), sedang (1), dan tinggi (2). Kemudian, titik koordinat jalan yang sudah ditentukan dilanjutkan dengan pengelompokkan berdasarkan karakteritik jalan sehingga terbagi menjadi beberapa tingkat kemacetan. Hasil klaster ini sebagai informasi agen dalam pemilihan rute terbaik untuk menghindari kemacetan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini mengambil 23 sampel titik koordinat secara acak dari seluruh wilayah Tangerang Selatan. Berikut titik-titik koordinat yang tersebar disajikan pada gambar 3.
Gambar 3. Titik Koordinat Acak
23 titik koordinat yang dipilih diberi nilai tingkat kepadatan lalu lintas berdasarkan tabel 1. Kemudian, dihitung DBSCAN melalui algoritma pada gambar 4 untuk membentuk klaster. Titik koordinat juga diurut berdasarkan besarnya nilai tingkat kepadatan sehingga klaster dapat diberi label tingkat kemacetan, yaitu tidak terdefinisi, sangat padat, padat, sedang, dan lancar.
Pemilihan Karakteristik Jalan
Clustering dengan DBSCAN
Cluster Tingkat Kemacetan
Pemilihan rute berdasarkan tingkat
kemacetan
Jarak Terpendek dengan Algoritma
Ant
Gambar 4. Algoritma DBSCAN
Pembentukan klaster pada gambar 4 dapat dilihat dari berapa banyak data yang dikelompokkan dan densitas data yang saling berhubungan berdasarkan jarak titik koordinat. Pada penelitian ini, minimal data yang dijadikan satu kelompok sebanyak 3 sampel. Kemudian, baru ditentukan berapa besar nilai maksimal ε yang terkait antara dua titik untuk memastikan yang mana core point, border point, dan noise. Namun, jika nilai ε terlalu kecil tidak dapat membentuk klaster dikarenakan nilai menjadi nol (perhatikan gambar 5). Kemudian, grafik tidak naik secara signifikan yang disebabkan data sampel kepadatan lalu lintas untuk cakupan wilayah Tangerang Selatan sangat sedikit. Oleh karena itu, pada penelitian ini menetapkan sebagai nilai ambang batas ε = 0,5 (mengambil nilai tengah antara 0,1 – 1,0).
Gambar 5. Nilai Maksimal ε
Berdasarkan gambar 4, hasil yang didapatkan untuk pembentukan klaster adalah [-1, -1, 0, 0, 0, -1, 0, 0, -1, -1, -1, 0, 1, 1, 1, -1, 1, 2, 1, 2, 2, 2, 0]. Berarti, terdapat 3 klaster yang terbentuk: sedang (2), padat (1), dan sangat padat (0).
Selanjutnya, 7 data merupakan noise (-1). Titik noise adalah vertex yang tidak berbentuk klaster sehingga titik noise tersebut diabaikan. Untuk hasil visualisasi klaster data pada DBSCAN dapat dilihat dalam gambar 6.
Gambar 6. Visualisasi Klaster DBSCAN
Oleh karena itu, pemilihan vertex sudah dapat dilakukan. Sebagai contoh pada penelitian ini, mengambil vertex bernilai 1 dan 2 dengan tingkat kemacetan padat atau sedang sehingga jumlah total yang digunakan sebanyak 9 titik koordinat (dapat dilihat dalam tabel 2). Titik koordinat tersebut diambil sebagai asumsi bahwa agen masih dapat dilalui walau padat merayap. Untuk nilai jarak antara dua vertex menggunakan Euclidean, sama seperti DBSCAN. Selanjutnya, menginisialisasikan jumlah semut = 10, iterasi = 100, α = 1, β = 2, dan laju penguapan (𝜏𝑖𝑗(𝑡)) = 0,1.
Tabel 2. Pemilihan Titik Koordinat sesuai Klaster
Vertex ke- Koordinat Klaster
0 -6.325612570261219, 106.66990251477662 1
1 -6.332178156791549, 106.68625822241565 1
2 -6.347090718333397, 106.70364964045835 1
3 -6.337428090059348, 106.74941037050459 1
4 -6.323133029310958, 106.7465256141494 2
5 -6.31539536959044, 106.70241899136441 1
6 -6.2828146933709315, 106.65489214413286 2
7 -6.284520994026147, 106.67197245170667 2
8 -6.315739974811013, 106.70578974281815 2
Semakin tinggi nilai α maka membuat agen mengutamakan jejak feromon dalam memilih vertex berikutnya, sedangkan β jika semakin tinggi lebih mempertimbangkan jaraknya antara vertex ke vertex lain. Setelah setiap iterasi, matriks feromon diperbarui dengan mengurangi jejak feromon sebanding dengan laju penguapan. Laju penguapan yang lebih tinggi akan mengurangi jejak feromon yang lebih cepat, dan laju penguapan yang lebih rendah akan membuat jejak feromon bertahan lebih lama. Kemudian, jika probabilitas yang dipengaruhi oleh intensitas feromon sudah konvergen maka jarak tersebut yang diambil. Sebanyak 100 iterasi dilakukan, probabilitas dari feromon mulai terkonvergensi pada interasi ke-7, dimana jarak terdekat yang ditempuh agen adalah 0,2526. Vertex yang dilalui agen dimulai dari 7, 6, 0, 1, 2, 3, 4, 8, dan terakhir dikunjungi agen yaitu vertex ke-5. Berikut visualisasi data dari Shortest Path Clustering yang diperoleh, dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Visualisasi data Shortest Path Clustering
Berdasarkan penelitian yang telah diulas, kontribusi utama terhadap kemacetan lalu lintas di Tangerang Selatan adalah lebar jalan yang tidak memadai. Faktor-faktor sekunder, seperti desain putar balik, persimpangan sebidang, perlintasan kereta api, ekskavasi saluran drainase, dan konstruksi underpass, memberikan dampak minimal terhadap tingkat kemacetan serta mempengaruhi nilai optimasi ε.
Keterbatasan jumlah data dan heterogenitas karakteristik jalan menghasilkan noise dalam analisis data. Sebagai contoh, apabila minimal tiga data diperlukan untuk membentuk klaster, data yang jumlahnya kurang dari tiga akan dianggap sebagai noise. Untuk membentuk kluster dengan volume data yang lebih signifikan, perlu peningkatan jumlah kelompok data.
Dalam proses penentuan jalur terpendek, hanya klaster dengan tingkat kemacetan padat dan sedang yang diambil sebagai pertimbangan, sedangkan klaster dengan tingkat kemacetan sangat padat dihindari untuk mengurangi prevalensi kemacetan. Objek penelitian ini adalah pemilihan jalur terpendek berdasarkan tingkat kemacetan dalam klaster. Namun, untuk mengkaji dampak langsung dari kemacetan terhadap waktu tempuh, diperlukan estimasi durasi perjalanan yang dapat dijadikan topik penelitian berikutnya.
4. KESIMPULAN
Hasil pengkajian dari kepadatan lalu lintas, metode Shortest Path Clustering diimplementasikan dengan menggunakan algoritma DBSCAN dan algoritma semut. Berdasarkan kondisi wilayah Tangerang Selatan, beberapa titik jalan menunjukkan karakteristik yang homogen, sehingga mengakibatkan nilai ε menjadi kurang optimal dan tidak perlu mengklasifikasikan tingkat kemacetan. Dalam penelitian ini, nilai ambang batas ditetapkan menjadi 0,5. Selanjutnya, Perhitungan DBSCAN berhasil membentuk 3 klaster dan mengidentifikasi 7 noise, dipengaruhi oleh jumlah sampel minimum. Berdasarkan asumsi penelitian, hanya 2 klaster yang dipilih untuk menghitung jarak terpendek. Hasil perhitungan menunjukkan urutan jarak terpendek sebagai berikut: [7, 6, 0, 1, 2, 3, 4, 8, 5], dengan total jarak tempuh sebesar 0,2526. Analisis lebih lanjut dari penelitian ini menunjukkan bahwa estimasi durasi perjalanan memiliki pengaruh terhadap waktu tempuh yang diperlukan agen untuk mencapai vertex yang berbeda. Aspek ini perlu dipertimbangkan dalam penelitian lanjutan yang diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai dampak kepadatan lalu lintas.
REFERENCES
[1] F. Daniel and P. N. L. Taneo, Teori Graf, 1st ed. Yogyakarta: Deepublish, 2019.
[2] G. Chartrand, L. Lesniak, and P. Zhang, Graphs & Digraphs, 6th ed. New York: Chapman and Hall/CRC, 2015. doi:
10.1201/b19731.
[3] K. Pramono, K. Wijaya, W. Cuosman, D. Hartanto, A. Dharma, and S. Wardani, “Shortest Path Search Simulation on Busway Line using Ant Algorithm,” J Phys Conf Ser, vol. 1230, no. 1, p. 12094, Jul. 2019, doi: 10.1088/1742-6596/1230/1/012094.
[4] D. Y. A. Fallo and V. R. Bulu, “Penerapan Algoritma A Star (A*) Pada Game Labirin,” Jurnal Pendidikan Teknologi Informasi (JUKANTI), no. 5, pp. 2621–1467, 2022.
[5] W. Prijodiprodjo, “Penerapan Bee Colony Optimization Algorithm untuk Penentuan Rute Terpendek (Studi Kasus : Objek Wisata Daerah Istimewa Yogyakarta),” IJCCS, vol. 7, no. 1, pp. 65–76, 2013.
[6] N. Selvia, E. W. Ambarsari, and N. Dwitiyanti, “Korelasi Gejala Penyakit Flu Pada Anak Balita Dengan Menggunakan Algoritma Semut,” JITEK, vol. 2, no. 2, pp. 167–174, 2022.
[7] N. Dwitiyanti, S. Wulandari, and N. Selvia, “Implementasi Graph Clustering Algorithm Modification Maximum Standard Deviation Reduction (MMSDR) dalam Clustering Provinsi di Indonesia Menurut Indikator Kesejahteraan Rakyat,” Faktor Exacta, vol. 13, no. 2, p. 73, Aug. 2020, doi: 10.30998/faktorexacta.v13i2.5863.
[8] A. Gahardina and I. Z. Yadi, “Analisis Graph Clustering Terhadap User Behaviour Di Official Account Facebook Universitas Bina Darma Palembang,” in Bina Darma Conference on Computer Science, 2021, pp. 188–198.
[9] R. Liu, S. Feng, R. Shi, and W. Guo, “Weighted graph clustering for community detection of large social networks,” in Procedia Computer Science, 2014, vol. 31, pp. 85–94. doi: 10.1016/j.procs.2014.05.248.
[10] S. Sieranoja and P. Fränti, “Adapting k-means for graph clustering,” Knowl Inf Syst, vol. 64, no. 1, pp. 115–142, Jan. 2022, doi:
10.1007/s10115-021-01623-y.
[11] P. Moradi and M. Rostami, “Integration of graph clustering with ant colony optimization for feature selection,” Knowl Based Syst, vol. 84, pp. 144–161, 2015, doi: https://doi.org/10.1016/j.knosys.2015.04.007.
[12] D. T. Hidayat, C. Fatichah, and R. V. H. Ginardi, “Pengelompokan Data Menggunakan Pattern Reduction Enhanced Ant Colony Optimization dan Kernel Clustering,” Jurnal Nasional Teknik Elektro Dan Teknologi Informasi, vol. 5, no. 3, pp. 155–160, 2016.
[13] U. Boryezka, “Ant Clustering Algorithm,” in Intelligent Information Systems, 2008, pp. 377–386.
[14] O. A. M. Jafar and R. Sivakumar, “Ant-based Clustering Algorithms: A Brief Survey,” International Journal of Computer Theory and Engineering, pp. 787–796, 2010, doi: 10.7763/ijcte.2010.v2.242.
[15] W. Gao, “Improved ant colony clustering algorithm and its performance study,” Comput Intell Neurosci, vol. 2016, 2016, doi:
10.1155/2016/4835932.
[16] S. F. Hussain, I. A. Butt, M. Hanif, and S. Anwar, “Clustering uncertain graphs using ant colony optimization (ACO),” Neural Comput Appl, vol. 34, no. 14, pp. 11721–11738, 2022, doi: 10.1007/s00521-022-07063-1.
[17] H. Jiang, J. Li, S. Yi, X. Wang, and X. Hu, “A new hybrid method based on partitioning-based DBSCAN and ant clustering,”
Expert Syst Appl, vol. 38, no. 8, pp. 9373–9381, 2011, doi: https://doi.org/10.1016/j.eswa.2011.01.135.
[18] S. Liu, Z.-T. Dou, F. Li, and Y.-L. Huang, “A new ant colony clustering algorithm based on DBSCAN,” in Proceedings of 2004 International Conference on Machine Learning and Cybernetics (IEEE Cat. No.04EX826), 2004, vol. 3, pp. 1491–1496 vol.3.
doi: 10.1109/ICMLC.2004.1382009.
[19] R. Adha, N. Nurhaliza, and U. Soleha, “Perbandingan Algoritma DBSCAN dan K-Means Clustering untuk Pengelompokan Kasus Covid-19 di Dunia,” Jurnal Sains, Teknologi dan Industri, vol. 18, no. 2, pp. 206–211, 2021, [Online]. Available:
https://covid19.who.int.
[20] R. Sitanggang and E. Saribanon, “Faktor-Faktor Penyebab Kemacetan di DKI Jakarta,” Jurnal Manajemen Bisnis Transportasi Dan Logistik, vol. 4, no. 3, pp. 289–296, 2018.