• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siasati Pandemi Fatigue dengan Yadnya berorientasi pada Tri Hita Karana

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Siasati Pandemi Fatigue dengan Yadnya berorientasi pada Tri Hita Karana"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

135

SIASATI PANDEMIC FATIGUE DENGAN YADNYA BERORIENTASI PADA TRI HITA KARANA

OLEH

Ketut Susiani1*, Ni Putu Yuliana Santini Putri 2, Ni Putu Yuyun Verginia Tarayani3, Ngurah Yunda Aditi Iswari 4, I Wayan Adi Pratama 5, I Made Ngurah Mahesa Pemayun6

Universitas Pendidikan Ganesha

ketut.susiani@undiksha.ac.id1 yulianaputri270701@gmail.com2 tarayaniyuyun@gmail.com3 yundaaditi@gmail.com4 adipratama2501@gmail.com5 mahesapemayun.id@gmail.com6

ABSTRAK

Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia, menyebabkan melemahnya beberapa dimensi kehidupan masyarakat. Ini mengakibatkan pemerintah memberikan upaya mencegah penyebaran Covid-19 secara klinis, dan mengatasi lumpuhnya dimensi kehidupan pasca pandemi. Upaya-upaya tersebut tercermin dari adanya program bantuan maupun kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah RI. Kebijakan yang harus dipatuhi masyarakat bersifat mengikat. Sehingga, memicu berbagai respond pertentangan antara pro dan kontra dari masyarakat. Keadaan masyarakat yang mulai lelah terhadap kebijakan-kebijakan dan program bantuan yang diberlakukan pemerintah, tidak mendapatkan hasil yang sesuai target. Kondisi ini disebut sebagai Pandemi Fatigue, artinya masyarakat yang mulai merasa lelah akan ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana masyarakat menyiasati Pandemi Fatigue melalui Tri Hita Karana dalam kehidupan social budayanya. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Di antaranya, metode penelitian tersebut adalah metode kuesioner, observasi, wawancara, dan studi literature. Subjek untuk sampel penelitian yang menjadi sasarannya adalah kalangan orang dewasa yang masih kuliah, bekerja, dengan berada pada kawasan Singaraja, Karangasem, Badung, dan Gianyar. Dari hasil wawancara, observasi, dan juga studi literatur yang dilakukan didapatkan bahwa sebagaian besar responden mengamali kecemasan akibat dampak pandemi, namun tidak menjadi halangan bagi mereka untuk tetap melakukan Yadnya dengan alasan utama untuk melakukan ajaran agama. Namun tanpa disadari hal tersebut juga menciptakan keharmonisan bagi alam semesta. Sehingga dapat disimpulkan Yadnya menjadi kegiatan yang tanpa disadari oleh masyarakat sebagai upaya untuk mengatasi kecemasan akibat pandemi dan juga memberikan hubungan yang harmonis antara manusia, lingkungan dan Tuhan atau yang disebut dengan Tri Hita Karana.

Kata Kunci Pandemic Fatigue, Pandemi Covid-19, Yadnya, Tri Hita Karana, dan Sosial Budaya ABSTRACT

The Covid-19 pandemic that occurred in Indonesia has weakened several dimensions of people's lives. This resulted in the government providing efforts to prevent the spread of Covid-19 clinically, and to overcome the paralysis of the post-pandemic dimension of life. Policies that must be obeyed by the community are binding. Thus, triggering various responses to the conflict between the pros and cons of the community. This phenomenon arises from the condition of the people who are getting tired of the policies and aid programs imposed by the government, not getting the results that are on target.

Vidya Samhita : Jurnal Pelelitian Agama Volume 1, Nomor 1, 2020. pp 135 – 143 p-issn : 2460 – 3376, e-issn : 2460 – 4445

https://www.ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs/index

(2)

136 This condition is referred to as Pandemic Fatigue, meaning that people are starting to feel tired of the uncertainty of when the pandemic will end. Because, these conditions can affect the social and cultural life of the community. So, the purpose of this article is to find out how people deal with Pandemic Fatigue through Tri Hita Karana-oriented Yadnya in their socio-cultural life. The research method used is descriptive research with quantitative and qualitative approaches. Among them, the research methods are questionnaires, observations, interviews, and literature studies. The target subjects are adults who are still studying and working in the Bali area (Singaraja, Karangasem, Badung, Gianyar).

The steps of the research to obtain research results begin with sending a questionnaire, conducting interviews both offline and online, then continuing with observing the surrounding environment, and studying literature in several articles and journals. From the results of interviews, observations, and literature studies, it was found that most of the respondents experienced anxiety due to the impact of the pandemic. However, it does not become an obstacle for them to keep doing Yadnya. Without realizing it, it also creates harmony for the universe. So it can be concluded that Yadnya is a Hindu religious activity and an effort to overcome anxiety due to the pandemic, as well as maintain the Tri Hita Karana philosophy

Keywords: Pandemic Fatigue, Covid-19 Pandemic, Yadnya, Tri Hita Karana, and Social Culture I. PENDAHULUAN

Pada saat bulan Desember 2019, muncul sebuah kasus virus corona baru (2019-nCoV) yang untuk pertama kalinya muncul di Wuhan, Cina, namun seketika menyebar ke seluruh belahan dunia yang kemudian WHO menamakan penyakit yang disebabkan virus ini sebagai COVID-19, hal ini tentunya sudah menjadi sebuah pandemi global. (Rahardjo et al. 2020). Arus gelombang pandemi Covid-19 pada awal tahun 2021 ini semakin meningkat dan belum menunjukkan adanya tanda-tanda telah selesai. Melalui informasi resmi dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCN), menyatakan bahwa kasus yang terkonfirmasi di Indonesia ialah sebanyak 1,078,314 yang dimana kasus aktif 175,095 (16.2%), sembuh 873,221 (81.0%), dan yang meninggal 29,998 (2.8%) yang terdapat pada situs (www.covid19.go.id, 31/01/2021) dalam (Sirih, 2021). Melihat adanya wabah pandemi seperti ini tentunya sangat berdampak bagi kehidupan, baik itu berpengaruh terhadap perekonomian, pendidikan, sosial budaya maupun kesehatan. Namun kedepannya keadaan dunia semakin buruk, segala kegiatan dilakukan dari rumah yang mengakibatkan muncul dampak kesehatan fisik dan psikologis individu dan masyarakat. Adapun dampak psikologis selama pandemi diantaranya seperti gangguan stres, kebingungan, kegelisahan, frustrasi, ketakutan akan infeksi, merasa tidak berdaya dan insomia (Vibriyanti 2020). Padahal seharusnya masyarakat harus bisa menjaga imun tubuhnya supaya terhindar dari covid-19, namun ternyata akibat kebosan yang dihadapkan pada diri dari masing-masing individu. Hal ini disebabkan karena masyarakat dalam segala aktivitasnya harus diatur untuk menekan laju dari penyebaran virus corona seperti menggunakan masker ketika keluar, menjaga jarak, harus selalu rajin mencuci tangan dan selain itu segala sesuatu harus dilakukan dari rumah tentunya berakibat selalu merasa lelah dan bosan. Manusia sebagai mahluk sosial diharuskan agar mampu dalam mengutamakan kepentingan golongan ketimbang kepentingan pribadi (Rahardjo et al. 2020). Sikap tersebut mampu mewujudukan kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.

Namun terlihat pada saat ini adanya keterbatasan masyarakat dalam menjalani warisan yang telah diturun temurunkan oleh nenek moyang seperti halnya di Bali adanya sebuah tari-tarian ataupun topeng pada saat upacara yang menjadi sebuah kegiatan sakral sekaligus hiburan untuk merefresh kepenatan. Mengutip pendapat dari Wiliam James beliau mengatakan bahwa kondisi psikologis dan kesehatan seseorang berkaitan dengan fenomena keagaaman dan pengalaman rohaniah yang dilakukan oleh orang tersebut (Imadana, 2020).

Seperti yang kita ketahui selama pandemi Covid-19 ini banyak kegiatan yang ditidiakan ataupun dibatasi, dengan tujuan untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. Pemerintah dengan genjang menyarankan agar masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan dan mengikuti aturan yang

(3)

137 telah dianjurkan oleh pemerintah. Hal ini tentunya berdampak dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan yang lainnya. Banyak masyarakat yang merasa kesulitan atau bahkan tidak bisa beradaptasi dengan situasi ini, adaptasi merupakan suatu kemampuan yang menyebabkan individu dapat melakukan penyesuaian terhadap lingkungan atau orang baru. Hal yang pertama yang harus dilakukan untuk beradaptasi yakni dengan melakukan penerimaan, penerimaan yang dimaksud yakni memberikan ruang kesadaran penuh dalam diri kita sendiri bahwa pandemi covid-19 ini merupakan sebuah kenyataan yang kita harus hadapi bersama.

Ketidakmampuan beradapatsi inilah yang menyebabkan munculnya gangguan emosional yang terjadi dalam diri seseorang seperti stress ataupun kecemasan, dimana hal ini menyebabkan seseorang mulai merasa jenuh dengan kehidupannya. Kejenuhan ini juga dirasakan masyarakat selama pandemi Covid- 19, yang menyebabkan masyarakat mulai acuh atau bahakan tidak mematuhi protokol kesehatan dan anjuran dari pemerintah sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19. Situasi ini disebut dengan Pandemic Fatigue atau kelelahan psikologis yang disebabkan oleh pandemi yang berkepanjangan, Mengutip dari CNN Indonesia perubahan kehidupan normal atau perubahan dalam praktik normal juga menjadi penyebab dalam meningkatnya pandemic fatigue, karena kegiatan tidak berjalan dengan normal serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi akibat dari pandemi ini, dan juga pemberitaan media mengenai peningkaran korban virus Covid-19. (CNN Indoneisa, 2021).

Mengutip dari artikel Dampak Pandemi Covid-19 Terhdap Kebudayaan Bali pada September 2020, Pemprov Bali bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali mengeluarkan surat edaran mengenai pembatasan kegiatan dan penerapan protokol kesehatan ritual adat dan budaya di Bali. Dalam hal ini pemerintah membatasi semua kegiatan kegamaan yang menyebabkan kerumunan, bila perlu kegiatan keagamaan yang masih bisa ditunda akan lebih baik ditunda terlebih dahulu. (Azzani 2020). Sedangkan setiap manusia perlu untuk melakukan ataupun mendapatkan pengalaman keagamaan, pengalaman keagamaan ini diperoleh dengan cara melaksankan ajaran-ajaran kegamaan di dalam kehidupannya sehari-hari. Menurut James pengalaman keagamaan merupkan bentuk dari kesdaran dalam penghayatan serta melakukan kegiatan-kegiatan atu tindakan-tindakan kerohanian. (Imadana 2020).

Pada Agama Hindu salah satu tindakan kerohanian yakni dengan melakukan yadnya, yadnya merupakan pengorbanan atau korban suci yang dilakukan oleh umat manusia dengan ikhlas. Dalam hal ini yadnya yang dilakukan bukan hanya sebuah pemujaan saja namun ada banyak jenis yadnya yang dilakukan seperti yadnya dalam bentuk pengendalian diri atau tapa, yadnya dalam bentuk aktivis atau perbuatan, dan yadnya dalam bentuk ilmu pengetahuan atau jnana. Walaupun di masa pandemi sebuah yadnya tidak akan pernah dilupakan. Dengan aktivitas sehari-hari dan menjalankan kewajiban dengan baik serta penuh kesadaran sudah termasuk dalam bentuk pelaksanaan yadnya yang berkaitan dengan tujuan mencapai kesucian dengan jalan yadnya justru dapat menghilangkan rasa bosan dan lelah menghadapi pandemi Covid-19. Seperti hal lainnya juga dalam kesucian alam dan lingkungan contohnya melakukan upacara atau ritual sesuai dengan sastra agama sehingga senantiasa berada pada lingkungan yang suci. Lingkungan yang suci akan memberikan kehidupan yang suci juga bagi manusia (Gusti and Putu 2020). Yadnya ini sendiri memiliki 5 jenis dimana semua jenis-jenis yadnya ini memiliki hubungan dengan sesama manusia, lingkungan, dan Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi Wasa, hubungan ini dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan Tri Hita Karana.

Yang kita ketahui bahwa Tri Hita Karana tersebut merupakan bahasa yang awal mulanya dari bahasa sansekerta yang berarti Tri artinya tiga, Hita berarti sejahtera, dan Karana yaitu penyebab. Sehingga Tri Hita Karana merupakan sebagai tiga macam hubungan yang menyebabkan kesejahteraan atau kemakmuran. Adapun ketiga bagian dari Tri Hita Karana adalah parahyangan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), pawongan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya yang seperti halnya bahwa manusia adalah makhluk sosial dengan menjaga agar tetap harmonis baik itu dengan keluarga, teman, dan orang di sekitarnya, dan selanjutnya palemahan yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam atau lingkungannya yang mencakup tumbuhan, hewan, dan hal yang bersifat sekala-niskala (Lilik 2021).

Namun tidak hanya di dalam ajaran Agama Hindu saja yang menyarankan yadnya namun dalam

(4)

138 agama lainnya juga menyarankan yadnya, namun memiliki bentuk atau jenis yang berbeda dengan agam Hindu tetapi memiliki satu tujuan yang sama. Dengan demikian dengan jalan yadnya yang dilakukan akan muncul keharmonisan antara tuhan, manusia dan lingkungan sehingga masuk pada sebuah aktualisasi dari penerapan bagian-bagian Tri Hita Karana tentunya akan memberikan sebuah hal-hal mengatasi kelelahaan dan kebosanan akibat pandemi yang tidak kian musnah yang biasa disebut dengan fantigue. Dalam hal ini, tidak dapat melakukan sebuah aktivitas normal. Adapun gejala dari fantique ini yaitu mulai abai mengenai pemakaian masker dan menjaga jarak, merasakan kelelahan padahal sudah mendapatkan tidur yang cukup, merasa tidak semangat dan kurang motivasi, merasa tertekan dalam keseharian dan tentunya merasa terisolasi. Gejala-gejala pandemi fatigue ini bisa dialami oleh siapapun. Sehingga dalam beryadnya menjadi sebuah benteng dalam mempertahankan kehidupan untuk berativitas sosial di dalam bermasyarakat. Apalagi seperti di Bali tentunya jiwa sosial budaya yang dimiliki kental namun dihadapkan pandemi seperti sekarang ini tentunya selalu bermuculan sikap fantigue yang berpengaruh pada mental lalu berpengaruh juga nantinya terhadap imun tubuh sehingga mudah terserang virus corona. Sehingga mengutip pendapat dari Wiliam James beliau mengatakan bahwa kondisi psikologis dan kesehatan seseorang berkaitan dengan fenomena keagaaman dan pengalaman rohaniah yang dilakukan oleh orang tersebut (Imadana 2020). Disamping itu pada kali ini diberikan sebuah kajian mengenai “Siasat Pandemi Fantigue dengan Yadnya berorientasi pada Tri Hita Karana”. Hasil ini akan menjelaskan bagaimana mengatasi kelelahan dan kebosanan masyarakat melalui yadnya yang berorientasi pada konsep Tri Hita Karana. Diharapkan selanjutnya hasil penelitian ini bisa memberikan gambaran konsep falsafah Tri Hita Karana yang diimplementasikan dengan yadnya dalam penanganan fantigue masyarakat akibat pandemi covid-19 (Yasa 2020).

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif.

Metode penelitian kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk menguji sampel atau subjek penelitian, dengan output/hasil nya bersifat statistic. Sedangkan, metode penelitian kualitatif adalah metode yang melibatkan analisis secara deskriptif antara proses dan makna dari keadaan subjek/sampel penelitian, sehingga hasilnya tidak berupa statistic. Metode-metode lain yang digunakan berupa; kuisioner, wawancara, observasi dan studi literatur. Dalam penelitian ini menggunakan 30 responden yang terdiri dari 50% mahasiswa dan 50% pekerja, untuk mengidentifikasi dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan serta peranan Yajna untuk mengatasi Pandemic Fatigue.

II. PEMBAHASAN

Kondisi pandemi Covid-19 sangatlah memiliki pengaruh kegiatan responden, dimana dalam hasil kuesioner dominan responden merasakan dampak pandemi Covid-19 terhadap aspek ekonomi, pendidikan, dan juga sosial. Perubahan emosional juga sebagian besar dialami oleh responden namun perubahan emosional ini tidak begitu berpengaruh terhadap sikap dari responden dalam mematuhi kebijakan pemerintah terhadap upaya penanganan virus Covid-19. Terlihat sebagian besar responden masih tetap mematuhi protokol kesehatan, namun responden dominan mengalami perubahan emosional seperti kecemasaan, stress, bosan dan juga kekhawatiran yang berlebihan. Hal ini juga berkaitan dengan jawaban responden terhadap hobi baru yang dilakukan selama pandemi, terlihat hanya setengah dari responden yang melakukan hobi baru selama pandemi, sisanya responden dominan jarang melakukan hobi selama pandemi dan bahkan ada yang tidak memiliki hobi baru selama pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian responden masih memiliki kegiatan yang monoton selama pandemi. Selain itu dari hasil kuesioner juga didapatkan bahwa sebagian responden menganggap bahwa Yadnya penting untuk dilakukan dan masih melakukan Yadnya selama pandemi Covid-19. Dari hasil kuesioner dapat dirangkum bahwa responden melakukan Yadnya dalam berbagai kegiatan yang dimana kegiatan tersebut memiliki hubungan dengan Tuhan, lingkungan, dan juga sesama manusia.

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada beberapa responden baik itu dari kalangan mahasiswa maupun pekerja, rata-rata respon atau masyarakat merasa bahwa Yadnya sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan selama pandemi. Walaupun Yadnya yang dilakukan

(5)

139 selama pandemi tentunya terbatas dan tidak seperti saat sebelum pandemi, namun tidak mengurangi makna yang ada. Bahkan masyarakat merasakan dampak yang positif dengan tetap melaksankan Yadnya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan kebanyakan kegiatan Yadnya yang dilakukan oleh responden terikat dengan Tuhan, lingkungan dan “menyama braya”. Dengan kata lain kegiatan Yadnya yang dilakukan oleh responden rata-rata masih dalam konsep “menyama braya”, yakni masih adanya sikap gotong royong sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.

Walaupun karena pandemi tentunya masyarakat yang berpartisipasi dalam suatu kegiatan Yadnya dibatasi, namun tidak mengurangi rasa kekeluargaan dan gotong royong masyarakat. Hal ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat untuk mengatasi Pandemic Fatigue, karena masyarakat masih dapat berbincang, bersosialisasi satu sama lain untuk mengurangi rasa kebosanan maupun kecemasaannya sebagai dampak pandemi.

Berdasarkan hasil kuesioner, wawancara, dan observasi dapat dirangkum bahwa responden mengalami dampak pandemi yang berpengaruh terhadap perubahan emosionalnya atau yang disebut dengan Pandemic Fatigue. Dan juga rata-rata masyarakat selama pandemi Covid-19 masih melakukan beberapa kegiatan salah satunya yakni Yadnya, dimana masyarakat melakukan Yadnya yang secara tidak langsung mempererat hubungan manusia dengan sesama manusia, lingkungan, dan juga dengan Tuhan, sesuai filosofis dari Tri Hita Karana.

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir selama 2 tahun di Indonesia ini banyak memberikan dampak bagi masyarakat, banyak kegiatan atau situaasi yang berubah total. Pada masa kini, ditengah merebaknya kasus Covid–19 yang semakin meningkat, menyebabkan berbagai kebijakan yang dilakukan untuk memutus mata rantai penyebarannya. Kebijakan tersebut dimulai dari diterapkannya protocol kesehatan, menutup instansi yang melibatkan banyak orang, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

Kebijakan ini sebagai tindak lanjut untuk mengimbau kepada masyarakat agar selalu keep to social distancing. Dalam ilmu social, social distancing sebagai pola masyarakat yang menjaga jarak social, dengan tidak membentuk kerumunan, melibatkan kegiatan online, dan selalu menggunakan masker terlebih jika berhadapan pada orang sakit/saat diri kita sakit. Sosial distancing bukan berarti tentang kita yang memutus hubungan silahturahmi antar sesama, tetapi lebih kepada upaya untuk bekerja sama untuk mengurangi kasus Covid–19 melalui mengurangi keluar rumah (Stay At Home). Meskipun penyebaran Covid–19 ini dapat dicegah melalui menjauhi keramaian, menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, tetapi masih adanya masyarakat yang awam/berlebihan dalam menerima informasi dari social media tentang informasi terkait kasus Covid–19. Masyarakat yang masih awam akan informasi mengenai kasus ini banyak terjadi pada kalangan masyarakat yang gaptek. Sehingga, memungkinkan terjadinya tindakan kurang mematuhi protocol kesehatan, seperti tidak memakai masker. Oleh karena itu, aparat penegak hukum, dalam hal ini satuan polres selalu melakukan sidak masker dan taat protocol lainnya. Hal ini membuat masyarakat harus memutar otak untuk dapat hidup dalam situasi ini, ditambah lagi banyaknya beban yang dirasakan oleh masyarakat akibat dari pandemi ini. Seperti data hasil observasi, wawancara, dan kuesioner yang telah dikumpulkan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa masyarakat sangat merasakan dampak dari pandemi Covid-19 ini. Dampak yang dirasakan ini disebabkan oleh berbagai hal yakni masalah ekonomi, kehidupan sosial, dan juga kejenuhan atau kebosanan karena kehidupan pandemi yang tidak berakhir.

Penerimaan informasi yang berlebihan pada social media tentang kasus Covid – 19 ini juga tidak baik bagi diri sendiri. Seseorang yang terlalu menerima berbagai informasi dari social media, tanpa menyaring/memilah informasi yang didasarkan atas fakta akan menimbulkan resiko terkena social media fatigue. Social media fatigue adalah kondisi seseorang yang memiliki kecemasan pada penggunaan social media, seperti dari banyaknya berita–berita kasus Covid–19 ataupun kebijakan dari pemerintah untuk menanganinya. Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan pada jurnal psikologi social, terdata bahwa sumbangan terbesar yang memunculkan social media fatigue adalah variable kelebihan informasi. Sehingga, kelebihan informasi dapat memberatkan psikologis, dan juga hubungan sosialnya. Interaksi social yang dapat menyebar kearah positif, jika si penerima dari pelaku mendapatkan informasi sebenarnya, dan kearah negative, jika si penerima dari pelaku mendapatkan

(6)

140 informasi hoax. Hasil dari penelitian jurnal tersebut juga sejalan pada penelitian (Hanifah et al, 2020) tentang kecemasan tersebut adalah masyarakat yang usianya 15 – 19 sebanyak 168, usia 20 – 24 sebanyak 212, dan usia 25 – 29 sebanyak 68 orang. Dari Suryani & Eduardo (2020), menyampaikan bahwa usia produktif adalah paling rentang terkena kecemasan ini karena paling banyak mendapatkan informasi dari media social. Lalu, adanya hasil data penelitian yang dilakukan di banja Samsaman Kelod, dan didapatkan bahwa tingkat kecemasan berat pada kasus Covid–19 ini adalah masyarakat yang memiliki pendidikan SMA/SMK 34 %. Maka, pendidikan seseorang juga mampu mempengaruhi penyerapan informasi yang didapatkannya tentang Covid – 19. Resiko dari terkenanya social media fatigue menjadi cakupan pada pandemi fatigue, yakni kecemasan pada pandemi Covid–19 yang terjadi di masyarakat.

Pandemi Fatigue tidak hanya mempengaruhi kondisi social saja, tetapi kondisi budaya mampu mempengaruhinya. Perkembangan Covid–19 mampu melumpuhkan perekonomian setiap daerah yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Bali. Bali dengan kentalnya budaya yang masih diwarisi hingga kini menjadi objek wisata bagi turis mancanegara untuk berlibur ke Bali. Namun, adanya dampak dari virus ini, menyebabkan perekonomian bali lumpuh, sebab sebagian besar masyarakatnya bergantung pada sector pariwisatanya. Keunikan dari social budaya Bali terintegritas pada pengaruh ajaran Agama Hindu. Sehingga, tradisi dan budaya dari masyarakat Bali masih kental hingga kini.

Biasanya masyarakat Bali selalu memiliki budaya yang melibatkan banyak orang, seperti adanya ogoh–

ogoh, kecak, seka teruna teruni, dan masih banyak lagi.

Adanya kasus Covid–19 yang meningkat secara signifikan, menyebabkan masyarakat Bali dibatasi untuk melakukan kegiatan secara bersama–sama, seperti pertemuan, jalan–jalan, dsb. Kemudian, tradisi dan budaya yang harusnya dilakukan alhasil tidak dapat diwujudkan, seperti saat ini adanya pelarangan mengarak Ogoh–ogoh menjelang hari raya Nyepi. Dan, adanya pembatasan gotong royong yang menjadi warisan budaya masyarakat Bali ketika akan menyambut sebuah upacara keagamaan, dengan hanya mengundang orang terdekat/keluarga. Adanya pembatasan dari penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan budaya dapat memunculkan kondisi pandemi fatigue pada masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena masyarakat merasa secara emosionalnya, tidak mendapatkan kepastian dari aparat pemerintah kapan bisanya mereka melaksanakan tradisi dan budaya yang harus tetap dilakukan untuk dilestarikan. Kondisi dari masyarakat yang menunggu kepastian tersebut, bahkan sampai adanya aksi menolak peraturan pemerintah hingga berakhir demo, menunjukkan gejala munculnya kecemasan pada pandemi ini atau disebut juga Pandemi Fatigue.

Masyarakat Bali memiliki ikatan erat dengan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah pedoman hidup yang dipakai oleh masyarakat Bali dalam menjaga keharmonisan. Secara lebih luas, Tri Hita Karana adalah tiga penyebab keharmonisan antara manusia dengan sekitarnya. Pembagian tiga penyebab tersebut, diantaranya yaitu 1) parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan alam). Bentuk dari perwujudan Tri Hita Karana di Bali pada aspek parahyangan adalah keberadaan tempat suci berupa pura pada tiap tempat. Kemudian, bentuk dari perwujudan pada aspek pawongan adalah adanya krama adat (keberadaan pada anggota masyarakat adat) dan sekaa (relasi keluarga, kelompok social, banjar). Lalu, bentuk dari perwujudan pada aspek palemahan adalah adanya bentuk lingkungan desa adat yang telah sesuai awig–awig (aturan adat). Ketiga hubungan pada Tri Hita Karana ini terintegrasi menjadi satu dalam pelaksanaan desa adat di Bali. Tidak hanya desa adat, lingkungan sekitar di Bali juga menerapkan tatanan kehidupan berbasis Tri Hita Karana. Pandemi Covid–19 yang merebak dan masuk ke Bali terkoneksi pada ketiga hubungan yang ada pada Tri Hita Karana. Masyarakat Bali percaya bahwa kejadian yang tejadi pada kehidupan manusia selalu dipengaruhi oleh ketiganya, maka jalan keluar untuk menghadapinya juga menggunakan ketiga hubungan harmonis tersebut. Secara arti sempitnya, masyarakat harus selalu mengingat Tuhan melalui ritual agama dan adat Bali, masyarakat harus menyesuaikan dengan kondisi kehidupan social masyarakat kini, dan memperbaiki diri dengan alam melalui memulai pola hidup bersih dan sehat.

Berdasarkan Jurnal Socins: Journal of Sociology Research and Education, tercatat bahwa pemerintah daerah dan desan adat di Bali melakukan sinergi pencegahan penyebaran Covid–19

(7)

141 melalui menggunakan konsep Tri Hita Karana. Maka, pencegahan dilakukan secara sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata) dengan adanya keterlibatan karma desa adat dan yowana (pemuda Bali), serta bantuan dari Satgas Covid - 19. Keterkaitannya pada Pandemi Fantigue adalah adanya Tri Hita Karana menjadi solusi dari penanganan Pandemi Fantigue tersebut. Adanya kondisi ini bisa menyebabkan seseorang cemas, sehingga perlu dibantu dengan keterhubungan pada ketiga hubungan harmonis tersebut. Pada parahyangan, masyarakat memulai berdoa secara niskala dan memohon berkah untuk dijauhi dari virus ini. Berdoa maupun upacara keagamaan dapat dilakukan dari rumah ataupun terbatas dalam satu pura. Sehingga, meskipun pandemi, masyarakat tetap dapat melaksanakan persembahyangan dengan menerapkan protocol kesehatan. Dari berdoa, maka jiwa yang gusar atau cemas akan menjadi tenang dan harmonis pada diri. Selanjutnya, pada pawongan dapat dilakukan dengan mengadakan silahturahmi secara online. Sehingga, dari kondisi diri yang sepi menjadi terasa bersama meskipun berlangsung daring. Kemudian, pawongan juga dapat dilihat dari pecalang yang mengawasi pergerakan masyarakat saat melakukan upacara keagamaan. Lalu, palemahan dapat dilakukan dari masyarakat pada rumah masing–masing menerapkan pola hidup bersih dengan membersihkan lingkungannya. Selain itu, pada desa adat juga dilakukannya penyemprotan disinfekta secara berkala, seperti yang terjadi di desa adat Sogra. Dari aktivitas yang produktif ini mampu mengurangi setidaknya kondisi pandemi fantigue yang terjadi pada masyarakat.

Jika ketiga hubungan harmonis tersebut dijalankan pada setiap individu, maka kondisi kecemasan akibat pandemi yang berlebihan dapat berkurang secara berkala. Kebijakan Tri Hita Karana dalam mencegah penyebaran Covid–19 ini juga telah diterapkan pada desa adat di Bali. Dari hasil kegiatan yang dilakukan oleh karma adat dan yowana tersebut, dapat diketahui bahwa kebijakan itu mempercepat penanggulangan Covid–19 di Bali. Maka, Tri Hita Karana mengajarkan kepada kita bahwa meskipun di tengah pandemi saat ini, jangan terlalu memiliki kecemasan dalam memiliki relasi hubungan social nantinya dan bagaimana bila tradisi/budaya tidak dijalankan. Sebab, tanpa kita sadari dengan mengikuti ajaran Tri Hita Karana, maka penerapan social budaya pada masyarakat dapat terlaksana dan Pandemi Fatigue dapat berkurang di masyarakat. Dalam Jurnal Pendidikan Agama dan Budaya Hindu juga dijelaskan umat Hindu dalam mengatasi pandemi Covid-19 melakukan berbagai usaha baik dalam bentuk secara sekala maupun niskala, yang tanpa mereka sadari hal tersebut merupakan upaya untuk menjalin hubungan harmonis dengan alam semesta. Dimana kegiatan- kegiatan tersebut cenderung dilakukan oleh masyarakat untuk mengisi waktu luang mereka selama pandemi, sehingga dapat dikatakan bahwa terjadinya peningkatan aktifitas masyarakat dalam upaya mendekatkan diri dan menjaga keharmonisan dengan alam semesta.

Tri Hita Karana sebagai filosofis masyarakat Bali secara tidak langsung memiliki hubungan dengan Yadnya pada kehidupan sekitar. Penerapan dari Yadnya memiliki hubungan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesame, manusia dengan lingkungan.

Yadnya merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat selama pandemi, walaupun tentunya Yadnya ini masih bersifat terbatas dan harus sesuai dengan protokol kesehatan namun tidak mengurangi makna dari Yadnya itu sendiri. Selama pandemi masyarakat sering melakukan Yadnya, karena masyarakat merasa bahwa Yadnya adalah salah satu cara agar mereka dapat tetap memiliki hubungan dengan manusia, lingkungan, dan Tuhan serta agar tetap melaksanakan kewajiban kegamaan walaupun dimasa pandemi. Melakukan Yadnya membuat masyarakat dapat kembali bersosialisasi dengan lingkungannya, karena Yadnya yang biasa dilakukan masyarakat tidak hanya dilakukan sendiri namun lebih menekankan kegiatan gotong royong. Sehingga memungkinkan masyarakat untuk dapat melakukan hubungan sosial satu sama lain walaupun masih terbatas, namun hal ini sangat membantu masyarakat dalam mengurangi efek Pandemic Fatigue tersebut. Selain itu Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat juga berhubungan dengan lingkungan serta upaya mendekatkan diri dengan Tuhan, untuk menemukan ketenangan batin dalam diri mereka. Karena dengan melakukan Yadnya masyarakat merasakan kepuasan secara rohani karena telah mampu menjalankan ajaran agama.

Dengan dilaksanakanya Yadnya ini juga memberikan keseimbangan dalam diri masyarakat baik itu secara jasmani maupun rohani, serta secara holistik memberikan sebuah pehaman mengenai

(8)

142 kehidupan rohani dalam tiga ranah kehidupan yakni palemahan, pawongan, dan parhyangan (Tri Hita Karana). Kegiatan Yadnya melahirkan jalinan dan interaksi serasi manusia dengan manusia, dengan lingkungan, dan dengan Tuhan. Dimana akan memunculkan kebaikan moral, kebenaran ala, dan keindahan secara spritual untuk menuntun dan membangun kehidupan dengan kondisi dan situasi sosial, lingkungan dan budaya berjalan dengan aman dan baik apalagi di masa pandemi (Sukarma, 2021). Sehingga memunculkan kehidupan yang harmoni dan produktif di tengah wabah virus Covid- 19 dan efek dari Pandemic Fatigue.

Pengaruh dari pandemi Covid-19 ini menyebar ke seluruh tatanan kehidupan manusia dengan Yadnya yang dilakukan oleh masysrakat memunculkan ketenangan batin dalam diri masyarakat yang menyebabkan masyarakat lebih dapat menjalani kehidupan pandemi secara positif. Dengan yadnya pula dapat membantu menjaga hubungan sosial masyarakat karena dengan adanya wabah virus Covid-19 menyebabkan berkurangnya atau terbatasnya kehidupan sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat adalah makhluk sosial sehingga tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain.

Dengan yadnya mengajarkan masyarakat untuk tetap berhubungan satu sama lain bagaimana pun kondisinya, karena dengan bersosialisasilah masyarakat dapat menjalani kehudipan bermasyarakat.

Beryadnya juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menciptakan hubungan dengan lingkungan yang lebih baik lagi, salah satunya dengan gotong royong menjadikan lingungan lebih bersih dan sehat yang dapat menghindarkan manusia dari penyakit yang menjadi sumber penderitaan.

Lingkungan yang nyaman juga menciptakan ketenangan batin dan pikiran yang jernih, sehingga mampu menjalani kehidupan di masa pandemi dengan baik dan berpikir serta bertindak secara positif.

Dengan Yadnya pula mendekatkan diri dengan Tuhan dan mengingat bahwa Tuhan akan selalu memberikan jalan terbaik bagi umatnya, persebahan dan pemujaan kepada Tuhan merupakan wujud mengharmonisasikan interaksi manusia dengan Tuhan. Melaksanakan Yadnya dan ajaran agama serta mematuhi protokol kesehatan merupakan jalan bagi masyarakat untuk membangun harmoni dengan parhayangan sebagai imun dalam menghadapi situasi pandemi (Sukarma, 2021). Sehingga, antara keterhubungan Yadnya dengan filosofis Tri Hita Karana yang dipegang masyarakat Bali secara tidak langsung mencegah terjadinya Pandemi Fatigue. Melihat dari kegiatan produktif untuk menjaga keseimbangan manusia terhadap Tuhan, manusia, dan lingkungannya.

III. KESIMPULAN

Covid-19 yang terjadi di Indoensia seelama hampir 2 tahun ini menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami Pandemic Fatigue atau kegelisahan maupun stress yang disebabkan situasi pandemi yang tidak kunjung berakhir yang berdampak dalam berbagai aspek kehidupan mereka, oleh sebab itu banyak masyarakat yang mulai mencari kegiatan ataupun melakukan kegiatan yang dapat memberikan ketenangan baik secara rohani maupun jasmani salah satunya yakni dengan beryadnya.

Mayarakat khususnya masyarakat Hindu di Bali tetap melakukan Yadnya walaupun kegiatan Yadnya yang dilakukan berbeda dengan kegiatan Yadnya sebelum pandemi, namun tidak menghilangkan makna dari Yadnya itu sendiri. Banyak masyarakat yang merasakan dengan berYadnya sangatlah memeberikan dampak yang positif dalam kehidupan mereka baik secara jasmani maupun rohani, dimana masyarakat yang awalnya hanya melakukan kegiatan yang cenderung pasif atau monoton kini dengan berYadnya dapat memberikan aktivitas tambahan untuk mengisi waktu luang, selain itu dengan berYadnya juga memberikan ketenangan dalam diri karena dapat bersosialisasi dengan masyrakat lainnya serta merasakan suasana baru. Dengan kegiatan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat selama pandemi, tanpa disadari mengeratkan hubungan dengan sesama manusia, lingkungan, dan juga Tuhan yang secara tidak langsung dapat memberikan ketenangan dan pemulihan kepada individu tersebut untuk mengatasi Pandemic Fatigue yang selama ini mereka rasakan dalam kehidupan sosial-budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, I. G., & Putra, P. A. A. (2021). KEAGAMAAN UMAT HINDU DI KOTA DENPASAR DI.

21(Covid 19), 95–108.

(9)

143 Amri, A. (2020). Pengaruh Periklanan Melalui Media Sosial Terhadap UMKM di Indonesia di Masa PAndemi. Jurnal Brand, 2(1), 123–130. https://www.academia.edu/42672824/Dampak_Covid- 19_Terhadap_UMKM_di_Indonesia

Andiarna, F., & Kusumawati, E. (2020). Pengaruh Pembelajaran Daring terhadap Stres Akademik Mahasiswa Selama Pandemi Covid-19. Jurnal Psikologi, 16(2), 139.

https://doi.org/10.24014/jp.v16i2.10395

Anonim. (2021). Pandemic Fatigue, Kelelahan Mental Karena Pandemi. CNN Indonesia.

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210125160831-255-598142/pandemic-fatigue- kelelahan-mental-karena-pandemi

Gusti, Ni, and Ayu Putu. 2020. “( UPAKARA / BANTEN ) DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI Oleh :”

Imadana, D. P. (2020). Agama dan covid-19: studi ekspresi keagamaan Hindu di Dusun Bongso Wetan Desa Pengalangan Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. 19, 1–106.

http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/43341

Jayendra, P. S. (n.d.). FLEKSIBILITAS PEMAHAMAN DAN PELAKSANAAN Pendahuluan. 12–26.

Lilik. 2021. “Aktualisasi Ajaran Tri Hita Karana Pada Masa Pandemi Covid-19 Actualization of Tri Hita Karana’s Teachings during the Covid-19 Pandemic” 12 (1): 19–34.

Mertayasa, Komang, I. (2019). PENGGUNAAN SAWEN PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI DESA MEKO UTILIZATION OF SAWEN DURING THE PANDEMIC OF COVID-19 IN MEKO VILLAGE.

2019.

Napitupulu, R. M. (2020). Dampak pandemi Covid-19 terhadap kepuasan pembelajaran jarak jauh.

Jurnal Inovasi Teknologi Pendidikan, 7(1), 23–33. https://doi.org/10.21831/jitp.v7i1.32771

Rahardjo, Wahyu, Nurul Qomariyah, Indah Mulyani, and Inge Andriani. 2020. “Social Media Fatigue Pada Mahasiswa Di Masa Pandemi COVID-19: Peran Neurotisisme, Kelebihan Informasi, Invasion of Life, Kecemasan, Dan Jenis Kelamin.” Psikologi Sosial 18 (59): 12.

https://doi.org/10.7454/jps.2021.16.

Rosida, L., Triawanti, T., Asnawati, A., Sanyoto, D. D., Panghiyangani, R., & Hayatie, L. (2020). Upaya Pencegahan Covid-19 Melalui Pembagian Masker Serta Minuman Bergizi Kepada Masyarakat Banjarbaru dan Martapura. Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat Dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR), 3, 279–284. https://doi.org/10.37695/pkmcsr.v3i0.749 Siti Rahma Harahap. (2020). Proses Interaksi Sosial Di Tengah Pandemi Virus Covid 19. AL-HIKMAH:

Media Dakwah, Komunikasi, Sosial Dan Budaya, 11(1), 45–53.

https://doi.org/10.32505/hikmah.v11i1.1837

Sukarma, I. W. (2021). Menjaga Keseimbangan Imun Jasmani dan Rohani pada Masa Pandemi Covid- 19 di Desa Batuan. Jurnal Sewaka Bhakti, 6(April), 104–119.

https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/sewakabhakti/article/download/1600/966

Vibriyanti, Deshinta. 2020. “Kesehatan Mental Masyarakat: Mengelola Kecemasan Di Tengah Pandemi Covid-19.” Jurnal Kependudukan Indonesia 2902: 69. https://doi.org/10.14203/jki.v0i0.550.

Yasa, I Wayan Putra. 2020. “Tri Hita Karana Untuk Pencegahan COVID-19 Di Bali.” Jurnal Socius:

Journal of Sociology Research and Education 7 (1): 54. https://doi.org/10.24036/scs.v7i1.176.

Referensi

Dokumen terkait

Narcotics Law and Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 4 of 2021 concerning changes to the classification of narcotics which is