• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Bahasa Penutur Sasak dan Sumbawa di Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Sikap Bahasa Penutur Sasak dan Sumbawa di Bali"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

(2)

2

Sikap Bahasa Penutur Sasak dan Sumbawa di Bali

(3)

3 I Made Suastra, I Ketut Tika, Ni Luh Nyoman Seri Malini, I Made Sena Darmasetiyawan

Universitas Udayana

Ringkasan

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk menemukan model pemertahanan bahasa ibu di luar wilayah pakai bahasa. Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui dan menganalisis model pemertahanan bahasa Sasak dan Sumbawa oleh penutur bahasa tersebut yang meliputi 1) pola-pola pemakaian bahasa Sasak dan Sumbawa di Bali dan 2) sikap bahasa penutur bahasa sasak dan bahasa Sumbawa pada bahasa ibunya. Lokasi penelitian ini di daerah Bali yang terdapat kantong-kantong penutur bahasa Sasak dan Bahasa Sumbawa di Provinsi Bali. Data dijaring menggunakan metode observasi dan menyebarkan kuesioner, dibantu dengan teknik wawancara, dan teknik catat. Sample penelitian ini adalah penutur bahasa Sassak dan Sumbawa kalangan remaja dan dewasa.

Teknik quota diterapkan untuk menetapkan jumlah anggota sampel tiap golongan yaitu masing-masing sebanyak 15 orang. Data dianalisis menggunakan metode kualitatif dan kuantatif, kemudian disajikan dengan metode formal dan informal. Dengan menggunakan teori pilihan bahasa, teori perubahan bahasa dan teori sikap bahasa diharapkan dapat ditarik generalisasi model pemertahanan bahasa ibu penutur Sasak dan Sumbawa. Model pemertahanan ini sangat signifikan untuk diketahui agar sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada ranah formal maupun informal dapat dilakukan dengan tepat dan terarah yaitu agar mampu mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas sosial, secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis.

Kata kunci: pemertahanan bahasa, sikap bahasa, pilihan bahasa BAB I. PENDAHULUAN

Dalam konteks keindonesiaan perkembangan bahasa dalam konteks situasi tertentu memiliki tiga bentuk, yaitu 1) perkembangan yang disebabkan oleh interaksi antarbahasa daerah karena pengaruh mobilitas seperti yang terjadi di daerah perbatasan dan daerah transmigrasi, 2) perkembangan yang disebabkan oleh interaksi bahasa daerah dengan bahasa nasional, 3) perkembangan bahasa Nusantara yang disebabkan oleh pertemuan bahasa- bahasa ini dengan berbagai proses globalisasi (Abdullah, 2006:98, band. Malini, 2011).

Perkembangan tersebut mengindikasikan bahwa di Indonesia, terdapat tiga masalah kebahasaan, yakni masalah bahasa Indonesia, masalah bahasa daerah, dan

(4)

4 masalah pemakaian bahasa asing. Ketiga masalah tersebut tidak terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya yang telah mengalami berbagai perubahan baik sebagai tatanan kehidupan dunia yang baru, globalisasi, maupun sebagai dampak perkembangan teknologi informasi yang pesat. Permasalahan kebahasaan di daerah, misalnya, di daerah-daerah perbatasan dan/atau transmigrasi dimungkinkan warganya memiliki variasi bahasa tersendiri karena adanya pertemuan antaretnik. Pertemuan etnis ini di satu sisi dapat menyebabkan saling pengaruh dan memperkaya khasanah bahasa masing-masing dan pada sisi yang lain pertemuan itu dapat menghilangkan kemurnian tatanan bahasa tersebut (Dil, 1981; Hamers dan Blanc, 1989)1. Oleh karena itu, penggunaan bahasa masyarakat migran pada berbagai generasi di berbagai tempat merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Fenomena kontak ini juga terjadi di wilayah migran seperti di Bali yang merupakan wilayah multietnis.

Perkembangan bahasa di Bali sangat ditentukan oleh faktor sosial dan budayanya, karena masyarakat Bali berakar pada kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat mereka. Fenomena yang kerap kali muncul dari keadaan masyarakat dwi bahasa atau multi bahasa adalah dimana bahasa-bahasa tersebut akan semakin menghilang, menguat, atau kadang bercampur (Wardhaugh, 1986: 98). Hal ini terjadi pula di Bali, dimana sebagai masyarakat mayoritas, bahasa-bahasa daerah lain seperti bahasa Sasak dan Sumbawa hanya dapat digunakan pada ruang lingkup yang berterima bagi penuturnya sendiri. Penggunaan bahasa yang memiliki kecenderungan lebih dimengerti oleh masyarakat di sekitar penutur pada umumnya, akan membawa pengaruh besar pada sikap penutur untuk lebih dapat didengarkan dan membujuk;

terlebih lagi apabila penutur tersebut adalah seorang perempuan (Holmes, 1992: 354).

Fenomena ini akan merujuk pada sikap bahasa dimana aplikasinya kerap kali terlihat pada pilihan bahasa dan tingkatan kesopanan dari penggunaan bahasa.

Dalam kesopanan penutur, beberapa hal yang pada umumnya dapat mempengaruhi kesopanan tersebut adalah perbedaan kekuatan (tingkat sosial), jarak, dan tingkat kepentingannya (Scollon, 2001: 52). Seorang penutur akan lebih mudah memahami bahasa atau dialek seseorang yang mereka suka atau hormati; umumnya terjadi pada kelompok orang-orang yang berhubungan dekat (Holmes, 1992: 345). Fenomena ini berkaitan erat dengan pola pikir yang nantinya akan teraplikasikan melalui perbuatan, kebiasaan, ataupun

1 Pendapat mengenai fenomena kontak budaya dan bahasa juga disampaikan dalam Warsito:1984, Sutjaja:1992, Pelly:1994, Budiono:1997, Nursaid dkk.,2000, Dhanawaty:2002, Sardjadidjaja:2004, Malini 2011.

(5)

5 prilaku. Pengaruh yang timbul dari penelitian ini adalah adanya penilaian terhadap sikap bahasa penutur yang dapat ditentukan melihat dari kaitan penutur tersebut dengan masyarakat golongannya. Salah satu hasilnya dapat dilihat apabila seseorang memiliki sikap bahasa positif, dengan sendirinya orang yang bersangkutan akan melatih kemampuan bahasanya tanpa banyak dorongan motivasi (Jendra, 2007: 220). Sikap positif atau negatif dari penutur bahasa ini akan sangat bergantung pada penilaian/nilai-nilai sosial masyarakatnya.

BAB II. STUDI PUSTAKA

Penelitian mengenai bahasa ibu khususnya bahasa Sasak dan Sumbawa telah dilakukan beberapa peneliti antara lain yang menyatakan bahwa masyarakat Sasak secara garis besar dibagi ke dalam dua kelompok yaitu bangsawan dan masyarakat biasa “jamaq”. Dalam bahasa Sasak yang digunakan oleh masyarakat biasa pada umumnya, penggunaan sapaan aku dan kamu dalam bahasa sasak digunakan oleh penutur bahasa Sasak biasa yang memiliki status yang sama dan umur yang tidak jauh berbeda, sedangkan dalam bahasa Sasak yang digunakan dalam keluarga bangsawan, penggunaan bahasa Sasak akan selalu menggunakan bahasa Sasak halus, hal ini untuk membuktikan bahwa mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi dari penutur non bangsawan yang hanya menggunakan bahasa kasar/biasa (jamaq). Selain itu, kedudukan dalam pekerjaan dan status keluarga memiliki pangaruh yang kuat dalam penggunaan code switching Sasak dan Indonesia. Faktor selanjutnya adalah usia atau umur yang merupakan faktor yang sangat penting dalam penggunaan code switching pada penutur bahasa Sasak. Bahasa Sumbawa merupakan bahasa yang bersifat umum dan tidak terlalu memiliki tingkatan dalam segi kehalusan berbahasa. Tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa tidak begitu memiliki variasi yang beragam dan tidak terlalu mencolok dalam berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Kedua, tingkatan tutur dalam masyarakat Sumbawa hanya terjadi karena dipengaruhi beberapa hal antara lain kata, kalimat, usia, ranah perkantoran, dan nada bicara (Tika, dkk: 2015).

Dalam mengkaji pola-pola penggunaan terutama aspek pemertahanan bahasa ibu di luar wilayah pakai seperti penggunaan bahasa Sasak dan Sumbawa , gambaran mengenai sikap mereka terhadap bahasa Bali mutlak diperlukan. Anderson (dalam Suhardi 1996) membedakan dua jenis sikap, yakni sikap bahasa dan sikap bukan bahasa seperti sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis. Sikap bisa positif dan bisa

(6)

6 juga negatif. Sikap bahasa yang bersifat positif, di antaranya dapat dilihat dari adanya kesetiaan atau loyalitas masyarakat bahasa terhadap bahasa tertentu. Ciri-ciri sikap bahasa positif yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot (1968) adalah sebagai berikut: 1) kesetiaan bahasa (language loyalty); 2) kebanggan bahasa (language pride); 3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of language norms). Kesetiaan atau loyalitas tersebut terlihat dari tetap digunakannya bahasa-bahasa berdasarkan alokasi ranah, berdasarkan fungsinya, atau terdapat pemisahan fungsi. Sikap bahasa positif ini dapat dijadikan tolok ukur dalam menentukan langkah perencanaan bahasa ibu di luar wilayah pakai.

Suteja (2007) mengungkap sikap (konatif, afektif, dan kognitif) kelompok mahasiswa etnis Bali di Denpasar terhadap pemakaian ragam BB lisan dalam komunitas pergaulan sehari-hari dalam konteks pilihan antarragam BB. Disimpulkan bahwa rata-rata mereka bersikap negatif, baik kelompok yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan. Namun, sikap mereka terhadap pemakaian BB secara umum dalam konteks pilihan bahasa antara BI dan BB untuk alat komunikasi informal untuk kelompok yang tinggal di daerah perkotaan adalah negatif, sedangkan untuk kelompok pedesaan bersikap netral. Sikap negatif tersebut terungkap karena ragam BB pada umumnya dianggap tidak mencerminkan kesetaraan sosial dan kurang praktis ( Malini, dkk, 2012) dalam penelitiannya terhadap pemertahanan Bahasa bali generasi muda di daerah destinasi wisata di Bali menemukan bahwa pilihan bahasa generasi muda di Bali yaitu bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Bahasa- bahasa tersebut digunakan pada berbagai ranah, utamanya ranah rumahtangga, ketetanggaan dan ranah agama. Terkait dengan kemampuan berbahasa secara umum dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengetahuan kata berimplikasi langsung terhadap pemakaian kosakata itu sendiri. Semakin tinggi pemahaman kosakatanya makin semakin tinggi pula tingkat pemakaiannya demikian sebaliknya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan pengetahuan kosakata dasar baik itu kosakata dasar Swadesh, kosakata berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial masyarakat, kosakata berkaitan dengan kehidupan religi, kosakata berkaitan dengan kesenian, kosakata berkaitan dengan matapencaharian secara umum di Ubud lebih tinggi tingkat pemahamannya dan pemakaiannya lalu Sanur dan terrendah Kuta. Secara geografis Ubud merupakan daerah wisata pedesaan, Ubud masih dikelilingi oleh desa-desa kental dengan tradisional Bali dengan ciri masyarakat

(7)

7 lebih komunal dan lebih homogen lebih-lebih keberadaan Puri Ubud sampai saat ini masih kuat dengan ciri feodalismenya, Ubud jauh dari perkotaan. Pariwisata Ubud lebih mengandalkan budaya dan di sekeliling Ubud masih terbentang persawahan.

Berbeda halnya dengan Sanur dan Kuta. Kedua wilayah ini berada di pesisir pantai, sangat dekat dengan perkotaan dan penduduknya pun lebih heterogen baik dari segi agama, ras, suku bangsa, matapencaharian dan sebagainya. Terkait dengan sikap bahasa dari aspek kognitif, afektif dan konatif generasi muda memiliki kecenderungan bersikap positif. Sikap positif ini merupakan modal dasar yang harus dimiliki dalam upaya pemertahanan bahasa. Pemakaian kosakotanya yang dianggap sangat rumit.

Penelitian terhadap sikap bahasa dimulai dengan mengenal konsep diglosia sebagai payung penelitian yang membatasi ruang lingkup penelitian ini. Diglosia adalah sebuah situasi bahasa yang cukup stabil, dimana terdapat dua atau lebih variasi bahasa berterima dalam suatu lapisan masyarakat, dimana bahasa-bahasa ini tetap diajarkan dalam sektor pendidikan formal, namun tidak selalu dipakai dalam situasi percakapan umumnya (Wardhaugh, 1986: 87). Dalam kaitannya terhadap sikap bahasa, pengaruh lingkungan sosial bahasa tersebut umumnya digunakan sebagai tolak ukur dalam peninjauan variabel-variabel sikap bahasa dari penutur. Sikap bahasa banyak bergantung pada orientasi, yaitu orientasi instrumental yang kerap kali dilakukan untuk perbaikan dimana penuturnya adalah bahasa-bahasa yang telah digunakan secara luas, dan orientasi integratif yang dipelajari atas ketertarikan terhadap unsur kebudayaan yang tinggi dari bahasa tersebut (Lambert in Chaer, 2004:

153). Maka dari itu, untuk mengetahui sikap bahasa penutur lebih jauh, kedudukan bahasa tersebut dalam masyarakat multilingual dan sudut pandang penutur bahasa lainnya sangat memegang peranan penting. Pengertian penutur terhadap suatu aspek dari bahasa terbentuk dari kemampuannya menginterpretasi dan mengkonsepkan suatu pengertian. Pengertian ini terbentuk dari empat hal dalam kemampuan kognitif penutur, yaitu atensi, penilaian dan perbandingan, sudut pandang, serta struktur secara garis besarnya (Kovecses, 2006: 246).

Konsep sikap bahasa ini akan lebih mudah dipahami dengan memahami pengertian terhadap apa yang dimaksud dengan sikap. Sikap berkaitan erat dengan kondisi mental dan perbuatan, karena apa yang dipikirkan, dirasakan, dan ingin dilakukan oleh seseorang berhubungan juga dengan adanya sesuatu atau suatu keadaan (Chaer, 2004: 151). Pengertian ini dapat menyiratkan bahwa perbuatan yang mengawali sebuah sikap berkaitan erat dengan keinginan (motif). Sikap tidak

(8)

8 selamanya tercermin melalui prilaku; hanya penutur yang mempunyai sikap yang mengetahui dengan baik hubungan antara sikap dan prilakunya (Jendra, 2007: 231).

Maka dari itu, sikap bahasa dari penutur akan dapat ditelusuri melalui data-data aktual, seperti percakapan dalam aktifitas sehari-hari. Apabila digambarkan, hubungan antara konsep-konsep ini adalah sebagai berikut.

Seperti yang terlihat di gambar, sikap adalah sebuah keputusan atau simpulan dari perbuatan atau prilaku dalam ruang lingkup kebiasaan. Pada gambar terlihat bahwa perbuatan yang merupakan bentuk nyata dari prilaku sangat dipengaruhi kehadirannya oleh situasi, dimana pada situasi yang berbeda, kebiasaan tidak akan muncul; dan sikap pun tidak dapat diketahui. Maka dari itu, situasi yang mendukung diperolehnya perbuatan yang mengacu pada sikap bahasa adalah situasi yang alami.

Dalam sebuah percakapan pada umumnya, semakin sering pertukaran pembicaraan terjadi, maka percakapan tersebut akan tergolong semakin hangat dan berkaitan erat;

begitu pula sebaliknya (Scollon, 2001: 49). Selain situasi, faktor yang mendukung terwujudnya sikap bahasa yang relevan adalah hubungan antara penutur, dimana jarak (distance) tidak banyak mempengaruhi pilihan bahasa penutur.

Rokeach dalam Malini (2013) mengemukakan bahwa kepercayaan yang merupakan dasar dari sikap bahasa terbagi menjadi tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan prilaku; dimana kognitif mengacu pada pengetahuan untuk menentukan benar/salah dan baik/buruk, afektif mengacu pada penilaian terhadap sesuatu, dan prilaku (konatif) yang mengacu pada kecenderungan pengaruh dalam bertindak. Ketiga aspek ini digunakan dalam menganalisa data yang diperoleh dari para penutur bahasa Sasak dan Sumbawa yang telah mengalami penyesuaian terhadap lingkungan sosial masyarakat Bali.

(9)

9 Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan terdahulu yang berkaitan dengan fenomena kontak bahasa dan perkembangan bahasa pada daerah-daerah yang heterogen.

BAB III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini pada dasarnya menggunakan metode penelitian kualitatf yang digabungkan dengan metode kuantitatif. Data utama akan menyertakan data dalam bentuk tertulis dan wawancara. Metode penelitian ini meliputi proses pengumpulan data dan analisa data.

Penelitian ini berdasarkan filosofi fenomenologis. Paradigma tersebut membawa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Berkaitan dengan metode penelitian dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di kantong kantong penutur bahasa Sasak dan Sumbawa di kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Pemilihan lokasi tersebut karena daerah tersebut adalah daerah migran yang mana terjadi kontak bahasa yang tinggi antara penutur Sasak dan Sumbawa dengan masyarakat lokal (Bali) dan etnis lain.

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data lisan. Data primer penelitian ini yaitu kata-kata, kalimat-kalimat, atau wacana yang dituturkan antar generasi muda Bali dalam ranah keluarga, kekariban, pendidikan dan religi. Jumlah responden sebanyak 11 orang dari responden bahasa Sasak dan 10 orang lagi dari responden bahasa Sumbawa. Data yang diambil dari responden berupa data lisan berupa teks pada kehidupan sosial penutur bahasa Sasak dan Sumbawa. Data sekunder penelitian ini adalah a) hasil survei sosiolinguistik dan b) informasi mengenai situasi kebahasaan, kebudayaan dan tradisi masyarakat Sasak dan Sumbawa.

3.3 Instrumen Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian diperlukan beberapa instrumen, yang terdiri dari instrumen utama dan instrumen tambahan. Uraian masing-masing instrument itu sebagai berikut.

1) Instrumen utama

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument).

Moleong (1998:19) menyatakan bahwa pencari tahu alamiah dalam pengumpulan data

(10)

10 lebih banyak tergantung pada diri sendirinya sebagai alat pengumpul data. Hal tersebut juga disebabkan penelitian ini bersifat etnografis yang bercirikan observation participation.

2) Instrumen tambahan

Untuk menjaga validitas dan relibilitas data dan supaya penelitian berjalan pada jalur yang sesuai dengan tujuan, sebagai bahan triangulasi digunakan beberapa alat pengumpul data dan sebagai instrumen tambahan digunakan kuesioner survei linguistik.

Daftar pertanyaan disusun dengan membuat pertanyaan yang khusus, kongkret, dan sesuai dengan konteks. Pertanyaan juga diupayakan dapat mengungkapkan bukti, bukan simpulan (Showalter, 1991: 26). Daftar pertanyaan diadopsi dari berbagai sumber seperti Mahsun (2005: 296-321), Dhanawaty (2002: 476-486), Showalter (1991:13-26), dan Nursaid dkk (2000). Sumber-sumber pertanyaan tersebut dimodifikasi dan disesuaikan dengan kepentingan penelitian ini.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Budaya dan Bahasa Bali

Bahasa Bali yang merupakan produk dari Budaya Bali, telah menyatu erat dengan komunitas masyarakat Bali. Masyarakat penutur bahasa Sasak dan Sumbawa yang merupakan minoritas dari kelompok multilingual, melakukan penyesuaian dengan pemerolehan Bahasa Bali yang dapat ditunjukkan dari pemahaman bahasa;

mulai dari kemampuan mendengar sampai dengan penguasaan beberapa kosa kata Bahasa Bali. Tingkat tutur Bahasa Bali itu sendiri yang dapat menyiratkan tingkatan sosial dari masyarakatnya, mampu dimengerti oleh penutur Sasak dan Sumbawa sebagai ciri identitas bahasa tersebut. Diantara empat tingkat tuturnya; seperti basa Alus Singgih, Alus Madya, Alus Sor, dan Kepara, penutur Sasak dan Sumbawa telah memahami setidaknya pengelompokan tingkat tutur tersebut menjadi tingkat tutur tinggi dan rendah, dimana pengelompokan masyarakat secara umum adalah basa Kepara atau bahasa kasar diperuntukkan untuk tingkat sosial masyarakat umum (rakyat jelata), sedangkan basa Alus diperuntukkan untuk tingkat sosial atas.

Penggunaan basa Alus untuk tingkat sosial masyarakat atas mana, kerap kali diketahui dengan langsung bertanya informasi terkait penutur tersebut (nama, tempat tinggal, atau keluarga).

(11)

11 Penggunaan bahasa Bali dalam suatu tuturan dapat diformulasikan secara garis besar menjadi empat (Suastra, dkk, 2016) yaitu.

(1). Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara (O2), dan yang dibicarakan (O3) semuanya termasuk dalam golongan bawah. Maka, bahasa yang digunakan oleh O1 kepada O2 tentang O3 adalah basa Bali Andap.

(2). Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara pada orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ke (O3) dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan oleh orang pertama kepada orang kedua itu adalah bahasa alus singgih. Sementara itu, apabila orang pertama tersebut membicaraka tentang dirinya, maka ia menggunakan bahasa alus sor.

(3) Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara dengan orang kedua dari golongan atas (O2), dan yang dibicarakan dari golongan bawah (O3), maka bahasa yang digunakan orang pertama saat berbicara pada orang kedua adalah bahasa alus singgih. Sedangkan yang mengenai orang pertama dengan orang ketiga menggunakan bahasa alus sor.

(4). Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah berbicara pada orang kedua (O2) yang juga berasal dari golongan bawah, sedangkan yang dibicarakan adalah orang ketiga (O3) yang berasal dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan orang pertama ketika berkomunikasi dengan orang kedua menggunakan bahasa andap. Sedangkan, bahasa yang mengenai orang ketiga menggunakan bahasa alus singgih. Sementara itu, bahasa mengenai pembicara pertama dengan kedua menggunakan bahasa alus sor.

Berdasarkan formula penggunaan bahasa diatas, penutur bahasa Sasak dan Sumbawa di Bali menempati golongan bawah bersama dengann golongan masyarakat Sudra (umum). Hal ini terjadi karena berdasarkan hasil kuesioner, penutur bahasa Sasak dan Sumbawa; yang dapat digolongkan sebagai masyarakat minoritas di Bali, harus berusaha menggunakan bahasa Bali untuk menjaga kedekatan dan sebagai bentuk sikap penghargaan mereka terhadap penutur bahasa Bali. Disaat situasi ini tidak memungkinkan, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bentuk negosiasi untuk kemampuan bahasanya.

Dalam fenomena masyarakat multilingual, kondisi dan sikap bahasa masyarakat minoritas kerap kali melakukan penyesuaian untuk pemertahanan bahasa tersebut. Dalam hal ini, selain menjaga hubungan yang erat antara penuturnya;

umumnya dimulai dari ranah keluarga, mereka juga mampu beradaptasi dan

(12)

12 menyesuaikan pola hidup dengan kentalnya budaya Bali. Kebiasaan umum seperti menyuguhkan sesajen yang dilakukan oleh masyarakat Bali; khususnya umat Hindu;

mereka lakukan pula untuk menghormati kebiasaan tersebut.

4. 2. Sikap Bahasa Penutur Sasak

Menurut data yang diperoleh di lapangan, penutur bahasa Sasak mampu mempertahankan kemampuan bahasanya; ditunjukkan oleh pengetahuan kosa kata bahasanya. Pada sebuah contoh, responden yang telah menetap lebih dari 5 tahun juga mampu mempertahankan kemampuan bahasanya. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi sikap bahasa penutur Sasak dalam pemilihan kosa katanya adalah umur lawan bicara. Disamping pemilihan kosa kata, volume dan gaya bicara juga ditekankan dalam penggunaan bahasa Sasak menurut ranahnya. Dalam interaksi masyarakat multilingual di Bali, faktor ini tidak banyak berubah bagi penutur bahasa Sasak. Unsur-unsur sikap bahasa yang diperoleh melalui responden merupakan hasil pengaruh dan pemertahanan bahasa tersebut pada masyarakat Bali.

Jumlah komunitas bahasa Sasak yang tersebar di Bali cenderung lebih banyak apabila dibandingkan dengan bahasa Sumbawa. Salah satu kantung penutur bahasa Sasak yang digunakan pada penelitian ini adalah Ubung, yang secara geografis memiliki banyak penutur Sasak karena lokasi terminalnya yang merupakan penghubung transportasi jarak jauh. Selain dari letak geografis komunitas asal bahasa Sasak yang lebih dekat dengan Bali, mayoritas masyarakatnya juga melihat peluang kerja yang lebih baik di Bali. Hasil yang diperoleh melalui kuesioner responden adalah sebagai berikut:

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Bhs Sasak Bhs Indonesia Bahasa lain

Penguasaan Bahasa Frekwensi Penggunaan

Gambar 1. Grafik responden bahasa Sasak di Bali

Berdasarkan grafik hasil pengamatan diatas, penggunaan dan penguasaan bahasa Sasak oleh penuturnya di Denpasar masih tergolong tinggi. Namun di lain sisi,

(13)

13 frekwensi penggunaan yang ditunjukkan hampir setara dengan bahasa Indonesia dan bahasa lain (sebagian besar bahasa Bali), karena penuturnya harus dapat melakukan penyesuaian dengan lingkungan multibahasa untuk menjaga terjalinnya komunikasi yang baik dan lancar.

4.2.1. Unsur Kognitif Penutur Sasak

Unsur kognitif yang bersumber dari pengetahuan wajar penutur mengenai kebenaran suatu hal merujuk pada kesamaan rumpun bahasa dari bahasa Sasak dan bahasa Bali. Pengaruh budaya Bali dan interaksi sosial penutur dengan masyarakat Bali tidak menghasilkan unsur kognitif yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada tingkatan pemilihan bahasa yang dibedakan pula berdasarkan ranah umur, gender, dan situasi. Pengetahuan klasifikasi ini umumnya juga diterapkan pada masyarakat penutur bahasa Bali. Maka dari itu, penutur Sasak tidak banyak merasakan adanya penyesuaian pemahaman terhadap aspek-aspek kebahasaan.

Data yang didapatkan pada kuesioner menunjukkan bahwa penutur bahasa Sasak masih beranggapan bahwa bahasa Sasak tersebut baik dan indah. Hal ini dibuktikan dengan masih digunakannya bahasa Sasak oleh penuturnya pada ranah masyarakatnya masing-masing. Bukti lebih lanjut dapat ditunjukkan dari data responden yang menunjukkan lebih dari 70% penutur bahasa Sasak di Bali masih menggunakan bahasanya pada ranah keluarga. Bentuk pemertahanan identitas bahasa ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aspek kognitif penutur bahasa.

Bahasa sasak yang merupakan satu rumpun yaitu rumpun Austronesia, memiliki karakteristik yang sebagian besar serupa dengan bahasa Bali.

4.2.2. Unsur Afektif Penutur Sasak

Unsur afektif yang mengacu pada penilaian terhadap sesuatu untuk penutur Sasak memiliki bukti yang kuat, dimana bahasa Sasak memiliki ranahnya tersendiri dalam penggunaan bahasa. Penilaian penutur ini terhadap bahasa Sasak di Bali tetap mencerminkan kebanggaan diri, dimana penggunaan bahasa tersebut pada masyarakat penuturnya dapat menimbulkan rasa rindu dan kecintaan pada tanah air.

Menurut hasil yang didapatkan pada kuesioner, penutur bahasa Sasak di Bali mengetahui dengan baik saat yang tepat untuk menggunakan bahasa Sasak.

Berdasarkan data yang diperoleh, 8 dari 11 responden memiliki penguasaan terhadap bahasa lain selain bahasa Sasak itu sendiri; seperti bahasa Indonesia, bahasa Jawa,

(14)

14 bahasa Bali, bahkan bahasa Inggris. Lebih jauh lagi, responden yang saat ini menjadi masyarakat multilingual memiliki kesadaran untuk menghormati bahasa Bali dan penuturnya melalui pemahaman dan sedikitnya penggunaan bahasa Bali dalam bahasa sehari-harinya secara umum; 2 dari 11 responden aktif menggunakan bahasa Bali.

Upaya pemertahanan bahasa Sasak melalui penggunaannya pada ranah keluarga dan komunitasnya ini menunjukkan sikap penutur yang ingin melesatarikan bahasa Sasak di Bali.

Namun berdasarkan frekwensi interaksi penutur bahasa Sasak di Bali, bahasa Indonesia yang memiliki makna yang serupa pada bahasa Sasak, mulai mendominasi pemahaman bahasa mereka. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya penggunaan bahasa Sasak oleh penuturnya; sebagai dampak dari situasi dan lingkungan formal yang dapat dipenuhi dengan penggunaan bahasa Indonesia pada umumnya. Beberapa kosa kata swadesh, berdasarkan medan makna, frasa, kalimat, dan slogan / ungkapan juga sudah mulai digantikan dengan bahasa Indonesia yang memiliki makna sama.

Secara detail, beberapa contoh unit bahasa yang dapat menunjukkan grafik tingkatan penguasaan bahasa Sasak diatas (gambar 1) adalah sebagai berikut:

Data ini diambil dari salah satu responden a.n Udin (beberapa kata dicetak miring menandakan kesamaan bahasa)

- Contoh Kosakata

Bahasa Indonesia Bahasa Sasak

Air Aik

Akar Akah

Anak Anak

Anjing Acong

Api Epi

Bagaimana Betembe

Baik Solah

Banyak Loek

Basah Basak

Bengkak Bak

Cium (orang) Seduk

Cium (bau) Embun

Cuci Mopok

(15)

15

Daging Jangan

Darah Darak

Datang Dateng

Dorong Jelek

Duduk Tokol

Empat Empat

Ekor Elong

Garam Siye

Gemuk Mokoh

Gigit Kako

Hantam Empuk

Hapus Osok

Hijau Ijo

Hitam Bideng

Hutan Gawah

Ibu Inak

Ia Aok

Ikan Empak

Jahit Jait

Jatuh Terik

Kotor Raok

Pendek Kontek

Perut Tian

Rumput Kupak

Tanah Tanah

Tebal Tebel

Ular Ular

- Contoh Frasa

Lima hari  Lime selo - Contoh Kalimat

Buku-buku saya tertinggal di atas meja  Bukuk eku kemadean le atas mese Berdasarkan data diatas, beberapa kata dalam bahasa Sasak yang diketahui oleh responden menunjukkan banyak kemiripan dengan bahasa Indonesia ataupun

(16)

16 bahasa Bali. Dari 40 contoh kosakata diatas, 10 kata memiliki padanan yang serupa dengan bahasa Indonesia atau bahasa Bali. Pada 9 contoh medan makna kehidupan sosial, ditemukan 4 kemiripan kosakata. Pada 29 contoh medan makna religi, ditemukan 4. Dari 21 medan makna kesenian, ditemukan 7. Sedangkan dari 25 pada mata pencaharian, 7 kosakata juga ditemukan memiliki padanan yang sama dengan bahasa Indonesia atau bahasa Bali. Hasil ini kembali menegaskan besarnya pengaruh ranah dan situasi kepada pengetahuan bahasa penutur.

4.2.3. Unsur Konatif Penutur Sasak

Aspek konatif penutur yang berangkat dari prilakunya akan mencerminkan bagaimana kecenderungan pengaruh yang timbul dalam perkembangan bahasa tersebut. Untuk penutur bahasa Sasak di Bali, sebagian dari mereka melihat perkembangan bahasanya sebagai hal yang positif, namun 50% lebih dari responden percaya tidak perlu ada kecenderungan untuk memaksakan pemeliharaan atau pengembangan bahasa Sasak di masyarakat Bali. Berdasarkan pengertian unsur konatif yang bersumber pada kepercayaan dan perasaan penutur bahasa tersebut, hasil dari kuesioner ini menunjukkan bahwa pelestarian bahasa Sasak dapat berlangsung dengan baik; walaupun hanya dilakukan pada ranah keluarga dan komunitas penuturnya, selama benturan sosial atau budaya dengan masyarakat Bali tidak terjadi.

Penerapan bahasa Sasak pada ranah kantor dan jenjang pendidikan dinilai terlalu memaksakan upaya pelestarian bahasa tersebut, yang hanya akan memberikan dampak negatif apabila berbenturan dengan pelestarian bahasa Bali sebagai pilihan bahasa lokal mayoritas masyarakat di Bali. Maka dari itu, pemakaian dan pelestarian bahasa Sasak di Bali dapat terlihat secara jelas dan transparan pada ranah yang lebih kecil atau khusus.

4.3. Sikap Bahasa Penutur Sumbawa

Penutur bahasa Sumbawa yang sebagian besarnya berasal dari Bima di Sumbawa memiliki beberapa kantung komunitas penuturnya. Salah satu kantung yang terdapat di Denpasar adalah pada daerah Panjer, yang secara geografis memiliki banyak penutur Sumbawa karena lokasinya yang memiliki banyak tempat menginap dengan harga yang terjangkau (kamar kost) untuk banyak penduduk dari Sumbawa yang mencari lapangan pekerjaan di Bali. Berbeda dengan responden bahasa Sasak

(17)

17 yang 7 orang sudah menikah, responden bahasa Sumbawa ini hanya 3 yang sudah menikah, dan mayoritas umur mereka rata-rata 20-30 tahun.

Beberapa hasil dari responden bahasa Sasak yang jelas terlihat pada responden bahasa Sumbawa adalah pengaruh bahasa Indonesia pada pemertahanan, penggunaan, dan sikap bahasa bahasa Sumbawa penuturnya di Bali. Berdasarkan data responden, kondisi ekonomi dan sosial masyarakat penuturnya mengimplikasikan keadaan yang lebih berdampak positif dengan frekwensi penggunaan dan pemahaman bahasa Indonesia yang lebih tinggi; sebagai alat komunikasi secara umum. 2 dari 3 responden yang telah menikah ini terbukti lebih sering menggunakan bahasa Indonesia meskipun pada ranah keluarganya masing-masing. Hasil yang diperoleh melalui kuesioner responden adalah sebagai berikut:

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Bhs Bima / Sumbawa Bhs Indonesia Bahasa Lain

Penguasaan Bahasa Frekwensi Penggunaan

Gambar 2. Grafik responden bahasa Sumbawa di Bali

Grafik diatas menunjukkan tingkatan penguasaan dan frekwensi penggunaan bahasa berdasarkan hasil pengamatan. Bahasa Sumbawa (sebagian besarnya adalah bahasa Bima) masih cukup dikuasai bersama dengan penguasaan bahasa lainnya.

Namun berbeda dengan bahasa Sasak, frekwensi penggunaan bahasa oleh penutur Sumbawa cenderung lebih tinggi pada bahasa Indonesia. Selain pengaruh faktor usia dan lapangan pekerjaan, tingkatan ini juga menunjukkan bagaimana situasi dan ranah penggunaan bahasa (lingkungan) sangat mempengaruhi frekwensi tersebut.

4.3.1. Unsur Kognitif Penutur Sumbawa

Pada penutur bahasa Sumbawa, pemahaman unsur kognitif sebagai sesuatu yang wajar dan berterima tidak jauh berbeda dengan penutur bahasa Sasak. Hal ini terjadi karena pengaruh masyarakat Bali sebagai mayoritas yang mengarahkan pemahaman tersebut melalui kentalnya praktik budaya-budaya Bali. Selain itu, masyarakat Bali sendiri yang sebagian besarnya merupakan masyarakat multilingual,

(18)

18 mengimplikasikan pentingnya keragaman bahasa bagi penutur bahasa Sumbawa. Hal ini ditunjukkan dengan keragaman bahasa yang dikuasai responden selain bahasa Sumbawa dan Bima seperti bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahkan bahasa Spanyol.

Pengetahuan penutur Sumbawa yang diperoleh dari kuesioner menunjukkan bahwa pemahaman penutur terhadap bahasanya masih tergolong baik, dimana lebih dari 50% responden dapat menanggapi identitas etnis Sumbawa melalui nilai-nilai bahasanya dengan baik. Namun, walaupun di satu sisi semua responden menunjukkan rasa bangga dan komitmen untuk tetap menggunakan bahasa Sumbawa, di sisi lain data yang didapat juga menunjukkan bahwa lebih dari 50% penutur menganggap generasi muda telah mulai meninggalkan budaya etnisnya Selain itu, pengetahuan responden pada kosa kata dan medan maknanya secara mayoritas juga sama dengan bahasa Indonesia; dengan hasil yang lebih banyak dari penutur Sasak.

4.3.2. Unsur Afektif Penutur Sumbawa

Penilaian penutur Sumbawa di Bali tercermin dari hasil kuesioner, dimana pada beberapa lokasi interaksi multibahasa; seperti rumah sakit, pasar, dan tempat- tempat lain, penutur Sumbawa tidak akan ragu untuk berinteraksi dengan penutur bahasa lain menggunakan bahasa Indonesia. Sikap ini menunjukkan bagaimana rasa hormat terhadap masyarakat etnis bahasa lain oleh penutur Sumbawa. Terlepas dari 1 hasil yang menyatakan ragu-ragu, terhadap bahasa mereka sendiri, 9 dari 10 responden penutur Sumbawa setuju dan sangat setuju terhadap nilai-nilai positif bahasa Sumbawa.

Dalam interaksi beberapa contoh situasi pertukaran bahasa dengan penutur lain, seperti dalam sekolah, pertemanan, dan pekerjaan, penutur Sumbawa juga mempertimbangkan sikap terhadap penutur bahasa lain, dimana sebagian besar akan mencari jalan tengah dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini semakin memperkuat kecenderungan menurunnya kebertahanan bahasa Sumbawa di Bali, yang didorong oleh tenggang rasa antar penutur bahasa daerah. Pada pertanyaan lain pun, 9 dari 10 responden penutur Sumbawa ini yang telah mengerti pentingnya komunikasi antar etnis, memilih akan lebih menekankan penggunaan bahasa Indonesia pada keturunannya, karena bahasa Indonesia sendiri dapat membantunya di masyarakat saat ini dan pada lapangan pekerjaan mereka.

(19)

19 Secara detail, beberapa contoh unit bahasa yang dapat menunjukkan grafik tingkatan penguasaan bahasa Sumbawa diatas (gambar 2) adalah sebagai berikut:

Data ini diambil dari salah satu responden a.n Eti Kumiaty (beberapa kata dicetak miring menandakan kesamaan bahasa)

- Contoh Kosakata

Bahasa Indonesia Bahasa Sumbawa

Air Oi

Akar Amu

Anak Ana

Anjing Lako

Api Afi

Bagaimana Bone

Baik Taho

Banyak Mboto

Basah Mbeca

Bengkak Winte

Cium (orang) Nu

Cium (bau) Lu ngolo

Cuci Duba

Daging Hi'i

Darah Ro'a

Datang Mai

Dorong Dunggi

Duduk Doho

Empat Upa

Ekor Keto

Garam Sia

Gemuk Mpore

Gigit Ngenge

Hantam Boe

Hapus Hapus

Hijau Jao

Hitam Me'e

(20)

20

Hutan Wuba

Ibu Ina

Ia Sia

Ikan Uta

Jahit Nda'u

Jatuh Ma'u

Kotor Sampu

Pendek Poro

Perut Loko

Rumput Mpori

Tanah Dana

Tebal Tebe

Ular Sawa

- Contoh Frasa

Adik ayah saya  Ari ama mada - Contoh Kalimat

Ladangnya ditanami ubi kayu  Ladangnya nggada kai bojo

Penguasaan bahasa Sumbawa oleh penuturnya yang terlihat baik dapat diperhatikan lebih seksama; dimana secara perlahan penurunan penguasaan ini terlihat secara perlahan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kosakata pada medan makna tertentu yang minim penguasaan bahasa Sumbawa, seperti pada 9 contoh kosakata kehidupan sosial, hanya kata Dusun yang diketahui responden bahasa Sumbawanya Kompo. Dari 29 kosakata religi, hanya 7 yang diketahui padanannya. Dari 21 kosakata kesenian, hanya 10 yang diketahui padanannya (1 sama dengan bahasa Indonesia).

Sedangkan dari 25 kosakata pada mata pencaharian, hanya 4 yang diketahui padanannya; yang mana 3 hasilnya sama dengan bahasa Indonesia.

4.3.3. Unsur Konatif Penutur Sumbawa

Unsur konatif yang tercermin dari prilaku penutur bahasa Sumbawa ini juga menunjukkan hasil yang serupa, dimana 10 penutur di Bali ini pada beberapa situasi telah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasinya dan berhasil memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat. 8 dari 10 responden mengatakan

(21)

21 bahwa mereka lebih sering menggunakan bahasa lain selain bahasa Sumbawa. 4 dari 8 mengatakan setiap hari menggunakan bahasa Indonesia, dan 4 sisanya mengatakan cukup sering menggunakan bahasa Indonesia.

Minimnya interaksi dengan bahasa Sumbawa itu sendiri merupakan salah satu faktor yang mengancam kebertahanan bahasa daerah mereka di masyarakat multilingual seperti Bali. Lebih dari 50% responden penutur Sumbawa mengakui bahwa interaksi mereka pada berbagai situasi dijawab dengan pernah; yang mengisyaratkan bahwa frekwensinya sangat jarang. Pada beberapa media seperti koran, radio, dan televisi pun frekwensi ini tetap jarang; dimana 50% sisanya dari responden ini bahkan menjawab dengan tidak pernah.

BAB V. KESIMPULAN

Sikap bahasa Penutur Sasak dan Sumbawa di Bali sangat dipengaruhi oleh usia, dimana pada usia dewasa, penuturnya dapat mempertahankan sikap dan nilai bahasanya dengan baik. Keberadaan bahasa Sasak dan Sumbawa di masyarakat multibahasa seperti di Bali, sangat mempengaruhi pengetahuan bahasa (melalui unit bahasanya) dan akanselanjutnya mempengaruhi sikap bahasa penuturnya.

Kecenderungan sikap bahasa yang baik perlu didukung oleh pemahaman dan frekwensi penggunaan yang cukup oleh penuturnya.

DAFTAR PUSTAKA

.

Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Cole, Michael and Sylvia Scribner. 1974. Culture and Thought. New York: John Wiley & Sons, Inc

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman Group Jendra, I Wayan. 2007. Sosiolinguistik: Teori dan Penerapannya. Surabaya: Penerbit

Paramita

Kovecses, Zoltan.2006. Language, Mind, and Culture. Oxford: Oxford University Press

Scollon, Ron and Suzanne Wong Scollon. 2001. Intercultural Communication.

Oxford: Blackwell Publisher

Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell Ltd

(22)

22 Dhanawaty, Ni Made. 2002. Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi

di Lampung Tengah (Disertasi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Downes, W. 1984. Language and Society. London: Fontana Paperbacks

Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell

Fishman, J. A. (ed). 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague;

Mouton

Grosjean, F. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. England:

Harvard University Press.

Kismosuwartono, I. 1991. Pola Pengasuhan Anak Keluarga Petanai Transmigran Jawa dan Bali di Daerah Transmigrasi Desa Ruktiharjo Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung. (Studi Perbandingan Keluarga Petani Jawa dan Bali)”. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana

Lukman. 2002. Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomulyo- Polmas dalam Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Denpasar:

Masyarakat Linguistik Indonesia, Pusat Bahasa, dan Fakultas Sastra Universitas Udayana

Mandala, H. 2000. Pemakaian Bahasa Bali di Lombok dalam Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V di Denpasar, 13-16 November 2001

Malini, Ni Luh Nyoman Seri. 2011. Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi Lampung. Disertasi. Universitas Udayana. Denpasar

Nursaid, dkk. 2000. Karakteristik Kebahasaan Warga Transmigrasi di Sitiung Provinsi Sumatera Barat: Suatu Kajian Sosiolinguistik. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas

Putra Yadnya, I.B, dkk. 2010. Akomodasi Linguistik dan Sosial Antaretnis Daerah Transmigrasi di Provinsi Lampung: Menuju Pola Penanggulangan Disharmonisasi Sosial. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Strategis Nasional DIKTI

Rokeach, M. in Seri Malini, Ni Luh Nyoman. 2013. Sikap Generasi Muda Terhadap Bahasa Bali di Destinasi Wisata Internasional Bali. Bahasa dan Seni.

Universitas Udayana

Showalter, C.J. 1991. Getting what you asked for : A study of sociolinguistics survey questionnaires. Dalam Kindel, Gloria E (ed).1991. Proceedings of the Summer

(23)

23 Institute of Linguistics International Language Assesment Conference,Horsleys Green, 23-31 May 1989. Dallas;SIL,Paper 20

Suastra, I Made dkk. 2015. Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat. Penelitian Grup Riset Hibah PNBP Universitas Udayana

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Sutama, P. 2007. Profil Sosiolinguistik Bahasa Bali dalam Prosiding Seminar Perdana Bahasa Ibu Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana. Hal 374-385

Sutjaja, I. G. M. 1990-1992. Language Change: The Case of Balinese in the Transmigration Areas of Lampung, Sulawesi, Sumbawa, and Timor. Laporan Penelitian dengan Dukungan Dana Toyota Foundation, Tokyo

Wijaya, P. 1999. Bali dalam Supartha, I.W. (ed). Bali dan masa Depannya. Hal 183-198.

Denpasar: PT Bali Post.

Referensi

Dokumen terkait

Dananjaya (1991:22) menyatakan bahwa jenis folktor lisan indonesia antara lain adalah a) bahasa rakyat, b) ungkapan tradisional, c) pertanyaan tradisional, d) sajak dan