• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP POSITIF TERHADAP BAHASA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "SIKAP POSITIF TERHADAP BAHASA INDONESIA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP POSITIF TERHADAP BAHASA INDONESIA CERMIN MENJUNJUNG NILAI-NILAI SUMPAH PEMUDA*)

I Made Madia Jurusan Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

1. Pengantar

Tepat delapan puluh tahun yang lalu, 28 Oktober 1928, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta, para pemuda Indonesia dengan yakin, mantap, tegas, dan tanpa ragu telah mengikrarkan ke-INDONESIA-an yang dituangkan di dalam tiga butir mutiara yang sangat berharga: tanah air, bangsa,dan bahasa. Pernyataan keyakinan itu dikenal sebagai Sumpah Pemuda atau Ikrar Pemuda. Masihkah ketiga butir mutiara itu relevan untuk kekinian? Para pemuda kini dengan semangat dan tekad yang sama seperti para pendahulu kita seyogyanya menjawab YA! Kendatipun kita tahu akhir- akhir ini ada sekelompok kecil masyarakat yang hendak memisahkan diri dari NKRI, hendak mengganti ideologi bangsa (Pancasila), dan maraknya penggunaan bahasa asing di ruang publik, apresiasi positif terhadap nilai-nilai Sumpah Pemuda tidaklah boleh luntur. Perilaku yang berseberangan dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda itu merupakan tantangan bagi kita dan hendaknya dijadikan cambuk untuk menebalkan ke-INDONESIA-an kita.

Di dalam makalah ini fokus pembahasan berkenaan dengan bagaimana menumbuhkan dan mempertahankan sikap positif terhadap bahasa Indonesia?

Tumbuhnya sikap positif itu adalah cermin generasi penerus bangsa ini memberi apresiasi positif terhadap nilai-nilai Sumpah Pemuda. Berkenaan dengan hal ini ada

(2)

beberapa hal yang perlu dibahas di dalam makalah ini: bahasa Indonesia sebagai energi, potensi dan prospek perkembangan bahasa Indonesia, dan sikap bahasa.

Pembahasan di dalam makalah ini tidak bersifat teoretis-akademis, tetapi lebih ditekankan pada pembahasan praktis-empiris.

2. Bahasa Indonesia sebagai Energi

Fungsi hakiki bahasa adalah sebagai alat komunikasi antarmanusia dalam hidup bermasyarakat. Jika dicermati, komunikasi antarmanusia dengan menggunakan bahasa tidaklah sederhana, sempit, dan terbatas cakupan maknanya dalam kaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan berkebudayaan. Bahasa memang memiliki sistem dan struktur serta bentuk dan makna pada tataran langue, tetapi bahasa juga sebagai perilaku nyata kebahasaan perorangan dalam konteks sosial-budaya pada tataran parole (Saussure, 1988). Sejalan dengan pemikiran Saussure, Chomsky (1965, 1968) berpandangan bahwa penampilan perilaku verbal (performance) berpangkal pada kaidah-kaidah bahasa dan transformasinya (competence). Melalui parole atau performance itulah sesungguhnya bahasa dapat dikenali tidak hanya sistem dan strukturnya; bahkan jauh lebih luas dan lebih dalam dari itu, melalui parole atau performance juga dapat disimak, dikaji, dan didalami kandungan dan muatan makna sosial-budaya pemilik bahasa itu, sejarah dan perkembangan bahasa dan pemakainya, dan perubahan dalam fungsinya sebagai wahana kebudayaan dan peradaban manusia.

Berpijak dari kerangka pemikiran di atas dan sejalan dengan pemikiran Von Humbold (dalam Bagus, 1995: 4—5; Alisjahbana, 1977: 11) bahasa (Indonesia)

(3)

seyogyanya tidaklah hanya dipandang dan diposisikan sebagai ergon „alat (komunikasi)‟, product „produk (alat ucap dan budaya)‟, dan activity „aktivitas (berbahasa)‟ semata, melainkan juga sebagai energia „tenaga, daya, energi, dan kekuatan‟. Bahasa (Indonesia) adalah satu tenaga budi manusia (Indonesia) yang terus-menerus menjalankan pengaruhnya atas pembentukan pikiran dan kebudayaan (Indonesia).

Merunut kembali peristiwa bersejarah delapan puluh tahun yang lalu, usia yang masih relatif muda sebagai sebuah bahasa modern, bahasa Indonesia pada saat itu secara simbolis sudah merupakan kekuatan perekat persatuan bangsa Indonesia.

Bahasa Indonesia juga mampu sebagai kekuatan sebagai identitas atau jati diri yang membedakan manusia dan masyarakat Indonesia dengan manusia dan masyarakat yang bukan Indonesia.

Selama delapan puluh tahun, tidak dapat dipungkiri manusia dan masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan-perubahan. Terjadinya perubahan peradaban agraris ke peradaban industri yang bercirikan ekonomi, ilmu pengetahun, dan teknologi menguji kekuatan bahasa Indonesia dalam mengikuti arus perubahan peradaban. Sampai sekarang bahasa Indonesia menunjukkan kemampuannya mengikuti berbagai perubahan peradaban itu. Bahasa Indonesia dapat diandalkan sebagai bahasa modern. Bahasa Indonesia tetap menjadi pilihan utama manusia dan masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan pikiran-pikiran yang mendukung peradaaban industri.

Sebagai energi, bahasa Indonesia yang telah menyatu dengan jiwa-raga manusia Indonesia itu digunakan dalam pelbagai aspek kehidupan modern, khususnya dalam

(4)

memasuki dan membangun budaya industri yang bertopang pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelbagai konsep iptek dalam setiap jenis dan jenjang diungkapkan secara tertulis dn lisan dalam bahasa Indonesia. Singkatnya, melalui bahasa Indonesia para pakar dalam pelbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengabstraksikan hasil penelitian dan penalaran ilmiahnya. Demikian pula halnya dengan aneka konsep pembangunan mutakhir dapat dituangkan dan diungkapkan dengan bahasa Indonesia, baik tulis maupun lisan, sehingga dapat dipahamai dan dilaksanakan idenya. Kenyataan ini tentulah disebabkan oleh bahasa Indonesia yang telah menyatu dengan dan dalam diri manusia Indonesia, sudah menjadi energi manusia Indonesia dan identitas bangsa Indonesia.

3. Potensi dan Prospek Perkembangan Bahasa Indonesia

Potensi adalah kemampuan (kekuatan, kesanggupan, atau daya) yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan, sedangkan prospek adalah sebuah kemungkinan atau harapan untuk mencapai sesuatu. Potensi apakah yang dimiliki bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia dapat diandalkan sebagai salah satu kekuatan bangsa untuk menghadapai berbagai perubahan dan persaingan global?

Bagaimanakah prospek bahasa Indonesia di tengah-tengah persaingan berbagai bahasa yang sudah lebih dahulu menguasai jaringan komunikasi global? Dua persoalan ini tampaknya menarik diperbincangkan.

Potensi bahasa dapat dilihat dari dua segi: potensi internal dan potensi eksternal.

Potensi internal bahasa Indonesia menyangkut berbagai aspek-dalam bahasa yang memungkinkan bahasa Indonesia menjadi pilihan utama di Indonesia sebagai bahasa

(5)

persatuan dan bahasa negara dan memungkinkan bahasa Indonesia bisa mengikuti perkembangan peradaban industri. Potensi eksternal bahasa Indonesia menyangkut berbagai aspek-luar bahasa yang memberikan sokongan sehingga bahasa Indonesia tidak terpinggirkan akibat pengaruh bahasa-bahasa modern yang menguasai peradaban global seperti bahasa Jerman, Prancis, Spanyol, Portugis, dan Inggris, melainkan tetap memiliki peluang untuk berkembang sebagai salah satu bahasa modern.

Sejak 1915 Ki Hadjar Dewantara (dalam Kridalaksana, 1995: 8) sudah mengusulkan supaya bahasa Melayu (Indonesia), dan bukan bahasa Jawa yang lebih banyak penuturnya, dijadikan bahasa perhubungan di antara suku-suku bangsa yang majemuk di negeri ini. Alasan yang dijadilam pertimbangan utama ketika itu adalah karena sifat “kesederhanaan”-nya. Rupanya alasan kepraktisan inilah yang juga melatari penerimaam bahasa itu dalam Kongres Pemuda 1928 menjadi bahasa persatuan Indonesia. Aspek internal yang dikemuakakan Ki Hadjar Dewantara kala itu tampaknya terkait dengan kompleksitas sifat bahasa Jawa yang mengenal sistem tingkatan bahasa. Karena mendesaknya kebutuhan alat komunikasi praktis sebagai alat perjuangan kala itu, sifat kesederhanaan ini menjadi pertimbangan dasar penetapannya sebagai bahasa persatuan. Dalam perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya sifat kesederhanaan ini saja tidaklah cukup karena sebuah bahasa modern hendaknya juga memiliki kemampuan untuk mewahanai berbagai konsep dan pemikiran global.

Selain sifat kesederhanaan di atas, potensi internal bahasa Indonesia yang juga dapat diandalkan sehingga bahasa Indonesia mampu berkembang menjadi salah satu

(6)

bahasa modern adalah sifat keterbukaan, kesederhanaan dan keteraturan struktur dan sistemnya, serta kefleksibelannya. Dalam tataran tata bunyi dan tata tulis, bahasa Indonesia secara terbuka telah menerima sejumlah (bunyi/huruf) konsonan baru seperti sy, kh, v, f, dan z. Bahkan, gugus konsonan KKVK seperti dalam kata struktur, praktek, dan traktir serta KKKVK seperti dalam kata konstruksi dan instruksi yang pada mulanya dianggap tidak biasa menjadi biasa saja sekarang.

Keterbukaan dalam hal pengembangan kosakata dan istilah, sejak awal perkembangannya, bahasa Melayu (Indonesia) sudah terbiasa menerima kosakata atau istilah dari bahasa lain. Banyak kosakata yang diterima dari bahasa Sanskerta dan bahasa Arab, misalnya, kini tidak terasa lagi sebagai kosakata atau istilah yang asing. Dalam perkembangan peradaban industri ada ribuan kosakata/istilah yang diterima dari bahasa Inggris. Biasa saja di telinga dan lidah orang Indonesia kata-kata seperti frekuensi, revolusi, industri, inovasi, mesin, operator, motor, radiator, komputer, suskses, dan sistem. Semua kosakata/istilah yang diterima dalam bahasa Indonesia telah mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Selain melalui proses penyerapan dan adoposi seperti contoh-contoh di atas, bahasa Indonesia juga memiliki potensi internal untuk memadankan beberapa peristilah seperti tenaga kuda

= horse power, kapal uap = steamship, pelabuhan udara/bandara = air port, sumber daya terbarui = renewable resource, pembangunan berkelanjutan = sustainable development, dampak berbalik = reversible impact, dan masih banyak yang lain.

Kalau dikatakan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang miskin istilah, terutama yang berhubungan dengan bidang ilmu dan teknologi, adalah sesuatu yang wajar karena bahasa Indonesia belum mempunyai sejarah perkembangan yang panjang jika

(7)

dibandingkan dengan bahasa-bahasa modern lainnya seperti bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Portugis, dan Spanyol. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memiliki potensi internal untuk berkembang sebagai bahasa modern.

Kesederhanaan dan keteraturan struktur dan sistem bahasa memudahkan para penutur dan pembelajar memilih dan memprediksi struktur dan sistem bahasa itu.

Struktur dan sistem bahasa yang sederhana apabila kaidah-kaidah terbatas jumlahnya, sedangkan struktur dan sistem bahasa yang teratur apabila kaidah- kaidahnya mempunyai jabaran-jabaran yang mudah diramalkan (Kridalaksana, 1995:

12). Apakah struktur dan sistem bahasa Indonesia mengandung kaidah-kaidah yang sederhana dan teratur?

Pada tataran tata aksara/ejaan dan tata bunyi, bahasa Indonesia, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris, memiliki kesederhanaan dan ketaruturan sistem. Sebagai ilustrasi, di dalam bahasa Inggris ada dua belas vokal (Jones, 1983:

64—91), sedangkan di dalam bahasa Indonesia hanya ada enam vokal; di dalam bahasa Inggris ada dua puluh satu diftong (Jones, 1972: 100—125), sedangkan di dalam bahasa Indonesia hanya ada tiga diftong; di dalam bahasa Inggris aksara a memiliki beberapa cara pengucapan seperti /æ/: bag „tas‟, /a/: bah „ah, cis‟, /e/: bait

„umpan‟, /ei/: baker „tukang roti‟, dan /o/: ball „bola‟, sedangkan di dalam bahasa Indonesia aksara a hanya diucapkan /a/: bagi, bahasa, bait, bak, dan balsem. Pada tataran sintaksis, khususnya pada sistem kala dan konyugasi, bahasa Indonesia relatif lebih sederhana jika dibandingkan dengan bahasa Inggris. Memang pada tataran bentuk kata, bahasa Indonesia tidak hanya membingungkan pembelajar asing, bagi penutur bahasa Indonesia sendiri pun, tataran ini dianggap bagian yang krusial.

(8)

Namun, jika dicermati tahapan proses pembentukannya dan dikaitkan dengan dunia nyata sebagai referen kata-kata, kompleksitas pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dapat dipahami. Sebagai ilustrasi, mengapa kata duduk memiliki kata bentukan mendudukkan dan menduduki, sedangkan kata berangkat hanya memiliki kata bentukan memberangkatkan dan tidak berterima *memberangkati. Fenomena seperti ini dapat dipahami karena bentuk menduduki secara inheren memang menghendaki kehadiran kata benda lokatif sebagai objek, sedangkan kata

*memberangkati dalam dunia nyata memang tidak menghendaki kata benda lokatif sebagai objek. Kompleksitas tata bentuk kata di dalam bahasa Indonesia yang mengakibatkan jabaran-jabarannya menjadi sulit diprediksi dapat diatasi dengan pandangan bahwa setiap kata (dasar atau turunan) masing-masing memiliki konteks dan cara pemakaiannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, kompleksitas struktur dan sistem tata bentuk kata dalam bahasa Indonesia dapat dihindari.

Fenomena yang dapat diangkat sebagai bukti kefleksibelan bahasa Indonesia adalah mudahnya kosakata serapan dikenai proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, bahkan kata serapan itu dapat dikembangkan menjadi beberapa kata bentukan baru. Sebagai contoh, kata sukses di dalam bahasa Inggris hanya dikategorikan sebagai kata benda, sedangkan di dalam bahasa Indonesia kata itu dapat berkategori kata benda seperti di dalam klausa novel baru itu meraih sukses yang luar biasa dan dapat pula berkategori sebagai kata sifat seperti di dalam klausa keluarga Nasution sangat sukses di dalam hidupnya. Bahkan, kata itu, tanpa mengalami hambatan, dapat dibentuk menjadi kata-kata baru seperti menyukseskan (kata kerja aktif transitif), kesuksesan (kata benda abstrak), penyuksesan (kata benda

(9)

proses), dan penyukses (kata benda orang) yang tidak mudah mencari padanannya di dalam bahasa sumbernya, bahasa Inggris.

Potensi internal seperti yang dipaparkan di atas, tanpa sokongan potensi eksternal, tidak akan dapat bertahan terhadap goncangan-goncangan yang ditimbulkan oleh globalisasi dan perubahan-perubahan kini dan pada masa depan.

Potensi eksternal yang dapat diidentikkan dengan pembinaan bahasa dan pembinaan pemakai bahasa, secara sadar harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan.

Penerimaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di dalam Kongres Pemuda 1928 tidak semata-mata karena pertimbangan kesederhanaan (potensi internal) bahasa Melayu (Indonesia), tetapi juga merupakan keputusan politik. Aspek eksternal ini justru menjadi tumpuan kuat karena ikrar itu masih dihormati dan masih sangat relevan sampai sekarang. Keputusan politik ini berlanjut pada Kongres Bahasa Indonesia I di Solo 1938. Di dalam kongres itu tidak dibahas masalah- masalah teknis kebahasaan yang bersifat internal, tetapi masalah-masalah makrokebahasaan (eksternal) untuk memperluas dan mengukuhkan penggunaan bahasa Indonesia (Kridalaksana, 1995: 9).

Kedatangan Jepang pada tahun 1942 yang melarang penggunaan bahasa Belanda di Indonesia memperluas penggunaan bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan, termasuk dalam dunia pengajaran. Perluasan penggunaan bahasa Indonesia ketika itu bukan karena faktor internal bahasa, tetapi karena faktor ekternal yang berupa keputusan politik pemerintah Jepang.

(10)

Sehari setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia menjadi semakin kokoh kedudukannya karena bahasa Indonesia memiliki legitimasi kuat dengan tercantumnya di dalam Bab XV, Pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi

“Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Keputusan politik pada aspek eksternal bahasa ini memberi dampak luas bahwa bahasa Indonesia mempunyai kedudukan dan fungsi penting di dalam kehidupan bernegara.

Merosotnya penggunaan bahasa Indonesia karena maraknya penggunaan bahasa asing secara kurang patut sekitar 1960-an diatasi oleh pemerintah kala itu dengan meresmikan pemakaian Ejaan yang Disempurnakan pada tahun 1972. Walaupun ejaan itu sendiri merupakan tindakan pada aspek internal bahasa yang hanya menyangkut komponen aturan penulisan, Keputusan Presiden merupakan tindakan politik yang bersifat eksternal bahasa dan memberi dampak luas terhadap krisis penggunaan bahasa Indonesia kala itu sehingga orang Indonesia digugah untuk mengunggulkan kebudayaannya sendiri, termasuk bahasanya.

Era tahun 1980—1990-an pemakaian bahasa Indonesia mengalami krisis lagi:

penggunaan bahasa asing di ruang publik yang tidak layak hampir tidak terkendali.

Sampai-sampai Ibu Negara ketika itu juga melontarlan kekhawatirannya terhadap kondisi kebahasaan ketika itu. Presiden pun memerintahkan Menteri Pendidikan Kebudayaan kala itu untuk menanggulanginya. Niat politik itu pun diresmikan melalui program Gerakan Disiplin Nasional pada tahun 1995. Sebagai wujud konkret pelaksanaan Gerakan Disiplin Nasional, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (1995) mengeluarkan buku pedoman yang berjudul Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing. DPRD di sejumlah daerah pun, termasuk Bali, telah

(11)

mengesahkan sebuah perda yang mendukung pelaksanaan Gerakan Disiplin Nasional. Melalui gerakan ini perhatian publik terhadap pembinaan bahasa Indonesia meningkat lagi.

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa potensi internal dan eksternal bahasa tetap menjadi pijakan sebuah bahasa untuk berkembang dan meluas pemakaiannya. Sebuah bahasa meluas pemakaiannya memang tidak ditentukan oleh tata bunyi, tata bentuk kata, tata bentuk kalimat, dan tata wacana. Bahasa yang terbuka, sederhana dan teratur, serta fleksibel dengan sokongan aspek eksternal yang memadai akan memudahkan sebuah bahasa berkembang dan tetap bisa bertahan di tengah-tengah persaingan dan pengaruh global yang kuat.

Dengan potensi internal dan eksternal seperti yang telah diuraikan di atas, selanjutnya mau dikemanakan bahasa Indonesia? Prospek apa yang dimiliki bahasa Indonesia? Sebelumnya pernah muncul wacana, mungkinkah bahasa Indonesia dijadikan bahasa pengantar resmi negara-negara yang tergabung dalam Asean? Suatu harapan yang lebih bombastis lagi, mungkinkah bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa internasional?

Harapan-harapan seperti di atas wajar saja muncul bagi sebagian orang yang menganut paham optimisme terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Perlu disadari bahwa sebuah bahasa yang muncul sebagai bahasa internasional mungkin tidak pernah direncanakan secara sadar oleh penuturnya. Sebuah bahasa yang diminati secara internasional dari berbagai belahan penduduk dunia tentulah bahasa yang mewahanai peradaban yang digandrungi oleh sebagian besar penduduk bumi ini. Ambillah bahasa Inggris sebagai suatu ilustrasi. Bahasa ini tidak hanya

(12)

mewahanai berbagai peradaban global yang mutakhir, sejarah panjang bangsa pendukung bahasa ini juga menjadi faktor penentu diterimanya bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam pergaulan internasional.

Apakah bahasa Indonesia punya kemampuan dan sejarah panjang seperti bahasa Inggris. Kita harus menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang masih relatif berusia muda. Jangankan menjadi salah satu bahasa internasional, menjadi bahasa pengantar di lingkungan negara-negara Asean saja, bahasa Indonesia menghadapi tantangan berat. Oleh karena itu, generasi pelanjut bangsa ini hendaknya berkonsentrasi dan ikut aktif dalam penguasaan dan pengembangan peradaban global sehingga bahasa Indonesia mendapat peluang sebagai wahana peradaban global. Dengan kondisi seperti itu, pendukung bahasa Indoenesia hendaknya tetap mengupayakan bagaimana cara menjaga, membina, dan mengembangkan bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia memiliki daya tarik tidak saja bagi bangsa ini, tetapi juga bangsa-bangsa lain.

Terlepas dari kondisi seperti diuraikan di atas, ada beberapa fenomena menarik yang dapat dijadikan indikator meluasnya perkembangan bahasa Indonesia:

munculnya pusat-pusat studi bahasa Indonesia di luar negeri, meningkatnya minat orang asing belajar bahasa Indonesia, dan digandrunginya lagu-lagu Indonesia di beberapa negara.

Sejak dasawarsa 1970-an bahasa Indonesia sudah dipelajari di bebabagai perguruan tinggi luar negeri seperti di Jepang, Korea, RRC, Australia, Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Norwegia, dan Belanda. Bahkan, di Australia bahasa Indonesia dipelajari juga di tingkat pendidikan menengah. (Surajaya, 1995: 11).

(13)

Menurut penuturan seorang guru bahasa Indonesia di Jepang, Yumiko, bahasa Indonesia mulai tahun 2008 ini juga mulai dipelajari di tingkat pendidikan menengah. Februari 2009 para pelajar itu akan datang ke Indonesia, Bali, untuk mempraktekkan penguasaan bahasa Indonesianya dan memperdalam pelajaran bahasa Indonesianya.

Kendatipun tidak didukung angka-angka kuantitatif yang akurat, menurut pengamatan saya, minat orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. BIPA Fakultas Sastra, Universitas Udayana yang didirikan sejak tahun 1998 sampai sekarang tidak pernah sepi peminat. Belum terhitung lagi beberapa universitas lain seperti UI, Universitas Gadjahmada, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Satya Wacana yang jauh lebih dulu membuka program kursus bahasa Indoenesia untuk orang asing. Beberapa tempat kursus bahasa Indonesia perorangan untuk orang asing juga marak di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Medan, dan Denpasar. Kalau ditanyakan mengapa mereka tertarik belajar bahasa Indonesia, sebagian besar dari mereka mengemukakan alasan karena Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam. Kalau bahasa Inggris diminati orang karena sebagai wahana iptek, mungkinkah pada masa mendatang bahasa Indonesia akan semakin banyak peminatnya karena alasan kebudayaan yang diwahanainya?

Di bidang kesenian juga terjadi fenomena yang cukup menarik. Digandrunginya lagu dangdut di Amerika dan Jepang akan meningkatkan minat orang mempelajari bahasa Indonesia dan dengan sendirinya dapat mengangkat derajat bahasa Indionesia di mata orang asing. Populernya grup musik negara tetangga Malaysia, Ami Search,

(14)

sekitar tahun 1990-an, penyanyi solo Maribeth dari Filipina sekitar tahun 1995-an, dan penyanyi solo Siti Nurhalizah dari Malaysia sekitar tahun 2000-an dengan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia di Indonesia menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi para seniman luar.

Digemarinya beberapa penyanyi Indonesia di negara tetangga Malaysia dan Singapura merupakan wahana bagi bahasa Indonesia untuk meningkatkan popularitasnya di luar negeri. Munculnya isu pembatasan peredaran lagu-lagu Indonesia di Malaysia tidak lebih sebagai kekhawatiran yang berlebihan dari pemerintah di Malaysia terhadap dominannya pengaruh budaya dan bahasa Indonesia di Malaysia.

4. Sikap Bahasa

Sikap bahasa adalah sikap mental seseorang dalam memilih dan memakai bahasa. Sikap itu dapat diamati dari tingkah laku seseorang di dalam berbahasa.

Bertolak dari prinsip ini, pada dasarnya seseorang bebas memilih bahasa dan bebas pula menggunakan bahasa itu karena kebebasan itu merupakan bagian tertentu dari hak asasi manusia. Akan tetapi, apabila seseorang atau kelompok masyarakat merupakan bagian dari suatu kelompok yang lebih besar, kebebasan murni semacam itu tidaklah sepenuhnya dapat terwujud. Sejarah, keputusan politik, norma-norma hukum, dan pranata sosial akan membatasi seseorang di dalam memilih dan menggunakan bahasa.

Bagi bangsa Indonesia, tanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara menimbulkan rasa tanggung jawab untuk memelihara dan membina

(15)

bahasa Indonesia. Tanggung jawab ini merupakan cerminan apresiasi positif terhadap nilai-nilai Sumpah Pemuda 1928 untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan sebagai cerminan ketaatan terhadap norma-norma hukum, UUD 1945. Dalam konteks kehidupan berbahasa, tanggung jawab itu hendaknya dapat diimplementasikan dalam sikap bahasa yang positif.

Sikap positif terhadap bahasa Indonesia, dengan mengacu pandangan ahli bahasa Garvin dan Mathiot (dalam Adiwimarta dkk., 1984: 74), berhubungan dengan sikap kesetiaan, kebanggaan, dan kesadaran akan norma bahasa. Kesetiaan bahasa mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan bahasanya secara wajar dari pengaruh bahasa lain. Kebanggaan bahasa mendorong suatu masyarakat bahasa mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakatnya. Kesadaran adanya norma bahasa mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun. Faktor ini sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku kegiatan berbahasa. Apakah sikap positif bahasa ini sudah tumbuh subur pada penutur bahasa Indonesia? Cobalah kita amati dan cermati fenomena bagaimana ketiga sikap ini diimplementasikan.

Kalau kita mencoba menyimak kesetiaan penutur bahasa Indonesia terhadap bahasanya, kita cukup berbangga hati karena hampir berbagai interaksi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat diwahanai dengan bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia tetap menjadi pilihan utama bagi penuturnya baik sebagai sarana komunikasi lembaga ekskutif dan legislatif dalam mengelola negara, sebagai sarana komunikasi pendidikan (dari TK sampai perguruan tinggi), sebagai sarana penyebaran informasi melalui media massa (cetak atau elektronik), maupun sebagai

(16)

sarana komunikasi dalam tata niaga. Karena begitu menyatunya bahasa Indonesia dengan kehidupan penuturnya, bahasa Indonesia bahkan dianggap sebagai ancaman terhadap keberadaan beberapa bahasa daerah di Indonesia.

Apakah penutur bahasa Indonesia benar-benar percaya diri atau merasa bangga ketika menggunakan bahasa Indonesia? Munculnya rasa percaya diri dan bangga ketika berbahasa Indonesia bersifat relatif. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang dalam kurun waktu lama meninggalkan kampung halaman dan pada suatu saat tertentu kembali ke kampung halamannya dan menggunakan bahasa Indonesia, rasa percaya diri dan bangga pada penutur seperti ini pastilah muncul. Bagaimana kalau penutur bahasa Indonesia bersanding dengan penutur bahasa asing modern, masihkan rasa percaya diri dan bangga itu muncul? Jawabannya berpulang pada pribadi masing- masing.

Fenomena lain yang patut dicermati berkenaan dengan sikap kebanggaan ini adalah maraknya pemakaian kata-kata (bahasa) asing pada pemberian nama pemukiman seperti Hayam Wuruk Residence, Green Mention, dan Season City serta pemberian nama mata acara di media televisi seperti breaking news, news flash, dan top nine news. Bukankah sikap semacam ini sangat ironis dengan beberapa fenomena yang menggambarkan meningkatnya minat orang asing mempelajari bahasa Indonesia?

Tidak mudah memang menumbuhkan sikap kesadaran akan norma bahasa karena norma bahasa itu begitu kompkelsnya: mulai dari tata bunyi (bahasa lisan), tata tulis/ejaan (bahasa tulis), tata bentuk kata, tata kalimat, sampai tata wacana.

Membiasakan diri untuk selalu mengingat bahwa bahasa itu memiliki norma-norma

(17)

yang harus ditaati dan apabila dilanggar dapat menimbulkan gangguan komunikasi adalah sikap yang bijaksana untuk menumbuhkan sikap kesadaran akan norma bahasa. Keluhan karena buruknya kualitas pemakaian bahasa Indonesia di kalangan pelajar dan mahasiswa, kalau keluhan ini benar dan berdasar, adalah fenomena kurangnya kesadaran akan norma bahasa yang berlaku.

Upaya menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia adalah tugas tanpa akhir. Selain karena kondsisi nyata sikap itu belum tumbuh secara baik, lahirnya generasi baru di Indonesia juga menuntut pembinaan sikap itu secara terus-menerus tanpa henti. Belum tumbuhnya secara ideal sikap positf terhadap bahasa Indonesia biasanya dilatari oleh berbagai faktor (negatif) yang saling berkaitan. Faktor-faktor itu antara lain faktor ketidaktahuan, faktor pendidikan yang salah, faktor kekeraskepalaan, faktor ketidakpedulian, faktor keteladanan yang salah, dan faktor ketidaksadaran nasional (Adul, 1986: 46—51). Oleh karena itu, upaya yang harus terus-menerus dilakukan adalah meminimalkan faktor-faktor negatif itu terjadi.

5. Penutup

Bahasa Indonesia bukanlah sekadar alat komunikasi di Indonesia. Bahasa Indonesia telah mengambil peran melampau fungsi-fungsi pragmatisnya. Bahasa Indonesia telah mampu menjadi salah satu kekuatan bangsa dan sekaligus sebagai salah satu identitas bangsa.

Di dalam perkembangannya, baik karena potensi internalnya maupun karena potensi eksternalnya, bahasa Indonesia telah menunjukkan kemampuannya sebagai bahasa modern. Oleh karena itu, semua penutur bahasa Indonesia seyogyanya

(18)

memberikan apresiasi yang positif terhadap keberadaan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia adalah sebuah tuntutan yang wajar.

Bahan Bacaan

Abdul, Asfandi. 1986. Sikap Bahasa: Perilaku Manusia Indonesia dalam Berbahasa.

Jakarta: Penerbit Tunas Bangsa.

Adiwimarta, Sri Sukesi dkk. 1984. Pembinaan Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Pembinaan dn Pengembangan Bahasa, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Alisjahbana, S. Takdir. 1977. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Malaysia sebagai Bahasa Modern. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Bagus, I Gusti Ngurah dan Aron Meko Mbete. 1995. “Sejarah Bahasa Indonesia:

Prospektif Sosiolinguistik”. Makalah seminar nasional dengan tema “Sejarah Bahasa Indonesia dalam Perjalanan Bangsa”. Fakultas Sastra dan Program Magister (S-2) Linguistik, Universitas Udayana. Denpasar.

Bakry, Oemar. 1981. Bunga Rampai Sumpah Pemuda: Satu Bahasa, Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Mutiara.

Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structure. The Hague: Mouton.

Chomsky, Noam. 1965. Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge, Mass: MIT Press.

Jones, Daniel. 1983. An Outline of English Phonetics. Cambridge: University Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1995. “Pendayagunaan Potensi Intern dan Ekstern dalam Pengembangan Bahasa Indonesia dan Peningkatan Budaya Bangsa”. Makalah seminar nasional dengan tema “Sejarah Bahasa Indonesia dalam Perjalanan Bangsa”. Fakultas Sastra dan Program Magister (S-2) Linguistik, Universitas Udayana. Denpasar.

(19)

Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gdjah Mada University Press.

Surajaya, I Ketut. 1995. “Potensi dan Prospek Perkembangan Bahasa Indonesia Memasuki Era Revolusi Informasi dan Globalisasi”. Makalah seminar nasional dengan tema “Sejarah Bahasa Indonesia dalam Perjalanan Bangsa”.

Fakultas Sastra dan Program Magister (S-2) Linguistik, Universitas Udayana.

Denpasar.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing.

Jakarta: Balai Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

Bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang sudah diperkaya berbagai unsur bahasa daerah dan bahasa asing sehingga menjadi suatu bahasa baru, bahasa

Sekolah Dasar terhadap Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia (Studi Kasus Penggunaan Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia pada Anak-anak Keturunan Aceh di Kota Bandung)" ini

Beberapa potensi yang dimiliki bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional antara lain: bahasa Indonesia memiliki kesederhanaan struktur; bahasa

Dengan pembinaan bahasa Indonesia yang ditunjang oleh sikap positif para pemakainya diharapkan bahasa Indonesia akan lebih berbobot dan berwibawa, sebab aspek-aspek kebahasaan

Indonesia tampaknya dapat menyelesaikan masalah pemilihan bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi kenegaraannya dengan baik, dengan memilih satu bahasa,

baru yang berasal dari luar, belum adanya padanan kata terhadap hal atau benda tersebut di dalam bahasa Indonesia, dan sikap masyarakat pengguna bahasa yang pro

Jadi sikap bahasa yang harus dilakukan oleh masyarakat bahasa Indonesia terutama generasi milenial adalah meningkatkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia

Mengingat bahasa Indonesia juga merupakan bahasa asing bagi orang Jepang, sehingga kosakata yang berkaitan erat dengan budaya Indonesia atau yang menyangkut jati