• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Simbol Ingkung dan Sego Wuduk dalam Tradisi Selamatan Kematian di Kecamatan Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara

N/A
N/A
lantai8 perpusnas

Academic year: 2023

Membagikan "Makna Simbol Ingkung dan Sego Wuduk dalam Tradisi Selamatan Kematian di Kecamatan Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

Meski demikian, masyarakat Desa Karang Pulau di Putri Hijau tetap menjaga dan melestarikan tradisi ingkung dan sego wuduk sebagai sajian utama pada acara perayaan kematian (tahlilan). 97 | J u r n al M a n t h i q . Penelitian ini mengangkat tema “Makna Simbol Ingkung dan Sego Wuduk Dalam Tradisi Mengucapkan Kematian Di Kecamatan Putri Hijau Kabupaten Bengkulu Utara”. Apa makna simbol ingkung dan sego wuduk dalam tradisi perayaan kematian (tahlilan) di desa Karang Pulau? B).

Bagaimana nuansa teologis simbol ingkung dan sego wuduk dalam tradisi penyelamatan maut (tahlilan)? Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a). Mendeskripsikan makna simbol ingkung dan sego wuduk dalam tradisi penyelamatan kematian (tahlilan) di desa Karang Pulau; C). Objek penelitian disini adalah Ingkung dan sego wuduk dalam tradisi perayaan kematian (tahlilan) yang merupakan simbol yang mempunyai makna.

Simbol penyajian ingkung dan sego wuduk masih ada, menandakan bahwa hidangan tersebut diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Ingkung dan sego wuduk disajikan kepada masyarakat setelah memanjatkan doa berjamaah (Yasin Tahlil) untuk orang yang sudah meninggal. Inilah peninjauan langsung keselamatan kematian dengan “ingkung dan sego wuduk” yang berlaku di desa Karang Pulau, kecamatan Putri Hijau.

Kapan penyelamatan maut dengan ingkung dan sego wuduk muncul di desa Karang Pulau? Nur Hidayat mengatakan, makna filosofis ingkung dan sego wuduk artinya orang yang kembali kepada Allah harus suci. Usai acara perayaan kematian (tahlilan), para undangan diberi makanan dan diberi katan untuk membawa pulang Ingkung dan sego wuduk.

Dan yang tak terlupakan adalah perayaan kematian ketujuh, selalu ada seporsi makanan ingkung dan sego wuduk. Masyarakat mempercayai hal tersebut dan menjadi simbol keselamatan di desa Karang Pulau yaitu ingkung dan sego wuduk sebagai simbol penyucian masakan bagi orang yang sudah meninggal. Dalam ingkung dan sego wuduk ini masyarakat meyakininya merupakan simbol yang sulit dibuktikan kebenarannya dengan akal.

Berikut peta konsep peran masyarakat dalam simbol ingkung dan sego wuduk dalam tradisi penyelamatan kematian (tahlilan) perspektif Roland Barthes. Ingkung dan sego wuduk berlangsung pada saat selamatan kematian (tahlilan) ketika masyarakat mendoakan orang yang meninggal dengan penuh harapan. Dengan demikian, ideologi yang berdasarkan simbol ingkung dan sego wuduk pada hakikatnya adalah sebuah sajian.

Hal ini dikarenakan adanya alasan dan kepentingan tertentu yang melatarbelakangi simbol ingkung dan sego wuduk dalam penyelamatan kematian (tahlilan). Oleh karena itu, diperlukan analisis terhadap teori semiologi Roland Barthes untuk memahami simbol ingkung dan sego wuduk dalam tradisi tersebut. keselamatan kematian (tahlilan).

Analisis Pertama

Kelompok yang lebih tua dapat dikatakan sebagai masyarakat Islam Jawa tradisional, sedangkan kelompok yang lebih muda dapat dikatakan sebagai masyarakat Islam Jawa modern yaitu anggota Muhammadiyah. Masyarakat yang mempercayai simbol ini sebagian besar adalah masyarakat Islam tradisional Jawa, yaitu kelompok tua yang menganut ideologi Ahlussunah wal Jamaah yaitu jemaah Nahdlatul Ulama. Sementara itu, masyarakat Islam Jawa modern khususnya generasi muda kurang begitu percaya dengan simbol ingkung dan sego wuduk.

Namun masyarakat modern yang berpikir rasional tetap menerapkan dan mempertahankan tradisi tersebut karena alasan dan kepentingan tertentu. Mereka beranggapan simbol ini memiliki sisi positif karena menjaga eksistensi ingkung dan sego wuduk, baik bentuk, tekstur, dan warnanya. Misalnya saja nasi keramat (sego), wuduk, yang seluruhnya terbuat dari bahan-bahan tanpa bahan pengawet, dan ingkung yang terbuat dari ayam kampung, dimasak dengan santan, garam, dan tanpa bahan pengawet.

Petanda merupakan konsep ungkapan atau pendapat banyak orang terhadap ingkung dan sego wuduk sebagai masakan tradisional yang sudah ada sejak Islam pertama kali masuk ke Pulau Jawa. Hal ini dikarenakan sebagian besar masakan tradisional tidak menggunakan bahan pengawet dan bahan kimia sehingga sehat untuk dikonsumsi dan masakan tersebut tidak dapat ditemui sehari-hari untuk dikonsumsi. Makanan ingkung dan sego wuduk hanya bisa ditemui pada perayaan kematian atau acara tahlilan, keduanya memiliki cita rasa yang berbeda.

Analisis pertama dikenal dengan fase makna orde pertama atau sistem semiologis orde pertama, dimana tanda disebut dengan makna denotasi. Makna denotasi merupakan makna pertama suatu tanda yang menjelaskan makna secara deskriptif dan harafiah dengan mengkaji tanda tersebut secara linguistik dan mampu ditangkap oleh indra manusia. Makna denotasi yang ditangkap dari ingkung dan sego wuduk adalah ingkung dan sego wuduk merupakan masakan tradisional yang terbuat dari bahan makanan tanpa bahan pengawet.

Makna konotatifnya banyak sekali, namun hanya satu makna konotatif saja yang paling kuat dan akan menimbulkan asumsi atau ideologi.

Analisis Kedua

Setelah Islam masuk, ingkung dan sego wuduk digunakan sebagai sedekah, khususnya dalam ucapan selamat kematian, dan menjadi ciri khusus ucapan selamat kematian. Karena cara pembuatannya yang mudah, ingkung dan sego wuduk sangat bagus digunakan untuk sedekah kematian (tahlilan). Makna ingkung dan sego wuduk di sini terletak pada ritual penyelamatan dari kematian.

Masyarakat yang memanfaatkan ingkung dan sego wuduk sebagai sedekah selamatan kematian (tahlilan) merasa tanpa ingkung dan sego wuduk maka doa-doa yang dipanjatkan terasa ada yang kurang. Jadi ketika seseorang mendoakan orang yang sudah meninggal, maka harus ada sedekah yang wajib yaitu ingkung dan sego wuduk. Hal inilah yang membuat masyarakat kurang berminat untuk melakukan ingkung dan berwudhu kecuali untuk merayakan kematian.

Padahal, ingkung dan sego wuduk merupakan masakan tradisional yang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan masakan lainnya. Makna yang didapat adalah ingkung dan sego wuduk sebagai salah satu masakan tradisional yang selalu hadir dalam setiap ritual selamatan. Masyarakat yang menghadiri acara pemakaman (tahlilan) akan mendapat berkah dari ingkung dan sego wuduk yang dibawa pulang dan dimakan.

Ingkung dan sego wuduk merupakan salah satu jenis sedekah yang terdapat dalam ritual penyelamatan kematian (tahlilan) dengan harapan agar orang yang meninggal mendapat ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa agar bersih dari dosa. Bisa dikatakan hubungan hamba dengan Tuhan mirip dengan bentuk simbolis ingkung dan sego wuduk yang melambangkan kesucian hamba yang akan pulang menghadap Tuhannya. Oleh karena itu makna konotatifnya yaitu ingkung dan sego wuduk sebagai simbol hidangan bersuci bagi almarhum dan selalu hadir dalam setiap upacara perayaan kematian (tahlilan) dan sebagai sedekah dengan harapan almarhum mendapat ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Dan masyarakat yang mengikuti ritual perayaan kematian (tahlilan) mendapat berkah dari ingkung dan sego wuduk. Hanya ada satu makna konotatif yang paling kuat dan diyakini masyarakat, yaitu ingkung dan sego wuduk sebagai hidangan yang wajib ada dalam setiap ritual perayaan kematian (tahlilan). Karena ingkung dan sego wuduk sejak awal dianggap sebagai salah satu jenis sedekah yang mudah disiapkan dalam ritual penyelamatan kematian (tahlilan) secara turun temurun hingga saat ini, secara tidak langsung diyakini masyarakat sebagai hidangan penyucian umat. yang telah meninggal dan wajib dalam setiap ritual perayaan kematian (tahlilan).

Analisisa nuansa Teologi terhadap Ingkung dan Sego Wuduk

Wahai orang-orang yang beriman, berdzikir (dengan menyebut nama) Allah, berdzikir sebanyak-banyaknya (QS.Al Ahzab: 41. Arti konotasi ingkung sebagai sedekah kematian adalah sebagai upaya memberi takhalla, mendiang dimintai ampun agar bersih dari noda-noda dosa, baik dosa terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia. Jiwa yang hidup di barzas dunia tidak mampu lagi beramal shaleh sendirian, sehingga dapat menyucikan dosa-dosanya. , pihak keluarga memohon ampun dengan memberikan sedekah yang disimbolkan ingkung dan sego wuduk.

Kehadiran ingkung dan sego wuduk dalam sedekah demi keselamatan kematian adalah satu usaha untuk berfikir dan melakukan bagaimana orang ramai dapat menghadirkan diri kepada Tuhannya secara antropologi teologi.Dengan cara ini ajaran Islam yang disebarkan kepada orang ramai. . boleh diterima dan ditanam dalam tradisi mereka. Berlainan pula pada zaman dahulu, segala jenis makanan yang disedekahkan dibawa keluar untuk meminta dan menjemput doa kepada modin.Dengan lambang sego wuduk ada harapan Allah kerana itu Melalui sedekah ingkung dan sego wuduk pemberian itu. akhlak raja (berharap) kepada Allah sudi membersihkan dosa dan kesalahan si mati, jika Allah menghendaki, tidak ada makhluk yang mampu menghalang kehendak-Nya.

Jadi intipati keselamatan bukan sahaja untuk mendoakan si mati, tetapi juga pengajaran untuk keluarga yang masih hidup untuk menyucikan diri, tidak percaya kepada siapa pun kecuali Dia. Nasi wuduk itu dijanjikan oleh modin sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad dan para sahabat, ini bermakna ia selamat membina hubungan menegak dan mendatar antara Tuhan dan hamba, hamba dan hamba. Orang yang berwuduk mengaitkan diri dengan Yang Maha Esa dengan harapan dapat membersihkan dosa dan kesalahan keluarganya.

Mereka melihat alasan dan pentingnya simbol ingkung dan sego wuduk dalam perayaan kematian (tahlilan). Masyarakat desa Karang Pulau memaknai simbol ingkung dan sego wuduk sebagai simbol harapan akan kesucian dan ampunan dari Allah SWT, sehingga setiap acara perayaan tahlilan harus diadakan. Analisis Barthes terhadap simbol ingkung dan sego wuduk dalam penyelamatan kematian (tahlilan) di Desa Karang Pulau merupakan analisis denotatif pertama terhadap ingkung dan sego wuduk yang merupakan masakan tradisional berupa ayam utuh dalam 'a posisinya sebagai orang yang duduk di atas masakan tradisional dan nasi putih yang mempunyai cita rasa yang khas.

Analisis kedua dapat dikatakan secara konotatif bahwa ingkung dan sego wuduk bermakna harapan bersuci, ampunan bagi orang yang sudah meninggal sehingga wajib hadir dalam penyelamatan kematian (tahlilan). Simbol yang diyakini secara turun temurun ini menjadi ideologi bahwa ingkung dan sego wuduk merupakan hidangan pada perayaan kematian atau hidangan istimewa pada setiap acara perayaan kematian (tahlilan). Nuansa teologi ingkung dan sego wuduk adalah seseorang yang kembali kepada Allah harus suci, sebagai bekal hidup ia harus beribadah dengan aqaid yang kuat. Dimana korelasi simbol ingkung dan sego wuduk dalam nuansa teologi adalah sangat relevan. Bagi masyarakat kelas menengah, selamatan dengan menggunakan ingkung dan sego wuduk menjadi media hubungan dengan Tuhan, juga sebagai media komunikasi, silaturahmi, gotong royong dan kebersamaan.

Referensi

Dokumen terkait

10 of 1973 Gi Aaxb MwVZ University Grants Commission of Bangladesh; 25 ÒgÄywi Kwgkb Av‡`kÓ A_© University Grants Commission of Bangladesh Order, 1973