Sistem Pakar Dalam Mendiagnosis Penyakit Leishmaniasis Menerapkan Metode Case-Based Reasoning (CBR)
Asyahri Hadi Nasyuha1,*, Yohanni Syahra2, Moch. Iswan Perangin-Angin3, Dedi Rahman Habibie4, Aloysius Agus Subagyo5
1Sistem Informasi, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Teknologi Digital Indonesia, Yogyakarta, Indonesia
2Sistem Informasi, STMIK Triguna Dharma, Medan, Indonesia
3Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Samudra, Aceh, Indonesia
4Sistem Informasi, Institut Teknologi Dan Bisnis Indobaru Nasional, Batam, Indonesia
5Sistem Informasi Akuntansi, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Teknologi Digital Indonesia, Yogyakarta, Indonesia Email: 1,*[email protected], 2[email protected], 3[email protected],
4[email protected], 5[email protected] Email Penulis Korespondensi: [email protected]
Abstrak−Leishmaniasis yang ditimbulkan oleh protozoa genus Leishmania, merupakan salah satu zoonosis yang terabaikan.
Lalat pasir (nyamuk) dari genus Phlebotomus, menularkan Leishmaniasis. Leishmaniasis sudah menyerang 98 negara dan tersebar luas di daerah tropis, subtropis, dan mediterania. Karena itu terutama mempengaruhi daerah endemik di negara berkembang, yang sering memiliki populasi padat, malnutrisi, sanitasi yang buruk, dan kurangnya sumber daya masyarakat dalam pengendalian, pencegahan, dan pengobatan penyakit, leishmaniasis dianggap sebagai penyakit tropis yang terabaikan.
Leishmaniasis adalah salah satu penyakit tropis yang terabaikan, hal itu dilandaskan pada tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dan kelangkaan dana untuk penelitian guna mengembangkan metode pengendalian penyakit yang efektif. Leishmaniasis adalah kondisi yang sulit diobati karena masyarakat umum tidak mengetahuinya dengan baik. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan kajian sistem pakar diagnosis Leishmaniasis. Sistem pakar adalah program yang dapat mensimulasikan proses pemikiran seorang pakar komputer dan menyelesaikan masalah yang biasanya ditangani oleh pakar.
Pengetahuan yang disimpan dalam sistem pakar sering diperoleh dari pakar materi pelajaran manusia Dengan menggunakan bantuan sistem pakar dan perhitungan yang dilakukan dengan pendekatan Case-Based Reasoning (CBR), penelitian ini bertujuan untuk mempermudah diagnosis Leishmaniasis berdasarkan inputan yang dirasakan pasien. Pendekatan (CBR) dapat memfasilitasi diagnosis kemudian menghasilkan hasil diagnostik yang lebih tepat. Hasil pengujian dengan pendekatan Case- Based Reasoning didapatkan bahwa jenis penyakit Cutaneous Leishmaniasis memiliki nilai kemiripan tertinggi dengan nilai kemiripan sebesar 73%.
Kata Kunci: CBR; Leishmaniasis; Sistem Pakar
Abstract−Leishmaniasis caused by protozoa of the genus Leishmania, is one of the neglected zoonoses. Sand flies (mosquitoes) of the genus Phlebotomus transmit Leishmaniasis. Leishmaniasis has attacked 98 countries and is widespread in tropical, subtropical and Mediterranean regions. Because it primarily affects endemic areas in developing countries, which often have dense populations, malnutrition, poor sanitation, and a lack of human resources for disease control, prevention, and treatment, leishmaniasis is considered a neglected tropical disease. Leishmaniasis is one of the neglected tropical diseases, it is based on the low level of public awareness and scarcity of funds for research to develop effective disease control methods. Leishmaniasis is a difficult condition to treat because the general public is not well aware of it. Based on these problems, an expert system for the diagnosis of leishmaniasis was studied. An expert system is a program that can simulate the thought process of a computer expert and solve problems that are usually handled by experts. Knowledge stored in expert systems is often obtained from human subject matter experts. By using the help of expert systems and calculations carried out using the Case-Based Reasoning (CBR) approach, this study aims to facilitate the diagnosis of Leishmaniasis based on the patient's perceived input. Approach (CBR) can facilitate diagnosis then produce more precise diagnostic results. The test results with the Case-Based Reasoning approach found that the type of disease Cutaneous Leishmaniasis had the highest similarity value with a similarity value of 73%.
Keywords: CBR; Leishmaniasis; Expert System
1. PENDAHULUAN
Parasit protozoa intraseluler dari genus Leishmania menyebabkan penyakit Leishmaniasis, penyakit menular yang ditularkan melalui gigitan vektor lalat pasir[1]. Leishmaniasis adalah salah satu zoonosis yang dijangkitkan dari hewan ke makhluk lain melalui vektor (zoonosis)[2]. Leishmaniasis mempengaruhi 98 negara dan endemik di daerah tropis, subtropis, dan mediterania[3]. Leishmaniasis juga disebut sebagai "penyakit orang miskin", terkait dengan malnutrisi dan muncul di tempat dengan sanitasi dan perawatan medis yang buruk. Di daerah di mana individu atau pekerja cenderung tidur di luar, Leishmaniasis menyebar dengan cepat. Penyakit ini memiliki tingkat kematian yang tinggi dan biasanya menyerang negara-negara terbelakang, di mana terdapat banyak orang yang tinggal dalam jarak dekat dan sedikit sumber daya manusia yang tersedia untuk pengendalian, pencegahan, dan pengobatan penyakit[4].
Leishmaniasis adalah penyakit tropis terabaikan yang dibedakan dengan tingkat kesadaran masyarakat yang rendah dan kelangkaan dana untuk penelitian untuk mengembangkan metode pengendalian penyakit yang efektif[5]. Leishmaniasis tersebar di dunia oleh sejumlah spesies sand flies yang termasuk dalam genera Phlebotomus dan Lutzomyia. Menurut jenis penyakit yang memanifestasikan dirinya oleh spesies, vektor, dan reservoir, kawasan peredarannya dibagi menjadi "Dunia Baru" A.S dan "Dunia Lama" Asia, Eropa, dan Afrika[6].
Sistem pakar adalah program yang dapat mensimulasikan proses pemikiran seorang pakar komputer dan menyelesaikan masalah yang biasanya ditangani oleh pakar. Pengetahuan yang disimpan dalam sistem pakar sering diperoleh dari pakar materi pelajaran manusia[7][8]. Sebuah program komputer yang berfungsi secara teori untuk memberikan solusi spesifik, seperti yang biasanya dilakukan oleh para ahli, dapat mengambil alih tugas penting seorang ahli. Sistem pakar sering digunakan untuk saran, analisis, diagnosis, dan dukungan keputusan[9].
Sistem informasi yang berasal dari diagnosis penyakit pasien ini dapat digunakan untuk menentukan apakah pasien memiliki masalah atau tidak tanpa harus mengungkapkannya secara langsung kepada dokter spesialis.
Penulis memilih metode Case-Based Reasoning berdasarkan kesulitan yang telah diteliti karena menerapkan proses pemecahan masalah dengan menerapkan pengalaman sebelumnya[10]. Para ahli dapat memanfaatkan arsitektur penalaran berbasis kasus ini untuk membantu mereka mengenali penyakit dan menawarkan solusi untuk mengobatinya. Karena mungkin ada alternatif-alternatif yang memadai yang perlu dipilih, hal ini berarti posisi ahli tidak digantikan melainkan hanya didukung[11].
Karya berjudul “Sistem Pakar Mendiagnosis Penyakit Kucing Menggunakan Pendekatan Case-Based Reasoning” ini dilakukan oleh sejumlah peneliti, antara lain Suci Fidyaningsih dkk. Studi ini menciptakan metode ahli yang 90% akurat untuk mendiagnosis penyakit kucing yang digunakan untuk mendidik semua orang, terutama pemilik kucing yang ingin belajar tentang penyakit dan gejala kucing serta mencegah penyakit kucing[12]. “Sistem Pakar Mendiagnosis Penyakit Lambung Dengan Aplikasi Pendekatan CBR (Case-Based Reasoning) Berbasis Web”, penelitian Faza Akmal dan Sri Winiarti. Penelitian ini membuat perangkat lunak yang dapat mengidentifikasi penyakit lambung dengan menggunakan metode Case-Based Reasoning untuk menentukan kesamaan dan metodologi Certainty Factor untuk mengukur nilai kepercayaan. Perangkat lunak yang dikembangkan dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk mengedukasi masyarakat tentang masalah pencernaan manusia, termasuk gejala, penyebab, dan metode pencegahan atau pengobatannya[13]. Kajian
“Perancangan Sistem Pakar Diagnosis Penyakit Paru-Paru Menggunakan Pendekatan Case-Based Reasoning”
oleh Diki Andita dan Chairani. Berdasarkan kesamaan antara kasus baru dan sistem pengetahuan, hasil penelitian ini menawarkan saran untuk potensi penyakit dan pengobatan. Data kasus keenam menunjukkan nilai kedekatan tertinggi, yaitu 0,93 atau 93%, yang menunjukkan bahwa pneumonia adalah diagnosis pasien[14]. Irvan Muzakkir dan Marniyati H. Botutihe melakukan penelitian tentang “Pendekatan Case-Based Reasoning Untuk Sistem Pakar Mendiagnosis Penyakit Pada Sapi”. Contoh Scours memiliki bobot terendah 0,09 menurut perkiraan Case-Based Reasoning, sedangkan kasing Pink Eye memiliki bobot tertinggi adalah 1. Solusi bobot serupa dari kasing lama dengan bobot lebih rendah ke kasing baru dengan bobot lebih tinggi disediakan dalam kasus ini mendekati.
Vitamin, obat anti alergi, dan antibiotik diresepkan jika Pink Eye memiliki berat badan yang lebih besar dan positif.
Berdasarkan temuan tersebut, dapat dikatakan bahwa pendekatan Case-Based Reasoning efektif dalam mendiagnosis penyakit sapi, yang sangat mempermudah para peternak dalam mengelola penyakit pada sapi[15].
Amonius Asmin dan Muhammad Syahrizal kemudian melakukan penelitian dengan judul kerja “Perancangan Aplikasi Sistem Pakar Mendiagnosis Hemofilia Pada Manusia Menggunakan Pendekatan Case-Based Reasoning”.
Hemofilia manusia dapat didiagnosis menggunakan pendekatan Case-Based Reasoning, yang dapat menghasilkan perhitungan, memungkinkan diagnosis yang cepat dan andal. Menurut perhitungan yang dilakukan untuk penelitian ini, nilai kasus sebelumnya sebesar 57,69% menunjukkan adanya kesamaan[16].
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Sistem Pakar
Sistem pakar adalah sistem komputer yang dirancang untuk meniru kemampuan seorang pakar dalam memecahkan masalah yang kompleks di suatu bidang tertentu. Sistem pakar biasanya didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman yang dikumpulkan dari pakar manusia di bidang tersebut. Sistem pakar menggunakan teknik-teknik kecerdasan buatan seperti logika, inferensi, pemrosesan bahasa alami, dan machine learning untuk menganalisis data dan informasi yang diberikan dan memberikan jawaban atau rekomendasi yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki[7][17]. Lingkungan pengembangan dan lingkungan konsultasi adalah dua komponen fundamental dari sistem pakar. Pengembangan komponen dan basis pengetahuan dilakukan di lingkungan pengembangan sistem pakar. Seorang non-ahli menggunakan lingkungan konsultasi untuk berkonsultasi.
Program komputer yang meniru kemampuan pengambilan keputusan seorang pakar dikenal sebagai sistem pakar. Emulsi secara signifikan lebih kuat daripada simulasi, yang hanya membutuhkan data nyata dalam domain atau situasi tertentu. Contoh dari penerapan sistem pakar adalah dalam bidang medis, hukum, keuangan, dan manufaktur. Misalnya, sistem pakar di bidang medis dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit dengan memeriksa gejala, riwayat kesehatan pasien, dan hasil tes laboratorium. Sistem pakar di bidang manufaktur dapat membantu mengidentifikasi dan memperbaiki masalah pada peralatan produksi[8], [18], [19].
2.2 Penyakit Leishmaniasis
Parasit intraseluler leishmaniasis sp. adalah penyebab penyakit leishmaniasis, yang menyerang manusia dan hewan. Seekor nyamuk lalat pasir betina dengan panjang gigitan dua hingga tiga mm dapat menularkan parasit ini ke manusia[20]. Karena sebagian besar mempengaruhi daerah endemik di negara terbelakang yang sering memiliki
populasi padat, kelaparan, sanitasi yang buruk, dan kurangnya sumber daya manusia untuk pencegahan dan pengendalian penyakit, leishmaniasis dianggap sebagai penyakit tropis yang terabaikan[21]. Ada tiga jenis leishmaniasis: cutaneous leishmaniasis, mucocutaneous leishmaniasis, dan visceral leishmaniasis yang juga disebut kala-azar.
Leishmaniasis, penyakit kulit dan selaput lendir, disebabkan oleh parasit leishmania sp. Protozoa ini menghuni manusia dan mamalia lain sebagai parasit intraseluler wajib. Penyakit parasit ini awalnya bermanifestasi sebagai papula (nodul), yang menyebar dan akhirnya berubah menjadi borok (borok bernanah) yang tidak nyeri (nyeri). Lesi bisa soliter atau banyak, tidak berulserasi, dan terkadang menyebar[22].
Penyebaran leishmaniasis dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain lingkungan dan iklim, sosial ekonomi, malnutrisi, migrasi penduduk, dan transportasi hewan. Perubahan lingkungan menyebabkan perubahan mikro-ekologis pada parasit, vektor, reservoir, dan inang yang berkontribusi terhadap peningkatan penularan leishmaniasis di suatu wilayah[6]. Sebagai akibat dari aktivitas manusia termasuk penggundulan hutan, pertumbuhan pertanian, bertempat tinggal dekat dengan kawasan hutan, dan domestikasi hewan, leishmaniasis menyebar baik secara zoonosis maupun antroponotik. Iklim merupakan salah satu faktor risiko munculnya suatu penyakit, terutama yang disebarkan oleh vektor.
Leishmaniasis ditemukan di beberapa bagian Afrika, Asia, Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Timur Tengah. Penyakit ini dapat didiagnosis melalui tes laboratorium, dan pengobatan biasanya melibatkan pengobatan seperti senyawa antimon, amfoterisin B, atau miltefosin. Kelambu berinsektisida dan tindakan lain untuk mencegah gigitan lalat pasir juga dapat membantu mengurangi penyebaran penyakit.
Jenis leishmaniasis yang paling umum, yang dikenal sebagai cutaneous leishmaniasis (CL), menyebabkan lesi kulit, terutama bisul, pada bagian tubuh yang terbuka. Mereka dapat menyebabkan kerusakan parah atau stigma dan meninggalkan bekas luka seumur hidup. Amerika, cekungan Mediterania, Timur Tengah, dan Asia Tengah menyumbang sekitar 95% dari semua kasus CL. Sebanyak 600.000 hingga 1 juta kasus baru diperkirakan muncul setiap tahun di seluruh dunia, meskipun hanya sekitar 200.000 yang dilaporkan ke WHO.
Selaput lendir hidung, mulut, dan tenggorokan dapat hancur seluruhnya atau sebagian akibat leishmaniasis mukokutan. Brasil, Etiopia, Peru, Bolivia (Negara Plurinasional), dan Brasil menyumbang lebih dari 90% kasus leishmaniasis mukokutan.
Sekitar 95% kasus leishmaniasis visceral (VL), sering dikenal sebagai kala-azar, berakibat fatal jika tidak diobati. Ini dibedakan dengan serangan demam yang tidak teratur, penurunan berat badan, pembesaran limpa dan hati, dan anemia. Brasil, Afrika Timur, dan India merupakan kasus terbanyak. Sekitar 25–45% dari perkiraan 50–
90.000 kasus baru VL yang dilaporkan ke WHO setiap tahun benar-benar terlihat di seluruh dunia. Ada kemungkinan wabah dan kematian.
2.3 Metode Case Base Reasoning
Case-Based Reasoning (CBR) adalah teknik kecerdasan buatan yang menggunakan informasi dan keahlian dari kasus masa lalu untuk menjawab masalah. Dalam penalaran berbasis kasus, masalah saat ini diselesaikan dengan mencari basis data kasus untuk masalah analog atau serupa, setelah itu jawaban dari masalah ini diadopsi dan disesuaikan seperlunya. Basis kasus dalam contoh ini terdiri dari pemilihan contoh terkait dan solusi yang digunakan dalam keadaan tersebut.
CBR banyak digunakan dalam berbagai bidang, seperti ilmu kedokteran, rekayasa, manajemen, dan sebagainya. CBR juga dapat digunakan dalam sistem pakar untuk membantu dalam diagnosis dan perencanaan perawatan, serta dalam pengambilan keputusan yang kompleks. Salah satu keuntungan dari CBR adalah kemampuannya untuk menangani masalah yang tidak terstruktur dan kompleks serta dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan kondisi yang baru.
Representasi pengetahuan adalah metode yang digunakan dalam Penalaran Berbasis Kasus dan sistem pakar berbasis pengetahuan lainnya. Case-Based Reasoning adalah teknik untuk memecahkan masalah yang melibatkan melihat pola atau contoh yang telah terjadi di masa lalu[23]. Jadi, jelas bahwa metode diagnostik Case- Based Reasoning mengontraskan contoh baru dengan contoh lama. Untuk mencapai hasil terbaik, sangat penting untuk memastikan bahwa basis kasus diperbarui secara konsisten dan menyertakan data terbaru dalam semua implementasi Penalaran Berbasis Kasus.
Pendekatan Case-Based Reasoning untuk pemecahan masalah melibatkan empat fase, yang tercantum sebagai berikut[14]:
a. Retrieve
Mencari kasus-kasus yang relevan dari basis kasus untuk dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah saat ini. Tahapan ini melibatkan pencarian pada basis kasus yang dapat dilakukan secara langsung atau melalui sistem komputer.
b. Reuse
Menggunakan kasus-kasus yang relevan untuk menemukan solusi yang sesuai dengan masalah saat ini.
Tahapan ini melibatkan analisis kasus-kasus sebelumnya, pemilihan solusi yang sesuai, dan modifikasi solusi sesuai dengan kebutuhan.
c. Revise
Mengevaluasi solusi yang dihasilkan dan memperbaikinya jika diperlukan. Tahapan ini melibatkan evaluasi solusi yang diberikan dan jika perlu, memodifikasi solusi untuk lebih baik.
d. Retain
Menyimpan kasus-kasus baru dan solusi-solusi yang dihasilkan ke dalam basis kasus untuk digunakan pada masa mendatang. Tahapan ini melibatkan penyimpanan kasus-kasus dan solusi-solusi baru yang berhasil dalam basis kasus agar dapat digunakan pada masa depan.
Gambar 1. Tahapan Case-Based Reasoning
Tahapan-tahapan di atas merupakan siklus Case-Based Reasoning yang berkelanjutan. Setelah siklus selesai, basis kasus dapat diperbarui dengan kasus dan solusi yang baru, sehingga basis kasus selalu terkini dan dapat memberikan hasil yang lebih akurat pada tahap pengambilan kasus. Selain itu, perlu diingat bahwa penggunaan CBR sangat tergantung pada kualitas basis kasus yang digunakan, sehingga perlu memperhatikan kualitas dan kuantitas data yang disimpan pada basis kasus.
Penghitungan tingkat kesamaan struktural antara kasus baru dan objek yang ada pada kasus yang disimpan sebelumnya akan dilakukan selama proses pengambilan kasus lama. Untuk menemukan persamaan atau perbedaan antara kasus yang sudah tersimpan di basis kasus dan kasus baru, digunakan fungsi kesamaan[24]. Rumus 1 berikut digunakan untuk menentukan nilai kemiripan:
Similarity =S1∗W1+S2∗W2+⋯+Sn∗Wn
W1+W2+⋯+Wn (1)
Keterangan:
S = Similarity (nilai kemiripan) yaitu 1 (sama) dan 0 (berbeda) W = Weight (bobot yang diberikan)
2.4 Tahapan Penelitian
Studi ini menawarkan kerangka untuk menggambarkan tahapan penelitian yang dilakukan untuk memenuhi tujuan penelitian. Gambar 2 menggambarkan langkah-langkah yang dilakukan selama proses penelitian
Gambar 2. Tahapan Penelitian
Dari gambar 2 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Identifikasi Masalah
Tahap ini melibatkan pemilihan topik penelitian yang akan diinvestigasi, mengidentifikasi masalah atau kekurangan yang ada dalam topik tersebut, dan merumuskan pertanyaan penelitian.
b. Pengumpulan Data
Pada tahap ini melibatkan pengumpulan data dengan menggunakan metode dan instrumen yang sudah ditentukan dalam penelitian.
c. Studi Literatur
Tahap ini melibatkan peninjauan literatur yang relevan dengan topik penelitian untuk memperoleh informasi terkait teori atau temuan sebelumnya yang dapat membantu penelitian Anda.
d. Analisa dan Penerapan Metode
Tahap keempat melibatkan penggunaan metodologi yang digunakan dalam penelitian untuk memeriksa masalah dan memproses temuan. Teknik Case-Based Reasoning digunakan dalam penyelidikan ini.
e. Laporan Penelitian
Pembuatan laporan penelitian adalah tahap terakhir. Jika studi telah dilakukan dan hasilnya telah dipilih, langkah ini selesai.
2.5 Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, informasi tentang berbagai penyakit dan tanda serta gejalanya dikumpulkan. Tabel 1 di bawah ini mencantumkan berbagai penyakit yang dapat diperoleh:
Tabel 1. Data Penyakit Leishmaniasis Kode Penyakit Nama Penyakit
CL Cutaneous Leishmaniasis ML Mucocutaneous Leishmaniasis VL Visceral Leishmaniasis (Kala Azar)
Ada tiga bentuk leishmaniasis yang diidentifikasi oleh data. Juga, Tabel 2 di bawah ini menunjukkan gejala penyakit serta hubungannya dengan penyakit:
Tabel 2. Data Gejala Penyakit Leishmaniasis Kode
Gejala Nama Gejala Penyakit
Bobot CL ML VL
G001 Terdapat ulkus (sariawan tapi pada kulit) * * 3
G002 Timbul bintik kecil kemerahan * * 3
G003 Pembengkakan kelenjar getah bening * * 1
G004 Kelemahan dan Kelelahan * * 1
G005 Demam * * * 1
G006 Nyeri otot dan sendi * * * 3
G007 Lesi kulit terbuka yang muncul pada awal infeksi * 5
G008 Terbentuknya kerak keras dan kulit yang mengelupas di sekitar lesi * 3
G009 Rasa sakit dan gatal pada lesi * 3
G010 Hidung tersumbat * 1
G011 Keluarnya cairan dari hidung * 1
G012 Kesulitan bernafas * * 3
G013 Kehilangan nafsu makan * 3
G014 Penurunan berat badan * 3
G015 Anemia * 5
Dalam pendekatan Case-Based Reasoning, di mana basis kasus akan dikontraskan dengan kasus baru, hubungan antara penyakit dan gejala dapat digunakan sebagai dasar untuk kasus sebelumnya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Input Kasus Baru
Pengujian dilakukan dalam penelitian ini menggunakan contoh baru. Gejala yang dialami pasien saat ini digunakan untuk mengidentifikasi kasus baru dan menentukan jenis penyakit leishmaniasis yang dideritanya. Tabel 3 di bawah ini menunjukkan contoh-contoh baru yang diperoleh:
Tabel 3. Data Kasus Baru Yang Dirasakan Pasien Kode Gejala Nama Gejala Baru
G001 Terdapat ulkus (sariawan tapi pada kulit) G003 Pembengkakan kelenjar getah bening G004 Kelemahan dan kelelahan
G006 Nyeri otot dan sendi G012 Kesulitan bernafas G014 Penurunan berat badan G015 Anemia
3.2 Penerapan Metode Case-Based Reasoning
Pendekatan Case-Based Reasoning kemudian dapat digunakan setelah semua data yang diperlukan telah dikumpulkan. Tahap retrieve, dimana proses pendeteksian masalah dan pencarian masalah pada database dilakukan pada tahap ini, merupakan salah satu dari empat tahap yang harus diselesaikan dalam proses pendekatan ini. Selain itu, tahap reuse berfungsi sebagai mekanisme pencarian nilai kesamaan dengan menggunakan kembali pengetahuan yang tersimpan sebelumnya. Solusi yang dihasilkan akan dievaluasi kembali pada tahap berikutnya, revise. Proses penyimpanan pengetahuan yang dihasilkan ke dalam database kemudian diselesaikan pada tahap retain.
3.2.1 Tahapan Retrieve
Seperti yang dikatakan sebelumnya, pada tahap ini yang dilakukan adalah mencari kasus-kasus yang relevan dari basis kasus untuk dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah saat ini. Tahapan ini melibatkan pencarian pada basis kasus yang dapat dilakukan secara langsung atau melalui sistem komputer. Untuk setiap jenis penyakit dilakukan pencarian masalah yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Penyakit Leishmaniasis Jenis Cutaneous Leishmaniasis
Tabel 4 menunjukkan hubungan untuk mencari masalah dengan jenis penyakit cutaneous leishmaniasis pada kasus yang baru didapat.
Tabel 4. Pencarian Kasus Baru Pada Jenis Penyakit Cutaneous Leishmaniasis
Kode
Gejala Gejala Kasus Lama Bobot Kode
Gejala Gejala Kasus Baru Bobot G001 Terdapat ulkus (sariawan
tapi pada kulit)
3 G001 Terdapat ulkus (sariawan tapi
pada kulit) 3
G002 Timbul bintik kecil kemerahan
3 G003 Pembengkakan kelenjar getah
bening 1
G003 Pembengkakan kelenjar getah bening
1 G004 Kelemahan dan Kelelahan 1
G004 Kelemahan dan Kelelahan 1 G006 Nyeri otot dan sendi 3
G005 Demam 1 G012 Kesulitan bernafas 3
G006 Nyeri otot dan sendi 3 G014 Penurunan berat badan 3
G012 Kesulitan bernafas 3 G015 Anemia 3
Dari Tabel 4 diperoleh informasi bahwa terdapat 5 gejala yang sama antara kasus lama dan kasus baru untuk pencarian jenis penyakit Cutaneous Leishmaniasis yaitu (G001) terdapat ulkus (sariawan tapi pada kulit) dengan bobot 3, (G003) timbul bintik kecil kemerahan dengan bobot 1, (G004) kelemahan dan kelelahan dengan bobot 1, (G006) nyeri otot dan sendi dengan bobot 3, dan (G012) kesulitan bernafas dengan bobot 3.
b. Penyakit Leishmaniasis Jenis Mucocutaneous Leishmaniasis
Tabel 5 menunjukkan hubungan untuk mencari masalah dengan jenis penyakit mucocutaneous leishmaniasis pada kasus yang baru didapat.
Tabel 5. Pencarian Kasus Baru Pada Jenis Penyakit Mucocutaneous Leishmaniasis Kode
Gejala Gejala Kasus Lama Bobot Kode
Gejala Gejala Kasus Baru Bobot
G005 Demam 1 G001 Terdapat ulkus (sariawan tapi
pada kulit) 3
G006 Nyeri otot dan sendi 3
G003 Pembengkakan kelenjar getah
bening 1
G007 Lesi kulit terbuka yang
muncul pada awal infeksi 5 G004 Kelemahan dan Kelelahan 1
Kode
Gejala Gejala Kasus Lama Bobot Kode
Gejala Gejala Kasus Baru Bobot G008
Terbentuknya kerak keras dan kulit yang mengelupas di sekitar lesi
3 G006 Nyeri otot dan sendi 3
G009 Rasa sakit dan gatal pada
lesi 3 G012 Kesulitan bernafas 3
G010 Hidung tersumbat 1 G014 Penurunan berat badan 3
G011 Keluarnya cairan dari
hidung 1 G015 Anemia 3
Dari Tabel 5 diperoleh informasi bahwa hanya terdapat 1 gejala yang sama antara kasus lama dan kasus baru untuk pencarian jenis penyakit mucocutaneous leishmaniasis yaitu (G006) nyeri otot dan sendi dengan bobot 3.
c. Penyakit Leishmaniasis Jenis Visceral Leishmaniasis (Kala Azar)
Tabel 6 menunjukkan hubungan untuk mencari masalah dengan jenis penyakit Visceral Leishmaniasis (Kala Azar) pada kasus yang baru didapat.
Tabel 6. Pencarian Kasus Baru Pada Jenis Penyakit Visceral Leishmaniasis (Kala Azar)
Kode
Gejala Gejala Kasus Lama Bobot Kode
Gejala Gejala Kasus Baru Bobot G001 Terdapat ulkus (sariawan
tapi pada kulit)
3 G001 Terdapat ulkus (sariawan tapi
pada kulit) 3
G002 Timbul bintik kecil kemerahan
3 G003 Pembengkakan kelenjar getah
bening 1
G003 Pembengkakan kelenjar getah bening
1 G004 Kelemahan dan Kelelahan 1
G004 Kelemahan dan Kelelahan 1 G006 Nyeri otot dan sendi 3
G005 Demam 1 G012 Kesulitan bernafas 3
G006 Nyeri otot dan sendi 3 G014 Penurunan berat badan 3
G013 Kehilangan nafsu makan 3 G015 Anemia 3
G014 Penurunan berat badan 3
G015 Anemia 3
Dari Tabel 6 diperoleh informasi bahwa terdapat 6 gejala yang sama antara kasus lama dan kasus baru untuk pencarian jenis penyakit Visceral Leishmaniasis (Kala Azar) yaitu (G001) terdapat ulkus (sariawan tapi pada kulit) dengan bobot 3, (G003) timbul bintik kecil kemerahan dengan bobot 1, (G004) kelemahan dan kelelahan dengan bobot 1, (G006) nyeri otot dan sendi dengan bobot 3, (G014) terjadi penurunan berat badan dengan bobot 3, dan (G015) gejala anemia dengan bobot 3.
3.2.2 Tahapan Reuse
Untuk mengetahui tingkat kemiripan antara kasus lama dan kasus baru, dilakukan perhitungan kemiripan pada langkah reuse. Cara mencari kesejajaran dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tingkat Kemiripan Pada Penyakit Cutaneous Leishmaniasis 𝑆𝑖𝑚𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑦 (1) =𝑆1 ∗ 𝑊1 + 𝑆2 ∗ 𝑊2 + ⋯ + 𝑆𝑛 ∗ 𝑊𝑛
𝑊1 + 𝑤2 + ⋯ + 𝑊𝑛
=1 ∗ 3 + 0 ∗ 3 + 1 ∗ 1 + 1 ∗ 1 + 0 ∗ 1 + 1 ∗ 3 + 1 ∗ 3 3 + 3 + 1 + 1 + 1 + 3 + 3 =11
15= 0,73 = 73%
b. Tingkat Kemiripan Pada Penyakit Mucocutaneous Leishmaniasis 𝑆𝑖𝑚𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑦 (2) =𝑆1 ∗ 𝑊1 + 𝑆2 ∗ 𝑊2 + ⋯ + 𝑆𝑛 ∗ 𝑊𝑛
𝑊1 + 𝑤2 + ⋯ + 𝑊𝑛
=0 ∗ 1 + 1 ∗ 3 + 0 ∗ 5 + 0 ∗ 3 + 0 ∗ 3 + 0 ∗ 1 + 0 ∗ 1 1 + 3 + 5 + 3 + 3 + 1 + 1 = 3
17= 0,18 = 18%
c. Tingkat Kemiripan Pada Penyakit Visceral Leishmaniasis (Kala Azar) 𝑆𝑖𝑚𝑖𝑙𝑎𝑟𝑖𝑡𝑦 (3) =𝑆1 ∗ 𝑊1 + 𝑆2 ∗ 𝑊2 + ⋯ + 𝑆𝑛 ∗ 𝑊𝑛
𝑊1 + 𝑊2 + ⋯ + 𝑊𝑛
=1 ∗ 3 + 0 ∗ 3 + 1 ∗ 1 + 1 ∗ 1 + 0 ∗ 1 + 1 ∗ 3 + 0 ∗ 3 + 1 ∗ 3 + 1 ∗ 3 3 + 3 + 1 + 1 + 1 + 3 + 3 + 3 + 3 =14
21= 0,67 = 67%
3.2.3 Tahapan Revise
Pada titik ini, proses meninjau hasil prosedur kemiripan sedang berlangsung. Cutaneous leishmaniasis memiliki nilai kemiripan tertinggi, dengan nilai 73%, berdasarkan perhitungan kesamaan untuk setiap jenis leishmaniasis.
Nilai kesamaan untuk penyakit visceral leishmaniasis (kala azar) adalah 67%. Sedangkan mucocutaneous leishmaniasis dengan skor kemiripan 18% memiliki nilai terendah untuk jenis penyakitnya. Dengan nilai kemiripan sebesar 73%, maka dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami cutaneous leishmaniasis.
3.2.4 Tahapan Retain
Tahapan Retain dalam metode Case-Based Reasoning melibatkan penyimpanan kasus-kasus baru dan solusi-solusi yang dihasilkan ke dalam basis kasus untuk digunakan pada masa mendatang. Tahapan ini berperan penting dalam memperbarui basis kasus dan membuatnya menjadi lebih relevan dan terbaru. Kasus baru yang telah menjalani pengujian untuk setiap bentuk penyakit Leishmaniasis kini memenuhi syarat untuk ditambahkan ke database. Jika dilakukan prosedur pencarian baik kasus baru maupun kasus lama, diharapkan kasus tersebut dapat digunakan untuk dibandingkan dengan kasus baru lainnya.
Dalam tahapan Retain, penting untuk memastikan bahwa basis kasus dikelola dengan baik dan diakses dengan mudah. Basis kasus harus diorganisasi dengan baik dan mudah diakses agar dapat membantu dalam menyelesaikan masalah yang serupa di masa depan. Selain itu, basis kasus juga harus dijaga agar tidak terkontaminasi dengan informasi yang tidak relevan atau tidak akurat.
4. KESIMPULAN
Ada tiga jenis penyakit yang berbeda dengan total gabungan 15 gejala dalam sistem pakar untuk mendiagnosis leishmaniasis. Tahap pertama dalam menangani kondisi tersebut sejak dini adalah memberikan solusi, yang bisa dilakukan di rumah. untuk membantu individu mengenali atau mendiagnosa leishmaniasis. Untuk memeriksa data gejala pasien saat menggunakan sistem pakar, metode Case-Based Reasoning telah berhasil melakukannya. Pasien teridentifikasi menderita cutaneous leishmaniasis berdasarkan temuan analisis yang menunjukkan nilai kemiripan maksimum sebesar 73% untuk suatu kondisi leishmaniasis. Oleh karena itu, diharapkan dengan hasil diagnosis ini, masyarakat dapat lebih mudah mengidentifikasi penyakit setelah penelitian sistem pakar untuk mendeteksi leishmaniasis, yang akan membantu pasien dan dokter dalam membuat penilaian terkait tindakan selanjutnya.
REFERENCES
[1] I. D. K. K. Widana and A. Hilmawan, “Urgensi Pencegahan dan Pengendalian Risiko Infeksi Leishmaniasis atas Kontingen Garuda di Lebanon,” J. Kesehat. Lingkung. Indones., vol. 18, no. 1, p. 34, 2019, doi: 10.14710/jkli.18.1.34- 41.
[2] A. Oryan and M. Akbari, “Worldwide risk factors in leishmaniasis,” Asian Pac. J. Trop. Med., vol. 9, no. 10, pp. 925–
932, 2016, doi: 10.1016/j.apjtm.2016.06.021.
[3] D. Gebremichael Tedla, F. H. Bariagabr, and H. H. Abreha, “Incidence and Trends of Leishmaniasis and Its Risk Factors in Humera, Western Tigray,” J. Parasitol. Res., vol. 2018, 2018, doi: 10.1155/2018/8463097.
[4] World Health Organization, “Control of the leishmaniases.,” World Health Organ. Tech. Rep. Ser., no. 949, pp. 22–26, 2010.
[5] N. M. Abd El-Salam, S. Ayaz, and R. Ullah, “PCR and microscopic identification of isolated Leishmania tropica from clinical samples of cutaneous leishmaniasis in human population of kohat region in khyber Pakhtunkhwa,” Biomed Res.
Int., vol. 2014, 2014, doi: 10.1155/2014/861831.
[6] F. Ekawasti and E. Martindah, “Awareness of the existence of Leishmaniasis as Protozoan Zoonosis in Indonesia,”
Indones. Bull. Anim. Vet. Sci., vol. 30, no. 2, pp. 79–90, 2020, doi: 10.14334/wartazoa.v30i2.2511.
[7] A. Fadli, “Sistem Pakar Dasar,” pp. 1–8, 2010.
[8] M. J. Tobin, “Asthma, Airway Biology, and Nasal Disorders in AJRCCM 2003,” Am. J. Respir. Crit. Care Med., vol.
169, no. 2, pp. 265–276, 2004, doi: 10.1164/rccm.2312011.
[9] A. Sianturi, “Sistem Pakar Diagnosa Kerusakan Mesin Jahit Janome Menggunakan Metode Variable Centered Intelligent Rule System (VCIRS) dan Naïve Bayes,” Resolusi Rekayasa Tek. Inform. dan Inf., vol. 1, no. 3, pp. 201–208, 2021.
[10] S. W. Nasution, N. A. Hasibuan, and P. Ramadhani, “Sistem Pakar Diagnosa Anoreksia Nervosa Menerapkan Metode Case Based Reasoning,” Konf. Nas. Teknol. Inf. dan Komput., vol. I, no. 1, pp. 52–56, 2017.
[11] M. Nugraheni, “Rancangan Case-Based Reasoning Menggunakan Sorenson Coefficient,” vol. 6, no. 1, pp. 612–616, 2012.
[12] S. Fidyaningsih, F. Agus, and D. cahyadi, “Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Kucing Menggunakan Metode Case-Based Reasoning,” Pros. Semin. Ilmu Komput. dan Teknol. Inf. ISSN 2540 – 7902 Vol., vol. 1, no. 1, pp. 113–119, 2016.
[13] Faza Akmal and Sri Winiarti, “Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit Lambung Dengan Implementasi Metode CBR (Case-Based-Reasoning) Berbasis Web,” J. Sarj. Tek. Inform., vol. 2, no. 1, pp. 119–129, 2014.
[14] D. A. Kusuma and C. Chairani, “Rancang Bangun Sistem Pakar Pendiagnosa Penyakit Paru-Paru Menggunakan Metode Case Based Reasoning,” J. Inform. dan Elektron., vol. 6, no. 2, pp. 57–62, 2015, doi: 10.20895/infotel.v6i2.74.
[15] I. Muzakkir and M. H. Botutihe, “Case Based Reasoning Method untuk Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Sapi,” Ilk. J.
Ilm., vol. 12, no. 1, pp. 25–31, 2020, doi: 10.33096/ilkom.v12i1.506.25-31.
[16] M. S. Amonius Asmin Hardi Saputra Gulo1, “Perancangan Aplikasi Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit Hemofilia Pada Manusia Menerapkan Metode Case Based Reasoning,” J. Pelita Inform., vol. 6, no. 3, pp. 278–283, 2018.
[17] A. H. Nasyuha, “Implementasi Teorema Bayes Dalam Diagnosa Penyakit Ayam Broiler,” vol. 4, pp. 1062–1068, 2020, doi: 10.30865/mib.v4i4.2366.
[18] M. Zunaidi, U. Fatimah, S. Sitorus, and A. H. Nasyuha, “Analisis Teorema Bayes Dalam Mendiagnosa Penyakit Tanaman Pisang,” vol. 5, pp. 1302–1308, 2021, doi: 10.30865/mib.v5i4.3225.
[19] A. H. Nasyuha, M. I. Perangin Angin, and M. M. Marsono, “Implementasi Dempster Shafer Dalam Diagnosa Penyakit Impetigo Pada Balita,” J. Media Inform. Budidarma, vol. 4, no. 3, p. 700, 2020, doi: 10.30865/mib.v4i3.1901.
[20] W. O. Anggraeni and Y. Nurdian, “Penyakit Tropis yang Terabaikan: Leishmaniasis Donovani,” Res. Gate, no. October, p. 6, 2018.
[21] L. Tomassone et al., “Neglected vector-borne zoonoses in Europe: Into the wild,” Vet. Parasitol., vol. 251, no. December 2017, pp. 17–26, 2018, doi: 10.1016/j.vetpar.2017.12.018.
[22] G. Santos-Gomes, S. Gomes-Pereira, L. Campino, M. De Almeida Araújo, and P. Abranches, “Performance of immunoblotting in diagnosis of visceral leishmaniasis in human immunodeficiency virus-Leishmania sp.-coinfected patients,” J. Clin. Microbiol., vol. 38, no. 1, pp. 175–178, 2000, doi: 10.1128/jcm.38.1.175-178.2000.
[23] M. A. Irfandi, A. Romadhony, and S. Saadah, “Implementasi Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Gigi Dan Mulut Menggunakan Metode Hybrid Case-Based Dan Rule-Based Reasoning,” no. January, 2015, doi:
10.21108/indosc.2015.19.
[24] S. Muzid, “Teknologi Penalaran Berbasis Kasus (Case Based Reasoning) Untuk Diagnosa Penyakit Kehamilan,” Semin.
Nas. Apl. Teknol. Inf., vol. 2008, no. Snati, pp. 1907–5022, 2008.