1
LAPORAN TAHUNAN SKEMA HIBAH BERSAING
SISTEM PERINGATAN DINI DAN PENANGANAN DINI RADIKALISME AGAMA
Tahun ke 1 dari rencana 3 tahun
TIM PENELITI Ketua
Dra. Yulmaida Amir, MA. (NIDN. 0018076006) Anggota
Subhan El Hafiz, S.Psi., M.Si. (NIDN. 9903001457) Anisia Kumala, Lc., M.Psi. (NIDN. 9903000307)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA NOVEMBER 2013
Dibiayai oleh : Kopertis Wilayah III
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program Penelitian Nomor : 010/K3/KM/SPK/2013, tanggal 13 Mei 2013
2 HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Sistem Peringatan Dini Dan Penanganan Dini Radikalisme Agama
Peneliti
Nama Lengkap : Dra. Yulmaida Amir, MA.
NIDN : 0018076006 Jabatan Fungsional : Lektor Program Studi : Psikologi Nomor HP : 08128042833
Alamat surel (e-mail) : [email protected] Anggota (1)
Nama Lengkap : Subhan El Hafiz, S.Psi., M.Si.
NIDN : 9903001457
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Anggota (2)
Nama Lengkap : Anisia Kumala, Lc., M.Psi.
NIDN : 9903000307
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 3 tahun
Biaya Tahun Berjalan : Rp. 42.000.000,- Biaya Keseluruhan : Rp. 126.725.000,-
Mengetahui, Jakarta, 28 November 2013
Wakil Dekan, Ketua,
( Anisia Kumala, Lc., M.Psi ) (Dra. Yulmaida Amir, MA.) NIK. : D.01089 NIP. : 196007181989012001
Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian,
( Endy Sjaiful Alim, ST., MT. ) NIK. : D.03.0608
3
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan gejala psikologi sosial berupa radikalisme agama yang menyebabkan terjadinya kerusuhan dan permasalahan sosial dalam suatu masyarakat. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif etnografi yang bertujuan memahami sebuah masalah dalam sebuah wilayah tertentu. Responden penelitian adalah orang-orang yang dianggap mengetahui dan memahami situasi yang dijadikan dasar penelitian. Adapun situasi yang menjadi dasar penelitian adalah konflik antara pengikut Ahmadiyah dan masyarakat setempat di Cikeusik, Banten; konflik antara masyarakat anggota Gereja Yasmin dan umat Islam di Bogor, Jawa Barat; dan konflik antara Syiah dan Sunni di Sampang, Madura.
Berdasarkan data penelitian didapatkan kondisi psikososial yang menjadi tahap terjadinya konflik pada level pertama adalah penguatan perbedaan dan kebencian terhadap perbedaan, level kedua adalah konsolidasi kekuatan masing-masing kelompok kedalam dan keluar komunitas, dan level ketiga adalah adanya ancaman penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata terhadap kelompok lawan.
4
PRAKATA
Alhamdulilah laporan kemajuan penelitian ini telah selesai. Sebagai tahap awal (Tahun pertama) dari 3 tahun penelitian maka hasil yang diperoleh dari penelitian ini sudah dapat menggambarkan tahapan perkembangan situasi yang terjadi dalam masyarakat tempat terjadinya konflik yang berasal dari radikalisme agama. Tahap selanjutnya (Tahun kedua) penelitian adalah mendapatkan informasi tentang kondisi psikologis individu pelaku teror untuk memperoleh gambaran radikalisme yang dimilikinya.
Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua nara sumber yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang telah dengan sungguh-sungguh memberikan informasi yang kami butuhkan bagi penelitian ini.
Terima kasih juga kami sampaikan pada DIKTI, Kopertis Wilayah III, dan Lembaga Penelitian UHAMKA dan atas kesempatan yang diberikan untuk melakukan penelitian ini.
Masukan, kritik, dan saran kami harapkan untuk memperlengkap hasil penelitian ini, serta untuk menyempurnakan persiapan penelitian tahap berikutnya.
Wassalam Peneliti
5
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... 1
HALAMAN PENGESAHAN ... 2
RINGKASAN ... 3
PRAKATA ... 4
DAFTAR ISI ... 5
DAFTAR TABEL ... 6
DAFTAR LAMPIRAN ... 7
BAB 1. PENDAHULUAN ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 13
BAB 4. METODE PENELITIAN ... 15
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 25
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 26
DAFTAR PUSTAKA ... 27
LAMPIRAN ... 28
6
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Level Eskalasi Konflik ……….. 24
7
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Pedoman dan Wawancara Lampiran 2 : Biodata personalia penelitian Lampiran 3 : SPK KOPERTIS Wilayah III Lampiran 4 : SPK UHAMKA
8
BAB I PENDAHULUAN
Violence is ubiquitous reality in our society Susanne Keppeler (1995)
Radikalisme dan terorisme yang berlatar belakang agama merupakan fenomena yang semakin mencemaskan kehidupan masyarakat dewasa ini. Gerakan-gerakan semacam tidak hanya menyerang orang/kelompok yang tidak segaris dengan perjuangannya, melancarkan aksi-aksi kekerasan dan bom bunuh diri terhadap masyarakat sipil untuk mencapai tujuannya, namun juga berupaya mengganti konsep dasar serta tatanan NKRI. Oleh karena itu, pada gilirannya, gerakan tersebut tidak hanya mendistorsi kebaikan agama, melainkan juga telah mengancam dan menantang keutuhan, stabilitas, dan ketahanan NKRI secara umum.
Kelompok-kelompok itu secara umum berorientasi pada tekstualisme agama, memahami seruan jihad dengan perang, dan menuntut pelaksanaan syariat Islam pada level hukum dan politik ketatanegaraan dengan membentuk negara Islam. Dalam meperjuangkan itu, kelompk tersebut seringkali menggunakan cara-cara kekerasan dan terorisme untuk mencapai tujuan-tujuannya. Sepanjang bulan Februari 2011 saja misalnya, kita bisa melihat empat kasus kekerasan yang bermotif agama yakni kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, penyerangan terhadap gereja di Temanggung, penyerangan terhadap Ponpes Yapi di Bangil Jawa Timur dan penyerangan tempat pengajian Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Indramayu. Belum lagi aksi terorisme lewat Bom Buku, bom bunuh diri di Masjid Adz Dzikro Polsekta Cirebon.
Karena aksi-aksi kekerasan itu sudah dilegitimasi sedemikian baik, maka pelaku kekerasan itu sama sekali tidak memiliki perasaan bersalah dan bahkan dalam banyak kasus yang lebih ekstrim semakin banyak mereka yang kian menikmati tindakan-tindakannya.
Hollander (2008), dalam studinya tentang kelompok-kelompok yang menggunakan jalan kekerasan untuk menggapai tujuannya menyimpulkan bahwa: for most participants, the killing become routinized, referred to as “work”, or “job” or “activities” part of daily schedule, often followed by relaxed sosialization by the perpetrators and their families and friends.
9
Tidak adanya rasa bersalah atau berdosa pada diri pelaku itulah yang lantas dengan mudah kita pahami mengapa aksi-aksi kekerasan kini menjadi pemandangan yang umum.
Dampak negatifnya, tentu saja, sebagaimana diungkapkan oleh William Styron, akan semakin banyak orang menggunakan kekerasan sebagai jalan untuk memperjuangkan kepentingannya, dan hal itu akan menjadi sumber kejahatan yang lebih berbahaya sebab, the root of evil is the inability to feel guilt for one’s action. Hal ini diperkuat oleh Rinehart (2011) dimana kelompok-kelompok radikal dan teroris itu sudah membekali memberikan justifikasi yang suci bagi para pengikutnya dalam menjalankan aksi-aksi kekerasan sehingga mereka terbebas dari perasaan depresi, merasa berdosa, serta beban-beban lain atas kejahatannya itu. Hal tersebut merupakan masalah serius bagi bangsa ini dan karena itu perlu ada upaya perlawanan dan pencegahan terhadap gerakan radikalisme dan terorisme.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Radikalisasme Agama
Konsep radikalisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep yang diajukan dalam kamus Mariam Webster (2011). Dalam kamus ini dijelaskan batasan radikalisme adalah “The opinion and behavior of people who favor extreme changes, especially in government”. Berdasarkan batasan tersebut, radikalisme terjadi ketika terdapat opini dan perilaku. Selain itu, radikalisme juga terjadi pada individu yang mengehendaki perubahan yang ekstrem, terutama dikaitkan dengan perubahan ekstrim dari pemerintahan yang sah.
Dalam hal ini, radikalisme yang dilakukan dalam konteks diatas adalah individu yang menghendaki perubahan yang ekstrem terkait dengan pemerintah yang sah dengan mengatasnamakan agama dan menjadikan agama sebagai alat untuk membenarkan radikalisem tersebut.
Proses masuk dalam kelompok radikal atau teroris digambarkan sebagai sebuah langkah maju ke depan tanpa ada jalan untuk kembali ke belakang. Alternatif pilihan langkah menjadi dipersulit ketika sudah masuk, dan akhirnya individu merasa tidak lagi punya pilihan lain kecuali ikut bergabung dan terlibat dalam kegiatan kelompok tersebut, hal ini disebut dengan istilah staircase to terrorism (Moghaddam, 2005).
B. Psikososial Radikalisme Agama
Radikalisasi muncul pada beberapa kondisi sosial, diantaranya adalah pemerintahan yang lemah, dimana negara hanya bergantung pada satu kekuatan politik. Selain itu radikalisme juga dapat disebabkan oleh masalah instabilitas ekonomi dan kecenderungan yang terus menurun, tingginya tingkat pengangguran, serta kurangnya kebebasan berekspresi di masyarakat. Hal ini dapat mendorong generasi muda untuk masuk ke dalam organisasi yang menjanjikan perjuangan untuk lepas dari kontrol pemerintah (Hashmi, 2009).
Pada kondisi psikis, radikalisme memiliki potensi berkembang pada beberapa aspek, yaitu: identitas kolektif, fase perkembangan – terutama remaja, deindividuasi, indoktrinasi,
11
dan moral disengagement. Selain itu faktor kepemimpinan juga menjadi salah satu pendukung munculnya radikalisme, dalam hal ini kepemimpinan karismatik (Post, 2009).
Aspek-aspek tersebut akan dijelaskan satu persatu dalam kaitannya dengan radikalisme.
Identitas kolektif adalah identitas yang dibentuk dalam lingkungan sosial dimana individu berkembang. Beberapa kondisi sosial yang mendukung munculnya identitas kolektif yang terkait dengan radikalisme adalah: ketiadaan harapan (hopelessness), deprivasi, dan permusuhan. Pada kondisi ini, akan terbentuk identitas kolektif yang menjadikan surga sebagai janji yang lebih menarik hingga muncul jargon yang menguatkan, seperti: “lebih baik mati syahid daripada hidup tanpa harapan”.
Pada aspek perkembangan, bergabungnya remaja dalam organisasi radikal, antara lain karena remaja merupakan masa pembentukan identitas, perjuangan kemadirian/
otonomi dari orang tua, dan masa dimana individu masih berurusan dengan masalah keintiman (intimacy). Pada masa ini, peran orang tua semakin berkurang namun pengaruh peer group semakin meningkat.
Faktor psikososial lain penyebab radikalisme adalah deindividuasi. Konsep deindividuasi dekat dengan konsep kekuatan destruktif kharismatik, yaitu: norma kelompok mendominasi moralitas individu. Teori-teori deindividuasi mengedepankan deindividuasi subjektif sebagai penyebab peyimpangan dari norma sosial yang umum. Deindividuasi menyebabkan self awareness individu menurun sehingga individu akan lebih patuh terhadap norma spesifik kelompok yang terbentuk seketika, meskipun tidak sejalan dengan norma sosial pada umumnya.
Untuk indoktrinasi, radikalisme dilakukan dengan menanamkan pemahaman bahwa ada pihak ketiga di luar dirinya yang harus bertanggungjawab terhadap situasi sulit yang menimpa. Oleh karena itu, pola kekerasan yang dilakukan kepada pihak luar tersebut bukanlah suatu kesalahan dan kriminalitas, namun justru sebagai bentuk pengorbanan suci (perilaku altruistic) atas nama kelompok, agama, atau yang lainnya.
Sedangkan moral disengagement dilakukan dengan cara men-dehumanisasi musuh/
pihak luar dengan tujuan menciptakan persepsi negatif. Cara yang dilakukan diantaranya dengan mempropagandakan tindakan-tindakan negatif pihak ketiga disertai dengan ekspresi emosi yang cukup kuat sehingga bisa membangkitkan/ menularkan emosi yang sama pada individu calon pengikut.
12
Pola lain yang juga dilakukan dalam upaya meradikalisasi individu adalah dengan menggunakan model pimpinan (leader) yang kharismatik. Figur kharismatik tersebut dapat menjadi model belajar bagi calon individu yang akan direkrut. Pola ini sering terjadi pada kelompok yang akan merekrut “pengantin” (suicide bomber). Pada proses ini terjadi subordinasi identitas individu terhadap identitas kolektif yang diwakili sosok pemimpin kharismatik yang destruktif.
C. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yang telah kami lakukan adalah penelitian survey terhadap masyarakat Jakarta untuk mengetahui konsep Jihad dan Syariah dalam pandangan masyarakat Jakarta. Dalam penelitian tersebut ditemukan fakta bahwa radikalisme agama muncul dalam bentuk upaya menerapkan syariah secara formal dan upaya mengasosiasikan kata “jihad” dengan “perang”. Sebagaimana batasan radikalisme dalam Mariam Webster (2011) dalam penelitian ini juga terungkap fakta bahwa konsep radikalisme agama yang terjadi pada masyarakat Jakarta sebagai buah dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.
13
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan memahami gejala psikososial yang menyebabkan terjadinya radikalisme agama dalam bentuk konflik antar agama atau kelompok agama.
B. Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus diarahkan untuk menyusun suatu strategi early warning system atas radikalisme dan terorisme dengan menggunakan ilmu psikologi sebagai pendekatannya. Radikalisme dan terorisme bukanlah fenomena baru, namun sejauh ini pemerintah belum dapat menanggulanginya, sehingga fenomena radikalisme dan terorisme selalu berulang. Tidak adanya upaya yang baik dan komprehensif untuk menghadapinya, membuat kelompok-kelompok tersebut tidak pernah kehabisan energi, taktik dan anggota yang siap melakukan aksi teror bahkan meski harus bersabung nyawa. Imbasnya, korbannya pun semakin banyak. Sampai pada tahapan tertentu, aksi-aksi tersebut tidak cuma mengganggu rasa aman masyarakat, hal itu pada gilirannya juga mengganggu stabilitas negara.
Objek penelitian ini adalah mereka yang pernah melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme. Wilayah penelitian meliputi Cikuesik, Banten; Sampang, Jawa Timur; dan Bogor, Jawa Barat. Sehingga, dari data-data yang diperoleh itu diharapkan diperoleh pra kondisi yang men-triger aksi-aksi kekerasan dan terorisme baik menyangkut faktor mikro yakni kondisi personal pelaku dan kondisi makro. Yakni kondisi sosial yang bisa memacu pelaku menjalankan aksi-aksinya. Dari situlah diharapkan bisa diperoleh sistem deteksi dini dan sistem penanganan dini yang aplicable dan praksis.
Menghadang radikalisme membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Akan sangat bergantung kepada bagaimana cara kita memahami fenomena tersebut. Selama ini fenomena terorisme dan radikalisme dipahami secara makro dengan pendekatan ekonomi dan sosial semata seperti tingkat pendidikan dan keterbelakangan ekonomi dan lain-lain. Pendekatan
14
tersebut tidaklah cukup. Mengingat teroris juga manusia maka perlu komplemen pendekatan yang lebih mikro yakni melibatkan proses-proses psikososial.
Dengan menggunakan pendekatan seperti itulah diharapkan bisa terbentuk suatu sistem deteksi dan peringatan dini radikalisme dan terorisme.
C. Keutamaan (Urgensi) Penelitian
Penelitian ini juga penting karena pada akhirnya ditujuan untuk selain mencegah munculnya aksi radikalisme dan terorisme dengan melakukan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kegawatan dari kondisi yang ada. Pada akhirnya, diharapkan penelitian ini bisa berkontribusi luas memperkuat stabilitas, keamanan negara sehingga mendukung iklim investasi ekonomi dan pariwisata nasional. Sebab, diakui maupun tidak, radikalisme agama sangat mempengaruhi pertimbangan calon investor dan juga wisatawan mancanegara.
D. Manfaat dari Inovasi yang dihasilkan
Melalui penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan karya ilmiah yang dapat menjadi acuan sistem penanganan dan pencegahan munculnya radikalisme agama. Dengan adanya sistem yang akan dibuat ini, penanganan radikalisme agama akan disesuaikan dengan kadar permasalahanya. Dengan sistem ini juga diharapkan, level penanganan radikalisme agama dapat disesuaikan dengan tingkat keseriusan ancaman dari tiap level peringatan yang ada.
15
BAB IV
METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk membuat sistem peringatan dini radikalisme agama sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk melihat keajegan dari sistem yang sudah dibuat dan kemudian menjadi acuan untuk membuat sistem penanganan dini radikalisme yang harus dilakukan di wilayah Jakarta. Pendekatan kualitatif akan menggunakan beberapa metode sedangkan pendekatan kuantitatif akan menggunakan metode survei.
Metode yang akan digunakan pada pendekatan kualitatif adalah metode etnografi dan studi kasus. Etnografi merupakan metode penelitian yang berupaya melihat gambaran utuh kondisi masyarakat suatu daerah sedangkan studi kasus adalah metode kualitatif yang mencoba menggambarkan secara utuh sebuah kasus yang diteliti (Irawan, 2007).
Berdasarkan kedua metode ini diharapkan dihasilkan data yang dibutuhkan untuk membuat sistem peringatan dini sebagaimana luaran yang diharapkan dalam penelitian.
Sedangkan untuk luaran berupa penanganan dini radikalisme agama di wilayah Jakarta, digunakan metode survei pada warga Jakarta. Metode survei adalah metode yang dilakukan untuk memperoleh gambaran sikap dan persepsi masyarakat secara luas (Shaughnessy, Zechmeister, dan Zeichmeister, 2006). Adapun sikap dan persepsi yang akan digali dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi masyarakat Jakarta terhadap agama, keberagamaan, dan hubungan antar agama.
B. Lokasi Penelitian
Untuk pembuatan sistem peringatan dini radikalisme agama, lokasi penelitian terdiri dari: lokasi untuk meneliti gambaran sosial dan lokasi untuk membuat deskripsi psikis.
Untuk mendapat gambaran sosial, lokasi penelitian yang dipilih adalah: Cikeusik, Banten, Sampang, Jawa Timur, dan Bogor, Jawa Barat. Tiga daerah ini dipilih karena ketiga daerah ini merupakan daerah tempat terjadinya radikalisme agama di tahun ini. Cikeusik merupakan daerah terjadinya radikalisme agama yang mengarah pada agresifitas kepada kelompok agama sempalan, Temanggung merupakan daerah yang mengarah pada radikalisme antar umat beragama, sedangkan Cirebon merupakan daerah terjadinya radikalisme agama yang mengarah pada tindakan subversif dan kekerasan.
16
Sedangkan lokasi untuk mendapatkan gambaran psikis, lokasi penelitian akan menyesuaikan dengan lokasi dari responden penelitian. Oleh karenanya, untuk aspek ini penelitian dapat dilakukan di penjara, di rumah, atau di tempat lain yang memungkinkan pengalian data. Namun demikian area penelitian akan dibatasi pada wilayah Jakarta, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Pada penelitian yang bertujuan membuat sistem penanganan dini radikalisme agama di Jakarta lokasi penelitian penelitian yang dipilih adalah lima wilayah Jakarta, yaitu:
Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat. Secara khusus, penelitian akan dilakukan di kecamatan pada masing-masing wilayah dimana responden tinggal. Masing-masing wilayah (kota administratif) nantinya akan dipilih beberapa kecamatan sebagai cluster untuk mewakili populasi.
C. Responden Penelitian
Untuk pembuatan sistem peringatan dini radikalisme agama, pemilihan responden menggunakan dua teknik, yaitu: snowball dan purposive. Teknik snowball merupakan teknik pemilihan responden dengan meminta responden sebelumnya memberitahukan responden berikutnya yang akan digali datanya (Neuman, 2000). Pada penelitian ini, teknik snowball dilakukan untuk memperoleh data yang dapat memberikan gambaran sosiologis terjadinya radikalisme agama. Responden yang akan mengawali penggalian data pada teknik ini antara lain: aparat pemerintah (desa hingga kebupaten), kepolisian, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
Selain teknik snowball, penelitian ini juga akan menggunakan teknik purposive, yaitu pemilihan responden yang dilakukan atas kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penelitian (Neuman, 2000). Berdasarkan teknik ini, target individu yang akan menjadi responden penelitian adalah orang-orang yang pernah terlibat dalam kegiatan radikalisme agama. Penentuannya responden dilakukan berdasarkan data sekunder yang sudah dianalisa terlebih dahulu.
Sedangkan untuk penelitian survei, responden dipilih menggunakan teknik cluster sampling. Cluster sampling adalah teknik pemilihan responden penelitian yang dilakukan karena keterbatas data mengenai populasi dengan menentukan daerah-daerah (cluster) yang akan menjadi sample penelitiannya (Arihanto, 2000). Berdasarkan teknik ini, ditetapkan 200 orang yang akan menjadi responden penelitian yang tersebar pada lima kota administratif
17
Jakarta dimana tiap wilayah ditargetkan 40 orang yang tersebar pada beberapa kecamatan.
Pada penelitian ini, target responden adalah remaja dan dewasa.
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pendekatan kualitatif, data dikumpulkan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya: wawancara mendalam dan observasi.
E. Teknik Analisa Data
Pada penelitian kualitatif, data yang sudah diperoleh kemudian dianalisa menggunakan teknik analisa data kualitatif berupa reduksi data dan kategorisasi. Pada reduksi data, peneliti akan membuat kodifikasi pada data-data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan menyingkirkan data yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil kodifikasi kemudian dikategorisasikan sesuai dengan tema dari data yang sudah direduksi sehingga bisa didapatkan gambaran sosial dan psikis sesuai dengan tujuan penelitian.
F. Pihak yang akan Dilibatkan
Beberapa pihak yang akan dilibatkan dalam penelitian ini adalah kepolisian setempat yang saat ini sudah mulai dijajaki melalui pihak kepolisian nasional (Polri). Selain itu, penelitian ini juga akan melibatkan aparat pemerintah setempat, warga masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan ilmuan. Beberapa pihak diharapkan dapat diajak terlibat untuk penelitian ini melalui jaringan Organisasi Muhammadiyah.
Pada organisasi Muhammadiyah, melalui Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA (UHAMKA), sudah terlibat aktif dalam penelitian ini sampai pada memberikan dana untuk penelitian. Tujuan keterlibatan Muhammadiyah melalui UHAMKA dalam penelitian ini, khususnya, untuk mendapat gambaran upaya yang dapat dilakukan oleh Muhammadiyah dalam mengambil peran yang lebih besar sebagai bagian dari upaya mencegah radikalisme agama di Jakarta.
18
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Kasus Cikeusik
Kasus yang terjadi di daerak Cikesik Provinsi Banten pada 6 Februari 2011 adalah pertikaian massa dengan menggunakan senjata tajam, batu dan bom molotov yang telah berakibat jatuhnya korban meninggal. Pertikaian terjadi antara masyarakat setempat yang beragama Islam dengan pengikut Ahmadiyah. Hasil penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan mantan Wakil Gubernur Banten periode 2009-2013, pejabat yang menjadi Wakil Gubernur ketika peristiwa Cikesik terjadi, dan wawancara dengan seorang nara sumber lain (W) yang merupakan penduduk tetangga kampung Cikesik.
Dari kedua nara sumber diperoleh informasi bahwa peristiwa di Cikesik tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terdapat gejala-gejala awal yang membuat masyarakat setempat mengalami ketidak nyamanan. Seorang laki-laki warga Cikesik (S) yang lahir, dibesarkan dan bersekolah dan belajar mengaji di desa tersebut telah menjadi pengikut Ahmadiyah.
Tidak diperoleh keterangan yang jelas bagaimana S menjadi pengikut ajaran tersebut.
Dengan menjadi pengikut Ahmadiyah ia tidak pernah lagi mengikuti kegiatan keagamaan bersama warga setempat. Ia dilihat sebagai orang yang berbeda, tidak mau ikut sholat berjamaah, baik sholat lima waktu maupun sholat jum’at. Beberapa anggota keluarganya diajak oleh yang bersangkutan untuk menjadi pengikut Ahmadiyah. Ia pernah diminta pergi (diusir) oleh beberapa warga karena paham dan keyakinannya yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat disana. Oleh sebab itu S keluar dari Cikesik, dan kemudian diketahui hijrah ke Filipina. Ia menikah dengan wanita berkewarga negaraan Filipina.
Sebelum terjadi kerusuhan ia kembali menetap di Cikesik dan tetap menjadi pengikut Ahmadiyah. Warga menerimanya kembali. Dalam pergaulan sehari-hari S membaur dengan warga setempat, tetapi ketika beribadah ia tidak bergabung dengan jemaah masjid setempat.
Menurut nara sumber warga tidak mempersoalkan keyakinan S yang berbeda, sama seperti warga berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari agama lainnya. Sampai kemudian ke daerah tersebut datang orang luar mengunjungi S dan mengadakan pengajian Ahmadiyah di rumahnya.
19
Menurut nara sumber S diperingatkan oleh warga agar tidak mengundang orang dari luar untuk sering mengadakan pengajian di rumahnya. Selain itu diperoleh pula informasi oleh warga bahwa beberapa keluarga S beralih keyakinan mengikuti paham Ahmadiyah.
Peringatan warga tidak mengurangi aktifitas S. Bersama jemaah Ahmadiyah yang datang dari luar desa pengajian tetap berlangsung. Keadaan ini mulai menimbulkan keresahan di kalangan warga desa tersebut. Peringatan-peringatan dan intimidasi makin sering dilakukan terhadap S, yang akhirnya membuat S merasa takut dan meminta perlindungan Polisi.
Berdasarkan permintaan tersebut S dan keluarga intinya diamankan di kantor polisi.
Sementara S di kantor polisi, rumahnya didatangi jemaah Ahmadiyah. Warga desa berkumpul di depan rumah S dan jemaah Ahmadiyah berada di dalam rumah. Masing- masing pihak sudah bersiap dengan senjata masing-masing berupa batu, serta senjata tajam lain, termasuk bom molotov.
B. Deskripsi Kasus Bogor
Menurut pihak Gereja, awal mula permasalahan adalah pada saat Pemda setempat mencabut IMB Gereja yang awalnya sudah dikeluarkan melalui proses yang sudah dijalankan oleh pihak Gereja. Pemda merasa ditekan oleh kelompok-kelompok tertentu yang menamakan dirinya Keluarga Muslim Bogor. Dari aspek hukum, pihak Gereja sudah memenangkan perkara sampai pada tingkat kasasi dan mendapatkan keputusan hukum tetap, namun tetap tidak dieksekusi oleh pemda sesuai dengan ketentuan hukum tersebut.
Pihak Gereja menyatakan ada kelompok-kelompok dari agama tertentu (Islam) yang dengan sengaja berupaya menutup Gereja tersebut, dengan meakukan beberap tindakan anarkis kepada jamaah Gereja. Misalnya, sekelompok orang dengan pakaian jubah putih mendekati lokasi Gereja setiap hari Minggu pagi (bertepatan dengan jadwal ibadah di Gereja Yasmin) dengan membawa benda-benda untuk menteror jamaah dan senjata tajam untuk mengancam, dengan intensitas yang semakin lama semakin tinggi dan jumlah kelompok yang semakin banyak.
Masih menurut pihak Gereja, kelompok Islam seringkali melakukan “provokasi”
terhadap masyarakat sekitar dengan menggunakan media khutbah Jum’at dan pamphlet yang disebarkan. Hal ini menunjukkan penggunaan simbol-simbol agama untuk melegitimasi tindakan kekerasan.
20
Sejauh ini, keterlibatan Pemda dalam memediasi masalah ini relative minim. Pemda melakukan intervensi sebatas memberikan saran untuk merelokasi lokasi Gereja. Sampai saat ini, pihak Gereja tetap bertahan dengan lokasi itu meskipun tidak ada lagi kegiatan ibadah yang dilakukan di dalamnya.
Namun, menurut kelompok yang bersebrangan dengan pihak gereja, masalah yang terjadi bukanlah pelaksanaan ibadah bagi jamaah Gereja semata. Mereka mengklaim bahwa Gereja tidak melakukan proses perizinan sebagaimana yang ditentukan dalam prosedur, bahkan Gereja melakukan manipulasi data yang berkaitan dengan ijin warga setempat terhadap pembangunan Gereja tersebut. Karena proses awalnya yang sudah manipulative, kelompok ini kemudian terus melakukan perlawanan sampai saat ini.
Jika melihat aspek situasi sosial yang melatari masalah ini maka dapat dideskripsikan bahwa masyarakat di sekitar Gereja merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Namun jika melihat pda sekitar komplek perumahan Yasmin yang merupakan lokasi kejadian, terdapat beberapa tempat ibadah umat Islam (masjid dan musholla).
C. Deskripsi Kasus Sampang
Tahun 2004 dianggap merupakan kejadian awal. Tahun ini dianggap awal dari permasalahan Syiah dan Sunni di Sampang namun informasi mengenai ini tidak cukup spesifik karena umumnya sudah hilang dari memori kolektif sehingga bagi beberapa informan tahun ini agak diragukan. Namun hal ini menunjukkan bahwa sesunggunya konflik Sampang sudah mulai terbaca sejak tahun ini.
Pada tahun 2006 muncul permasalahan wanita menjadi sumber pemicu pecah kongsi antara Tajul (yang dianggap mewakili kelompok Syiah) dan Rois (yang dianggap mewakili kelompok Sunni). Menurut beberapa informan, Tajul menikahkan wanita yang sudah dilamar Rois dengan orang lain namun menurut Tajul, Rois tidak pernah secara tegas menyatakan telah melamar dan Rois dianggap memiliki sifat yang tidak baik dalam poligami.
Kejadian yang bermula dari permasalahan wanita menyebabkan Rois keluar dari organisasi yang sama dengan Tajul. Keluarnya Rois dari organisasi yang sama dengan Tajul dianggap akibat dari permasalahan wanita yang ada sebelumnya namun pendapat lain lebih mengarah pada perbedaan keyakinan antara Rois dan Tajul terkait organisasinya yang
21
mengarah pada Syiah. Hal ini kemudian menyebabkan munculnya tuduhan Tajul Syiah walaupun tuduhan ini agak terlambat karena diyakini keyakinan Syiah yang dianut oleh Tajul sudah lama sejak sebelum dia berangkat sekolah ke Timur Tengah bahkan orangtuanya (yang juga orangtua dari Rois) juga dipercaya sebagai pengikut Syiah.
Walaupun sebagian meyakini Syiah-nya Tajul terjadi setelah kepulangannya dari Timur Tengah untuk belajar agama.
Keyakinan Syiah Tajul diakui olehnya walaupun agaknya hal ini sudah bukan rahasia lagi. Namun warga mengatakan perbedaan antara Syiah dan Sunni tidak terlalu terlihat karena bukan pada hal-hal pokok sebagaimana perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Untuk menguatkan perbedaan antara Syiah dan Sunni, Rois menggunakan pengeras suara mushola untuk menyampaikan perbedaan tersebut serta menyebarkan kebencian terhadap Syiah. Menurut pihak yang lain hal ini untuk meng-counter ceramah yang dilakukan oleh Tajul yang menggunakan pengeras suara mushola untuk mengajak masyarakat yang Sunni bergabung dengan Syiah dan cenderung menjelekkan Sunni.
Beberapa warga menyatakan Tajul tidak pernah menggunakan to'a (pengeras suara saat menyampaikan ajarannya) namun Tajul sendiri mengakui menggunakan pengeras suara walaupun hal itu dilakukannya untuk meng-counter ceramah Rois yang menjelekkan Syiah.
Tersebar ke kiai Madura mengenai isu Syiah Tajul. Akibat budaya Madura yang masih sangat kental dengan budaya patron pada kiai menyebabkan masalah perbedaan keyakinan menjadi semakin tajam karena sebagian besar kiai Madura merupakan kiai Sunni.
Namun masalah ini isu Syiah tajul agaknya sudah diketahui oleh kiai Madura sebelum terangkatnya masalah ini karena kiai Sampang dekat dengan kiai Pamekasan (salah satu kiai berpengaruh di Madura) yang cenderung berhaluan keras dan kiai Pamekasan juga merupakan paman dari Tajul. Oleh karena kedekatan kekerabatan Tajul dan kiai Pamekasan sangat mungkin tejadi bahwa kiai Pamekasan sudah mengetahui sejak lama bahwa Tajul beraliran Syiah.
Namun disisi lain, kelompok Syiah juga mendapat dukungan berupa kunjungan, salah saorang tokoh Syiah nasional ke Sampang selama beberapa kali. Namun tidak dapat dikonfirmasi tujuan kedatangan beliau ke Sampang. Selain itu, dukungan juga muncul dari pernyataan petinggi Syiah Nasional yang secara tidak langsung turut mendukung Tajul.
Dalam suatu kesempatan tahun 2006, dilakukan debat antara Tajul dengan ulama terkait dengan pemahaman keislaman. Dalam debat ini Tajul menang debat ini diadakan
22
terbuka dan disaksikan oleh banyak orang. Kemenangan Tajul dianggap karena pengalaman luar negerinya mendukung penguasaannya pada materi perdebatan yang tidak sesuai dengan Kiai lokal yang umumnya memiliki pengetahuan terbatas. Namun kemenangan Tajul juga dianggap menentang kiai dan bertentangan dengan budaya patron pada kiai yang banyak dipraktekkan dalam masyarakat Madura.
Kelompok Sunni kembali mendapat dukungan dari kejaksaan, kepolisian, dan MUI setempat yang menyatakan bahwa ajaran Tajul dan pengikutnya sebagai aliran sesat.
Dengan demikian ada upaya untuk mengecilkan kelompok Tajul. Namun petinggi Syiah pusat menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Tajul bukanlah ajaran sesat namun ajaran Syiah.
Setelah lebaran 2012, 40 santri Syiah yang akan kembali ke Bangil untuk sekolah (sekolah syiah) dicegat warga dengan golok dan membawa celurit. Santri dan keluarga diminta pulang dengan berjalan kaki. Berdasarkan hasil observasi, kendaraan roda 4 tidak memungkinkan untuk masuk desa karena ketiadaan akses jalan sehingga keluar masuk desa memang harus dilakukan dengan berjalan kaki sekitar 500 meter hingga 1 km.
Dalam kegiatan pencegatan ini beredar isu bahwa di mushola (langgar) tajul sudah siap dengan molotov. Menurut polisi, yang ada bukanlah molotov namun bom ikan. Namun sumber informasi dari salah seorang warga menyebutkan bunyi ledakan berasal mercon, Istri Tajul mengatakan sumber ledakan berasal dari ledakan kompor gas. Namun berdasarkan informasi dari istri Tajul, mereka telah mendapat ancaman tindakan kekerasan beberapa minggu/ hari sebelumnya apabila mereka tetap akan melanjutkan berangkat ke Bangil.
24 Agustus 2012 terjadi pembakaran puluhan rumah warga yang dianggap sebagai pengikut Syiah. Berdasarkan informasi yang diakui pelaku tidak hanya warga setempat namun juga warga dari kecamatan lain ikut terlibat dalam pengusiran. Karena lokasi yang sulit, polisi tidak mudah untuk mengatasi pembakaran tersebut.
D. Gambaran Umum Konflik Akibat Radikalisme Agama
Berdasarkan temuan lapangan terhadap kerusuhan berlatar belakang radikalisme agama yang terjadi di Cikeusik, Bogor, dan Sampang dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Tahap pertama terjadinya konflik adalah penguatan perbedaan antar kelompok yang dilakukan secara terbuka dan massif disertai kebencian terhadap kelompok lain. Pada tahap
23
kedua, mulai terjadi konsolidasi masing-masing kelompok keluar dan kedalam terkait ancaman yang berasal dari kelompok lawannya.
Pada tahap ketiga, pra konflik memasuki fase kritis dimana kondisi psikososial sudah siap dipicu untuk menjadi konflik yaitu adanya ancaman kekerasan dan penggunaan senjata terhadap kelompok lain baik dalam rangka penyerangan atau pertahanan. Berikut table yang menggambarkan tiga kondisi tersebut:
24
Tabel 1
Level Eskalasi Konflik
Tahap Konflik Cikeusik Bogor Sampang
Waspada (level I) penguatan perbedaan antar kelompok yang dilakukan secara terbuka dan massif disertai kebencian terhadap kelompok lain
• Adanya rasa tidak suka terhadap aktivitas pengajian yang dilakukan oleh seorang warga yang dianggap pengikut Ahmadiyah
• Kelompok merasa terganggu dengan adanya pembangunan Gereja di Yasmin, sudah ada isu kristenisasi
• Persepsi pada masyarakat bahwa tentang GKI sebagai aliran yang “nakal” (bisa jadi menimbulkan reaksi dan resistensi yang lebih tinggi daripada aliran lain di Gereja)
• Kelompok Sunni merasa terganggu dengan aktivitas yang dilakukan kelompok syiah yang banyak menyebabkan warga berpindah keyakinan.
• Masing-masing kelompok menggunakan pengeras suara untuk menguatkan perbedaan antar kelompok yang disertai kebencian terhadap kelompok lain
Siaga (level 2) konsolidasi masing- masing kelompok keluar dan kedalam terkait ancaman yang berasal dari kelompok lawannya
• Upaya bersama yang dilakukan oleh banyak pihak yang untuk menolak kehadiran orang yang menyebarkan ajaran Ahmadiyah
• Beredar isu akan adanya kunjungan dari Ahamdiyah pusat sebagai bentuk dukungan terhadap aktivitas
Ahmadiyah yang dilakukan di daerah tersebut
• Mendesak kepada walikota Bogor untuk menarik IMB Gereja, bahkan walikota tidak melakukan putusan hkum atas perkara ini yang sudah dimenangkan di tingkat kasasi (untuk memberlakukan kembali IMB).
• Sudah mulai menggandeng komuniyas muslim lain, diantaranya Forkami, Komunitas Muslim Bogor, FPI.
• Sudah mulai disuarakan di khutbah Jum’at di daerah sekitar Gereja tentang bahasa kristenisasi yang mungkin akan dilakukan oleh Gereja.
• Menyebar pamphlet yang berisikan ajakan untuk waspada terhadap Gereja Yasmin
• Masing-masing pihak mendapat dukungan dari institusi atau individu yang dianggap mewakili kelompok yang lebih besar.
• Kelompok sunni mendapat dukungan dari kiai daerah lain, MUI, dan pemda sedangkan kelompok syiah mendapat dukungan dari tokoh syiah nasional
Awas (level 3) adanya ancaman kekerasan dan penggunaan senjata terhadap kelompok lain baik dalam rangka penyerangan atau pertahanan
• Ancaman tindak kekerasan terhadap penyebaran ajaran Ahmadiyah.
• Isu adanya batu dan bahan-bahan lain yang disiapkan sebagai senjata dalam rumah orang yang menyebarkan ajaran Ahmadiyah
• Sekelompok massa memblokade jalan/akses ke Gereja dengan membawa benda serta senjata tajam, dan tidak memperbolehkan jamaah mendekat ke Gereja.
• Sekelompok orang (sunni) melakukan ancaman terhadap syiah terkait dengan rencana keberangkatan ke Bangil
• Pemaksaan kelompok syiah untuk kembali ke rumah dengan ancaman dan
penggunaan senjata
• Isu adanya peledak di mushola kelompok syiah
25
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Berdasarkan rencana jangka panjang penelitian (3 tahun), maka tahap berikutnya (tahap kedua) adalah upaya mengenali dan mendeteksi sedini mungkin radikalisme agama yang dapat menyebabkan individu melakukan tindakan teorisme. Dengan demikian penelitian akan ditujukan untuk mengidentifikasi gambaran psikologis individu pelaku. Setelah didapatkan hasil penelitian dan peringatan dini radikalisme agama pada individu maka dapat dibangun sistem penanganan dini yang sesuai dengan tingkat permasalahan dan keluasan konflik (individu atau sosial).
26
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konflik sosial yang terjadi akibat radikalisme agama bukanlah suatu yang tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hal itu dapat dideteksi sejak dini. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tahap terjadinya konflik sosial akibat radikalisme agama berawal dari perbedaan dan upaya menunjukkan kebencian terhadap perbedan tersebut. Pada tahap berikutnya adalah upaya konsolidasi keluar dan kedalam sebagai upaya mengatasi kelompok lain. Pada tahap terakhir yang siap dipicu menjadi konflik sosial adalah adanya ancaman penggunaan senjata terhadap kelompok lain baik sebagai bentuk serangan atau pertahanan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, disarankan kepada pemerintah dan pihak keamanan untuk segera mengambil tindakan yang tepat dan sesuai berdasarkan fakta lapangan dan level kegawatan menuju konflik. Dengan tindakan yang tepat sesuai dengan levelnya maka diharapkan konflik sosial yang terjadi akibat radikalisme agama dapat dihindari.
27
DAFTAR PUSTAKA
Arihanto, S. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rika Cipta
Hashmi, A. S. 2009. Terrorism, Religious Radicalism, and Violence: Perspectives from Pakistan. Institute of Peace and Conflict Studies 2011
Hollander, P. 2008. Political Violence: Belief, Behavior And Legitimation. Palgrave Macmillan.
Irawan, P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: untuk Ilmu-ilmu Sosial. Depok:
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Kappeler, S. 1995. The Will to Violence. UK: Polity Press and Blackwell Publisher.
Mariam Webster Dictionary Mei 2011
Moghaddam, F. M. 2005. The Staircase to Terrorism.
_______________. 2008. From The Terrorist Point of View: What They Experience and Why
They Came to Destroy. UK: Praeger Security International.
Neuman, W. L. 2000. Sosial Research Methods: Quantitative and Qualitative Approaches.
USA: Allyn Bacon.
Post, J. M., dkk. 2009. The Psychology of Suicide Terrorism. Psychiatry. 72.1 (Spring 2009):
Pgs: 13-3.
Rinehart, J. F. 2006. Apocalyptic Faith and Political Violence: Prophets of Terror. USA:
Palgrave Macmillan.
Shaughnessy, J.J., E.B. Zechmeister, J.S. Zechmeister. 2006. Metode Penelitian Psikologi, Ed.
7. (Penterjemah: H.P. Soetjipto dan S.M. Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
28
LAMPIRAN