• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Sistem pewarisan Adat Pada Masyarakat tolaki dikabupaten konawe Sulawesi tenggara

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Sistem pewarisan Adat Pada Masyarakat tolaki dikabupaten konawe Sulawesi tenggara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

P-ISSN: ……-…….; E-ISSN: ……….-………..

Volume 1, Issue Volume: 1, Number: 1 Maret 2023, Page No. 114-125

114 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

Sistem Pewarisan Adat pada Masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara

1Abdul Hafid*, 2Muhammad Reza, 3Ansar, 4Srimuryati, 5Nurdevi Bte Abdul

1,2,3,4,5

Universitas Muhammadya Makassar

*Correspondent Email: muhammadrezar875@gmail.com

Abstract. This paper is the result of research that aims to describe and determine the customary inheritance system of the Tolaki tribe in Abelisawah Village, Konawe Regency, Southeast Sulawesi Province. The customary law of inheritance for the Tolaki people contains rules or provisions governing how to forward and transfer tangible and intangible assets from heirs to heirs. Inheritance customary law or Sara Ine Petiara is Saarano Mombetia Hapo-Hapo Nobubungguno Ana Motuo Lakoine Ana Ronga Nggo-Nggo Tewali Membetado, meaning customary provisions governing the division of inheritance from parents to their children and to other people who are deemed entitled to get a share. The problem revealed in this study is how the application of the inheritance distribution system according to customary law applies to the Tolaki people. This study uses a qualitative- descriptive method, the data sources are primary and secondary with observation and interview data collection techniques. The findings of the research show that the distribution of inheritance to the Tolaki people is carried out according to custom and kinship which is regulated in several provisions related to the class of heirs (Nggo-Nggo Tewali Mombetado), inherited assets (Hapo-Hapo Tetewalipinetia) and the time of inheritance and the method of distribution . The division of the inheritance of the Tolaki tribe is based on the philosophy of "Tambuoki Ana Wula" meaning that all children have the same position in the distribution of inheritance. Conclusion The customary law of inheritance for the Tolaki people goes hand in hand with Islamic inheritance law. The same rules in inheritance reinforce each other, while different rules is a reciprocal relationship.

Keywords: Inheritance, Tolaki, Custom.

Abstrak. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengetahui sistem pewarisan adat suku Tolaki di Desa Abelisawah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Hukum adat pewarisan orang Tolaki ini memuat aturan-aturan atau ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan berwujud dan tidak berwujud dari pewaris kepada ahli warisnya. Hukum adat waris atau Sara Ine Petiara adalah Saarano Mombetia Hapo-Hapo Nobubungguno Ana Motuo Lakoine Ana Ronga Nggo-Nggo Tewali Membetado, artinya ketentuan-ketentuan adat yang mengatur tentang pembagian harta peninggalan dari orang tua kepada anak-anaknya dan kepada orang lain yang dipandang berhak untuk mendapat bagian. Masalah yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan sistem pembagian harta warisan menurut hukum adat yang berlaku pada masyarakat suku Tolaki. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif, sumber data yaitu primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data observasi dan wawancara. Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembagian warisan pada masyarakat suku Tolaki dilakukan secara adat dan kekeluargaan yang diatur dalam beberapa ketentuan yang terkait golongan ahli waris (Nggo-Nggo Tewali Mombetado), harta yang diwariskan (Hapo-Hapo Tetewalipinetia) dan waktu pelaksanaan pewarisan serta cara pembagiannya.

Pembagian harta warisan suku Tolaki didasari pada filosofi Tambuoki Ana Wula" artinya semua anak memiliki posisi yang sama dalam pembagian harta warisan. Kesimpulan Hukum adat pewarisan masyarakat Tolaki berjalan berdampingan dengan hukum pewarisan Islam, Aturan yang sama dalam pewarisan saling memperkuat, sedang aturan yang berbeda merupakan hubungan timbal balik.

Kata Kunci : Pewarisan, Tolaki, Adat.

(2)

115 | https://etdci.org/journal/ijesd/index PENDAHULUAN

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berkebudayaan di muka bumi ini. Kebudayaan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena manusia merupakan mahluk sosial, maka kebudayaan juga merupakan warisan sosial. Akan tetapi, kebudayaan hanya dapat diwariskan apabila dipelajari oleh pewarisnya. Setiap masyarakat memiliki unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal Koentjaraningrat (1983:2) menyatakan bahwa semua unsur kebudayaan yang universal pasti ditemukan di semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks. Setiap manusia yang berada dalam lingkaran kehidupan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu unit sosial atau dengan kata lain, mekanisme kehidupan sosial dijiwai dan dimotori oleh adat. Dalam kehidupan masyarakat suku Tolaki, adat merupakan faktor yang amat menentukan, dan juga merupakan manifestasi dari pandangan hidup mereka dalam institusi sosial dan menempati kedudukan tertinggi dalam mengatur pola tingkah laku kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari suku Tolaki umumnya masih terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adat yang dianggap luhur, terutama aturan-aturan adat dibidang pewarisan. Sejalan dengan itu, konsep hidup dalam hal pembagian harta warisan diatur menurut hukum adat yang berlaku. Hukum kewarisan adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses, meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya (Soepomo, l98l). Pewarisan merupakan perbuatan pengoperan sebagian harta kekayaan kepada ahli waris dalam keadaan pewaris masih hidup, dan di mana pemberian tersebut bersifat mutlak sebagai suatu pewarisan. Selanjutnya Manggau (1990: 12) dalam tulisannya diungkapkan, bahwa hukum kewarisan adat adalah keseluruhan aturan-aturan hukum mengenai penerusan dan peralihan kekayaan material dan inmaterial dari turunan ke turunan.

Hukum adat pewarisan orang Tolaki, yang memuat aturan-aturan atau ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud dan tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Sejalan dengan itu, konsep hidup dalam hal pembagian harta warisan diatur menurut hukum adat yang berlaku pada masyarakat suku Tolaki di Kabupaten Konawe. Proses penerusan dan peralihan harta kekayaan itu sendiri, sesungguhnya sudah dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris rneninggal dunia. Proses selanjutnya, berjalan terus hingga keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya.

Kajian tentang pewarisan menurut hukum adat Tolaki belum banyak dilakukan oleh para peneliti, meskipun ada beberapa di antaranya ditulis hanya merupakan sub judul dan tidak menjadi topik utama. Oleh karena itu, penelitian tentang penerapan sistem pewarisan menurut hukum adat suku Tolaki dirasakan sangat perlu mendapat perhatian serta penting untuk diidentifikasi, sehingga dapat diketahui secara komprehensif tentang pola pewarisan di kalangan suku bangsa Tolaki. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana sistem pembagian harta warisan menurut hukum adat yang berlaku pada masyarakat suku Tolaki. Penelelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengungkapkan sistem pewarisan menurut hukum adat suku Tolaki.

Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat positif kepada pemerhati hukum khususnya hukum adat, baik kalangan pemerintah yang terkait dengan institusi hukum, kalangan DPR sebagai institusi yudikatif, kalangan akademis, generasi muda, maupun masyarakat awam.

METODELOGI

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang memfokuskan pada sistem pembagian warisan berdasarkan hukum adat pada masyarakat Tolaki.

Lokasi penelitian di Desa Abelisawah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa masyarakat Tolaki yang berdiam di Desa Abelisawah masih kuat menerapkan hukum adat dalam pemabgian warisan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian berasal dari dua sumber, yaitu data primer data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan pengamatan (observasi). Informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh masyarakat, ketua adat dan pemerintah setempat. Teknik wawancara dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Data sekunder, yaitu data tertulis yang

(3)

116 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

diperoleh dari sumber arsip-arsip lokal yang berguna bagi penelitian seperti, tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pewarisan adat istiadat orang Tolaki dan sumber kepustakaan, seperti jurnal, artikel, makalah, tesis, disertasi, dan internet.

Dalam penelitian ini digunakan pula metode analisis deskriftif kualitatif, yaitu analisis data dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses penelitian dilaksanakan. Data diperoleh, kemudian dikumpulkan untuk diolah secara sistematis. Dimulai dari wawancara, observasi, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, selanjutnya aktivitas penyajian data serta menyimpulkan data. Teknis analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif. Pada penelitian ini, verifikasi data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian dilakukan. Sejak pertama memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan. Pada akhirnya, data akan diinterpretasikan dalam kaitannya dengan materi penelitian. Hasil analisis data merupakan jawaban terhadap masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini (Moleong 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam kehidupan sosial budaya pada masyarakat suku Tolaki, sistem kekerabatan masih memegang peranan penting dalam rangka menegakkan kehidupan bersama, baik sebagai suatu kelompok masyarakat maupun dalam kehidupan suatu komunitas tertentu. Dalam kehidupan masyarakat suku Tolaki mengenal pembentukan kerabat dari dua jalur, yakni jalur keturunan dan jalur perkawinan. Terbantuknya kekerabatan atas dasar keturunan disebut meohai (hubungan saudara) dan anamotuo (hubungan orang tua), sedangkan terbentuknya atas dasar hubungan perkawinan disebut penetono (hubungan suami istri, hubungan keluarga istri dan hubungan keluarga suami). Hubungan kekerabatan pada masyarakat suku Tolaki dikenal istilah aso iwoi aria'a yang berarti berasal dari satu sumber air, artinya dari istilah tersebut adalah berasal dari satu nenek moyang mereka. Sistem kekerabatan ini, terdiri atas meombue atau ombue (mbue=nenek) dan meolakiana. Meombue adalah semua individu yang mengelompok dalam suatu ikatan hubungan antara semua kakek dan nenek (baik saudara kandung maupun saudara sepupu sampai tiga kali dari kakek dan nenek), demikian pula untuk semua cucu dan cici. Kemudian yang dimaksud dengan meolakiana adalah semua individu yang mongelompok dalam lingkungan ikatan hubungan antara semua paman dan bibi (baik saudara kandung maupun saudara sepupu sampai tiga kali dari ayah dan ibu) dengan semua kemanakan (kemanakan kandung dan kemanakan sepupu sampai tiga kali). Hubungan paman dan bibi dengan kemanakan kandung ini, disebut mbeolaki'ana nggotukombo, sedang hubungan paman dan bibi dengan kemanakan sepupu disebut pula mbeolaki'ana mboteha.

Dalam bidang pewarisan yang berkenaan dengan penentuan ahli waris dapat didasarkan pada tiga sebab, yaitu karena hubungan nasab (kekerabatan), karena hubungan nikah dan karena hubungan wala' (memerdekakan budak). Dari ketiga sebab/faktor dalam penentuan ahli waris tersebut, maka faktor kekerabatan yang merupakan sebagai salah satunya faktor yang menyebabkan seseorang yang bisa menjadi ahli waris. Oleh karena itu, ahli waris yang lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan pewaris disebut ahli waris utama. Ahli waris ini dapat mengesampingkan keluarga lainnya sebagai ahli waris atau dapat pula menghalangi ahli waris lain, baik keluarga sedarah ke atas (ayah/ibu) maupun keluarga sedarah ke samping (saudara-saudara) pewaris. Demikian pula halnya dengan adat menetap sesudah menikah pada suku Tolaki di Desa Abelisawah, yaitu bagi mereka yang telah melakukan perkawinan disebut dengan istilah merapu, maka kedua pasangan suami isteri itu, mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan tempat tinggal. Mereka dapat memilih untuk bertempat sementara di kediaman kerabat suami ataupun (utrolokal), ataupun di tempat lain yang dikehendaki oleh mereka berdua (neoloka). Dalam aktivitas sehari-hari mereka senantiasa selalu bekerja sama (bergotong royong) atau disebut dengan istilah lokalnya samaturu, kegiatan seperti ini yang selalu dilaksanakan di daerah tersebut adalah seperti; membuat rumah (mowailaika), menanam padi (motasu), atau menuai padi (mosowi), membuka jalan (mobuka osala), menyumbang dalam bentuk perkawinan (mesoko), dalam bentuk kematian (melesi iwawo matea) dan dalam bidang pendidikan. Sifat kegotong-royongan yang ada di Desa Abelisawah pada dasarnya merupakan salah satu penopang bagi pemerintah desa dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan dalam masyarakat.

(4)

117 | https://etdci.org/journal/ijesd/index a Pewarisan Menurut Adat Tolaki

Pewarisan adalah penerusan dan peralihan kekayaan rnateril dan inmaterial dari keturunan ke keterunan (Ter Haar, 1974:231). Pendapat tersebut memberi kesan tentang adanya hubungan kekerabatan antara pewaris dengan ahli waris. Berbicara tentang hubungan kekerabatan seseorang tidak akan terlepas dari pranata kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat di mana orang itu menjadi anggotanya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam menentukan ahli waris sangat terkait dengan pranata kekerabatan yang dianut oleh anggota masyarakat.

Hukum adat waris atau sara ine petiara adalah saarano mombetia hapo-hapo nobubungguno ana motuo lakoine ana ronga nggo-nggo tewali membetado, yakni ketentuan-ketentuan adat yang mengatur tentang pembagian harta peninggalan dari orang tua kepada anak-anaknya dan kepada orang lain yang dipandang berhak untuk mendapat bagian. Dalam kehidupan rumah tangga orang Tolaki, salah satu kewajiban pokok orang tua (ayah dan ibu) sebelum meninggal adalah membagikan harta warisan kepada ahli warisnya, yakni kepada anak-anaknya secara adil sesuai ketentuan hukum adat orang Tolaki. Dahulu pembagian harta warisan terkadang dilakukan setelah orang tua telah meninggal dunia, namun cara seperti itu dapat memungkinkan terjadinya perselisihan di antara ahli waris. Dalam perkembangannya, dimana orang Tolaki saat ini lebih cendrung mulai membagikan harta warisan tersebut selagi mereka masih hidup, sehingga anak-anak mereka mulai langsung secara mandiri memelihara/merawat harta atau barang warisan yang menjadi miliknya. Cara seperti itu, tentu saja akan mencegah terjadinya sengketa di antara ahli waris sepeninggal orang tua nantinya. Secara umum pembagian harta warisan kepada ahli waris didasari oleh sebuah filosofi yakni “tambuoki ana wula,”

yang berarti bahwa tidak ada anak emas atau anak yang diistimewakan dalam sebuah keluarga. Semua anak memiliki posisi yang sama di hadapan orang tua, serta didasarkan pula pada azas keadilan dan pemerataan. Hal ini terlihat dari kedudukan yang sama semua anak-anak yang menjadi ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan.

b. Beberapa Golongan Ahli Waris menurut hukum Adat Tolaki (Nggo-Nggo Tewali Mombetado)

Seseorang yang tergolong sebagai ahli waris adalah di dasarkan atas hubungan kekeluargaan, tali perkawinan dan keturunan, yakni anak, saudara-saudara, bapak dan ibu pewaris, kakek/nenek pewaris serta janda atau duda. Ahli waris yang lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan pewaris disebut ahli waris utama. Kedudukan ahli waris utama ini dapat mengesampingkan keluarga lainnya sebagai ahli waris atau dapat pula menghalangi ahli waris lain, baik keluarga sedarah ke atas (ayah/ibu) maupun keluarga sedarah ke samping (saudara-saudara) pewaris. Berdasarkan hukum adat setempat, bahwa di daerah ini terdapat adanya penggolongan ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari orang tuanya yang bedasarkan keutamaannya; yaitu anak/cucu yang merupakan sebagai keturunan langsung dari seseorang yang lahir dari perkawinan yang sah. Kelompok anak/cucu tersebut, telah menempatkan sebagai ahli waris kelompok utama penerima warisan yang ditinggalkan oleh ayah/ibunya. Kelompok ahli waris utama tersebut dapat pula menghalangi ahli waris lainnya, seperti ayah, ibu, nenek, kakek, saudara dan sebagainya. Dengan adanya anak, maka bagian ayah, ibu, kakek, nenek dan keluarga lainnya untuk mendapatkan harta warisan menjadi terhalang sepenuhnya, yaitu sama sekali tidak mendapatkan harta warisan.

Dalam hubungannya dengan kedudukan anak sebagai ahli waris, maka dikalangan masyarakat Tolaki tidak hanya mengenal anak kandung saja yang dapat memperoleh warisan, melainkan anak zina (anak yang lahir diluar perkawinan), anak tiri dan anak angkat. Tentang anak zinah daerah suku Tolaki yang juga disebut ana bule, dianggap tidak mempunyai ikatan kekeluargaan dengan ayahnya yang membenihkan, akan tetapi si anak tersebut mempunyai ikatan kekeluargaan dengan ibunya. oleh karena itu baik dalam hukum adat maupun hukum Islam dalam hal pewarisan, menetapkan bahwa kedudukan anak zina itu hanya berhak menjadi ahli waris terhadap ibunya atau keluarga dari ibunya, dan sama sekali tidak dapat menjadi ahli waris dari ayah.

Demikian halnya dengan anak tiri, menurut ketentuan adat yang berlaku di daerah ini bahwa anak tiri hanya berhak menjadi ahli waris dari ibu atau bapak kandungnya. Selanjutnya tentang anak angkat atau anak diambil dari salah satu anggota keluarga sendiri atau kerabat terdekat, mereka tetap wajib menghormati dan menolong orang tua angkatnya, dan sebaliknya jika anak angkat tersebut

(5)

118 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

kurang memenuhi kewajibannya, maka ia dapat dianggap memutuskan pertalian kekeluargaan dengan orang tua angkatnya. Dalam hukum pewarisan, dimana kedudukan anak angkat tersebut tidak merupakan ahli waris dari ayah atau ibu angkatnya, melainkan anak angkat itu hanya boleh memperoleh hiba/pemberian (tiare) atau wasiat (oliwi anamutoa) dari ayah/ibu angkatnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada hubungan darah (keturunan) dari salah satunya.

Berbeda halnya dengan ketentuan adat yang berlaku pada masyarakat suku Tolaki tentang anak angkat, dimana dikalangan orang-orang Tolaki, kedudukan anak angkat dapat diperlakukan sebagai anak keturunan sendiri baik lahir maupun bathin, misalnya seseorang meninggal dunia mempunyai anak kandung dan anak angkat, maka dalam hal ini kedudukan anak angkat dalam pembagian warisan sama dengan anak kandung. Namun dalam ketentuan adat tersebut, anak angkat hanya berhak mendapat warisan dari harta bersama (bali reso) dan tidak berhak mewarisi harta bawaan (barang teari) dari ayah atau ibu angkatnya, akan tetapi apabila tidak mencukupi harta bersama, maka dapat saja dicukupkan dengan mengambil harta bawaan. Selain itu anak angkat tetap berhak pula untuk mendapatkan warisan dari orang tua kandungnya, jadi anak angkat memperoleh harta warisan dari dua sumber, sehingga timbul istilah orang-orang Tolaki bahwa anak angkat menerima “air dari dua sumber air” artinya di samping memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya juga memperoleh harta warisan dari orang tua kandungnya. Ini berarti bahwa dalam menentukan ahli waris di daerah tersebut tidak hanya ditentukan melalui pertalian darah, tetapi ditentukan pula melalui pertalian ikatan sosial.

Ahli waris lainnya yang termasuk golongan utama adalah janda dan duda, baik dalam aturan hukum adat pewarisan maupun dalam hukum pewarisan Islam yang menetapkan, bahwa isteri (janda) adalah ahli waris dari suaminya begitu pula sebaliknya. Adanya hak saling mewarisi ini, disebabakan karena mempunyai hubungan perkawinan. Kalau di dasarkan atas persamaan sedarah, maka jelas janda dan duda tidak mungkin menjadi ahli waris, akan tetapi dalam perkembangannya dan kenyataan yang ada pada masyarakat Suku Tolaki di Desa Abelisawah terdapat kesadaran yang menganggap bahwa meskipun janda pewaris hanya dianggap sebagai orang asing (oraki I'ka), namun dipandang patut dan berhak untuk ikut menikmati hasil keringat atau usaha bersama dengan suaminya selama hidup berumah tangga dengannya. Jadi dalam hal ini tidak hanya melihat persamaan sedarah saja, melainkan lebih dari itu bahwa dalam perkawinan hubungan lahir maupun bathin antara suami dengan isteri dapat dikatakan sedemikian eratnya sehingga jauh melebihi hubungan para keluarga sedarah.

Atas dasar inilah, sehingga janda dan duda dapat menyebabkan bolehnya saling mewarisi. Oleh karena itu, selama yang bersangkutan masih hidup bersama-sama dengan anak-anaknya, maka ia berhak untuk menikmati dan memanfaatkan harta peninggalan suaminya untuk menghidupi dirinya.

Kedudukan seorang janda atau duda seperti diuraikan di atas, adalah ahli waris terhadap harta perolehan bersama dan harta bawaan milik suami atau isteri sendiri. Tentang harta perolehan suami atau isteri yang diperoleh selama perkawinan, janda atau duda berhak menguasai seluruhnya yang kelak akan menjadi harta warisan bagi anak-anaknya, sekalipun janda atau duda itu kawin lagi.

Perolehan harta bersama tetap menjadi harta warisan bagi anak-anaknya hasil perkawinan dengan suami atau isteri yang terdahulu. Demikian halnya jika seorang janda atau duda tidak mempunyai anak dan tidak kawin lagi sampai ia meninggal dunia, maka harta perolehan bersama harus dibagi antara dua rumpun keluarga suami dan isteri yang meninggal dunia, dan masing-masing mempunyai bagian yang sama. Terhadap harta bawaan (barang teari) di mana dalam hukum adat ditetapkan bahwa apabila seorang janda atau duda selama perkawinannya tidak mempunyai anak kemudian kawin lagi, maka harta bawaan tersebut menjadi harta warisan bagi rumpun keluarga suami atau isteri yang meninggal dunia. Jadi, janda atau duda tidak boleh membawa harta suami atau isteri yang meninggal dunia ke dalam keluarganya yang baru. Namun, jika mereka mempunyai anak, maka janda atau duda dapat ikut menerima bagian terhadap harta bawaan suami atau isteri.

Adapun ahli waris lainnya yang berhak menerima harta warisan, selain anak/cucu yakni secara berturut-turut terdiri atas; ayah, ibu, kakek/nenek, saudara pewaris dan keturunannya. Kedudukan orang tua dalam hal ini ayah dan ibu sebagai ahli wmis dapat digolongkan pada ahli waris yang kedua. Artinya apabila seseorang yang meninggal dunia tidak mempunyai keturunan (to tumanang), maka kedua orang tuanya berhak menjadi ahli waris. Untuk ahli waris golongan ketiga yakni kakek dan nenek. Dalam hal ini apabila kedua orang tuanya tidak ada lagi, maka yang berhak sebagai ahli waris adalah kakek/nenek. Kedudukan kakek/nenek sebagai ahli waris lebih utama dari kedudukan saudara pewaris. Hal ini berdasarkan keterangan salah seorang informan Muhtar (50 tahun)

(6)

119 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

mengatakan bahwa pewaris hanya dapat dihubungkan pada garis kekerabatan ke atas, sedangkan saudara pada garis kekerabatan ke samping. Sebagai golongan ahli waris yang keempat adalah saudara pewaris dan keturunannya. Saudara yang dimaksud adalah saudara dari si mati, baik sekandung sebapak maupun seibu. Ini adalah merupakan kerabat keluarga sedarah dalam garis kesamping yang pertama-tama berhak sebagai ahli waris, akan tetapi golongan ini baru berhak sebagai ahli waris apabila ketiga golongan yang terdahulu sudah tidak ada (anak/cucu, ayah/ibu, kakek/nenek). Selanjutnya, golongan kelima adalah saudara orang tua pewaris (paman dan bibi) serta keturunannya. Kedudukan ahli waris ini sudah agak jauh, sehingga jarang mereka menjadi ahli waris.

c. Objek Harta Warisan (Hapo-Hapo Tetewalipinetia)

Dalam suatu keluarga di daerah suku bangsa Tolaki dikenal adanya harta milik suami atau istri sendiri dan harta hasil perolehan mereka bersama selama dalam perkawinan atau disebut dengan istilah (hapo-hapo sinuaro meowali salamatokaa ropealo). Dalam hubunganya dengan objek harta warisan tersebut, maka yang perlu di ketahui dalam tulisan ini, adalah jenis serta asal- usul dari harta peninggalan tersebut. Maka dalam hal ini baik dalam hukum adat, hukum negara maupun dalam hukum pewarisan Islam telah ditetapkan, bahwa harta warisan adalah semua harta peninggalan pewaris yang dimiliki dimasa hidupnya, baik benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak, Demikian pula piutang-piutang, yang kemudian dipusakai oleh ahli warisnya setelah pewaris meninggal dunia. Adapun jenis-jenis harta warisan yang lazim dikenal dikalangan mayarakat suku Tolaki di Desa Abelisawah, yaitu berupa harta kekayaan atau benda-benda konkrit (materil) seperti tanah, rumah, kendaraan, emas dan sebagainya. Selain itu, juga dikenal kekayaan yang sifatnya immaterial berupa hak-hak dan kewajiban, seperti hali sewa atas sebuah rumah, hak bagi hasil (teseng), hak gadai atas tanah dan sebagainya. Adapun penggunaan hak sewa dan hak gadai yang dimaksudkan, dimana bendanya tidak dapat diwarisi tetapi hak pemanfaatan dari benda tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya.

Selanjutnya, jenis harta warisan lainya yang biasa diwariskan kepada ahli warisnya, adalah benda-benda pusaka (hapo-hapo ine pue) yaitu harta benda peninggalan dari nenek moyang beberapa generasi sebelumnya. Dari jenis-jenis harta warisan itu dapat pula dikelompokkan berdasarkan asal usul harta tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, dikenal adanya ketegorisasi harta warisan atau pengelompokan harta peninggalan menurut sumber (asalnya). Hal ini terdiri dari: (1) Harta suami atau istri yang merupakan hibah atau pemberian dari kerabat yang dibawa dalam keluarga (Uhu-uhuono toono meohai). Harta tersebut tentu saja termasuk harta benda yang diberikan oleh orang tua masing- masing, (2) Harta hasil usaha suami istri sebelum atau sesudah perkawinan (Hapo-hapo pada sinuaro meowali rotaahori mealo atawa mealoirato), (3) Harta yang merupakan hadiah kepada suami-istri saat perkawinan (Hapo-hapo pomboweehino toono tembono rokawi/tekonggo), (4) Harta suami-istri yang diperoleh selama masa perkawinan (Hapo-hapo sinuaro meowali salamatokaa ropealo), dan (5) Harta pusaka yang diberikan oleh orang tua. suami atau istri (Hapo-hapo ari ine pada anamotuoro meowali (Su’ud, Muslimin 2006: 118-119). Sedangkan dengan hukum Islam dalam hal pewarisan tidak mengenal adanya pengelompokan harta tersebut. Hukum Islam hanya melihat satu satuan harta peninggalan, tanpa melihat dari mana asalnya. Dalam pengelompokan harta peninggalan (warisan) berdasarkan hukum adat, adalah penting dan berpengaruh di dalam menetapkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Hal ini terutama jika ada dua perkawinan atau lebih dan masing-masing perkawinan itu mendapatkan anak, maka dalam pembagian warisan yang pertama dilakukan terlebih dahulu ditetapkan harta yang mana termasuk harta pusaka (hapo-hapo ine pue), harta milik sendiri (teari) dan harta bersama (balireso). Untuk jelasnya akan diuraikan d bawah ini : 1. Harta Pusaka (Hapo-Hapo Ine Pue)

Harta pusaka di kalangan masyarakat suku Tolaki dikenal dengan istilah hapo-hapo ine pue, yang artinya harta warisan yang turun temurun dan diwariskan kepada ahli warisnya berdasarkan garis keturunan. Harta pusaka tersebut tidak dapat dimiliki oleh satu ahli waris saja, akan tetapi dimiliki secara bersama-sama oleh semua ahli waris yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris pertama yang hidup pada beberapa lapis generasi yang telah lalu. Adapun harta pusaka yang dimaksud antara lain, areal tanah tertentu yang ditanami tanaman produktif seperti pepohonan langsat (lalombinasi), pohon durian (laloduria), ladang sagu (lalondawaro), dan sebagainya. Bentuk harta pusaka lainnya

(7)

120 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

adalah berupa harta pusaka yang berbentuk keris (golo-golo), gong (tawatawa atau karandu), dan barang antik lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat memberi keselamatan bagi yang memilikinya. Menurut keterangan masyarakat orang Tolaki di Desa Abelisawah, bahwa harta pusaka itu yang berupa persenjataan mempunyai kesaktian, sehingga tidak diperkenankan untuk dijual kepada pihak lain (diluar lingkungan keluarga). Harta pusaka tersebut, pada umumnya diwariskan kepada anak laki-laki tertua, karena adanya anggapan mereka bahwa anak laki-laki tertua adalah pelindung keluarga.

2. Harta bersama (balireso)

Dalam masyarakat suku Tolaki di Desa Abelisawah, harta bersama dikenal dengan istilah barang balireso yaitu harta yang diperoleh sesudah perkawinan. Menurut ketentuan adat masyarakat suku Tolaki bahwa apabila perkawinan telah dilangsungkan, maka seluruh harta yang diperoleh sebagai akibat perkawinan merupakan harta bersama (balireso) sekalipun berbentuk hadiah perkawinan, misalnya kado dan sebagainya. Hat ini sesuai pendapat Dijk (1970:137) menjelaskan bahwa harta bersama adalah segala harta yang diperoleh selama perkawinan oleh sesama isteri secara bersama ataupun secara sendiri-sendiri. Berdasarkan pendapat tersebut, maka apabila terjadi perceraian antara suami isteri dikemudian hari, maka harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan oleh kedua belah pihak dibagi dua, dengan jumlah bagian yang sama. Meskipun pada kenyataannya isteri tidak terlibat langsung mencari harta, namun tetap mempunyai tanggungjawab terhadap keluarga di dalam rumah tangga. Bila terjadi cerai mati dan tidak meninggalkan anak (to tamanang), suami atau isteri yang masih hidup berhak atas harta itu.

Harta bersama dalam kedudukannya sebagai harta warisan, mempunyai bentuk penyelesaian berbeda, dalam hal ini ditentukan oleh keadaan tumah tangga pewaris, yaitu apabila bentuk keluarga pewaris berasal dari satu rumah tangga satu ayah satu ibu dan anak-anaknya, maka harta tersebut tidak diadakan (tidak berpengaruh) perbedaan antara harta bersama dengan harta bawaan. Sedangkan bentuk keluarga pewaris yang lebih dari satu keluarga rumah tangga atau seseorang mempunyai dua isteri atau lebih yang masing-masing mempunyai keturunan, maka harta bersama dan harta bawaan mutlak harus dibedakan. Adapun penyelesaian pembagian harta bersama dari bentuk keluarga lebih dari satu keluarga/rumah tangga dan mempunyai anak, maka di dalam ketentuan adat orang Tolaki di Desa Abelisawah dikenal dalam istilah bahwa “harta dahulu untuk anak dahulu, harta kemudian untuk anak kemudian”. Dalam istilah tersebut mempunyai pengertian bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan pertama diwarisi oleh anak dari perkawinan pertama, harta yang diperoleh selama perkawinan kedua diwarisi oleh anak-anak dari perkawinan kedua dan begitu seterusnya.

Ketentuan aturan adat tersebut kenyataannya dalam praktek kurang diterapkan lagi di kalangan masyarakat suku Tolaki di Desa Abelisawah, bahkan tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat tidak akan berlaku lagi. Hal ini disebabkan karena kemungkinan seseorang anak tidak mewarisi bersama keluarganya dari lain ibu (saudara seayah) dan harta warisan ayahnya. Demikian juga halnya dengan isteri-isteri, kemudian tidak memperoleh harta warisan dan harta warisan suaminya, terutama jika di dalam rumah tangga itu tidak ada harta bersama atau harta bawaan. Kalaupun terdapat harta bersama atau hartra bawaan yang dapat mereka warisi, itupun dengan jumlah yang tidak seimbang bahkan jauh berbeda. Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa “harta dahulu untuk anak dahulu dan harta kemudian untuk anak kemudian”. Pernyataan yang demikian ini nampak sekali kelemahan dan ketidak adilannya jika dilihat dari pandangan hukum Islam. Jadi apabila dalam satu rumah tangga tidak diperoleh harta bersama dan tidak ada harta bawaan pewaris, maka anak dari rumah tangga itu turut mewarisi dari harta bersama rumah tangga yang lain. Cara seperti inilah yang diperaktekkan dikalangan masyarakat suku Tolaki di Desa Abelisawah, baik dalam penyelesaian masalah pewarisan secara perorangan maupun melalui lembaga pengadilan.

3. Harta Bawaan (Teari)

Harta bawaan dalam masyarakat suku Tolaki dikenal dengan istilah Teari yaitu harta yang dibawah dalam perkawinan apahah diperoleh/diterimanya sebagai warisan dari orang tua (hapo-hapo) atau diterimanya sebagai hadiah khusus ketika mereka melangsungkan perkawinan ataukah sebagai hasil usahanya sendiri sebelum perkawinan. Harta demikian ini tidak menjadi harta bersama melaingkan menjadi milik pihak yang memperolehnya (suami atau isteri).

(8)

121 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

Lain halnya yang dikenal dengan sompa atau mahar yang diberikan oleh pihak suami kepada pihak isterinya, menurut kebiasaan masyarakat suku Tolaki, sompa atau mahar yang diberikan kepada mempelai wanita biasanya berupa kebun, sebidang tanah atau tanah persawahan. Bila terjadi perceraian, maka hal ini tergantung dari perjanjian sebelum perkawinan dilakukan, yakni antara lain : a) Apabila kedua mempelai tidak terjalin hubungan sebagaimana layaknya sepasang suami isteri,

maka dalam hal ini mahar yang diberikan pada waktu dilangsungkannya perkawinan, harus dikembalikan pada pihak suami apabila terjadi perceraian diantara mereka.

b) Selama perkawinan tidak membuahkan keturunan, sampai keduanya berpisah, baik yang disebabkan karena perceraian maupun karena kematian, maka mahar tersebut harus dikembalikan kepada pihak suami.

c) Ada pula yang memperlakukan bahwa, walaupun sepasang suami isteri itu tidak pernah hidup sebagaimana yang disebutkan pada point pertama, maupun dalam perkawinan yang tidak membuahkan keturunan seperti yang disebutkan pada point kedua, maka harta bawaan berupa sompa (mahar) tetap menjadi milik isteri.

Selanjutnya, apabila harta bawaan (teari) tersebut masuk dalam kedudukannya sebagai harta warisan (hapo-hapo),kemudian salah seorang suami atau isteri meninggal dunia dan mereka mempunyai anak sebagai ahli warisnya, maka harta bawaan tersebut akan diwarisi oleh anaknya dan janda atau duda tersebut turut pula menikmatinya, dan ketika ada salah satunya orang tua mereka meninggal ibu atau ayah, maka harta benda yang ditinggalkannya terbagi dua, sebagian jatuh ketangan anaknya dan sebagian lagi jatuh ketangan ibu atau ayahnya yang masih hidup. Demikian pula jika terjadi perceraian antara suami/isteri dan kedua belah pihak tidak mempunyai keturunan (To tamanang) maka harta bawaan dari kedua belah pihak kembali diwarisi oleh kerabat masing-masing (suami atau isteri). Ketentuan yang demikian ini juga diungkapkan oleh ketua adat (Mukhtar), bahwa apabila suami atau isteri yang meninggal dunia tidak mempunyai anak, sebagian harta bawaannya jatuh ketangan pewaris pihak suami, dan sebagian lagi jatuh ketangan pewaris pihak isteri.

Berdasarkan jenis-jenis harta peninggalan yang telah diuraikan di atas, maka yang paling umum dijadikan sebagai objek harta warisan oleh orang-orang Tolaki adalah harta yang tidak bergerak seperti tanah. Oleh karena tanah merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan masyarakat umumnya dan Desa Abelisawah pada khususnya, dan siapa saja yang berhak untuk memilikinya dalam rangka membangun dirinya dimasa yang akan datang, dan juga dapat dijadikan sebagai suatu lahan tempat beraktivitas dalam sehari-harinya baik dalam pembangunan secara umum maupun dalam pembangunan pada manusia itu sendiri untuk menjadikan manusia berkualitas.

4. Cara dan Waktu Pelaksanaan Pewarisan.

Bagi orang suku Tolaki dalam melaksanakan pembagian harta pewarisan, dilakukan dengan beberapa cara, yakni melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan antara sesama anggota keluarga yang bersangkutan, di mana pelaksanaannya dihadiri oleh seluruh ahli waris dan pewaris, sebagai saksi terkadang dihadirkan pemangku adat, tokoh masyarakat atau pemerintah setempat, akan tetapi pada umumnya melakukan secara kekeluargaan dan tidak melibatkan pemangku adat (putobu) atau pemerintah setempat. Selanjutnya, apabila pelaksanaan pewarisan didasarkan dengan syara (hukum Islam), maka yang dihadirkan sebagai saksi adalah penghulu agama, seperti imam atau ulama setempat. Namun dalam peraktek, pembagian harta warisan orang Tolaki yang ada di Desa Abelisawah selalu dengan cara adat, jarang mereka melakukan secara Islam, meskipun mereka pada umumnya beragama Islam.

Sedangkan waktu pelaksanaan pewarisan atau dengan kata lain beralihnya harta warisan kepada ahli waris, tidaklah ditentukan setelah wafatnya pewaris, tetapi proses pewarisan boleh saja berlangsung pada saat pewaris masih hidup. Hal ini didasarkan pada ketentuan hukum adat yang berlaku pada masyarakat suku Tolaki, dimana si pewaris (orang tua) yang bersangkutan sudah mengalihkan sebagian hartanya kepada ahli warisnya dengan melalui berbagai pertimbangan antara lain :

1). Pada waktu si anak sudah dikawinkan atau anak itu sudah dapat hidup sendiri, maka akan diberikan sebagian harta warisannya sebagai modal dasar dalam membina rumah tangganya.

(9)

122 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

2). Pada waktu si pewaris sudah tanjut usia, dan memperkirakan bahwa umurnya sudah tidak lama lagi, maka si pewaris menentukan bagian masing-masing ahli warisnya. Kedua cara tersebut, biasanya si pewaris menyerahkan langsung dan bilamana penyerahan tersebut tidak dibebani syarat-syarat tertentu, serta orang menerima tidak terikat dari sekelompok orang-orang tertentu pula, hal ini disebut tiare (hibah/pemberian).

Akan tetapi apabila penyerahan dilakukan pada waktu si pewaris masih hidup dan di dalamnya terdapat beberapa ketentuan yang mengikat, dan disebut dengan istila oliwi anamutoa (wasiat). Cara- cara penyerahan seperti itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sengketa antan sesama anggota keluarga yang bakal menjadi ahli waris. Selain penyerahan seperti tersebut, terdapat pula cara lain pewarisan yang biasa ditempuh oleh sebagian masyarakat suku Tolaki, yaitu harta warisan baru dapat dibagi setelah si pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini didasarkan pada ketentuan hukum Islam yang menetapkan bahwa salah satu syarat untuk beralihnya harta peninggalan terjadi pada saat matinya si pewaris. Maka cara pengalihan hak atas harta peninggalan tersebut beralih kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Dalam kondisi yang demikian, cara pengalihan hak atas harta peninggalan pada masyarakat suku Tolaki tidak terikat, bisa dialihkan sebelum meninggal atau sesudah meninggal pewarisnya (orang tua) tergantung dari kesepakatan mereka dengan para ahli warisnya.

Adapun penetapan bagian masing-masing ahli waris di masa lalu dan bahkan hingga saat ini, lebih memilih membagi warisan kepada anak-anak mereka dengan berpedoman pada ketentuan yang dilahirkan oleh nenek moyang mereka, yakni bahwa penetapan harta warisan dilaksanakan secara musyawarah dan kekeluargaan sepanjang tidak ada perselisihan di antara para ahli waris. Para ahli waris memperoleh bagian tidak secara pasti, tetapi menurut satuan benda yang ada, misalnya rumah, kebun, sawah, tanam-tanaman yang harus dibagi, ternak (sapi dan kerbau) dan sebagainya. Namun, untuk rumah serta isinya berupa perabot, emas dan perhiasan lainnya, sudah mutlak menjadi bagian dari para ahli waris perempuan yang pembahagiannya diatur secara adil oleh ibu mereka.

Dalam hukum adat pewarisan suku Tolaki, tidak mengenal sistem pembagian kuantitatif seperti dalam Hukum Waris Islam, yakni l/2, l/4, l/8, 1/16. Dalam pewarisan adat suku Tolaki lebih dikenal sistem yang sifatnya kualitatif melalui beberapa pola, yakni:

a) Pola pertama, ada orang tua yang melebihkan pembagian bagi anaknya yang sulung dengan dasar pertimbangan karena dialah yang pertama membantu dan memikirkan keringanan dalam usaha mencari harta.

b) Pola kedua, yaitu ada orang tua yang melebihkan pembagian untuk anak yang laki-laki dibandingkan anak perempuan, karena anak laki-laki kelak yang akan banyak mengeluarkan biaya dalam urusan perkawinannya nanti.

c) Pola ketiga, yaitu orang tua melebihkan pembahagian kepada anaknya yang bungsu (porambahi bungge) dengan dasar pertimbangan bahwa apabila sang ayah meninggal dunia, maka anak inilah yang nantinya terlambat mencapai kemampuan untuk mencari nafkah hidup.

d) Pola keempat, yaitu orang tua dapat melebihkan pembagian kepada anak yang buruk nasibnya (maarasai daleno) dengan dasar pertimbangan karena di antara semua bersaudara kandung dialah yang termiskin, sehingga perlu dibantu agar dapat meningkatkan taraf kehidupan ekonominya.

e) Pola kelima, yaitu ada juga orang tua yang tidak mau menetapkan besarnya pemabahagian untuk masing-masing anaknya, kecuali ana-anak itu sendiri secara bersama-sama meminta diberikan berdasarkan kesepakatan mereka untuk bahagian mereka masing-masing secara tulus dan penuh persaudaraan (Suud, Muslimin, 2006:120)

Sesungguhnya kelima pola seperti tersebut di atas, di mana pola yang pertama dalam pelaksanaannya saat ini terkadang tidak berjalah lancar. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang lain tidak menyetujui pola pembagian yang demikian, bahkan terkadang ada pula yang menentang dengan keras. Akibatnya sering terjadi perselisihan di antara anggota keluarga tersebut. Jika hal ini terjadi, maka dituntut keterlibatan kerabat dekat, pemangku adat (rutobu), pabbitara (pembicara) dan pemerintah setempat, namun jika tidak dapat ditempuh jalan keluar, maka dapat diselesaikan melalui pengadilan.

(10)

123 | https://etdci.org/journal/ijesd/index

Terlepas dari hal tersebut, dimana seorang pewaris yang memilki beberapa orang anak serta memiliki banyak harta, baik yang berupa penghasilan pribadi, maupun harta yang diperoleh bersama selama perkawinan dan sebagainya, maka jika yang bersangkutan akan mewariskan hartanya kepada anak-anaknya lazimnya akan melalui beberapa cara sebagai berikut:

a). Laala tumisokei nggotadono oka-oka o'ana. Maksudnya bahwa orang tua mulai mengenalkan kepada anak-anak mereka mengenai barang atau harta benda yang dimiliki oleh orang tua mereka, maka sejak saat itu sang ayah sebenarnya telah menunjukkan atau memperkenalkan kepada masing-masing anak tentang bagian warisan yang akan diperoleh kelak. Maksudnya adalah agar mereka mulai memelihara dengan baik harta benda tersebut.

b). Laala meoliwi atau berwasiat, artinya sebelum sang ayah meninggal dunia, ia telah berwasiat melalui keluarga dekat atau kepada oramg-orang tertentu bahwa jika kelak ia meninggal dunia, maka anak-anaknya telah ditentukan harta benda tertentu yang akan menjadi bagiannya masing- masing.

c). Laala mepasabi atau menyimpan amanat. Maksudnya adalah bahwa apabila ia kelak meninggal dunia, maka seluruh harta peninggalannya harus dibagikan kepada anak-anaknya. Keinginan ayah tersebut langsung diamanahkan secara langsung kepada semua anak-anaknya.

d). Laala pinoweehiako nggotadono. Artinya bahwa ketika anak telah menikah, maka sang ayah langsung menyerahkan atau menunjukkan harta tertentu sebagai bagiannya dari seluruh harta warisan yang ada.

Demikianpula halnya jika seorang ayah tidak memiliki anak, maka sebelum meninggal dunia ia akan berpesan kepada saudara-saudara dekatnya agar kelak harta bersama yang diperoleh dari perkawinannya dengan seorang wanita akan berlaku dengan beberapa hal sebagai berikut :

a) Harta benda tersebut akan menjadi milik isteri yeng ditinggalkan untuk dimanfaatkan bagi kehidupan sehari-hari sampai akhir hayat si istri dan sepanjang ia tidak menikah lagi dengan laki-laki lain.

b) Jika istri dari suami yang meninggal kemudian menikah lagi, maka harta peninggalan bersama itu harus jatuh kepada ayah atau ibu si pewaris. Demikian pula k akek dan neneknya sudah meninggal dunia, maka harta warisan tersebut akan jatuh ke tangan saudara-saudara kandung dari si pewaris. Tentu saja terlebih dahulu diperiksa bagian yang layak kepada istri almarhum atau si pewaris.

c) Jika semasa hidup pasangan suami-istri tersebut mengangkat anak, maka jika selepas suami meninggal dunia, anak angkat mereka juga dapat diberikan bagian oleh istri atau ibu angkatnya, meskipun anak angkat tersebut akan menikah atau pergi merantau.

d) Salah satu hal yang penting adalah bahwa harta warisan yang dibagikan kepada ahli waris tersebut, telah bersih dari utang dari pewaris kepada pihak lain selama hidup di dunia. Dalam hal ini, jika suami atau ayah yang meninggal dunia meninggalkan utang kepada pihak lain, maka utang tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu yang diatur oleh sang istri, dan sisanya barulah diwariskan kepada segenap ahli warisnya (Suud, Muslimin, 2006:115-117).

Ketentuan tersebut di atas, telah dipengaruhi oleh ketentuan hukum Islam yang menetapkan bahwa bagian seorang laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Dalam hal ini apabila ahli waris berjenis kelamin yang sama maka harta peninggalan di bagi rata, akan tetapi apabila ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka harus di bagi berdasarkan perbandingan dua banding satu. Kedua ketentuan tersebut, sampai saat ini berjalan berdampingan dan diperaktekkan di tengah-tengah masyarakat orang suku Tolaki.

Adanya perbedaan bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan didasarkan pada anggapan masyarakat setempat, bahwa anak laki-laki mempunyai tanggungiawab yang besar dibanding anak perempuan. Pandangan seperti ini tidak saja berasal dari ajaran agana Islam, melaingkan telah tumbuh dalam kehidupan sosial masyarakat setempat, sehingga pembagian tersebut dinilai sebagai satu kesatuan yang wajar dan adil. Sehingga sampai saat ini penetapan bagian masing-masing ahli waris dalam pembagian harta warisan pada masyarakat suku bangsa Tolaki menggunakan dua ketentuan hukum yang dilakukan secara berdampingan yaitu secara hukum adat dan hukum Islam.

(11)

124 | https://etdci.org/journal/ijesd/index PENUTUP

Dalam hukum adat, hukum negara maupun dalam hukum pewarisan Islam telah ditetapkan, bahwa harta warisan adalah semua harta peninggalan pewaris yang dimiliki dimasa hidupnya, baik benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak. Demikian pula piutang-piutang, yang kernudian dipusakai oleh ahli warisnya setelah pewaris meninggal dunia. Sistem pewarisan menurut hukum adat pada masyarakat suku Tolaki di Desa Abelisawah masih tetap dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat, walaupun beberapa pranata-pranata adat, khususnya yang berkenaan pewarisan yang dikenal dengan istilah Sara Ine Petiara. Pada dasarnya ketentuan-ketentuan adat dalam hal pewarisan telah terbina jauh sebelum masuknya agama Islam di daerah Konawe, dan menjadi aturan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pelaksanaan pewarisan dalam hukum adat Tolaki tidak ditentukan setelah si pewaris meninggal, akan tetapi proses pewarisan dapat saja berlangsung disaat pewaris masih hidup. Lembaga adat yang berwenang menyelesaikan masalah pewarisan berdasarkan hukum adat tetap berwenang untuk menjalangkan tugas tersebut, apabila masyarakat Tolaki menghendaki untuk diputuskan berdasarkan hukum adat setempat.

Hukum adat pewarisan berjalan berdampingan dengan hukum pewarisan Islam, telah menjadi aturan yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Antara hukum adat pewarisan orang Tolaki dengan hukum Islam, disamping terdapat aturan yang sama juga terdapat aturan yang berbeda. Aturan yang sama antara hukum kewarisan Islam pelaksanaannya saling memperkuat, akan tetapi mengenai aturan yang berbeda telah menjadi hubungan timbal balik. Dalam hukum adat pewarisan suku Tolaki, tidak mengenal sistem pembagian kuantitatif seperti dalam hukum waris Islam, pewarisan adat suku Tolaki sifatnya kualitatif.

Sistem pewarisan pada masyarakat Tolaki kepada ahli waris, tidaklah ditentukan setelah wafatnya pewaris, tetapi proses pewarisan berlangsung pada saat pewaris masih hidup, berbeda dengan hukum pewarisan Islam. Ketentuan hukum Islam yang menetapkan bahwa salah satu syarat untuk beralihnya harta peninggalan terjadi pada saat matinya si pewaris. Dalam suatu keluarga pada suku Tolaki dikenal adanya harta milik suami atau istri sendiri dan harta hasil perolehan mereka bersama selama dalam perkawinan disebut dengan istilah (hapo-hapo sinuaro meowali salamatokaa ropealo).

(12)

125 | https://etdci.org/journal/ijesd/index DAFTAR PUSTAKA

Dijk, R.Van. l979. Pengantar hukum adat di Indonesa,i Terjemahan oleh A. Soehardi Bandung.

Koodoh, Erens, E. 2007. Mosehe. Cara penyelesaian Konflik Pada Orang Tolaki, (Tesis). Makassar:

Pascasarjana Unhas. Makassar.

Koentjaraningrat, 1983. Masyarakat Desa di Indonesia: Jakarta. Fekon UI

______________, 2000. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta: Grafindo Persada.

Monografi, 1982 Provinsi Sulawesi Tenggara.

Manggau, H. Ahmad, SH. 1990. Hukum Kewarisan adat. Ujung Pandang: Diktat Fakultas Hukum UNHAS.

______, 1983. Hukum Kewarisan Yang Berlaku di Tanah Bugis Dewasa Ini. Ujung Pandang: Proyek.

Moeloeng,L.J.2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Suud, Muslimin, Drs. SH. 2006. Hukum Adat Tolaki (Osara). Unaha : Lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sejrah dan Kebudayaan Tolaki (LP3SKT).

Soepomo, R. 1981. Bab-Bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Tarimana, Abdul Rauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Seri Etnografi Indonesia No.3. Jakarta: Balai Pustaka Kendari.

Ter. Har, 1974. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Referensi

Dokumen terkait

Konklusi dasar dari ketentuan pasal 3 UUPA menyiratkan bahwa politik hukum yang memberi perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dalam menguasai hak atas tanah

Setelah penerapan Bina Diri dengan tek- nik modelling dilaksanakan di kelas VIII C siswa sangat antusias dan bersemangat dalam mengikuti pelajaran Bina Diri, siswa tidak lagi melakukan