i
HALAMAN SAMPUL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lancang Kuning
Disusun Oleh :
NAMA : WAN YURIANDA TIMBER NPM :
1574201144
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU
TAHUN 2020
UPAYA JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM
(ONTSLAG VAN RECHTSVERVOLGING) ATAS PERKARA PENGANIAYAAN
DI PENGADILAN NEGERI
PASIR PENGARAIAN
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
xvii ABSTRAK
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu: Pertama, Bagaimanakah upaya jaksa penuntut umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian?; Kedua, Bagaimanakah hambatan penegakan hukum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian?; Ketiga, Bagaimanakah upaya mengatasi hambatan pelaksanaan penegakan hukum terhadap putusan tersebut?; Tujuan penelitian ini adalah: Pertama, untuk mengetahui upaya jaksa penuntut umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian; Kedua, untuk mendeskripsikan hambatan penegakan hukum terhadap putusan lepas tersebut, Ketiga, untuk menjelasakn upaya mengatasi hambatan pelaksanaapenegakan hukum terhadap putusan tersebut. Metode penelitiaannya mencakup hal – hal sebagai berikut: Pertama, penelitian ini menggunakan penelitian hukum sosiologis terhadap efektifitas hukum di masyarakat; Kedua, lokasi penelitian adalah Pengadilan Negeri Kelas II Pasir Pengaraian; Ketiga, populasi dan sampel berasal dari narasumber – narasumber yang relevan dengan penelitian ini; Keempat, sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, sekunder dan tersier; Kelima, teknik pengumpulan data observasi, wawancara terstruktur dan kajian pustaka; Keenam, analisis data yang digunakan analisis kualitatif, dan dalam menarik kesimpulan digunakan metode secara induktif. Hasil penelitian diketahui bahwa upaya Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas Perkara Penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian terjadi karena belum adanya kesesuaian putusan hakim dengan peraturan perundang – undangan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya beberapa kasus ketidaktepatan penerapan hukum pada perkara pidana penganiayaan. Faktor penghambat penegakan putusan tersebut disebabkan oleh faktor penegak hukum yang kurang tepat dalam penerapan hukum, faktor masyarakat yang bersumber dari rendahnya pengetahuan dan kesadaran hukum serta faktor budaya yaitu adanya unsur – unsur budaya negatif terutama budaya melanggar hukum yang menjadi kebiasaan dan berkembang secara turun menurun. Upaya untuk mengatasi hambatan tersebut adalah: diperlukan peninggakatan kualitas SDM pada lembaga peradilan khususnya hakim, melalui Trainer Of Trainee (TOT) supaya ketidaktepatan penerapan hukum di Indonesia dapat diminimalisir; menggalakkan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai hukum sehingga pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat meningkat serta menghilangkan secara perlahan unsur – unsur budaya negatif dalam masyrakat dengan tanpa mengesampingkan adat dan kebudayaan berunsur positif.
Kata Kunci: Putusan Lepas, Penganiayaan, Pasir Pengaraian.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menegakkan hukum bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan terutama bagi para aparat penegak hukum yang menjadi tugas pokok para birokrat negara di bidang penegakan hukum tersebut. Seperti yang telah kita ketahui bahwa aparat penegak hukum yang dimaksud terdiri dari Hakim, jaksa, Advokad dan POLRI. Pada dasarnya untuk menegakkan sebuah hukum perlu dibuat hukum, tetapi dengan dibuatnya hukum bukan merupakan penyelesaian penegakan terhadap permasalahan hukum yang ada.
Dengan berakhirnya pembuatan hukum, proses hukum baru selesai pada satu tahap saja dari suatu perjalanan panjang mengatur masyarakat, . Tahap pembuatan hukum masih harus disusul dengan pelaksanaannya secara konkrit dalam masyarakat sehari – hari, inilah yang kemudian disebut sebagai penegakan hukum.1
Selain lembaga eksekutif, maka lembaga yudikatif merupakan sebuah lembaga penegakan hukum juga. Lembaga yudikatif yang sering kita kenal sebagai lembaga penegakan hukum adalah lembaga pengadilan. Pengadilan merupakan sebuah lembaga dalam proses peradilan, dimana dalam proses mengadili tersebut melibatkan kepolisian, kejaksaan dan advokat. Hasil akhir dari putusan proses peradilan selain disebut sebagai putusan juga dapat berupa penetapan, tergantung jenis perkaranya merupakan perkara yang mengandung
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 191.
2 sengketa yang dajukan dalam bentuk gugatan (Contentius) dan atau perkara yang tidak mengandung sengketa yang diajukan dalam bentuk permohonan (Voluntair).
Putusan dan atau penetapan pengadilan tersebut juga sering disebut putusan dan atau penetapan hakim, oleh karena hakimlah yang memimpin sidang dalam pengadilan.
Berbicara tentang kewenangan hakim dalam hal memutus perkara, maka dalam perkara pidana dikenal beberapa putusan antara lain:
1. Putusan Sela, putusan sela biasanya untuk eksespsi yang diajukan oleh tergugat.
a. Eksepsi diterima
Adapun jika keberatan (eksepsi) yang diterima menyangkut dakwaan batal atau dakwaan tidak dapat diterima, maka secara formal perkara tidak dapat diperiksan lebih lanjut atau pemeriksaan telah selesai sebelum hakim memeriksa pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
b. Eksepsi ditolak
Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, dinyatakan tidak dapat diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP.
2. Putusan Akhir, putusan akhir dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu:
a. Putusan bebas (Vrijspraak), diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
3 b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum ( Onslaag van
Rechtvervolging). diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
c. Putusan pemidanaan, berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP tentang penjatuhan pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 553.K/Pid/1982, tanggal 17 Januari 1983 tentang Judex Facti.
Tugas dan Kewenangan hakim untuk mengadili juga diatur menurut lembaga peradilan dan pada tingkatan pengadilan mana dirinya ditugaskan. Jika berbicara tentang Pengadilan Negeri, maka pengadilan negeri berada di bawah peradilan umum, maka hal tersebut diatur dalam Pasal 25 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Pasal 50 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang berbunyi:
1. Pasal 25 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.”
2. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, bahwa:
“Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkarapidana dan perkara perdata di tingkat pertama”
4 Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan kewenangan hakim di pengadilan negeri sudah sangat jelas bahwa harus seusai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. Namun, tidak sedikit dari hakim di beberapa pengadilan negeri yang melaksanakan tugas dan wewenangnya terutama dalam memutus perkara pidana tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Fenomena tersebut juga terjadi di Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian . Putusan hakim yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan tersebut terjadi atas Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum terhadap beberapa perkara pidana khususnya perkara penganiayaan. Dasar hukum hakim memberikan putusan bebas terhadap terdakwa adalah Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Terkait dengan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum ( Onslaag van Rechtvervolging). yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian atas perkara penganiayaan yang tidak sesuai dengan ketentuan regulasi yang mengaturnya. Secara Das Sollen telah kita ketahui bahwa Pasal 351 KUHP mengatur ketentuan pidana tentang perbuatan penganiayaan terutama terhadap kasus penganiayaan yang didakwakan terhadap terdakwa secara sah dan meyakinkan telah dapat dibuktikan dimuka pengadilan. Namun Secara Das Sein berdasarkan penelitian awal penulis, sepanjang 5 (lima) tahun terakhir ditemukan beberapa fakta bahwa terdakwa justru dijatuhi putusan Lepas dari Segala Tuntutan
5 Hukum melalui Putusan Nomor 224/Pid.B/2019/PN Prp dan 115/Pid.B/2016/PN.
Prp, sehingga jaksa penuntut umumum mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan hakim yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan tersebut. Terjadinya kesenjangan antara Das Sollen dan Das Sein pada uraian latar belakang diatas, membuat penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian hukum sosiologis dengan mengangkat judul: “UPAYA JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONTSLAG VAN RECHTSVERVOLGING) ATAS PERKARA PENGANIAYAAN DI PENGADILAN NEGERI PASIR PENGARAIAN”.
B. Rumusan Masalah
1 Bagaimanakah upaya jaksa penuntut umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian?
2 Bagaimanakah hambatan penegakan hukum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian?
3 Bagaimanakah upaya mengatasi hambatan penegakan hukum terhadap putusan lepas segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian?
6 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1 Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui upaya jaksa penuntut umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian.
b. Untuk mendeskripsikan hambatan penegakan hukum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian.
c. Untuk menjelaskan upaya mengatasi hambatan penegakan hukum terhadap putusan lepas segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian.
2 Kegunaan penelitian
a. Untuk menambah khasanah pengetahuan bagi peneliti, terkait upaya jaksa penuntut umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian. Serta sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan srata satu di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum.
b. Sebagai sumbangsih hasil pemikiran dan olahan bahan dari peneliti dalam bentuk penulisan skripsi, sehingga dapat dijadikan bahan referensi dan bahan informasi bagi kalangan perguruan tinggi, terkait upaya jaksa penuntut umum terhadap putusan lepas dari segala
7 tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian.
c. Sebagai bahan masukan bagi instansi pemerintah setempat, khususnya Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian, terkait upaya jaksa penuntut umum terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara penganiayaan di Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian.
D. Kerangka Teori
Seperti yang pernah kita pelajari tentang filsafat hukum bahwa teori – teori pemikiran para ahli filsafat telah melahirkan banyak teori – teori hukum dan negara. Para filsuf mengemukakan pendapatnya tentang berbagai teori salah satu nya adalah teori – teori mengenai hukum dan negara.
Menurut teori Rosseau, analisis kenegaraan erat kaitannya dengan hukum. Karena negara (state) adalah status hukum suatu legal society hasil perjanjian bermasyarakat. Sekalipun teori Rosseau tidak sepenuhnya diikuti orang umum sebagai analisis berpikir tentang kegiatan kenegaraan, pada umumnya orang beranggapan bahwa kegiatan kenegaraan meliputi: membentuk negara hukum atau kewenangan legislatif, menerapkan hukum atau kewenangan eksekutif dan menegakkan hukum atau kewenangan yudikatif.2
Karena itu, analisis ketatanegaraan tidak dapat dipisahkan dari analisis tata hukum, bahkan aliran yuridis murni (Kelsen) beranggapan bahwa negara adalah tidak lain dari pada personifikasi hukum, suatu himpunan tata hukum berdasarkan suatu sistem tertentu (Reine Rechtslehre). Dengan demikian analisis tata hukum
2 C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, (Jakarta : Rineka Cipta, 2013),
hlm.87.
8 akan meliputi : konstitusi atau dasar hukum, fungsi – fungsi kenegaraan, hak dan kewajiban konstitusional warga negara dan penduduk, dan konsep negara hukum.
Aristoteles mengembangkan konsep negara hukum dengan memberikan pemahaman tersendiri terkait dengan keadilan.
Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Aristoteles memberikan pemahaman bahwa negara harus berdiri diatas hukum yang akan dapat menjamin keadilan bagi warga negara. Dengan menempatkan hukum sebagai hal - hal yang tertinggi (supreme) dalam negara berarti bahwa penyelenggaraan kekuasaan dalam negara khususnya kekuasaan pemerintah haruslah didasarkan pada hukum. Dalam konsepsi negara hukum, kekuasaan menjalankan atau meyelenggarakan pemerintahan haruslah berdasarkan pada kedaulatan hukum atau supremasi hukum dengan tujuan utamanya ialah mewujudkan adanya ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan3.
Selain pemahaman tentang keadilan, maka konsep negara hukum juga melahirkan teori negara hukum yang kemudian dianut oleh negara – negara Anglo Saxon, dimana A. V Dicey berpendapat bahwa :
Berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law). Dan istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat di dalam konsep yang mendasar atau konsep hak - hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan / kebebasaan yang tertib (ordered liberty).4
Konsep negara hukum juga diterapkan di Indonesia atau dengan kata lain paham negara hukum ini menjadi tolak ukur dalam menjalankan pemerintahan.
karena menurut Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Indonesia adalah negara Hukum”, lebih
3 Amirudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta : Prenada Media Group, 2018), hlm. 37.
4 Moh. Kusnardi dan Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar Bhakti, 1983), hlm. 161.
9 tepatnya adalah bagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib, seiring dengan tingkat kejahatan yang semakin tinggi, dimana “kejahatan merupakan fenomnena sosial yang normal, dalam arti bahwa kejahatan merupakan bagian dari permasalahan yang dihadapi masyarakat”.5 Dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Pengayoman yang dimaksud dapat berupa penegakan hukum melalui keputusan yang seadil – adilnya oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman.
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu. Penataan sistem peradilan yang terpadu pada peradilan dimulai dari peradilan tingkat pertama hingga peradilan tingkat tertinggi.
5 Nandang Sambas dan Dian Andriasari, Kriminologi Perspektif Hukum Pidana, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2019), hlm. 60.
10 Selain berlandaskan pada teori keadilan, eksistensi negara untuk menjamin atau memberikan perlindungan hukum juga harus memperhatikan hak – hak asasi warga negara yang dilakukan melalui penyelenggara negara dalam bidang yudikatif dengan mengkodifikasi secara sistematis hak – hak asasi yang dimaksud seperti yang dalam bentuk peraturan perundang – undangan. Keberadaan negara, penyelenggara negara dan regulasi tersebut merupakan kajian dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Salah satunya adalah hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, hak asasi tersebut dilindungi dalam Pasal 28 D Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 .
Alasan hak – hak asasi harus dikodifikasi secara sistematik adalah karena didasarkan pada konsep dasar tentang HAM yang dikaji dalam teori positivisme yang dikemukakan oleh Todung Mulia Lubis, Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang rill, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme dikembangkan kemudian dengan lebih sistematis oleh John Austin bahwa kaum positivis berpendapat “eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara, satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat, ia tidak datang dari alam ataupun moral”6
6 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm. 14.
11 Makna harfiah mengenai konsep negara hukum di Indonesia dapat diartikan bahwa paham negara hukum harus diimplementasikan pada kehidupan sehari – hari terutama bagi penyelenggara pemerintah dalam konsep ketatanegaraan. Pemerintahan yang berdasar atas hukum akan melahirkan adanya jaminan perlindungan terhadap hak – hak dasar masyarakat sehingga sisi kepentingan antara pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara dan rakyat sebagai subyek pemilik negara dapat selalu berkesusuain atau sejalan. Oleh karena itu, konsep negara hukum sebagai suatu landasan hukum tata pemerintahan seharusnya memegang peran yang sangat penting bukan hanya dijadikan sebagai koridor (batasan) tindakan atau perbuatan pemerintah, akan tetapi juga sebagai acuan dasar dan patokan penilaian dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini terutama bagi lembaga peradilan yang dalam konsep tatanan hidup berbangsa dan bernegara sangat berperan mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Dalam sebuah lembaga peradilan, hakim memiliki peranan yang sangat vital dalam mengadili terutama dalam tugas dan kewenangaan untuk memutus perkara, karena hakim merupakan bagian dari subyek penyelenggara negara di bidang penegakan hukum. Terkait dengan subyek penyelenggara pemerintahan dalam ketentuan Hukum Ketatanegaraan, Aristoteles juga berpendapat bahwa:
yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan
12 membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan
menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.7
Dalam penyelenggaraan pemerintahan asas legalitas menjadi acuan dasar bagi para penyelenggara pemerintahanan dalam bertindak atau berbuat. Dimana prinsip dasar dalam sebuah konsepsi negara hukum menetapkan bahwa setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah (bestuurshandelingen) haruslah berdasarkan pada peraturan perundang – undangan selain berdasarkan pada legitimasi atau kewenangan sehingga tindakan atau perbuatan pemerintah ini dipandang absah adanya. Konsep ini kemudian ditetapkan menjadi sebuah asas dalam penyelenggaraan pemerintahan, yakni asas pemerintahan berdasarkan undang – undang (wegmatigheid van bestuur).
Prinsip dasar dalam sebuah konsepsi negara hukum tersebut juga berlaku pada lembaga peradilan terutama lembaga peradilan umum ditingkat dasar yaitu pengadilan negeri sesuai dengan latar belakang penulisan ini. dalam hal ini adalah hakim. Terkait dengan tugas dan kewenangan pengadilan negeri, maka Pada Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, secara garis besar mengatur bahwa dalam kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di tingkat pertama pengadilan negeri harus berdasarkan pada peraturan perundang – undangan yang berlaku baik putusan terhadap perkara pidana maupun perdata,
7 Sugianto, Ilmu Negara : Sebuah Kajian dalam Perspektif Teori Kenegaraan di Indonesia”, (Yogyakarta : CV. Budi Utama, 2018), hlm. 15.
13 agar putusan pengadilan atau yang lebih dikenal dengan putusan hakim tersebut dianggap absah adanya.
Kewenangan hakim dalam aspek perkara pidana, menurut Pasal 1 angka 8 KUHAP, “hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang undang – undang untuk mengadili.” Dalam melaksanakan kewenanggannya tersebut maka lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 9 KUHAP disebutkan bahwa “mengadili adalah serangkaian tindakan hakim menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas jujur, bebas dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.” Terkait dengan kewenangan hakim tersebut, seperti kita ketahui dalam perkara pidana setiap putusan pidana mengandung sanksi pidana dan hakim merupakan alat negara yang secara sah diberi kewenangan oleh negara untuk menjatuhkan sanksi pidana
Yang mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi pidana itu adalah negara. Negara sebagai sebuah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi yang sah ditaati oleh rakyat. Sebagai undang – undang tertinggi, maka melalui undang – undang negara menunjuk pejabat tertentu untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan. Pejabat yang diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan adalah hakim.8
Pertanyaan mengenai urgensi penjatuhan sanksi pidana oleh negara kemudian muncul dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian terjawab dengan adanya teori pemidanaan.
Teori pemidanaan merupakan teori yang menganalisis pendapat ahli yang berkaitan mengapa negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan, apakah karena adanya unsur
8 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), hlm.139.
14 pembalasan atau menakuti masyarakat dan atau melindungi atau
memperbaiki masyarakat.9
Dari definisi teori pemidanaan tersebut, maka dapat kita ketahui empat unsur teori pemidanaan yaitu: adanya pendapat ahli, menjatuhkan pidana, adanya subjek, unsur penyebab.
Teori pemidanaan sendiri kemudian berkembang dan munculah teori baru yaitu teori tujuan pemidanaan. Menurut Algra teori tujuan pemidanaan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:10
1. Teori absoult atau teori pembalasan
Teori ini menyatakan bahwa: Negara harus mengadakan hukuman terhadap para pelaku karena orang telah berbuat dosa (quia pacratum). Dalam bentuk aslinya teori ini berpijak pada pemikiran tentang pembalasan yaitu prinsip pembalasan kembali, misal mata dengan mata, gigi dengan gigi, dan lain – lain.
2. Teori relatif atau teori tujuan
Teori ini menyatakan bahwa: Negara menjatuhkan hukuman kepada penjahat sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Tujuan hukum adalah menakut – nakuti seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat.
3. Teori gabungan
Teori ini menyatakan bahwa: biasanya hukum memerlukan pembenaran ganda. Pemerintah mempunyai hak untuk menghukum, apabila orang berbuat kejahatan (apabila seseorang melakukan tingkah laku yang pantas dihukum)
9 Ibid..
10 N. E. Algra, dkk, Mula Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1983), hlm. 303.
15 dan apabila dengan itu kelihatannya akan dapat mencapai tujuan yang bermanfaat).
Kebijakan hakim dalam memutus sebuah perkara terutama perkara pidana tidak terlepas dengan segala ketentuan – ketentuan mengenai kepidanaan yang diatur dalam berbagai bentuk regulasi yang memuat segala ketentuan – ketentuan pemidanaan yang secara pokok kita kenal sebagai hukum pidana yang menurut J.
M Van Bemmelen dibagi menjadi hukum pidana materiil dan formil yang didefinisikan sebagai berikut:
Hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut – turut, peraturan umum yang dapat diterapkan oleh perbuatan itu, sedangkan hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan dalam kesempatan itu.11
Urgensi hukum pidana dalam masyarakat tidak jauh berbeda dengan urgensi hukum – hukum yang lain yaitu sebagai realisasi negara hukum sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga hukum berperan sebagai pengatur kehidupan nasional. Dari hukum pidana inilah kemudian lahir berbagai produk hukum yang mengatur tentang pidana yang telah terkodifikasi dan sistematis sebagai acuan pengaturan pemidanaan, sehingga KUHP sebagai salah satu produk hukum pidana dalam Pasal 1 mengatur bahwa: “tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang – undang yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan.”
11 Leden Marpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,2017), hlm. 2.
16 Terkait dengan peranan hukum pidana sebagai pengatur kehidupan nasional, tujuan eksistensi dari hukum pidana dituangkan dalam 2 (dua) teori yang merupakan alasan pembenar dalam penjatuhan sanksi. Yaitu:12
1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie), dimana hukuman dijatuhkan sebagai pembalasan
2. Teori Relatif (Doeltheorie), yang dilandasi tujuan – tujuan menjerakan, memperbaiki terpidana dan membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila tindakan tersebut merupakan delik yang diartikan sebagai “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang – undang;
tindak pidana”.13 Perbuatan tersebut disebut sebagai kesengajaan dimana definisi kesengajaan dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) teori yaitu:14
1. Teori kehendak (Wilstheorie) oleh Von Hipple
Kesengajaan merupakan kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu, sehingga kaibat yang dituimbulkan menjadi maksud dari tindakan tersebut.
2. Teori membayangkan (Voorstellingstheorie) oleh Frank
Adalah sengaja apabila suatu akibat yang timbul dari suatu tindakan yang dibayangkan sebagai suatu maksud dari tindakan itu.
12 Ibid, hlm. 4.
13 Ibid, hlm. 7.
14 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Hukum Pidana Bagian Dua, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa). Hlm. 291.
17 Perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad) juga merupakan unsur delik walaupun perbuatan yang dilakukan tersebut tidak disengaja dilakukan / tidak memenuhi unsur kesengajaan atau yang sering disebut dengan kealpaan sesuai doktrin yang menganut hukum pidana materiil (materiele wederrechtelijk) yaitu Zevenberger dan Van Hamel yang menyatakan bahwa: “melawan hukum merupakan unsur delik baik dirumuskan maupun tidak dirumuskan, unsur melawan hukum tersebut harus dapat dibuktikan agar dapat memenuhi unsur delik.”15 Kesengajaan (opzet /dolus) dan atau atau kealpaan / ketidaksengajaan (negligence / schuld / culpa) merupakan unsur subjektif dalam sebuah delik, selain unsur subjektif juga ada unsur objektif. Unsur Objektif adalah “unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.”16 Sehingga orang dapat dikatakan bersalah telah melakukan kejahatan, apabila kejahatan itu telah ia lakukan baik sengaja maupun tidak disengaja.
Pembuktian yang diciptakan oleh alat bukti pada konsep hukum pidana erat kaitannya dengan teori pembuktian dan lembaga peradilan. Didalam memutus perkara, pengadilan harus memperhatikan alat – alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Alat – alat bukti itu tidak hanya tercantum dalam gugatan, tetapi juga meperhatikan alat – alat bukti lainnya. Bukti – bukti tersebut harus dinilai oleh hakim di dalam memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam menilai alat – alat bukti itu, hakim terikat pada norma – norma hukum dan berbagai teori yang berkaitan dengan pembuktian. “Teori – teroi yang menganalisis tentang alat
15 Ibid, hlm. 46.
16 P. A. F Lamintang, dan Fransiscus Theojunior Lamintang , Dasar – Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 192.
18 bukti ini disebut sebagai teori pembuktian yang memuat 4 (empat) unsur yaitu:
pendapat ahli, cara –cara, subjek dan tujuan”.17
Seperti dikemukakan pada paragraf diatas, bahwa alat bukti merupakan salah satu dasar hakim memutus perkara, dimana salah satu bentuk putusan hakim adalah pelaksanaan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging). Dasar hukum hakim memberikan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) terhadap terdakwa adalah Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa: “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” “Putusan lepas dalam perkara pidana juga berpedoman pada: bahwa tiada seseorang dapat dipidana karena kesalahan (Keine Straf Ohne Schuld/ No Punishment Without Guilty).”18
Seharusnya Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) yang diberikan hakim atas perkara yang diajukan dipengadilan tetap menjunjung tinggi konsep negara hukum yang penyelenggaraan pemerintahannya selain berdasar legitimasi juga berdasar peraturan perundang – undangan. Begitu pula Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) yang dijatuhkan hakim atas perkara penganiayaan yang secara sah terbukti memenuhi unsur – unsur pidana dalam Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan sehingga harus dipidana bukan malah dibebaskan. Tindak
17 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), hlm. 1.
18 C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2018), hlm. 182.
19 penganiayaan merupakan kriminal yang masukd alam kajian konsep kriminologi karena mengandung unsur kejahatan dan tindak pidana sesuai definisi dari kriminologi yaitu: “pengetahuan tentang kejahatan dan tindak pidana”19 Sedangkan teori kriminologi difenisikan sebagai berikut:
Pendapat ahli yang mengkaji dan menganalisis faktor – faktor penyebab pelaku kejahatan melakukan tindak pidana. Faktor penyebab itu, dapat berupa karena bakatnya, kondisi sosial, buidayam ekonomi dan lain – lain.20
E. Metode Penelitian 1 Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum sosiologis terhadap efektifitas hukum. Dimana penelitian ini lebih diarahkan pada suatu penelitian yang membahas tentang bagaimana hukum berlaku dalam masyarakat, sehingga dapat menunjukkan hubungan antara hukum dengan masyarakat, dengan harapan mampu mengungkapkan efektifitas berlakunya hukum dalam masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagai syaratnya peneliti harus mengetahui ilmu hukum dan ilmu sosial serta memiliki pengetahuan dalam penelitian ilmu sosial (social science research). Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Faktor – faktor yang mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu: kaidah hukum / peraturan itu
19 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 465.
20 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori..., Op. Cit, hlm. 187.
20 sendiri, petugas / penegak hukum, sarana dan prasarana
yang digunakan serta kesadaran masyarakat.21 2 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian yang dimaksud berada dalam wilayah Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian dengan narasumber – narasumber yang relevan dengan penelitian ini, sesuai dengan latar belakang penulisan yang dibutuhkan sebagai sumber data primer. Ketertarikan penulis untuk menjadikannya sebagai lokasi penelitian adalah tingginya angka persentase Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging) atas perkara pidana 5 (lima) tahun terakhir yang tidak sesuai dengan peraturan perundang - undangan.
3 Populasi dan sampel a. Populasi
Populasi merupakan sekumpulan objek yang hendak diteliti, yaitu sejumlah orang yang terlibat langsung dalam penelitian ini, yang terdiri dari :
1) Hakim Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian sebanyak 5 (lima) orang.
2) Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian sebanyak 3 (tiga) orang.
3) Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Rokan Hulu yang melakukan penuntutan perkara penganiayaan yang dijatuhi Putusan Lepas (putusan lepas yang tidak sesuai peraturan
21Tim Penyusun Pedoman Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Edisi III, (Pekanbaru, 2020), hlm. 2.
21 perundang – undangan) sepanjang 5 (lima) tahun terakhir sebanyak 2 (dua) orang.
b. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan dijadikan sebagai obyek penelitian, untuk mendapatkan data – data primer. Sampel yang dimaksud terdiri dari:
1) Hakim Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian sebanyak 2 (dua) orang ditetapkan dengan metode purposive.
2) Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian sebanyak 1 (satu) orang.ditetapkan dengan metode random.
3) Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Rokan Hulu yang melakukan penuntutan perkara penganiayaan yang dijatuhi Putusan Lepas (putusan lepas yang tidak sesuai peraturan perundang – undangan) sepanjang 5 (lima) tahun terakhir sebanyak 2 (dua) orang ditetapkan dengan metode sensus.
Tabel I. 1 Populasi dan Sampel No Jenis Populasi Jumlah
Populasi
Jumlah Sampel
Persentase (%) 1. Hakim Pengadilan Negeri
Pasir Pangaraian
5 2 40
2. Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian
3 1 33
3. Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Rokan Hulu yang melakukan penuntutan perkara
2 2 100
22 penganiayaan yang dijatuhi
Putusan Lepas (putusan lepas yang tidak sesuai peraturan perundang – undangan) sepanjang 5 (lima) tahun terakhir
Sumber: data primer diolah tahun 2020.
4 Sumber data
a. Sumber data primer
Adalah data yang langsung diperoleh dari lapangan yang sesuai dengan permasalahan ini, yaitu: Hakim Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian, Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Rokan Hulu yang melakukan penuntutan perkara penganiayaan yang dijatuhi Putusan Lepas (putusan lepas yang tidak sesuai peraturan perundang – undangan) sepanjang 5 (lima) tahun terakhir.
b. Sumber data sekunder
Adalah data yang diperoleh melalui kepustakaan yang bersifat mendukung data primer.
c. Data tertier
Adalah data yang diperoleh dari kamus, ensiklopedia dan sejenisnya berfungsi untuk mendukung data peimer dan sekunder.
5 Teknik pengumpulan data
Digunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu Observasi, Wawancara terstruktur serta Kajian Kepustakaan. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data dari sampel yang telah ditetapkan.
23 a. Observasi
Adalah pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian.
b. Wawancara terstruktur
Adalah metode wawancara dimana si peneliti telah menetapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan yang hendak disampaikan kepada responden (sampel). Hal ini artinya si peneliti terikat dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkannya sendiri.
c. Kajian kepustakaan
Adalah metode pengumpulan data dimana metode ini dibutuhkan peran aktif si peneliti untuk membaca literatur – literatur kepustakaan yang memiliki korelasi dengan permasalahan yang sedang ditelitinya.
6 Analisis data
Dalam data penelitian hukum sosiologis, penulis menggunakan analisis kualitatif dengan menguraikan secara deskriptif dari data yang diperoleh. Dan dalam menarik kesimpulan penulis menggunakan metode secara induktif yaitu cara berfikir yang menarik suatu kesimpulan dari yang sifatnya khusus ke yang sifatnya umum.
171
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rhineka Cipta, 2019.
Amirudin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Jakarta : Prenada Media Group, 2018.
C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2018.
C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, Jakarta : Rineka Cipta, 2013.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Leden Marpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
---, Perumusan Memorl Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, (Cetakan ke-2), Jakarta: Sinar Grafika 2004.
Moh. Kusnardi dan Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bhakti, 1983.
N. E. Algra, dkk, Mula Hukum, Jakarta: Bina Cipta, 1983.
Nandang Sambas dan Dian Andriasari, Kriminologi Perspektif Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
172 P. A. F Lamintang, dan Fransiscus Theojunior Lamintang , Dasar – Dasar
Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
R. Sosilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar- Komentar lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 2019.
Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008.
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1983.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Hukum Pidana Bagian Dua, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa, 2014.
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.
Sugianto, Ilmu Negara: “Sebuah Kajian dalam Perspektif Teori Kenegaraan di Indonesia”, Yogyakarta : CV. Budi Utama, 2018
Tim Penerbit SL Media, KUHAP dan KUHP, Tangerang, SL Media, 2011.
Tim Penyusun Pedoman Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Edisi III, Pekanbaru, 2020.
173 B. Jurnal / Skripsi / Tesis / Disertasi, Internet dan lainnya
Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Rokan Hulu, Sejarah Singkat
Kabupaten Rokan Hulu (Online),
https://rokanhulukab.go.id/pages/sejarah-singkat, diakses pada tanggal 24 Oktober 2020.
Situs Resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Kabupaten Rokan Hulu dalam Angka 2019 (Online), https://rohulkab.bps.go.id/publication/2019/08/16/278d8d8181f877d9d 8ea000/kabupaten-rokan-hulu-dalam-angka-2019.html, diakses pada tanggal 24 Oktober 2020.
C. Peraturan Perundang – Undangan
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Pengadilan Negeri Sengeti, Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian dan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun.
174 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi & Tata
Kerja Kepaniteraan
Putusan Mahkamah Agung RI No. 553.K/Pid/1982, tanggal 17 Januari 1983 tentang Judex Facti.