• Tidak ada hasil yang ditemukan

Slide Pidana Khusus “Korupsi”

N/A
N/A
Sandri Nababan

Academic year: 2024

Membagikan "Slide Pidana Khusus “Korupsi”"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

+

Pidana Khusus “Korupsi”

Eddy O.S Hiariej

(2)

Pengantar Korupsi

Extra ordinary crime dan memiliki karakter sebagai international crime

Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely → Lord Acton

Kecederungan orang yang berkuasa oleh C.S.B.D Montesquieu dalam Le Esprit Des Lois :

1. Mempertahankan kekuasaan 2. Memperbesar kekuasaan 3. Memanfaatkan kekuasaan

(3)

Peristilahatan, ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere. Dari Bahasa Latin diadopsi ke banyak bahasa di eropa : Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption;

dan Belanda: corruptie . Istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia:

Arti harfiah → Kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata- kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary: "corruption (L. corruptio (n-)) The act of corrupting. or the state of being corrupt; putrefactive decomposition. putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased form of a word“

Kamus Besar Bahasa Indonesia → perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya"

Malaysia → Undang-Undang anti-kerakusan. Sering pula menggunakan istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah).

Encyclopedia Americana → korupsi itu adalah suatu hal yang

bermacam-ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan

bangsa.

(4)

Korupsi Dalam Studi Kejahatan

1.

Political Bribery

2.

Political kickbacks

3.

Election Fraud

4.

Corrupt Campaign Practice

5.

Political Corruption

6.

Illegal Corruption

7.

Discretionary Corruption

8.

Ideological Corruption

9.

Mercenary Corruption

(5)

UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ada 30 jenis perbuatan yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Korupsi yang tersebar dalam 13 Pasal mulai dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 undang- undanga quo

(6)

Jenis Tindak Pidana Korupsi

1. Berkaitan dengan kerugian keuangan negara → 2 pasal 2. Berkaitan dengan suap – menyuap → 12 pasal

3. Berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan → 5 pasal 4. Berkaitan dengan pemerasan → 3 pasal

5. Berkaitan dengan perbuatan curang → 6 pasal

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan → 1 pasal

7. Gratifikasi → 1 pasal

(7)

Berkiatan Dengan Kerugian Keuangan Negara

1. Pasal 2 ayat (1) → Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diancam...”

2. Pasal 3 → “Setiap orang yang dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana ...”

(8)

Suap - Menyuap

1. Pasal 5 ayat (1) a Active Bribery (memberi/menjanjikan) Pegawai Negeri/Penyelegara Negara berbuat/tidak berbuat dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya.

2. Pasal 5 ayat (1) b Active Bribery (memberi) Pegawai Negeri/Penyelegara Negara berhubungan dengan sesuatu bertentangan dengan kewajibannya untuk dilakukan/tidak dalam jabatannya.

3. Pasal 5 ayat (2) Pasive Bribery Pegawai Negeri/Penyelenggaran Negara.

4. Pasal 6 ayat (1) a Active Bribery Hakim mempengaruhi putusan terhadap perkara yang sedang diadili

5. Pasal 6 ayat (1) b Active Bribery Advokat mempengaruhi pendapat terhadap perkara yang sedang diadili.

6. Pasal 6 ayat (2) Pasive Bribery Hakim / Advokat

(9)

7. Pasal 11 → Pasive Bribery → Pegawai Negeri/Penyelenggaran Negara → diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut karena kekuasaan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang meberikan berhubungan dengan jabatannya.

8. Pasal 12 a → Pasive Bribery → Pegawai Negeri/Penyelenggaran Negara → diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut untuk menggerakan melakukan/tidak sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

9. Pasal 12 b → Pasive Bribery → Pegawai Negeri/Penyelenggaran Negara → diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut sebagai akibat telah melakukan/tidak sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

10. Pasal 12 c → Pasive Bribery → Hakim → diketahui/patut diduga hadiah/janji diberikan untuk mempengaruhi putusan.

11. Pasal 12 d → Pasive Bribery → Advokat → diketahui/patut diduga hadiah/janji diberikan untuk mempengaruhi pendapat.

12. Pasal 13 → Active Bribery (hadiah/janji) → Pegawai Negeri → mengingat keuasaan/wewenang yang melekat pada jabatan/kedudukannya yang oleh pelaku dianggap melekat pada jabatan/kedudukannya.

(10)

Penggelapan Dalam Jabatan

1. Pasal 8 → PNS/Non-PNS menjalankan suatu jabatan dengan sengaja menggelapkan atau membiarkan orang lain/membantu menggelapkan uang/surat berharga yang disimpan karena jabatannya.

2. Pasal 9 → PNS/Non-PNS menjalankan suatu jabatan dengan sengaja memalsu buku/daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi.

3. Pasal 10 a → PNS/Non-PNS menjalankan suatu jabatan dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusak/membuat tidak dapat dipakai, barang/akta/surat/daftar yang digunakan untuk meyakinkan/membuktika sesuatu di depan pejabat berwenang.

4. Pasal 10 b → PNS/Non-PNS menjalankan suatu jabatan dengan sengaja membiarkan orang lain menggelapkan, menghancurkan, merusak/membuat tidak dapat dipakai, barang/akta/surat/daftar tersebut.

5. Pasal 10 c → PNS/Non-PNS menjalankan suatu jabatan dengan sengaja

membantu orang lain menggelapkan, menghancurkan, merusak/membuat tidak dapat dipakai, barang/akta/surat/daftar tersebut.

(11)

1. Pasal 12 e → PNS/Penyeleggara Negara → menguntungkan diri sendiri/orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa sesorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

2. Pasal 12 f → PNS/Penyeleggara Negara → pada saat menjalankan tugas meminta/menerima/memotong pembayaran kepada PNS/Penyelenggara Negara yang lain/kepada kas umum seolah-olah PNS/Penyelenggara tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bukan merupakan utang.

3. Pasal 12 g → PNS/Penyeleggara Negara → pada saat menjalankan tugas meminta/menerima pekerjaan/penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepadanya, padahal diketahui bukan merupakan utang.

PEMERASAN

(12)

1.

Pasal 7 ayat (1) a → Pemborong/ahli bangunan/penjual bahan bangunan melakukan perbuatan curang pada waktu membangun /menyerahkan bangunan yang dapat membahayakan keamanan orang / barang / keselamatan negara dalam keadaan perang.

2.

Pasal 7 ayat (1) b → Pengawas bangunan membiarkan perbuatan curang/

3.

Pasal 7 ayat (1) c → Setiap orang melakukan perbuatan curang pada waktu penyerahan barang keperluan TNI/Polri yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

4.

Pasal 7 ayat (1) d → Pengawas membiarkan perbuatan curang pada saat penyerahan barang keperluan TNI/Polri

5.

Pasal 7 ayat (2) → Orang yang menerima penyerahan barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang

6.

Pasal 12 h → PNS/Penyeleanggaran Negara menggunakan tanah negara

yang ada hak pakai seolah-olah sesuai peraturan perundang-undangan

telah merugikan yang berhak dan diketahuinya bahwa perbuatan

tersebut bertentangan dengan peratutan.

(13)

Terkait Pengadaan

• Pasal 12 i → PNS/Penyelenggara Negara

langsung/tidak dengan sengaja turut serta dalam

pemborongan. Pengadaan atau persewaan, yang pada

saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian

ditugaskan untuk mengurusi atau mengawasinya

(14)

Pasal 12 b ayat (1) → “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : a. yang nilainya Rp.

10.000.000,00 atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Ketentuan Pasal 12 c ayat (1) → “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 b ayat (1) tidak berlaku, jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Pasal 12 c ayat (2) → , “Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima”.

Pasal 12 c ayat (3) → , “Komisi Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara”.

GRATIFIKASI

(15)

Tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi

1. Pasal 21 → Obstruction of justice

2. Pasal 22 juncto Pasal 28 → tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

3. Pasal 22 juncto Pasal 29 → Bank tidak memberikan keterangan rekening tersangka

4. Pasal 22 juncto Pasal 35 → saksi/ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

5. Pasal 22 juncto Pasal 36 → Orang yang memegang rahasia jabatan yang tidak memberikan keterangan atau memberik keterangan palsu

6. Pasal 24 juncto Pasal 31 → Membuka identitas pelapor

(16)
(17)

Korupsi Oleh Korporasi

1.

Tuntutan & penjatuhan pidana dapat

dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya.

2.

Tindak pidana korupsi oleh korporasi

dilakukan oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain.

3.

Jika tuntutan dilakukan terhadap korporasi, maka korporasi diwakili keluarganya.

4.

Pengurus yang mewakili korporasi dapat diwakili orang lain.

5.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah1/3.
(18)

Gugatan Perdata Terkait Korupsi

1. Dalam hal penyidik tidak mendapat cukup bukti tetapi telah ada kerugian keuangan negara secara nyata.

2. Putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian keuangan negara.

3. Dalam penydikan dan atau pemeriksaan sidang, tersangka/terdakwa meninggal dunia namun telah ada kerugian keuangan negara.

4. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, masih

terdapat harta yang diduga atau patut diduga juga berasal

dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan

perampasan.

(19)

Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

1. Terdakwa berhak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi

2. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri, suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara tersebut

3. Terdakwa wajib membuktikan harta bendanya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi

4. Tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya dapat

dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa

Agung

(20)
(21)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota dan semuanya adalah pejabat negara.

Persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Sumber keuangan yang berasal dari APBN.

Berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.

Dapat melakukan penyadapan.

(22)

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(23)

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

• Berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota meliputi daerah hukum pengadilan negeri.

• Mengadili tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.

• Majelis hakim terdiri dari hakim karir dan hakim ad-hoc

• Majelis hakim sedikitnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang

• Pemeriksaan tingkat pertama paling lama 120 hari, tingkat banding

paling lama 60 hari dan kasasi paling lama 120 hari.

(24)

UNITED NATIONS

CONVENTION AGAINST

CORRUPTION

(25)

Corruption --- Multi-dimensional Challenge

Human Rights

Democracy

Rule of Law

Markets Quality of Life

Human Security

Sustainable Development CORRUPTION

(26)

Tujuan & Struktur Konvensi

Preventive Measures

International Cooperation Asset

Recovery Technical Assistance

Information Exchange

Implementation

Criminalization Law Enforcement 3. Integrias, dapat dipertanggungjawabkan & manajemen yang tepat di

sektor publik

1. Mencegah & membasmi korupsi efektif & efisien

2. Kerjasama internasional & bantuan teknis termasuk pengembalian

aset

(27)

Use of Terms (Art.2)

No Definition of Corruption Broad and Comprehensive Definition

of Public Officials

1. Any Person Holding a Legislative, Executive, Administrative or Judicial Office

2. Any Person Performing a Public Function or Providing a Public Service

3. Any Other Person So Defined in the Domestic

Law of State Party

(28)

Psl.6

Jaminan keberadaan lembaga- lembaga anti-korupsi

Lembaga & Kebijakan Anti-Korupsi Persyaratan

Koordinasi & pelaksanaan efektif kebijakan-kebijakan anti-korupsi

Psl.5

(29)

Langkah-Langkah Pencegahan Di Sektor Publik

Transparency Integrity

Accountability

Manajemen Personil (Psl.7) Kode Etik (Psl.8)

Manajemen

keuangan & pengadaan di sektor publik(Psl.9)

Integritas

Para Penegak Hukum (Psl.11)

(30)

Langkah-Langkah Pencegahan Lainnya

Partisipasi Masyarakat

• Jaminan partisipasi aktif masyarakat (Psl.13 (1))

• Akses masyarakat terhadap lembaga- lembaga anti-korupsi (Psl.13 (2))

• Fasilitasi laporan masyarakat (Psl.39)

Pencegahan Pencucian Uang

• Aturan yang komprehensif &

pengawasan rezim pencucian uang

• Jaminan kerjasama nasional &

internasional (Psl.14)

(31)

Mandatory & Kejahatan-Kejahatan Lainnya

5 Mandatory Offences

Bribery of National Public Officials (Art.15) Active Bribery of Foreign Public Officials (Art.16) Embezzlement, Misappropriation and Other Diversion

of Property by a Public Official (Art.17) Money Laundering (Art.23)

Obstruction of Justice (Art.25)

6 Kejahatan-Kejahatan Lainnya

Passive Bribery of Foreign Public Official (Art.16) Trading in Influence (Art.18)

Abuse of Function (Art.19) Illicit Enrichment (Art.20)

Bribery in Private Sector (Art.21)

Embezzlement in Private Sector (Art.22)

(32)

Ekstradisi (Psl.44)

Jaminan semua kejahatan dalam konvensi dapat diekstradisi diantara negara

peserta

Double criminality Eksepsi double criminality →

‘aut dedere aut judicare’

- Resiprokal

- omnia praesumuntur rite esse acta - Kewarganegaraan

- Teritorial - Spesialitas - ‘Pidana Mati’

- Kejahatan Politik

- Attentaatclaussule

(33)

International Cooperation

Mandatory

Offences Optional

Offences

Narrow Dual Criminality Requirements

In MLAs

Question of

Dual Criminality

(34)

Cooperation Measures

Joint

Investigation (Art.49) Special Investigative

Techniques (Art.50)

Cooperation in Inquiries

Channels of Communication and Information Exchange

(Art.48)

(35)

Pengembalian Aset – Terobosan Besar

Langkah mencegah

& melacak transfer Data (Psl.51)

Return of Assets as Fundamental Principle

Langkah langsung Mengembalikan aset

(Psl.53)

Langkah pengembalian Aset melalui kerjasama internasional(Psl.54 - 55)

Pengembalian &

Penempatan

Aset (Psl.57)

Referensi

Dokumen terkait