• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS ANAK AKIBAT LI’AN (TELA’AH TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH 80 H/699 M – 150H/767 M).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "STATUS ANAK AKIBAT LI’AN (TELA’AH TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH 80 H/699 M – 150H/767 M)."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 1

STATUS ANAK AKIBAT LI’AN (TELA’AH TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH 80 H/699 M – 150H/767 M).

Amrin Borotan

Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Tuanku Tambusai Pasir Pengaraian Email: amrin.borotan91@gmail.com

ABSTRAK

Nu‟man bin Tsabit bin Zautha bin Mah atau yang populer dengan sebutan Abu Hanifah seorang ulama besar yang berasal dari Kufah. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H/ 696 M dan wafat pada tahun 150 H/ 767 M. Abu Hanifah adalah seorang ulama yang mendahulukan menggunakan ro’yu dalam memecahkan sebuah masalah. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan. Adapun metode istinbat hukum yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah berdasarkan keumuman ayat tentang talak, jika suami saja yang meli‟an tanpa istri, dan atau telah diketahui siapa yang berbohong diantara suami istri yang berli‟an. Karena li‟an merupakan salah satu bentuk dari perceraian.

Tapi jika suami dan istri saling melakukan li‟an, maka merujuk kepada hadits Nabi.

Kata kunci: Status Anak, Li’an, Imam Abu Hanifah

A. PENDAHULUAN

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. Al-qur‟an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya

(2)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 2

perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan.1

Adapun salah satu faktor terjadinya perselisihan antara suami isteri adalah Kadang- kadang sebagai suami merasa curiga terhadap istrinya karena sikap istri tidak setia lagi kepadanya, istemewa setelah mendapat anak yang jauh berbeda dari bentuk suami tersebut atau apa sebab istrinya hamil dan melahirkan, padahal ia berpendapat tidak mungkin dia hamil, karena tidak disetubuhinya dan lain-lain. Sehingga ia mengakui bahwa anak itu bukan anaknya2. Untuk mengatasi keresahan hati suami, maka Islam sudah mengatur suatu cara yang dinamakan “Li’an”.3 Li’an merupakan jalan keluar bagi suami. Jika suami menuduh istrinya berbuat zina dan dia kesulitan untuk mengajukan kesaksian. Jalan keluarnya ialah suami meli’an istrinya sebagaimana yang diperintahkan oleh allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 6-9:





































































































Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang- orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (Qs. An-Nuur: 6-9).4 Menurut Jumhur Ulama Fikih, apabila telah terjadi li’an maka mereka (suami istri) tidak boleh melanjutkan rumah tangga, walaupun istri itu telah menikah dengan laki-laki lain, dan telah terjadi perceraian serta habis masa iddahnya5. Dan menurut Hadawiyah, Syafi‟i, Ahmad,

1 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2009) , edisi 1cetakan ke-3, h. 190

2 Ibid.

3 Abdullah bin Abdurrahman Al- Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulughul Al-Maram, Penerjemah Kahar Masyhur, Syarah Buluqhul Maram (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), Cet. 1, Jilid 2, h. 111

4 Depag RI,Al-Qur’an dan terjemahan, (Semarang: Thaha Putra, 1989), h.351

5 Abdullah bin Abdurrahman Al- Bassam, Buluqhul Maram, op. cit, h. 114.

(3)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 3

dan selain mereka berpendapat li’an sama dengan fasakh yang menunjukkan keharamanan li’an untuk selama-lamanya6. Ulama Fikih tersebut beralasan dari hadis Nabi Muhammad SAW: Hadits yang diriwayatkan Abu Daud disebutkan bahwa dua orang yang telah saling meli’an tidak boleh kembali bersama untuk selamanya sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

لاق ٍٍُعلاحًهن سثخ ىف دعس ٍت مٓس ٍع ׃

آقهطف خلاث تاقٍهطج

٬ ىعهص الله لٕسز ِرفَأف

٬ ىعهص ىثُنا دُع عُص اي ٌاكٔ

ةُس ٠ مٓس لاق

׃ ىعهص ىثُنا دُع ارْ تسضح

٬ ٌاعًحجٌ لا ىث آًٍُت قسفٌ ٌأ ٍٍُعلاحًن ا ىف دعت ةُسنا ثضًف

ا دتأ ٠ ﴾ دٔاد ٕتأ ِأز ﴿ Artinya: Dari Sahl bin Sa‟d tentang dua orang yang saling meli‟an, ia menuturkan, “Lalu laki-

laki itu menalak istrinya tiga talak, dan Rasulullah SAW menetapkannya, sehingga apa yang telah dilakukan di hadapan Nabi SAW itu menjadi sunnah. “Sahl mengatakan, “Saat itu aku turut hadir di dekat Rasulullah SAW. Kemudian hal itu menjadi suunah pada dua orang yang saling meli‟an, yaitu memisahkan keduanya, kemudian mereka tidak boleh lagi kembali bersama untuk selamanya.” (HR. Abu Daud)7.

Nabi meniadakan jalan kembali akibat li’an secara mutlak. Seandainya tidak haram selamanya tentu beliau menerangkan sebabnya seperti beliau menerangkan sebab pada perempuan yang ditalak tiga. Dan diriwayatkan pula:ادتأ ٌاعًحجٌلا ٍٍُعلاحًنا. Li’an di sini hanya li’an dari suami dan bukan termasuk li’an dari istri dan juga tidak atas keputusan hakim.

Kalau telah terjadi li’an maka menyebabkan keharaman selamanya.8 Namun Abu Hanifah berpendapat lain tentang li’an. Beliau mengatakan akibat li’an terhadap perkawinan adalah apabila telah terjadi li’an, maka perpisahan di antara suami istri tidak akan terjadi kecuali berdasarkan keputusan hakim.9 Sebagaimana yang dikutip di dalam kitab al-Mabsuth, Abu Hanifah berpendapat, perpisahan yang terjadi karena li’an hanya sebagai talak, dan keharaman istri bagi suaminya tidaklah selamanya. Alasanya karena orang yang melaknat tidak berkumpul selamanya, dan talak itu adalah hak dari suami. Abu Hanifah tidak menjadikan li’an sebagai perpisahan secara otomatis kecuali apabila li‟an telah terjadi tiga kali, tidak terjadi perpisahan kecuali ada yang memisahkan, kalau belum dipisahkan oleh hakim maka belum terjadi li’an.10

6 Muhammad Ibn Ismail al-„Amir, Subulus Salam Syarhi Bulughul Maram Min Jam’i Adillati al-Ahkam, (Daar al-Fiqr, th), Cet. 1, Jilid 3, h.365

7 Al-Imam Asy- Syaukani, Ringkasan Nailul Authar, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, Asep, Saefullah, (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2006), Jilid 3,h. 616

8 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad al-Husain, Kifayatul Akhyar, (Semarang: Maktabah Usaha Kelurga, th), jilid. 1, h. 123

9 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Terjemahan Imam Ghazali dkk (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), jilid 2, h. 688

10 Syamsuddin As- Sarkhasi, Kitab al- Mabsuth, (Libanon: Daar al Kutub Al-„Ilmiyah, 1993), Juz VII, Jilid VII, h. 43- 44

(4)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 4

Setiap perpisahan yang timbul dari pihak suami adalah talak, bukan fasakh. Maka perpisahan yang terjadi di sini seperti perpisahan sengketa jual beli, jika hal tersebut berdasarkan putusan pengadilan11. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, istri hanya haram sementara, kerena pengharaman istri disebabkan oleh li’an. Maka, bila suami mengingkari tuduhan sendiri, tidak ada hukum haramnya si istri bagi suaminya, dan li’an sama seperti talak.12 Sedangkan status anak, Bila kita perhatikan keturunan kita, akan nyatalah bahwa ia kadang-kadang menyerupai ibunya atau orang-orang dari keluarga pihak ibu. Terkadang juga menyerupai ayahnya atau orang-orang dari keluarga pihak ayahnya, seperti ayah, atau kakek dan sebagainya.13 Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.14

Menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan.15

B. KAJIAN PUSTAKA

Secara etimologis, kata li’an berasal dari bahasa Arab, la’ana bentuk mashdar dari susunan fi’il (kata kerja) اُعن-ٍعهٚ-ٍعنyang berarti laknat atau kutukan16. Dinamakan dengan li’an ini karena apa yang terjadi antara suami istri, sebab masing-masing suami istri saling melaknat dirinya sendiri pada kali yang kelima jika dia berdusta.17 Li’an secara terminologi adalah tuduhan suami terhadap istri bahwa istrinya berzina dengan orang lain atau mengingkari kehamilan istri dengan disertai empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian sumpah kelima disertai ketersediaan menerima

11 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1980), Jilid VIII, Cet. 1, h. 147-148, dan Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqih Wanita, h. 447

12 Muhammad Ibrahim Jannati, fiqh Perbandingan lima Mazhab, (Jakarta: Cahaya,2007), Penerjemah Ibnu Alwi Bafaqih, Muhdhor Assegaf dan Alam Firdaus, Cet 1, h. 611

13 Ibid, h. 158

14 Ibid

15 Syamsuddin As- Sarkhasi, Op Cit, h. 48

16Ahmad Wirson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1274.

17 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Juz x , (Jakarta: Darul Fikir, 2011), h. 481.

(5)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 5

laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya.18 Dasar hukum li’an, firman Allah Swt:

























































Artinya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang- orang yang benar. Dan (sumpah) yangkelima: bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Nur: 6-7).19













































Artinya: Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la‟nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang- orang yang benar (QS.An-Nur: 8-9).20

Di samping yang dijelaskan dalam Al Qur‟an di dalam Hadits juga dijelaskan tentang li’an, di antaranya sabda Nabi SAW:

ٍت واشْ ٍع ،يدع ًتأ ٍتا ًُثدح :زاشت ٍت محمد ًُثدح للاْ ٌأ:آًُع الله ًضز ساثع ٍتا ٍع ،ةيسكع اُثدح :ٌاسح

تدٓشف ثياق ىث .)ةئاج اًكُي مٓف ،بذاك ىكدحأ ٌأ ىهعٌ الله ٌإ( :لٕقٌ صلى الله عليه وسلم ًثُنأ دٓشف ءاجف ،ّجأسيا فرق ةٍيأ ٍت

21.

Artinya: Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa sanya Hilal bin Ummayyah telah menuduh istrinya (berzina), lalu ia datang lantas bersumpah (bersaksi), sedangkan Nabi SAW. berkata:

Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua berdusta maka apakah ada di antara kalian bertaubat. Kemudian istrinya berdiri lantas bersumpah.

Zina berarti hubungan kelamin antara seorang laki laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan.22Tidak masalah apakah salah satu pihak atau keduanya telah memiliki pasangan hidupnya masing masing ataupun belum menikah sama sekali. Qadzaf dalam arti bahasa adalah اَْ َْٕحََ َٔ ِة َساَج ِحنْاِب َٙي َّشنَا artinya melempar dengan batu dan lainnya. Jadi dapat diartikan bahwa qadzaf ialah menuduh orang lain berzina. Misalnya seseorang mengatakan,

18 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2008), h., 239.

19Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:Depag RI, 1989), h. 544.

20Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, Op. cit, h. 544.

21Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V, (Dar al-Fikr, tth.), h. 178.

22A Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 308.

(6)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 6

“Wahai orang yang berzina,” atau lain sebagainya yang dari pernyataan tersebut difahami bahwa seseorang telah menuduh orang lain berzina.23

Adapun hubungannya li’ān dengan zina dan qazaf adalah bahwa li’an yaitu suami yang menuduh istrinya berzina atau istri yang menuduh suaminya berzina dan zina yang dimaksud disini adalah zina besar, seperti yang disebutkan dalam pengertian di atas, sedangkan tuduhannya bisa disebut qazhaf jika menuduh orang lain dan dapat dijatuhi had jika tidak dapat mendatangkan empat orang saksi. Namun jika suami sendiri yang menuduh istrinya meskipun tidak dapat mendatangkan saksi, suami bisa terbebas dari hukuman dengan cara melakukan li’ān, dan tidak perlu lagi untuk mendatangkan saksi. Hukuman had bisa terlepas dengan melaksanakan li’ān. Li’ān terjadi karena adanya pengakukan suami atau istri bahwa salah seorang diantara mereka telah melakukan zina. Pengakuan suami istri dilaksanakan di depan sidang pengadilan dan hakim melaksanakan li’ān diantara mereka. Maka suami istri bersumpuh empat kali dan yang kelima adalah laknat Allah atas mereka jika mereka berdusta.

Menurut al-Jurjawi, dalam sumpah li’ān terkandung beberapa hikmah antara lain:24

1. Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi antara kedunya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan melukai istri dengan kekejian, maka dada mereka akan sempit dan hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek.

2. Melarang dan memperingatkan suami-istri agar jangan melakukan perlakuan buruk yang akan mengurangi kemuliaan itu.

3. Menjaga kehormatanya dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah hilang pengaruhnya siang dan malam.

C. METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan kajian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah maka penelitian ini menggunakan metodologi sebagai berikut: Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat

23 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1971), h. 148.

24 Ahmad Ali al-Jurjāwi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Falsafat dan Hikmah Hukum Islam), alih bahasa Hadi Mulyo & Shobahussurur, (Semarang: CV. al-Syifa, 1992), h. 334.

(7)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 7

serta mengolah bahan penelitian25, yaitu dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

Adapun sumber data primer dalam penulisan penelitian ini adalah kitab al-Mabsūth karya Syamsuddin al-Syarkhāsi. Sedangkan Data Sekunder Merupakan literatur penunjang dan sebagai referensi pelengkap. Dalam karya ini yang digunakan adalah kitab-kitab karangan ulama lain maupun buku-buku sejarah yang masih berkaitan dan relevan. Di antaranya adalah al-Umm karya Imam al-Syafi‟i, al-Mudawwanah al-Kubra karya Imam Malik, Bidāyatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Kitab al-Fiqh A’la al-Mazhābi al-Arba’ah karya Abdul Rahman al-Jazairi, Fiqh Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah al- Zuhali dll.

Metode Deskriptif Analistis, yaitu berusaha memaparkan secara jelas ijtihad yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah, dan berangkat dari pemaparan tersebut penulis menganalisisnya seobyektif mungkin, yaitu memaparkan kelemahan dan kelebihannya dengan lebih menitik beratkan pada metode Istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah tentang Status Anak Akibat li’ān. Metode Conten Analisis, yaitu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi, mempelajari dan kemudian melakukan analisis terhadap apa yang diselidiki.26

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tuduhan berzina tidak terlepas dari ketentuan penyaksian. Yakni, seseorang mengaku bahwa ia menyaksikan perbuatan zina. Atau tuduhan inibersifat mutlak tanpa ikatan.27 Dan jika ia mengingkari kandungan, maka ada kalanya ia mengingkari dengan pengingkaran mutlak atau mengatakan bahwa ia tidak mencampuri istrinya sesudah istrinya itu membersihkan rahimnya dari kandungan (Istibrak).28 Nasab atau keturunan artinya pertalian atau hubungan yang menentukan asal usul seorang manusia dalam pertalian darahnya. Di syari‟atkan pernikahan untuk menetukan keturunan menurut Islam agar anak yang lahir dengan jalan pernikahan yang sah memiliki status yang jelas.artinya anak itu sah mempunyai bapak dan mempunyai ibu. Akan tetapi, kalau anak itu lahir diluar pernikahan sah, maka anak itu statusnya menjadi tidak jelas hanya mempunyai ibu, tetapi tidak mempunyai bapak.29

25 Mustika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 3.

26 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), h. 49.

27 Slmanet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 157

28 Ibid.

29 Ibid

(8)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 8

Bila kita perhatikan keturunan kita, akan nyatalah bahwa ia kadang-kadang menyerupai ibunya atau orang-orang dari keluarga pihak ibu. Terkadang juga menyerupai ayahnya atau orang-orang dari keluarga pihak ayahnya, seperti ayah, atau kakek dan sebagainya.30 Kalau terjadi kelahiran seorang anak yang rupanya atau kulitnya tidak menyerupai salah seorang dari bapak dan ibu, maka hendaklah diperiksa lebih dahulu, jangan lekas menjatuhkan bahwa anak itu anak dari keturunan orang lain, yang berarti ibunya telah berbuat serong dengan lelaki yang lain.

ةساضف ُٗب ٍي مجس ءاج لال ّتع الله ٗضس ةشٚشْ ٗبا ٍع

ٗبُنا ٗنا صلى الله عليه وسلم

لامف

׃ لامف دٕسا ايلاغ تذنٔ ٙتأشيا ٌا

׃ مْ

لال ؟ مبا ٍي كن

׃ لال ،ىعَ

׃ لال ؟ آَإنااًف

׃ لال شًح

׃ لال ؟ قسٔا ٍي آٛف مْ

׃ السٔا آٛف ٌا ٠

لال

׃ َٗأف

لال كنر اْاتا

׃ لال قشع ّعضَ ٌٕكٚ ٌا ٗسع

׃ قشع ّعضَ ٌٕكٚ ٌا زْٔ

٠

﴾ىهسي ٔ ٖساخبنا ِأس ﴿ Artinya: Dari Abu Hurairah r.a berkata: “Seorang laki-laki dari Bani Fazarah pernah datang kepada Rasulullah SAW.” Lalu berkata,”Sesungguhnya istriku telah melahirkan seorang anak laki-laki yang berkulit hitam.” Lalu Nabi SAW. Bertanya, “apakah engkau memiliki unta? “Ia menjawab. “Ada” Rasulullah SAW bertanya, “Apakah warnanya? “Ia menjawab, “Merah” Rasulullah bertanya pula,”adakah padanya warna kelabu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya padanya warna kelabu. Selanjutnya nabi bertanya, “Bagaimana warna itu datang kepadanya?. Dia menjawab, “Barangkali ditarik oleh peluhnya”. Rasulullah SAW. Bersabda,”Dan anak engkau ini barangkali warnanya ditarik oleh peluhnya (Menyerupai kulit ibunya).”

Dalam hubungan dengan keturunan darah, maka semua anak dibangsakan kepada bapaknya bukan kepada ibunya31. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi:



























































Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Ahzab: 5).32

Istri hamil sesudah Li‟an, menurut pendapat Abu Hanifah bahwa diantara keduanya tidak ada Li‟an, kecuali jika suami mengingkari anak kandung oleh istrinya, dan tidak ada pula

30 Ibid, h. 158

31 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, Cet. 3), h. 220

32 Depag RI, Op Cit, h. 90

(9)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 9

hukuman had.33 Sedangkan jika suami mengingkari kandungan, terdapat dua persoalan. Salah satunya, suami mengaku bahwa ia telah mengistibrakkan istrinya dan tidak menggaulinya sesudah istibrak.34 Secara metodologis, obsesi undang-undang atau kompilasi yang mengatur bahwa li‟an harus dilakukan di depan siding, adalah menggunakan istislah atau sering disebut dengan maslahat mursalah. Hal ini karena secara teknis hukum Islam tidak menjelaskan secara konkret tentang adanya li‟an harus di depan siding.

Namun demikian, karena kemaslahatan yang dimunculkan dari pelaksanaan li‟an di depan sidang tersebut, sangat besar, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi kepentingan pembinaan kesadaran hukum masyarakat, maka upaya tersebut ditempuh. Akan halnya status anak li‟an, adalah sama dengan status anak zina, ia hanya dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya saja. Demikian kesepakatan ulama. Dan dasarny adalah.

ذنٕنا كحنأ ىعهص ٗبُنا قشفف اْذنٔ ٍي ٗفتَأ صلى الله عليه وسلم ٗبُنا ٍيص ٗف ّتاشيا ٍع لا لاجس ٌا ُّع ّههنا ٗضس شًع ٍبا ٍع ةأشًناب )دٔاد ٕبأ ٘ساخبنا ِأس(

Artinya: Dari ibn Umar r.a. bahwa seorang laki-laki telah meli‟an istrinya pada zaman Nabi SAW. Dan menafikan anak istrinya tersebut, maka Nabi SAW. Menceraikan antara keduanya dan mempertemukan nasab anaknya pada ibunya (Riwayat Bukhori dan Abu Dawud).

Abu Hanifah berpendapat, suami tidak boleh mengingkari anak sampai istri melahirkannya.35 Dan Abu Hanifah juga mengatakan kandungan itu terkadang mengalami keguguran. Oleh karena itu, hanya “Keyakinan” yang menjadi alasan terkuat untuk melakukan li‟an. Abu Hanifah berpendapat bahwa semua boleh berli‟an sekalipun ia tidak mengingkari kadungan, kecuali pada waktu melahirkan dan menjelang saat melahirkan.

Tetapi Abu Hanifah tidak memberikan batasan waktu bagi pengingkaran tersebut.36 Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris- mewaris.37

Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya.Mereka berpedoman pada pendapat Ali bin Abi Thalib ketika menghentikan rencana khalifah Usman bin Affan menghukum rajam terhadap seorang perempuan atas tuduhan zina

33 Ibid.

34 Ibid.

35 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujathid,( Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cetakan III, h. 674

36 Ibid.

37 Ibid

(10)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 10

yang diadukan suaminya karena sang isteri melahirkan bayi pada 6 bulan (kurang 9 bulan) dari waktu akad nikah. Maka Ali menjelaskan kepada Usman bahwa al-Qur`an menyebutkan masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun.

Tegasnya, meskipun si ibu melangsungkan akad nikah, bila kurang dari 6 bulan sejak pernikahannya itu lalu ia melahirkan anak, maka sang anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, Menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundangundangan Nasional antara lain.38

1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.39

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya40 Haram hukumnya seorang perempuan menuduh seorang anak kepada suatu kaum padahal anak itu bukan anaknya. Begitu juga haram hukumnya seorang laki-laki menyangkal tentang seorang anak, pada hal anak tersebut benar-benar merupakan anaknya sendiri. Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur‟an dan Sunnah, dan menganjurkan pembahasan persoalan dengan bebas merdeka41. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum dan lebih mengutamakan analogi yang rendah tetapi menguntungkan dari pada analogi (qiyas) yang kuat tapi tidak menguntungkan. Dia banyak nenetapkan hukum didasarkan istihsan dan istishab.

38 Departemen Agama RI, Kompolasi Hukum Islam, ( Jakarta, 2004)

39 Ibid

40 Ibid

41 K.H Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), h. 77

(11)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 11

Dari keterangn diatas dapat diambil pemahaman bahwa dasar Abu Hanifah dalam mengistinbatkan hukum Adalah:

1. Kitabullah (al-Qur‟an)

Dalam menetapkan hukum Abu Hanifah memposisikan al-Qur‟an sebagai sumber hukum yang pertama sebagai rujukan. Abu Hanifah berpendapat bahwa as-Sunnah menjelaskan al-Qur‟an jika al-Qur‟an memerlukan penjelas, maka bayan al-Qur‟an menurut Abu Hanifah terbagi tiga:

a. Bayan taqrir

b. Bayan tafsir seperti menerangkan mujmal atau musytarak al-Qur‟an

c. Bayan tabdil yakni al-Qur‟an boleh di nashkan dengan al-Qur‟an tetapi al-Qur‟an di nashkan dengan sunnah adalah jika sunnah itu mutawattir atau masyhur dan mustafidlah.

Pemikiran Abu Hanifah tentang li’an dan akibatnya terhadap perkawinan merujuk kepada keumuman Al-Qur‟an surat Al- Baqarah ayat 229:































































































Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Qs. Al-Baqarah: 226)

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa talak merupakan salah satu bentuk perceraian yang datang/ berasal dari pihak suami. Talak itu bersifat umum dan keumuman ayat disini adalah penyebab perceraian itu banyak macamnya, seperti: perceraian akibat talak, perceraian karena ila’, perceraian karena khuluk, dan perceraian akibat li’an. Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa perceraian yang terjadi akibat li’an sama dengan perpisahan karena talak. Karena perceraian datang dari pihak suami, dan hanya salah satu pihak saja yang melaksanakannya.

Nash ini bersifat umum untuk seluruh jenis perceraian. Dan khusus menyebutkan adanya interaksi dua belah pihak, dalam arti suami dan istri melaknat(seperti dalam hadits berikut).

(12)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 12

Jika tidak ada interaksi dua belah pihak maka tidaklah dipakai. Dan jika ditetapkan juga keharaman untuk selamanya, sama dengan menambah nash, dan yang demikian itu tidak boleh.

Dasar hukum yang gunakan Abu Hanifah kedua adalah as-Sunnah, ulama Hanafiah menetapkan, bahwa sanya yang ditetapkan dengan al-Qur‟an yang qath‟i dalalahnya adalah fardhu, sesuatu yang ditetapkan oleh as-Sunnah yang zhanny dilallahnya dinamakan wajib, demikian halnya tiap yang dilarang oleh al-Qur‟an haram dan yang dilarang oleh as-Sunnah Makruh Tahrim. Dan menurut Jumhur sesuatu yang bersifat umum itu dalalahnya masih zhanny. Sabda Rasulullah dalam masalah li’an:

لاق ٍٍُعلاحًهن سثخ ىف دعس ٍت مٓس ٍع ׃

آقهطف خلاث تاقٍهطج

٬ ىعهص الله لٕسز ِرفَأف

٬ ىعهص ىثُنا دُع عُص اي ٌاكٔ

ةُس ٠ مٓس لاق

׃ ىعهص ىثُنا دُع ارْ تسضح

٬ ت قسفٌ ٌأ ٍٍُعلاحًن ا ىف دعت ةُسنا ثضًف ادتأ ٌاعًحجٌ لا ىث آًٍُ

٠

﴾ دٔاد ٕتأ ِأز ﴿ Artinya: Dari Sahl bin Sa‟d tentang dua orang yang saling meli‟an, ia menuturkan, “Lalu laki-

laki itu menalak istrinya tiga talak, dan Rasulullah SAW menetapkannya, sehingga apa yang telah dilakukan di hadapan Nabi Muhammad SAW itu menjadi acuan.

“Sahl mengatakan, “Saat itu aku turut hadir di dekat Rasulullah SAW. Kemudian hal itu menjadi acuan pada dua orang yang saling meli‟an, yaitu memisahkan keduanya, kemudian mereka tidak boleh lagi kembali bersama untuk selamanya.” (HR. Abu Daud).42

Dalam hadits diatas Abu Hanifah memandang bahwa akibat li’an terhadap perkawinan adalah talak atau haram untuk sementara berdasarkan keumuman dalil al-Qur‟an yang sebelumnya. Berdasarkan hadits diatas, Abu Hanifah memandang bahwa keharaman selamanya bisa ditetapkan, jika suami istri sama-sama melaksanakan li’an, dan selama belum ada yang mengaku bahwa dia berbohong dalam sumpah li’an tersebut. Keharaman selamanya akibat li’an ini dipahami dari teks hadist tanpa melakukan menambahan makna ataupun penambahan lafaz. Abu Hanifah memandang keharaman selamanya bagi suami istri yang telah melaksanakan li’an tidaklah dipakai, jika hanya satu orang (suami saja atau istri saja) yang melaksanakan li’an. Atau kedua melaksanakan li’an, kemudian menyadari bahwa tuduhannya salah (karena menuduh didasari oleh kecemburuan atau karena emosi sesaat), maka gugurlah keharaman untuk selamnya itu. Jika ditetapkan juga hukum haram selamanya sesuai hadits diatas maka sama artinya menambah-nambah nash dan ini tidak diperbolehkan.

Keharaman akibat li’an (selamanya) juga tidak bisa ditetapkan jika suami meli’an istrinya sedangkan istri enggan untuk melakukan li’an namun istri juga tidak membenarkan tuduhan suaminya. Demikian juga jika telah terjadi li’an antara suami istri, kemudian suami

42 Al-Imam Asy- Syaukani, Ringkasan Nailul Authar, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, Asep, Saefullah, (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2006), Jilid 3, h. 616

(13)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 13

mencabut sumpahnya dan rela di hadd, maka suami boleh menikah lagi dengan istrinya dengan akad nikah yang baru. Begitu juga jika penyebab terjadinya li’an karena penyangkalan anak atau menapikan anak yang dilahirkan istrinya dan kemudian suami sadar bahwa tuduhannya salah dan mengakui anak yang dilahirkan istri adalah anaknya, maka anak tersebut dapat dinisabkan kepada suaminya.

Berdasarkan kaidah hanafiyah:

حسَ صُنا ٗهع ةداٚضنا Makna ungkapan diatas, bahwa nash itu harus difahami sesuai dari kata-kata dan penambahan maknanya dinasakh. Perceraian akibat li’an hukumnya abadi atau selamanya syaratnya dua belah pihak yang melakukannya. Namun jika salah satu pihak saja yang melakukan maka hadist tentang perceraian abadi tidak bisa dipakai lagi. Karena telah berbeda makna, dan bukan dua belah pihak lagi melainkan satu pihak saja. Jika terjadi pengkhususan dalam suatu nash, maka pengkhususan itu terhadap hukum, maka dalam memnetapkan hukum harus sesuai dengan teks. Abu Hanifah mengambil mafhum mukhalafah dari hadits diatas. Dikitip dalam ushul Sarkhasi dalam juz 2 bahwa:

اخسَ ٌٕكٚ مب اَاٛب ٍكٚ ىن شخءات ارأ ,اَاٛب ٌٕكٚ وًٕعناب ٌشتلا ارا صٕصخنا مٛند .43

Maksudnya adalah dalil khusus apabila bertemu dengan lafaz umum maka dia menjadi bayan atau penjelas, dan jika terpisah tidak menjadi penjelas tetapi nasakh. Maka Abu hanifah tidak menerima takhsis secara munfasil (terpisah) dan hanya menerima muttasil (bersambung). Li’an merupakan suatu cara yang diatur di dalam Al-Qur‟an guna untuk menghindari keresahan dan kecurigaan suami terdahap istri yang berzina, sehingga Allah mengatur tata cara li’an dalam al-Qur‟an dengan rinci sebagaiman yang dijelaskan dalam al- Qur‟an. Adanya konsep li’an dalam perkawinan yang dilaksanakan apabila suami menuduh istrinya berbuat zina namun tidak dapat mendatangkan saksi, kecuali dirinya sendiri. Maka suami harus bersaksi atau bersumpah empat kali sumpah atas dirinya, bahwa dia benar dalam tuduhan dan yang kelima suami mendapat laknat dari Allah jika dia berdusta. Kemudian jika istri mengingkari tuduhan yang dilontarkan oleh suami atas dirinya, maka istri juga harus bersaksi atau bersumpah atas dirinya empat kali, dengan bahwa apa yang dituduhkan oleh suaminya itu tidak benar dan kelima ia rela mendapat laknat Allah jika suaminya benar dalam tuduhan itu.

43 As-Sarkhasi, Ushul al-Sarkhasi, (Libanon Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1426 H/ 2005 M), Jilid 2, h. 29

(14)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 14

Pendapat Abu Hanifah ini sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu semua perceraian harus dilaksanakan atau di lakukan di depan sidang pengadilan. Sebagaiman yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku pada zaman sekarang ini.44 Abu Hanifah tidak sependapat dengan dengan ulama syafi‟i, Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang akibat li’an. Menurutnya li’an itu baru terjadi apabila dilaksanakan di depan sidang Pengadilan dan telah diputuskan oleh hakim. Jika hakim belum memberikan keputusan maka suami istri yang melakukan li’an belum berpisah. Kemudian setelah terjadi li’an maka istri boleh kembali kepada suaminya, karena akibat li’an menurut Abu Hanifah adalah sebagai talak bukanlah haram selamanya. Karena Abu Hanifah memandang pada keumuman ayat tentang talak.

Menurut Abu hanifah istri boleh kembali kepada suami yang telah meli’annya setelah suami mencabut sumpah dan telah melaksanakan had, maka suami kembali kepada istri dan melaksanakan akad nikah baru. Akan tetapi apabila sumpah li’an masih mengikat suami istri atau belum dibatalkan maka haram selamanya bagi suami istri untuk bersama kembali.

Pendapat Abu hanifah ini didasarkan pada ro‟yu dan memecahkan persoalan yang muncul dengan akal, karena Abu Hanifah menganggap bahwa perpisahan dari pihak suami adalah talak bukanlah fasakh. Metode istinbat yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah memandang pada keumuman ayat talak, dan menggunakan hadist yang telah jelas maknanya.

Jika terjadi penambahan terhadap hadits baik itu menambahan lafazh atau makna, maka tidaklah dibolehkan. Karena menurut Abu Hanifah itu hadits bisa dipandang dari makna zhohirnya tanpa perlu melakukan penambahan lain yang pada akhirnya akan menyebabkan penambahan nash. Jika seseorang melakukan penambahan nash maka harus dinashah karena ini tidak diperbolehkan.

Akibat li’an terhadap perkawinan dipandang sebagai talak atau haram sementara karena berdasarkan keumuman ayat tentang talak. Sedangkan di dalam hadist disebutkan haram selamanya karena dua belah pihak yang melakukan li’an, karena hadist difahami dari lafadz mutsananya yaitu berarti menunjukkan dua (suami istri), tetapi jika hanya seorang saja yang berli’an maka tidak bisa dipakai hadits ini, karena telah berbeda makna, namun jika dipaksakan juga menambah makna hadits sama saja dengan menambah nash, menambah nash tidaklah diperbolehkan. Maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal, yaitu sebagai talak. Namun, jika telah terjadi perbuatan zina, baik yang dilakukan oleh istri atau oleh suaminya, dan suami atau istri melihatnya sendiri bahwa perbuatan zina telah terjadi dihadapannya dan dia menyakini betul perbuatan itu benar-benar terjadi, tetapi mereka rela

44 Ibid.

(15)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 15

atas perbuatan tersebut tanpa melaksanakan li’an dan atau memaafkan pihak yang melakukan zina dengan berbagai macam pertimbangan, misalnya karena masih adanya cinta dan kasih sayang diantara mereka serta karena memikirkan nasib anak yang tidak dipedulikan atau tidak mempunyai ayah atau ibu lagi, apabila orang tuanya tidak lengkap.

Maka perbuatan seperti ini belumlah dinamakan li’an karena belum terjadi sumpah laknat antara keduanya. Suami istri yang seperti ini boleh bersama kembali atau bersatu lagi meskipun telah berbuat zina dan kemudian bertaubat atas dosa besar yang telah dilakukan, namun orang yang seperti ini dikatakan dayyus atau orang yang tidak mempunyai kecemburuan. Sedangkan perbuatan zina tidaklah menyebabkan wajibnya li’an, akan tetapi perbuatan zina merupakan alasan untuk melaksanakan perceraian, jika suami istri ingin bercerai, namun jika mereka ingin mempertahankan pernikahannya maka tidak mengapa.

Seperti yang disebutkan dalamm KHI pasal 126, dan bukanlah perceraian yang otomatis terjadi akibat zina. Karena akibat li’an ini sangat besar pengaruhnya dan sama saja suami telah menyebarkan aib perzinahan istrinya dan membukanya di hadapan masyarakat umum serta mempermalukannya, serta sama saja suami merusak perkawinan dan menghianatinya.

Adapun hikmah perceraian akibat li’an dan seluruh perceraian dilaksanakan di depan Pengadilan adalah :

1. Agar suami tidak sembarangan menuduh.

2. Untuk menegakkan legitemasi.

3. Untuk mencegah terjadinya perceraian di luar pengadilan.

4. Kemudian setiap perceraian harus di tulis karena bisa dijadikan bukti.

Dalam hubungannya dengan keturunan darah, maka semua anak dibangsakan kepada bapaknya bukan kepada ibunya, hal ini berdasarkan surat Al-Ahzab ayat 5:



























































Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,

(16)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 16

Menurut hukum Islam, bahwa istilah “Bapak” dan “Ibu” dalam hubungan anak ini adalah disebabkan oleh pernikahan yang sah dengan mengucapkan ijab qabul. Andaikata lahir seorang anak dari antara bapak dan ibu ini, maka anak ini dinamakan anak yang sah. Akan tetapi, kalau anak itu lahir bukan dari pernikahan yang sah, maka anak ini disebut anak hasil zina atau anak yang tidak sah.45 Menurut jumhur ulama, anak ini hanya dibangsakan kepada ibunya, berarti anak yang tidak ada bapaknya atau tidak berbangsa. Sedangkan status anak, Bila kita perhatikan keturunan kita, akan nyatalah bahwa ia kadang-kadang menyerupai ibunya atau orang-orang dari keluarga pihak ibu. Terkadang juga menyerupai ayahnya atau orang-orang dari keluarga pihak ayahnya, seperti ayah, atau kakek dan sebagainya.46

Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.47 Abu Hanifah berpendapat, suami tidak boleh mengingkari anak sampai istri melahirkannya48. Dan juga menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan.

Abu Hanifah berpendapat, suami tidak boleh mengingkari anak sampai istri melahirkannya. Dan Abu Hanifah juga mengatakan kandungan itu terkadang mengalami keguguran. Oleh karena itu, hanya “Keyakinan” yang menjadi alas an terkuat untuk melakukan li‟an. Abu Hanifah berpendapat bahwa semua boleh berli‟an sekalipun ia tidak mengingkari kadungan, kecuali pada waktu melahirkan dan menjelang saat melahirkan.

Tetapi Abu Hanifah tidak memberikan batasan waktu bagi pengingkaran tersebut.

E. KESIMPULAN

Menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah

45 Slamet Abidin, Op Cit, h. 159

46 Ibid, h. 158

47 Ibid

48 Ibid.

(17)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 17

biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan. Abu Hanifah berpendapat bahwa semua boleh berli‟an sekalipun ia tidak mengingkari kadungan, kecuali pada waktu melahirkan dan menjelang saat melahirkan. Tetapi Abu Hanifah tidak memberikan batasan waktu bagi pengingkaran tersebut.

Adapun metode istinbat hukum dipakai Abu Hanifah dalam masalah li’an mengacu kepada keumuman ayat, yakni ayat tentang talak. Menurut Abu Hanifah masalah li’an sebagai salah satu bentuk perceraian. Ayat umum yang dalalahnya qot‟i. Dan hadist yang telah jelas maknanya tidak boleh ditambah, apalagi penambahan itu berkaitan pada hukum, jika melakukan penambahan sama artinya menashah. Dan melakukan penambahan itu haruslah dinashah karena tidak diperbolehkan.

DAFTAR PUSTAKA

Al- Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Taudhih Al Ahkam min Bulughul Al-Maram, Penerjemah Kahar Masyhur, Syarah Buluqhul Maram (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), Cet. 1, Jilid 2.

al-„Amir, Muhammad Ibn Ismail. Subulus Salam Syarhi Bulughul Maram Min Jam’i Adillati al-Ahkam, (Daar al-Fiqr, th), Cet. 1, Jilid 3.

Asy- Syaukani , Al-Imam. Ringkasan Nailul Authar, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, Asep, Saefullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Jilid 3.

al-Husain, Imam Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad. Kifayatul Akhyar, (Semarang:

Maktabah Usaha Kelurga, th), jilid. 1.

As- Sarkhasi, Syamsuddin. Kitab al- Mabsuth, (Libanon: Daar al Kutub Al-„Ilmiyah, 1993), Juz VII, Jilid VII.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Juz x , (Jakarta: Darul Fikir, 2011).

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz V, (Dar al-Fikr, tth.).

A Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).

al-Jurjāwi, Ahmad Ali. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Falsafat dan Hikmah Hukum Islam), alih bahasa Hadi Mulyo & Shobahussurur, (Semarang: CV. al-Syifa, 1992).

Abidin, Slmanet. Fiqih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999).

Asy- Syaukani, Al-Imam. Ringkasan Nailul Authar, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, Asep, Saefullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Jilid 3

As-Sarkhasi, Ushul al-Sarkhasi, (Libanon Beirut: Daar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1426 H/ 2005 M), Jilid 2.

Chalil, K.H Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955).

Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahan, (Semarang: Thaha Putra, 1989).Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2008).

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1971).

Jannati, Muhammad Ibrahim. fiqh Perbandingan lima Mazhab, (Jakarta: Cahaya,2007), Penerjemah Ibnu Alwi Bafaqih, Muhdhor Assegaf dan Alam Firdaus, Cet 1.

Munawwir, Ahmad Wirson. Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997).

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991).

(18)

Amrin Borotan – Status Anak Akibat Li’an (Tela’ah terhadap Pemikiran Abu Hanifa 80H/669M-150H/767M Page 18

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. 3.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujathid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cetakan III.

. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Terjemahan Imam Ghazali dkk (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), jilid 2.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1980), Jilid VIII, Cet. 1.

Syarifudin,. Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, edisi 1cetakan ke-3, (Jakarta:

Kencana, 2009).

Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989).

Zed, Mustika. Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004).

Referensi

Dokumen terkait