• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN INKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "STRATEGI PERBANKAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN INKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia

STRATEGI PERBANKAN SYARIAH DALAM

MENINGKATKAN INKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA

Novia Nengsih*

*Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Mahmud Yunus Batusangkar

*novianengsih@uinmybatusangkar.ac.id

Abstract

This study aims to analyze the strategy of Islamic banking in increasing inklusi keuangan in Indonesia. This research is a field research with a qualitative approach. Collecting data using interviews, documentation, and observation. The data analysis technique used descriptive qualitative analysis. The result of the study found that the strategies used by Islamic banking in increasing inklusi keuangan were by channeling financing to the real sector, strengthening microfinance, developing partnership programs through zakat, infaq, sodaqoh, qard al-hasan, and other social funds, as well as developing linkage programs with Small and Medium Enterprises (SMEs).

Keywords: Inklusi keuangan, Islamic Banks, Indonesia.

Abtrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi perbankan syariah dalam meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data menggunakan wawancara, dokumentasi, dan observasi. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa strategi yang digunakan perbankan syariah dalam meningkatkan inklusi keuangan adalah dengan menyalurkan pembiayaan pada sektor rill, penguatan pembiayaan mikro, mengembangkan program kemitraan melalui dana zakat, infak, sedekah, qardh al-hasan, dan dana sosial lainnya, serta mengembangkan linkage programe dengan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Kata Kunci: Inklusi Keuangan, Perbankan Syariah, Indonesia.

(2)

2 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia

Pendahuluan

Inklusi keuangan lahir sebagai antitesis dari financial exlusion. Praktek ekonomi ekslusif menjadi borgol kemiskinan dan pengangguran, sehingga dibutuhkan terobosan untuk menghasilkan kehidupan ekonomi yang inklusif. Sistem layanan keuangan inklusif sejatinya merupakan ikhtiar untuk menciptakan karakter kehidupan ekonomi yang tidak hanya mengakomodasi kalangan berada, namun juga memihak kalangan berpenghasilan rendah dan miskin (Wahid, 2014).

Ekslusi keuangan atau ekslusi sosial sebenarnya merupakan sebuah istilah baru. Amartya Sen menjelaskan pada tulisannya tahun 2000 bahwa istilah itu baru digunakan oleh René Lenoir, menulis sekitar seperempat abad yang lalu. Amartya Sen menjelaskan bahwa istilah ekslusi keuangan adalah bagi mereka yang memiliki masalah sosial dan ekonomi, seperti penyandang cacat, single parent, yang memiliki berbagai masalah rumah tangga, kelompok-kelompok marginal dan sebagainya (Sen, 2000).

Andrew Leyshon dan Nigel Thrift mengatakan bahwa financial exclusion mengacu pada proses-proses yang mencegah kelompok-kelompok sosial yang kurang mampu dan kurang beruntung untuk mendapatkan akses sistem keuangan formal. Ini berimplikasi pada pembangunan yang tidak merata karena perbedaan geografis, pendapatan, dan pembangunan ekonomi (Leyson, Andrew, 2015). James F. Davlin pada hasil penelitiannya menunjukkan bahwa financial exclusion merupakan subjek dari peningkatan bunga yang ditandai dengan situasi dimana masyarakat mempunyai hambatan untuk mendapatkan akses ke lembaga keuangan. Penelitian ini menyebutkan bahwa financial exlusion jelas bermasalah. Temuan menunjukkan bahwa yang paling konsisten dan signifikan mempengaruhi financial exclusion adalah status pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kepemilikan perumahan, status perkawinan, usia, dan tingkat kualifikasi akademik (Davlin, 2015). Sementara Andrew Leyson, et.al, menyatakan bahwa financial exclusion merupakan proses yang mengacu kepada individu atau rumah tangga yang mempunyai kesulitan untuk mengakses layanan keuangan (Leyson, Andrew, 2015). Financial exlusion merupakan ketidakmampuan untuk mendapatkan akses layanan keuangan. Adanya berbagai persyaratan pada lembaga keuangan membuat rakyat miskin tidak mampu untuk memperoleh dana dari lembaga keuangan, sehingga para kaum miskin menjadi kesulitan untuk keluar dari belenggu kemiskinan.

Inklusi keuangan di Indonesia baru di luncurkan pada tahun 2010. Bank Indonesia meluncurkan program National Strategy for Inklusi keuangan (NSFI) sebagai upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap jasa keuangan. Selama ini, 32%

atau 76 juta penduduk sama sekali belum tersentuh jasa keuangan (financial exclusion).

Selain itu, 60-70% Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga belum memiliki akses terhadap perbankan. Padahal hampir 53 juta masyarakat miskin yang bekerja di sektor UMKM memiliki potensi yang sangat besar untuk menurunkan pengganguran dan mengurangi kemiskinan (Puspita, 2015).

Perbankan syariah merupakan lembaga penting dalam mengimplementasikan inklusi keuangan di Indonesia. Jika kita flashback ke 2008, jumlah pemain industri perbankan syariah saat itu masih berjumlah 155, yaitu 3 Bank Umum Syariah (BUS), 28 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 124 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Kini jumlah itu semakin meningkat seiring bertambahnya kesadaran masyarakat untuk

(3)

3 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia menggunakan produk-produk keuangan non-bunga. Pada Januari 2023 Indonesia telah memiliki 13 Bank Umum Syariah (BUS), 33 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 169 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) (OJK, 2023). Ini merupakan bukti konkrit bahwa perbankan syariah mampu bertahan dan tumbuh meskipun di tengah instabilitas ekonomi, seperti krisis 1998, 2008 dan krisis yang melanda Eropa 2011 silam. Perkembangan secara kuantitas ini sudah tersebar dari pusat hingga ke daerah sehingga bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Tetapi perkembangan secara kuantitas belum diikuiti oleh perkembangan signifikan pada market share dan indeks inklusi keuangan perbankan syariah di Indonesia. Pangsa pasar keuangan syariah per Juni 2022 tercatat sebesar 10,41%

dan terdapat peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 10% (Informatika, 2022). Meskipun terdapat kenaikan, namun terdapat hal yang perlu menjadi perhatian bersama yaitu gap yang masih besar dengan pangsa pasar keuangan konvensional. Rendahnya pangsa pasar (market share) keuangan syariah mengindikasikan bahwa minat masyarakat terhadap keuangan syariah masih sangat rendah dibandingkan dengan konvensional. Hal ini sejalan dengan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022, dimana indeks inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,12% tertinggal jauh dari indeks keuangan secara umum yang mencapai 85,10% (OJK, 2022).

Masih rendahnya market share dan indeks inklusi keuangan perbankan syariah di Indonesia tentunya memerlukan strategi dari perbankan syariah untuk terus meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, maka dilakukan penelitian tentang strategi perbankan syariah dalam meningkatkan inklusi keuangan pada perbankan syariah di Indonesia.

Kajian Teori

Inklusi keuangan merupakan satu skema pembiayaan inklusif, dengan tujuan utama memberikan berbagai layanan keuangan kepada kalangan miskin yang berpenghasilan rendah. Merujuk defenisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terminologi inklusi keuangan mengacu kepada akses ke berbagai jasa keuangan, dengan biaya yang wajar, bagi orang-orang yang dianggap tidak bankable serta mereka yang menjalankan usaha di pedesaan, misalnya pertanian dan peternakan (United, 2006).

Senada dengan PBB, Rangarajan Committe mendefisikan inklusi keuangan sebagai proses untuk memastikan kaum miskin atau kalangan berpenghasilan rendah mendapatkan layanan keuangan. Umumnya berupa kredit dengan jangka waktu dan besaran biaya pengembalian yang masuk akal (reasonable) (Dasgupta, 2019).

Dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), inklusi keuangan didefinisikan sebagai hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migran, dan penduduk di daerah terpencil (BI, 2015).

Defenisi yang lebih operasional ditawarkan oleh House of Commons Teasury Committee yang menyebutkan bahwa inklusi keuangan merupakan kemampuan perorangan dalam mengakses berbagai produk jasa keuangan yang terjangkau serta

(4)

4 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia sesuai dengan kebutuhannya. Kemampuan ini utamanya berkaitan dengan satu kompleks pemahaman yang meliputi financial awareness, pengetahuan tentang bank dan jaringan perbankan plus pengetahuan mengenai berbagai fasilitas yang disediakan oleh dunia perbankan, serta pemahaman atas berbagai keuntungan memanfaatkan saluran perbankan. Terkait dengan kualitas hal-hal tersebut, The center for financial inclusion berpendapat bahwa kualitas jasa inklusi keuangan antara lain ditentukan oleh harga layanan yang terjangkau, tata cara penyelenggaraan yang layak dengan tetap menjaga martabat klien. Sementara itu A. Rahman sebagaimana yang dikutip oleh Nusron Wahid mendefenisikan inklusi keuangan sebagai akses ke lembaga keuangan yang diselenggarakan secara resmi serta diatur dan diawasi oleh pemerintah. Defenisi ini secara khusus mengacu ke dalam struktur kelembagaan inklusi keuangan di Bangladesh (Wahid, 2014).

Beberapa peneliti mencoba memberikan defenisi tentang inklusi keuangan.

Gayathri Band, Kanchan Naidu, dan Tina Mehadia dalam penelitiannya Opportunities and Obstacles to financial inclusion mengatakan bahwa inklusi keuangan merupakan akses pembiayaan oleh kelompok miskin dan rentan yang merupakan prasyarat untuk pengurangan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Bahkan menyediakan akses ke keuangan merupakan bentuk pemberdayaan kelompok miskin. Inklusi keuangan menunjukkan pemberian layanan keuangan dengan biaya yang terjangkau untuk sebagian besar kelompok berpenghasilan rendah (Band, 2012).

Demirguc Kunt dan Leora Klapper mendefenisikan inklusi keuangan merupakan berfungsinya dengan baik sistem keuangan yang melayani tujuan penting seperti menawarkan tabungan, kredit, pembayaran, dan produk manajemen risiko kepada orang-orang dengan berbagai macam kebutuhan. Sistem inklusi keuangan yang memungkinkan akses luas ke jasa keuangan, tanpa hambatan harga atau non harga untuk penggunaannya(Kunt & Klapper, 2012).

Giovanna Priale Reyes mengatakan bahwa inklusi keuangan berarti mayoritas penduduk memiliki akses yang luas untuk portofolio produk dan layanan keuangan berkualitas yang meliputi pinjaman, layanan deposito, asuransi, pensiun dan sistem pembayaran, serta pendidikan keuangan dan mekanisme perlindungan konsumen (Reyes, 2015). V. Leeladhar juga memberikan pemikirannya bahwa inklusi keuangan merupakan pemberian layanan perbankan dengan harga yang terjangkau untuk sebagian besar kelompok berpendapatan rendah. Layanan perbankan baik dalam funding, financing, maupun jasa ke seluruh penduduk tanpa diskriminasi adalah tujuan utama dari inklusi keuangan (V.Leeladhar, 2006).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan defenisi inklusi keuangan sebagai proses untuk memberikan akses layanan keuangan formal kepada unbankable people.

Unbankable people merupakan kelompok masyarakat yang kurang beruntung yang belum tersentuh atau belum memiliki akses kepada layanan keuangan formal.

Pemberian akses ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki modal untuk melakukan produktifitas ekonomi dan pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian mereka.

Nusron Wahid menjelaskan bahwa gagasan inklusi keuangan bersumber dari beberapa teori ekonomi politik.

Pertama adalah teori modernisasi. Teori ini menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi adalah persoalan ada tiadanya modal yang diinvestasikan. Sejalan dengan pemikiran ini, fenomena kemiskinanpun kemudian dijelaskan sebagai kondisi yang

(5)

5 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia utamanya disebabkan oleh kurangnya modal yang diinvestasikan. Sebagai jalan keluarnya, maka modal itu mesti dicari, baik di dalam maupun luar negeri, untuk kemudian diinvestasikan. Dengan demikian, keberadaan modal dan investasi bersifat menentukan terhadap usaha pengentasan kemiskinan serta kemajuan pembangunan ekonomi. Dengan perspektif semacam ini, setiap usaha pengentasan kemiskinan pada akhirnya harus dilihat sejalan dengan upaya penyediaan modal (Wahid, 2014).

Kedua adalah teori investasi. Senada dengan teori modernisasi, teori ini menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan perkara rendahnya jumlah modal yang diinvestasikan. Untuk bisa maju, maka orang-orang miskin dan mereka yang berpenghasilan rendah mesti mendapatkan suntikan modal untuk diinvestasikan.

Sebagai solusi, teori ini menggarisbawahi pentingnya skema inklusi keuangan sebagai sistem layanan keuangan yang memungkinkan kalangan miskin berpenghasilan rendah mendapatkan suntikan modal, yang pertama-tama dimungkinkan dengan cara menurunkan beban agunan (collateral) dan biaya pengembangan pinjaman (Wahid, 2014).

Ketiga adalah teori human capital. Dalam teori ini disebutkan bahwa manusia memerlukan akses ke dalam lembaga keuangan untuk mendapatkan kredit usaha dalam rangka meningkatkan kapasitas diri. Pembiayaan tersebut misalnya digunakan untuk biaya pendidikan sehingga seseorang bisa memperoleh pekerjaan dengan bayaran yang baik. Oleh karena itu, semua orang perlu mendapatkan akses yang sama ke dalam lembaga keuangan, yang akan ia gunakan untuk meningkatkan human capitalnya (Wahid, 2014).

Teori terakhir datang dari kelompok teori perilaku (firm behavior theory). Teori ini menyebutkan bahwa skema inklusi keuangan terbukti mempunyai efek eksternal yang sanggup memangkas berbagai biaya di dunia usaha. Dalam prakteknya, efisiensi yan tejadi di dunia usaha turut mendorong peningkatan produktifitas dan terciptanya peluang kerja baru (Marr & Schmied, 2013).

Pada dasarnya terdapat tiga kata kunci dalam inklusi keuangan yaitu:

penyediaan akses, kelompok masyarakat, dan sistem keuangan. Berdasarkan ketiga kata kunci tersebut, maka inklusi keuangan didefinisikan sebagai penyediaan akses bagi masyarakat termarginalkan (masyarakat miskin) untuk dapat memiliki dan menggunakan layanan sistem keuangan. Terdapat tiga dimensi yang harus diperhatikan dalam inklusi keuangan yaitu aksesibilitas, ketersediaan, dan penggunaan layanan sistem keuangan. Perbedaan yang ada terkait dengan definisi inklusi keuangan pada penelitian ini adalah mengenai kelompok masyarakat. Ketiga dimensi yang ada diukur untuk keseluruhan masyarakat, sedangkan dalam penelitian ini ketiga dimensi tersebut diukur untuk kelompok masyarakat tertentu yaitu masyarakat miskin. Hal ini dikarenakan masyarakat miskin lebih mendapatkan dampak dari masalah aksesibilitas terhadap sektor keuangan dibandingkan dengan masyarakat tidak miskin.

Di Indonesia, indikator keuangan inklusif dikenal dengan Indeks keuangan Inklusif (IKI). IKI merupakan salah satu cara alternatif untuk pengukuran inklusi keuangan yang menggunakan indeks multidimensional berdasarkan data makroekonomi, terutama pada jangkauan layanan sektor perbankan. Pengukuran IKI pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengkombinasikan berbagai indikator sektor perbankan, sehingga pada akhirnya IKI

(6)

6 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia dapat menggabungkan beberapa informasi mengenai berbagai dimensi dari sebuah sistem keuangan yang inklusif, yaitu akses (access), penggunaan (usage) dan kualitas (quality) dari layanan perbankan (BI, 2015).

Dimensi Akses adalah dimensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan penggunaan jasa keuangan formal, sehingga dapat dilihat terjadinya potensi hambatan untuk membuka dan mempergunakan rekening bank, seperti biaya atau keterjangkauan fisik layanan jasa keuangan (kantor bank, ATM, dll.). Dimensi Penggunaan adalah dimensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan penggunaan aktual produk dan jasa keuangan, antara lain terkait keteraturan, frekuensi dan lama penggunaan.

Dimensi Kualitas adalah dimensi yang digunakan untuk mengetahui apakah ketersediaan atribut produk dan jasa keuangan telah memenuhi kebutuhan pelanggan.

Pengukuran terhadap dimensi ini masih sukar untuk dilakukan dan saat ini beberapa lembaga internasional yang concern dalam pengembangan inklusi keuangan sedang menyusun indikator dari dimensi kualitas beserta tools yang dipergunakan. Secara umum The Alliance for Financial Inclusion (AFI) telah menyepakati prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam menyusun indikator dari dimensi kualitas, meliputi ringkas (conciseness), spesifik (specifity), sederhana (simplicity), adanya perbaikan (improvement), dan client perspective (BI, 2015). Pengukuran dimensi kualitas dapat didekati salah satunya melalui pengukuran tingkat financial literacy (melek keuangan). Bank Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Demografi FEUI melakukan survei skor financial literacy pada tahun 2012. Skor financial literacy pada survei ini mengacu pada skor yang dibangun oleh OECD. Skor financial literacy dibangun dari 3 dimensi, yaitu pengetahuan keuangan, sikap terhadap keuangan dan perilaku keuangan yang kemudian diagregasi menjadi skor total untuk menggambarkan tingkat melek keuangan suatu negara.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian ini menggunakan data primer dan dan data sekunder. data primer beruapa hasil wawancara dan data sekunder beruapa data-data laporan keuangan dan sumber- sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. Pengumpulan data menggunakan wawancara, dokumentasi, dan observasi. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

Hasil dan Pembahasan

Potensi dan manfaat berkembangnya industri perbankan syariah sudah banyak dibuktikan dan dirasakan dalam sejarah perbankan syariah di Indonesia. Perbankan syariah telah memberikan kontribusi positif dalam mendukung inklusi keuangan khususnya masyarakat yang menginginkan layanan keuangan yang memenuhi prinsip syariah pada berbagai level, mulai dari usaha koorporasi hingga masyarakat grass root yang belum terjangkau layanan keuangan formal. Dalam rangka mengimplementasikan inklusi keuangan, perbankan syariah melakukan hal-hal berikut:

1. Penyaluran pembiayaan pada sektor rill

(7)

7 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia Perbankan syariah memiliki produk-produk pembiayaan yang beragam dengan menggunakan berbagai macam akad, seperti akad mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, dan akad-akad lainnya yang langsung bersentuhan dengan sektor rill. Bagi hasil merupakan salah satu pilar penting dalam pemberian pembiayaan pada sektor rill. Meskipun pembiayaan masih banyak dengan produk murabahah bukan berarti perbankan syariah tidak menyalurkan produknya ke sektor rill. Pada saat proses penyetujuan pembiayaan oleh nasabah, perbankan syariah lebih mengutamakan pembiayaan ke sektor rill karena akad-akad yang ada pada perbankan syariah memang sudah berorientasi sektor rill (Rezi, 2020).

2. Penguatan pembiayaan mikro

Bank Syariah memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan bank konvensional. Keunggulan inilah yang menjadikan Bank Syariah memiliki pangsa pasar khusus dengan segmen pelanggannya sendiri. Diantara segmen pelanggan pengguna jasa bank syariah terdapat para pelaku usaha mikro. Usaha mikro selama ini terbukti tahan dalam menghadapi terjangan krisis moneter yang pernah melanda Indonesia. Pelaku usaha mikro hingga sekarang masih memiliki jumlah yang cukup besar dan bertambah besar dari tahun ke tahun, dan merupakan peluang bank syariah untuk mengembangkan bisnisnya secara syariah dengan tambahan porsi pelanggan dari para pelaku usaha mikro. Masing-masing perbankan syariah memiliki pembiayaan mikro, seperti BSM memiliki warung mikro dengan platfond minimal 10 juta rupiah. BRI syariah memiliki mikro 25, mikro 50, mikro 75, sampai 500 juta. Bank Syariah juga memfokuskan bisnisnya pada sektor mikro. Berikut adalah pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah bukopin, dan BRI syariah terhadap sektor UMKM (Syarief, 2020).

3. Mengembangkan program kemitraan melalui dana zakat, infak, sedekah, qardh al-Hasan, dan dana sosial lainnya

Perbankan syariah sebagai sebuah lembaga keuangan Islam memiliki keunggulan dibanding lembaga keuangan lainnya. Perbankan syariah memiliki instrumen redistributif sehingga terdapat dana-dana sosial yang bisa digunakan untuk mengembangkan program kemitran dan memberikan kontribusi sosial kepada masyarakat. Diantara instrumen redistributif tersebut adalah:

a.Optimalisasi zakat sebagai instrumen redistributif perbankan syariah

Instrumen redistributif seperti zakat, infaq, dan sedekah merupakan salah satu cara untuk menanggulangi kemiskinan. Potensi zakat dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: ummatan wahidatan (umat yang satu), musawwamah (persamaan derajad dan kewajiban), ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam) dan takaful ijtima (tanggung jawab bersama). Zakat menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta (social distribution) dan tanggung jawab individu dalam masyarakat. (Lili Badriati, 2005)

Monzer Kahf menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter dan bahwa sebagai manfaat dari zakat, harta akan selalu beredar. (Monzer Kahf, 1995). Mustaq Ahmad menyatakan bahwa zakat merupakan sumber utama kas negara dan sekaligus merupakan

(8)

8 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia sokoguru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan al-Quran. Zakat akan mencegah akumulasi harta pada satu tangan dan pada saat bersamaan mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat merupakan institusi yang komprehensif untuk distribusi harta. (Mustaq Ahmad, 2002).

Dengan meningkatnya permintaan agregat dan kemudian disusul dengan meningkatnya penawaran agregat dari waktu ke waktu, zakat dalam perekonomian akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Multiplier effect seperti inilah yang akan tercipta jika zakat diimplementasikan secara optimal untuk masyarakat.

Pengoptimalan fungsi zakat terlihat pada tabel di bawah ini.

b. Pinjaman Kebajikan Tanpa Bunga (Qardh al-Hasan)

Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak tanpa imbalan, biasanya untuk pembelian barang-barang fungible. Objek pinjaman qardh biasanya adalah uang atau alat tukar lainnya, yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa bunga ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam hal ini bank) dan hanya wajib mengembalikan pokok hutang pada waktu tertentu di masa yang akan datang.

Pinjaman qardh al-Hasan merupakan pinjaman kebajikan yang tidak bersifat komersil, tetapi bersifat sosial (Rivai & Arifin, 2007).

c. Menyisihkan sebagian Laba untuk kegiatan Sosial

Keberlangsungan bisnis Bank tidak lepas dari partisipasi masyarakat dalam menyambut berbagai produk perbankan syariah dan layanan yang ditawarkan oleh Bank. Partisipasi dan dukungan masyarakat terhadap pencapain kinerja Bank menuntut perbankan untuk memberikan imbal balik manfaat kepada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab sosial kemasyarakatan. Perbankan syariah ikut serta dalam berbagai kegiatan sosial dengan masyarakat. Dana CSR (Corporate Social Responsibility) benar-benar disiapkan untuk kesejahteraan masyarakat. Bank syariah juga ikut andil dalam pengembangan keilmuan ekonomi islam melalui beasiswa pendidikan yang diberikannya. Melalui CSR ini juga bank syariah bisa membantu masyarakat unbankable, sehingga bank syariah sebagai lokomotif pengimplementasian inklusi keuangan di Indonesia bukanlah hal mustahil.

d. Mengembangkan linkage programe dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) Euis Amalia menjelaskan bahwa linkage program adalah kerja sama penyaluran dana dari Bank Umum kepada atau melalui BPR dalam rangka pembiayaan kepada nasabah mikro dan kecil. Dengan linkage program pembiayaan bank umum kepada UKM diharapkan lebih optimal karena BPR memiliki keahlian dan pengalaman dalam menangani pembiayaan UKM. Kerja sama ini diharapkan menciptakan sinergi dalam penyaluran kredit kepada UKM (Amalia, 2008).

Syafii Anthonio menjelaskan perbankan syariah merupakan Perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan berskala besar bisa bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan skala yang relatif kecil. Sampai pada saat ini, pola hubungan antara perbankan syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) ini dinamakan dengan program linkage (Anthonio, 2013).

(9)

9 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia Fajar wahyudi sebagaimana dikutip Euis Amalia menjelaskan bahwa program linkage ini tidak saja memberikan manfaat bagi pengguna jasanya tetapi juga bagi Bank Umum itu sendiri yaitu: 1) diversifikasi fortopolio kredit (jenis kredit, sektor ekonomi, wilayah); 2) profitable, karena pinjaman diberikan dengan suku bunga pasar untuk konvensional dan bagi hasil untuk bank syariah; 3) potensi pasar cukup besar dan nasabah UKM dapat naik kelas menjadi nasabah baru Bank Umum; 4) overhead dan handling cost relatif rendah; 5) salah satu alaternatif merealisasikan business plan untuk pembiayaan usaha mikro (Amalia, 2008).

Linkage program yang penulis maksud dalam penelitian ini merupakan kerja sama penyaluran dana antara Bank Umum Syariah dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) atau Bait al-Mal wa al-Tamwil (BMT). BPRS dan BMT merupakan lembaga yang langsung bersentuhan dengan masyarakat grass root sehingga dalam rangka menyentuh masyarakat ini Bank Umum Syariah memberikan pembiayaan kepada BPRS dan BMT melalui linkage program.

Program linkage antara Perbankan Syariah dengan LKMS merupakan hubungan bisnis yang saling menguntungkan, di mana pihak perbankan dapat menyalurkan dananya, sementara di pihak lain LKMS memperluas jangkauan layanannya bagi usaha mikro, termasuk juga bagi masyarakat miskin. Selain fokus pada permodalan, linkage antara bank syariah dengan LKMS ini juga terkait dengan bimbingan teknis (technical assistance), seperti training pengelola dan pengadaan konsultan pendamping yang intinya adalah penguatan kapasitas kelembagaan (capacity building). Akan tetapi pada pelaksanaannya, pola linkage antara bank syariah dengan LKMS tidak dapat menyentuh secara menyeluruh terkait dengan sasaran masyarakat miskin yang sebenarnya. Sehingga hal ini membuat masyarakat miskin dengan kriteria yang tidak sesuai dalam aturan pemberian KUR oleh LKMS, tidak akan mendapatkan pembiayaan tersebut.

Pola linkage antara Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah dengan lembaga keuangan mikro Syariah dalam bentuk BPR Syariah untuk kemudian BPRS bermitra dengan LKMS/BMT atau langsung dengan UKM, setidaknya ada 3 bentuk yaitu: pola executing, channeling, dan joint financing.

Executing Channeling Joint Financing

---

---

BUS/UUS BUS/UUS BUS/UUS BUS/UUS

BPRS

UKM/LKMS UKM/LKMS UKM/LKMS

BPR S

(10)

10 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan pola executing, yaitu:

1. Bank Umum tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menjangkau pasar UMK secara langsung.

2. Jaringan cabang yang terbatas

3. Kemampuan SDM yang terbatas untuk akses pasar UMK

4. Kemampuan BPR yang sudah mapan dalam hal manajemen, teknologi informasi, administrasi kredit/pembiayaan, SDM, CAR, dan BPR cukup memadai.

5. Generic model linkage program BPR: CAR BPR setelah diberi fasilitas kredit minimal 8%.

Karakteristik linkage program pola channeling adalah:

1. Pembiayaan kepada UMK yang dilakukan oleh BUS/UUS melalui/channel BPRS;

2. Kewenangan memutus pembiayaan dilakukan BUS/UUS dan BPRS membantu dalam pencairan nasabah, analisis awal, pengikatan, dan penagihan kuasa atas BUS/UUS.

3. Resiko 100% ditanggung BUS/UUS.

4. Pencatatan di BUS/UUS sebagai pembiayaan ke BPRS dan pencatatan di BPRS sebagai pembiayaan ke UKM. Pencatatan di BUS/UUS sebagai pembiayaan ke UMK dan pencatatan di BPRS sebagai rekening administrative BPRS.

5. Akad antara BUS/UUS dengan BPRS sebagai akad mudarabah atau wakalah sedangkan akad antara BPRS dengan UMK sesuai kebutuhan UMK.

6. Penetuan besarnya nisbah bagi hasil/margin kepada UMK yang dibiayai ditentukan oleh BUS/UUS dengan mempertimbangkan harga pasar untuk sektor/bidang usaha UMK yang dibiayai.

7. Distribusi pendapatan antara BUS/UUS dengan BPRS ditentukan sesuai dengan porsi nisbah atau fee yang disepakati.

8. Jaminan diadministrasikan oleh BPRS yang bertindak untuk dan atas nama BUS/UUS.

Karakteristik linkage program pola joint financing, yaitu:

1. Pembiyaan bersama terhadap UMK yang dilakukan oleh BUS/UUS dan BPRS.

2. Kewenangan memutuskan pembiayaan dilakukan secara bersama (BUS/UUS dan BPRS).

3. Pencatatan di BUS/UUS sebagai pembiayaan ke BPRS dan pencatatan di BPRS sebagai pembiayaan ke UMK.

4. Pencatatan di BUS/UUS sebagai pembiayaan ke UMK sesuai dengan porsinya, sedangkan porsi pembiayaan dari BUS/UUS dicatat di rekening administrative BPRS.

5. Akad antara BUS/UUS dengan BPRS adalah musyarakah, sedangkan akad antara BPRS dengan UMK sesuai kebutuhan UMK.

6. Resiko pembiayaan ditanggung bersama antara BUS/UUS dan BPRS sesuai dengan BPRS.

(11)

11 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia 7. Penentuan besarnya nisbah bagi hasil/margin kepada UMK yang dibiayai dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama dengan mempertimbangkan harga pasar untuk sektor/bidang usaha UMK yang dibiayai.

8. Distribusi pendapatan antara BUS/UUS dengan BPRS ditentukan sesuai porsi nisbah yang disepakati.

9. Jaminan diadministrasikan oleh BPRS yang bertindak untuk diri sendiri atas nama BUS/UUS.

Peran intermediasi sosial perbankan syariah yang bekerjasama dengan LKMS melalui program linkage lebih tepat untuk diaplikasikan khusus kepada masyarakat miskin yang tidak termasuk dalam kebijakan program linkage bank syariah yang telah ada. Dalam pelaksanaanya, perbankan syariah dengan dana sosial yang bersifat revolving seperti zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan hibah (ZISWAH) dapat memberikan permodalan kepada LKMS untuk melakukan kegiatan intermediasi sosial (Capacity Building & Transfer of Financial Services) melalui akad tabarru’ (al qardh} al-Hasan). Pada gilirannnya, akan menciptakan masyarakat miskin yang siap untuk mendapatkan pelayanan finansial yang bersifat komersial melalui akad tijari. Jadi dalam hal ini, LKMS hanya menjadi agen perbankan syariah untuk melakukan pola dan peran intermediasi sosial. Peranan LKMS yang lebih banyak bergerak pada pemberian pelayanan bagi usaha mikro, dengan pengetahuan yang mumpuni dalam memetakan keadaan (situasi dan kondisi) masyarakat miskin, dinilai akan lebih efektif dan efisien untuk dapat menjalankan peran intermediasi sosial perbankan syariah.

Bank Syariah Bukopin (BSB) sebagai salah satu Bank Umum Syariah menempatkan dananya pada BPRS, yaitu Rp 3.567.554.356 tahun 2010, meningkat menjadi Rp 2.728.072.285 tahun 2011. Jumlah terus mengalami peningkatan menjadi Rp 8.997.351.711 tahun 2012 dan Rp 31.196.410.221 tahun 2013, naik lagi menjadi Rp 33.116.158.817 tahun 2014. BSB terus meningkatkan penempatan dana pada BPRS sebagai bentuk kepedulian BSB terhadap masyarakat pada level grass root.

Bank Syariah Mandiri (BSM) juga menempatkan dananya di BPRS dan PT BPD Jawa tengah cabang syariah. Tahun 2011 BSM menyalurkan dananya pada program linkage sebesar Rp 1.491 miliar, tahun 2012 sebesar Rp 1.360 miliar. Tahun 2014 BSM menyalurkan dana ke PT BPD Jawa tengah cabang syariah sebesar Rp 25.000.000.000,-.

Program linkage ini akan menyambung tangan perbankan syariah untuk bisa menyentuh masyarakat grass root atau unbankable people. Program linkage akan mempercepat pengimplementasian inklusi keuangan. Semakin besar dana yang bisa disalurkan melalui linkage program maka akan semakin besar pula peluang masyarakat grass root untuk mendapatkan akses pembiayaan melalui BMT atau BPRS.

Kesimpulan dan Kontribusi Penelitian

Perbankan syariah telah ikut andil dalam mempercepat implementasi inklusi keuangan di Indonesia. Penelitian menemukan bahwa strategi yang digunakan perbankan syariah dalam meningkatkan inklusi keuangan adalah dengan menyalurkan pembiayaan pada sektor rill, penguatan pembiayaan mikro, mengembangkan program kemitraan melalui dana zakat, infak, sedekah, qardh al- hasan, dan dana sosial lainnya, serta mengembangkan linkage programe dengan Usaha Kecil Menengah (UKM).

(12)

12 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, E. (2008). Reformasi Kebijakan Bagi Penguatan Peran Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Kecil Mikro di Indonesia (analisis Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam). SPS UIN Jakarta.

Anthonio, S. (2013). Peran Intermediasi Sosial Perbankan Syariah bagi Masyarakat Miskin. Jurnal Tsaqafah, 9(1), 123–149.

Band, G. (2012). Opportunities and Obstacles to Financial Inclusion. A Journal of Economics and Management, 1(1).

BI. (2015). Booklet Keuangan Inklusif.

Dasgupta, R. (2019). Two Approaches to Financial Inclusion. Economic and Political Weekly, 44(26), 41–44.

Davlin, J. F. (2015). A Detailed Study of Financial Exclusion in the UK. Journal of Consumer Policy, 28(1), 75–108.

Informatika, kementerian K. dan. (2022). Wapres minta MES kerja cepat dan kompak.

Kunt, D., & Klapper, L. (2012). Measuring Financial Inclusion the Global Findex Database. Research Working Paper, 6025.

Leyson, Andrew, E. (2015). Financial Exclusion and the Geography of Bank and Building Society Branch Closure in Britain. Royal Geographical Society with the Institute of British Geographers, 33(4), 447–465.

Marr, A., & Schmied, J. (2013). Financial Inclusion and Poverty: The Case of Peru.

The University of Greenwich.

OJK. (2022). Infografis Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Tahun 2022. https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-

terkini/Pages/Infografis-Survei-Nasional-Literasi-dan-Inklusi-Keuangan- Tahun-2022.aspx

OJK. (2023). Statistik Perbankan Syariah.

Puspita, R. D. (2015). Review Kajian Mingguan LiSEnSi Financial Inclusion.

Lisensi UIN Jakarta.

Reyes, G. P. (2015). Financial Inclusion Indicators for Developing Countries: The Peruvian Case. http://www.afi-

global.org/sites/default/files/fidwg_peruindicators_priale.pdf

Rivai, V., & Arifin, A. (2007). Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi.

Bumi Aksara.

Sen, A. (2000). Social Exclusion: Concept, Application, and Scrutiny. Social Development Paper, Asian Development Bank, 1(1).

United, N. (2006). Building Inclusive Financial Sector for Development. The United Nation Department of Public Information,.

V.Leeladhar. (2006). Taking Banking Services to the Common Man-Financial

Inclusion. Reserve Bank of India Bulletin.

(13)

13 Strategi Perbankan Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia

http://rbidocs.rbi.org.in/rdocs/Bulletin/PDFs/68236.pdf

Wahid, N. (2014). Keuangan Inklusif Membongkar Hegemoni Keuangan. Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Pengaruh Tingkat Literasi Keuangan Syariah dan Kemudahan Dalam Akses Layanan Terhadap Penggunaan Layanan Digital Perbankan Syariah (Studi Pada Mahasiswa

Judul Penelitian : Pengaruh Inklusi Keuangan Syariah Terhadap Pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Bank Aceh Syariah Sutomo KCP Kota Medan Dengan ini saya mohon