• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA MAKASSAR - NURUL MAGFIRAH (3)

N/A
N/A
Bima Wijaya

Academic year: 2023

Membagikan "STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA MAKASSAR - NURUL MAGFIRAH (3)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA MAKASSAR

Nurul Magfirah

Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar E-mail: nurulmagfirahhhhhh@gmail.com

Abstract

Makassar as the capital city of South Sulawesi province has a diverse society. This social diversity is contributed by four big ethnics, which are Bugis, Makassar, Mandar, and Toraja. Pe ople whose ancestor is a patrician often claimed themselves as an elite group, the highest social level amongst others. Thus, this social stratum and patrician title have gradually disappeared, and as a result this usage is very limited during special cust om ceremony. Stratum is no longer judged by ancestry or title, but mostly determined by the level of education. This paper explains the dynamic citizenship of socio - cultural groups which interact one another in Makassar.

Keywords : social dynamic, socio-cultural groups, citizenship, social stratum, Makassar, Bugis- Makassar.

Abstrak

Kota Makassar merupakan ibukota provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki masyarakat sangat heterogen. Heterogenitas sosial tersebut turut dikontribusikan pula oleh keberadaan empat etnis besar , yaitu Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Masyarakat yang berasal dari keturunan bangsawan atau raja, menganggap diri mereka sebagai kelompok ”elite” karena memiliki strata sosial paling tinggi dibandingkan yang lain. Namun , stratifikasi sosial ini lama kelamaan luntur, begitu juga gelar kebangsawanan makin memudar, sehingga penggunaannya hanya terbatas pada kegiatan upacara adat atau ritual saja. Status sosial tidak lagi semata - mata didasarkan pada keturunan atau status kebangsawanan seseorang, melainkan ditentukan oleh tingkat pendidikan. Tulisan ini membahas dinamika kewargaan kelompok - kelompok sosial budaya yang saling berinteraksi dalam kehidupan Kota Makassar.

Kata kunci : dinamika sosial, kelompok sosial budaya, kewargaan, stratifikasi sosial, Kota Makassar, Bugis - Makassar.

(2)

Pendahuluan

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu seperti, ilmu pengetahuan, kekayaan material dan kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Penghargaan yang tinggi terhadap hal-hal tersebut, akan menempatkannya pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya sepeti, bodoh, miskin dan jelata. Misalnya jika masyarakat menghargai kekayaan material dari pada kehormatan maka mereka yang memiliki kekayaan tinggi akan menempati kedudukan yang tinggi dibandingkan pihak-pihak lainnya. Gejala tersebut akan menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan berbeda-beda secara vertikal (dari rendah ke tinggi).

Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat, namun dalam realitanya hal tersebut tidak demikian adanya. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal (menyeluruh) yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Sistem lapisan dengan sengaja dibentuk dan disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Sehingga suatu organisasi masyarakat tidak akan pernah lepas dari terbentuknya lapisan sosial dalam masyarakat tersebut.

Tinjauan Pustaka

a. Pengertian Masyarakat Urban

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), urban diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kota, bersifat kekotaan, atau orang yang pindah dari desa ke kota. Sementara itu, dilihat dari asoek dinamikanya, maka masyarakat urban adalah masyarakat yang lahir dan direproduksi oleh proses modernitas dalam dinamika institusi modern. Anthony Gidden membayangkan masyarakat urban sebagai tipikal manusia yang hidup pada dekade terakhir abd ke-20 yang memiliki kesempatan luas untuk menyebar ke berbagai belahan dunia menikmati eksistensinya. Bahkan ia membayangkan masyarakat urban yang modern tersebut, memiliki sisi- sisi mengerikan yang menurutnya adalah fenomena nyata dewasa ini (A. Ahmadin, 2021).

b. Ciri-ciri Struktur Sosial Masyarakat Urban

Menurut Daldjoeni, ciri-ciri struktur sosial kota terdiri atas beberapa gejala sebagaimana diuraikan berikut:

1. Heterogenitas Sosial, yakni kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan- persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak memilih-milih mana yang

(3)

paling menguntungkan baginya, sehingga akhirnya tercapai spesialisasi. Kota juga merupakan melting pot bagi aneka suku maupun ras.

2. Hubungan sekunder, yakni pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup tertentu. Hal ini disebabkan antara lain karena tempat tinggal orang juga cukup terpencar dan saling mengenalnya hanya menurut perhatian antar pihak.

3. Kontrol (pengawasan sekunder), yakni di kota orang tidak mempedulikan perilaku peribadi sesamanya. Meski ada kontrol sosial, tetapi ini sifatnya non pribadi; asal tidak merugikan bagi umum, tindakan dapat ditoleransikan.

4. Toleransi sosial, yakni orang-orang kota dapat berdekatan secara fisik, tetapi secara sosial berjauhan.

5. Mobilitas sosial, yakni perubahan status sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan dalam jenjang kemasyarakatan (social climbing). Dalam kehidupan kota segalanya diprofesionalkan, dan melalui profesi seseorang dapat naik posisinya.

6. Ikatan sukarela (voluntary association), yakni secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya.

7. Individualisasi, yakni merupakan akibat dari sejenis atomisasi dimana orang dapat memutuskan sesuatu secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain.

8. Segragasi keruangan (spatial segragation), yakni akibat kompetisi ruang yang terjadi pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosio-ekonomis.

Segragasi ini tampak pada munculnya wilayah-wilayah sosial tertentu seperti, kaum Cina, Arab, kaum elit, gelandangan, pelacuran, dan sebagainya (A. Ahmadin, 2013).

Bila mengacu pada uraian mengenai struktur sosial tersebut, maka beberapa hal menarik dikaitkan dengan kajian mengenai perubahan struktur sosial masyarakat (M. Ahmadin, 2021) di kota Makassar. Beberapa realitas yang akan diamati seperti: (1) heterogenitas sosial yang menyebabkan terjadinya perebutan pemanfaatan ruang, (2) hubungan sekunder yang mengaburkan ikatan etnik, (3) kedekatan secara fisik dan berjauhan secara sosial membutuhkan proses untuk menjadi sebuah komunitas, (4) ikatan suka rela yang memberi peluang atas seseorang untuk bergabung dengan kelompok manapun, (5) Segragasi keruangan (spatial segragation) akibat kompetisi ruang, melahirkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosio-ekonomis serta wilayah-wilayah sosial tertentu (A. Ahmadin, 2010).

c. Sosial budaya masyarakat urban

Perubahan sosial memiliki dua kategori, kecil dan besar. Perubahan kecil adalah perubahan- perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Misalnya perubahan mode pakaian, bentuk rumah, dan mainan anak yang tidak akan membawa pengaruh berarti bagi masyarakat dalam keseluruhannya. Adapun perubahan besar adalah suatu perubahan yang berpengaruh terhadap masyarakat dan lembaga-lembaganya. Suatu perubahan dikatakan berpengaruh besar jika perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan struktur kemasyarakatan, sistem mata pencaharian,hubungan kerja, stratifikasi masyarakat. Sebagaimana tampak pada perubahan masyarakat agraris menjadi industrialis. Perubahan ini menyebabkan pengaruh secara besar-

(4)

besaran terhadap jumlah kepadatan penduduk di wilayah industri dan mengakibatkan adanya perubahan mata pencaharian. Perubahan besar adalah adanya industrialis. Bagaimanapun industrialis merubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.Perubahan ini memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat, seperti terlihat dalam hubungan sesama masyarakat. Pada masyarakat industri hubungan antar sesama lebih didasarkan pada pertimbangan untung rugi.

Akan tetapi pada masyarakat agraris, hubungan antar sesama terbentuk sikap akrab dan menunjukkan adanya kebersamaan, saling peduli dan gotong royong. Pengaruh teknologi komunikasi secara gamblang telah merubah pola pikir masyarakat menjadi individual. Banyak orang disibukkan dengan penggunaan teknologi ini, sehingga kebersamaan dengan individu lain terabaikan. Contoh yang sangat kentara terlihat sekali ketika orang-orang sibuk menggunakan alat komunikasi handphone, maka orang-orang yang ada di sekitarnya terabaikan. Seseorang menjadi sangat individualis, padahal kehidupan di desa sejatinya penuh dengan persahabatan, kepedulian dan saling bekerjasama. Akses masyarakat terhadap komunikasi berbasis dunia maya, ternyata tidak hanya mempengaruhi masyarakat diperkotaan, bahkan sudah mempengaruhi masyarakat di pedesaan yang dikenal dengan masyarakat tradisional. Ketertarikan masyarakat terhadap media ini juga sangat besar, sehingga menggiring seseorang untuk membeli produk ini meskipun kehidupan ekonomi sangat memprihatinkan. Belum lagi untuk mengakses dunia maya tersebut seseorang meski mengeluarkan uang puluhan ribu untuk sehari atau seminggu. Tidak jarang kebutuhan hidup sehari-hari terpinggirkan hanya untuk mencukupi kebutuhan komunikasi. Kondisi ini tidak saja mempengaruhi ekonomi seseorang, tetapi membawa dampak pada perubahan sikap dan prilaku masyarakat yang menjadi materialistis dan individualis. Wilayah perkotaan memang dikenal dengan kehidupan masyarakat yang serba tidak peduli atau individualis. Akan tetapi kondisi ini ternyata telah menggiring masyarakat tradisional untuk hidup dengan keadaan yang serba sendiri.

Sebagai masyarakat muslim dan bagian dari negara indonesia yang dikenal menjunjung tinggi kebersamaan, gotong royong, tentu kehidupan seperti ini tidak relevan untuk dijalankan.

Maka berpijak dari persoalan tersebut perlu dilakukan penelitian agar kehidupan sosial yang penuh dengan kebersamaan dapat diterapkan kembali oleh generasi muda sekarang ini. Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, antara lain :

• Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.

Kegiatan-kegiatan keagamaan hanya setempat di tempat-tempat peribadatan, seperti di mesjid, gereja. Sedangkan di luar itu, kehidupan masyarakat berada dalam lingkungan ekonomi, perdagangan. Cara kehidupan demikian memiliki kecenderungan ke arah keduniawian, bila dibandingkan dengan kehidupan warga masyarakat desa yang cenderung ke arah keagamaan.

• Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang-orang lain. Yang terpenting disini adalah manusia perorangan atau individu. Di kota- kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan, sebab perbedaan kepentingan, paham politik, perbedaan agama dan sebagainya.

• Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Misalnya seorang pegawai negeri lebih banyak bergaul dengan rekanrekannya daripada dengan tukang-tukang becak, tukang kelontong atau pedagang kaki lima lainnya.

• Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa. Pekerjaan para warga desa lebih bersifat seragam, terutama

(5)

dalam bidang bertani. Oleh karena itu pada masyarakat desa tidak banyak dijumpai pembagian pekerjaan berdasarkan keahlian. Lain halnya di kota, pembagian kerja sudah meluas, sudah ada macam-macam kegiatan industri, sehingga tidak hanya terbatas pada satu sektor industri.

Singkatnya, di kota banyak jenis-jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh warga-warga kota, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai pada pekerjaan yang bersifat teknologi.

• Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.

• Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti dan tepat sangan penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan jelas dan nyata di kota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Hal ini sering menimbulkan pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda.Oleh karena itu, golongan muda yang belum sepenuhnya terwujud kepribadiannya, lebih sering mengikuti pola-pola baru dalam kehidupannya (Sosial et al., n.d.)

d. Perilaku masyarakat urban

Bagi sebagian orang, dunia konsumsi kelihatannya identik dengan kebebasan. Misalnya jika kita punya uang merasa bebas untuk belanja sesuka hati, namun tidak dipungkiri ternyata kita hanya mengonsumsi sebagian kecil objek tanda yang berbeda. Munculnya sikap konsumsi memberikan petunjuk bagaimana cara orang menampilkan individualitas dalam pemilihan barang. Dalam keadaan seperti ini kedudukan individusecara aktif menunjukkan selera yang dicontohkan oleh sebuah kelompok tertentu. Gaya hidup dalam konteks ini merupakan satu dari contoh praktik konsumsi yang dilandasi oleh sebuah perjuangan dalam memperoleh gengsi sosial. Kapitalisme mempunyai tujuan untuk menciptakan imajinasi bahwa orang yang sukses adalah orang yang punya banyak barang. Konsumerisme menjadi sesuatu hal yang wajar dalam sistem kapitalisme.

Dalam kapitalis memutakhir, adanya konsumerisme berarti upaya untuk memperluas pasar. Dalam pengertian yang popular, konsumerisme menunjuk pada cara konsumsi yang melebihi batas.

Orang-orang membeli barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan lagi dan sekadar untuk memenuhi keinginannya untuk berkonsumsi secara berlebihan. Persoalan konsumsi terkait dengan apa yang kita kenal dengan kebutuhan. Ide kebutuhan sebenarnya berasal dari pembagian subjek dan objek palsu.Ide kebutuhan diciptakan untuk menghubungkan subjek dan objek palsu tersebut.

Akhirnya pengulangan terjadi, yaitu subjek butuh objek, dan objek yaitu apa yang di butuhkan subjek. Kita sebenarnya tidak membeli apa yang kitabutuhkan, akan tetapi kita membeli apa yang menjadi kode sampai ke kita apa yang seharusnya dibeli. Melihat konsep kebutuhan tersebut Baudrillard ingin mendekonstruksi konsep kebutuhan seperti itu. (Sosial et al., n.d.)

e. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stratifikasi Sosial

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut: Pertama, ukurankekayaan. Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada,barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuklapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya,barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaanya

(6)

dalam berbelanja. Kedua, ukuran kekuasaan dan wewenang. Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapiran teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

Ketiga, ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur. (Maunah, 2015)

Ukuran atau kriteria yang menjadi dasar pembentukan pelapisan sosial adalah: ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan.

Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar- gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, magister, doktor atau gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar- gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skipsi, menyuap, ijasah palsu dan seterusnya. (Maunah, 2015)

Golongan sosial timbul karena adanya perbedaan status dikalangan anggota masyarakat. Untuk menentukan stratifikasi sosial dapat diikuti 3 metode yakni: Pertama, metode obyektif. Pada metode ini stratifikasi ditentukan berdasarkan kriteria obyektif antara lain jumlah pendapatan, lama atau tinggi pendidikan, jenis pekerjaan. Kedua, metode subyektif. Golongan sosial anggota masyarakat menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat itu. Ketiga, metode reputasi. Golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana anggota masyarakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu. (Maunah, 2015)

Adanya sistem berlapis-lapis di dalam masyarakat, dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi adapula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Yang biasanya menjadi alasan terjadinya lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (senioritas), sifat keaslian-keanggotaan kerabat seseorang kepada masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu.

(Maunah, 2015)

f. Kota dan mobilitasnya

(Trancik, 1986: 114), menyatakan bahwa secara kontekstual kota-kota tumbuh dan berubah secara unik berkaian dengan realitas tempat, sejarah lokal, rasa, kebutuhan masyarakatnya, tradisi, keahlian, konvensi nilai, politik dan ekonomi komunitas yang ada di dalamnya. Hal tersebut diperkuat pula dengan pernyataan Rowley (1994: 182) bahwa sebuah kota pada dasarnya tempat yang memungkinkan semua kegiatan dan peristiwa berlangsung. Pengembangan kota berarti juga pembangunan peluang ekonomi baru di lingkungan urban yang kompetitif (Gospodini, 2002: 59).

Ketiga pemikiran tersebut menunjukkan bahwa kota adalah sebuah ’melting pot’ dari aneka

(7)

kepentingan yang berbaur menjadi satu. Sebuah kota berisi dinamika kompleksitas interaksi manusia. Bentuk simbolik dan ekspresi makna kota yang terjadi merupakan artikulasi dari dinamika penggabungan sejarah yang membentuk kota tersebut. Ia merupakan hasil dari serangkaian proses antara tempat dan para pelaku sejarahnya dalam sebuah rentang waktu.

(Rohmah, 2019)

Secara makro, desain sebuah kota menyangkut integrasi penggunaan lahan, pergerakan manusia- barang, manajemen lalu-lintas, dan bentuk lingkungan binaan. Semua itu direkayasa untuk memfasilitasi tumbuhnya berbagai kegiatan ekonomi melalui penyediaan aneka sarana1prasarana berkualitas tinggi yang efisien, fungsional, menarik, dan dapat merespon perubahan kebutuhan masyarakat, dan lingkungannya dari waktu ke waktu (Alexander, 2007: 186). Desain sebuah kota ditujukan untuk menjembatani semua hal tersebut tanpa melupakan kekhasannya (yang menjadi pembeda dengan kota lainnya) dalam format lingkungan buatan. Bentham (2003: 94, 100, 103), juga menegaskan bahwa dalam mengembangkan fisiknya, kota merekayasa berbagai aspek sosial masyarakatnya melalui pembentukan tempat-tempat dan suasana yang mampu dinikmati setiap orang yang ada di dalamnya. (Rohmah, 2019)

Pembahasan

Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Stratifikasi berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak. Sebagaimana Pitirin A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sebagai pembedaan penduduk atau anggota masyarakat kedalam kelas- kelas secara hierarkis, Bruce J.Cohen juga menjelaskan bahwa sistem stratifikasi akan menempatkan setiap individu pada kelas sosial sesuai berdasarkan kualitas yang dimiliki.

Sementara itu, menurut Max Weber, yang dimaksud dengan stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan- lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege, dan prestise.

Sistem stratifikasi sosial dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Namun, ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama.

Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya adalah berdasarkan faktor kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta seseorang dalam batas-batas tertentu.

Sifat sistem stratifiaksi sosial di dalam masyrakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification), terbuka (open social stratification), dan campuran. Sistem sratifikasi sosial tertutup adalah stratifikasi yang anggota dari setiap strata nya sulit mengadakan mobilitas vertikal.

Walaupun ada mobilitas, tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja. Sementara itu, stratifikasi sosial terbuka lebih bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggotanya dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Lebih lanjut, sistem stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka.

(8)

Sistem stratifikasi sosial di dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan terlihat cukup ketat memegang adat-istiadat yang berlaku, terutama dalam hal pelapisan sosialnya. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam memang merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Sulawesi Selatan (Mattulada,1998). Sejak masa pra-Islam, masyarakat Sulawesi Selatan sudah mengenal stratifikasi sosial. Disaat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Stratifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.

Sistem stratifikasi sosial masyarakat Bugis-Makassar sejak dahulu telah memberikan posisi yang istimewa dan kedudukan yang strategis terhadap kaum bangsawan sebagai elite jika dibandingkan kelompok masyarakat lainnya dalam struktur sosial yang ada. Para bangsawan tersebut menjadi pemimpin tertinggi dalam struktur politik atau struktur kekuasaan. Stratifikasi masyarakat Bugis-Makassar dibagi berdasarkan kasta-kasta atau golongan-golongan dan kasta- kasta atau golongan-golongan tersebut dianggap sebagai faktor penting yang menguasai sehingga dapat mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan religius masyarakat Sulawesi Selatan.

Oleh karena itu, masyarakat Sulawesi Selatan terkenal sebagai masyarakat yang sangat ketat mempertahankan aturan pelapisan sosial. Sehubungan dengan penempatan posisi bangsawan dalam stratifikasi sosial ini, didalam masyarakat Bugis-Makassar terdapat hubungan yang sangat kompleks antara indvidu yang satu dengan individu lainnnya. Seperti kita ketahui bahwa pada masa lalu hubungan-hubungan yang paling erat adalah hubungan antara bangsawan dan para pengikutnya.

Kelompok bangsawan dalam masyarakat Sulawesi Selatan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu: (1) Kelompok bangsawan yang sudah modern ; (2) Kelompok bangsawan yang masih mempertahankan primordial yang sangat tinggi. Kelompok bangsawan yang sudah modern adalah mereka yang sudah mau membuka diri dengan lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dalam kehidupan lingkungan pekerjaan. Hal ini terjadi karena mereka pada umumnya memiliki pendidikan yang cukup tinggi dan mampu menyekolahkan anak-anaknya keluar Sulawesi Selatan, seperti kota-kota besar di Pulau Jawa. Sementara itu, kelompok bangsawan yang masih mempertahankan primordial yang sangat tinggi adalah mereka yang dalam kehidupannya masih “agak tertutup”, tidak begitu peduli dengan pentingnya pendidikan, mereka terlalu kuat ikatan emosional masa lalu. Meskipun mereka mendapat tempat teratas dan sangat dihormati dalam masyarakatnya, mereka tidak menyadari bahwa situasi dan kondisi pada saat ini sudah sangat berbeda. Seperti dikemukakan oleh seorang narasumber, Drs. H.S. M S i, yang mengatakan bahwa ada seseorang yang pada masa lalu sangat dihormati dan bahkan disegani karena berasal dari keturunan bangsawan. Namun, karena situasi yang ada telah mengubah segalanya, misalnya orang tua dari yang bersangkutan meninggal, juga tidak memiliki pendidikan yang cukup, dan harta kekayaan peninggalan orangtua sudah habis, mereka akhirnya sudah tidak mendapat tempat di mata masyarakat. Pada umumnya masyarakat menyikapi kondisi seperti ini hanya dengan memberikan pengakuan dan penghormatan saja bahwa yang bersangkutan betul-betul keturunan bangsawan, tidak lebih dari itu.

Jika pada masa kini kaum bangsawan atau keturunan bangsawan ada yang masih tetap eksis, baik di lingkungan pemerintahan maupun di sektor lain, hal ini disebabkan karena ada dua faktor penting, yaitu faktor pendidikan dan faktor ekonomi. Bagi keturunan bangsawan yang masih eksis hingga kini penyebabnya adalah karena keluarga bangsawan pada umumnya disekolahkan sampai

(9)

ke jenjang paling tinggi, yaitu perguruan tinggi, dan juga ditunjang oleh faktor ekonomi keluarga yang cukup kuat. Biasanya masyarakat yang berasal dari kalangan keturunan bangsawan seperti ini menduduki jabatan tertentu di lingkungan pemerintahan. Sementara itu,bagi masyarakat keturunan bangsawan yang tidak memiliki pendidikan dan tidak didukung oleh faktor ekonomi keluarga, mereka umumnya tidak dihargai lagi, sehingga lama kelamaan akan tersingkirkan secara alamiah. Oleh karena itu, kedua faktor tersebut memiliki peranan yang sangat penting bagi keturunan bangsawan yang masih eksis keberadaannya, khususnya diwilayah Kota Makassar.

Menurut sejarahnya, diwilayah Sulawesi Selatan pada masa lalu terdapat empat kelompok masyarakat, yaitu: (1) Kelompok bangsawan, (2) Kelompok pemodal/pengusaha, (3) Kelompok hulubalang/panglima perang, dan (4) Kelompok tokoh agama. Keempat kelompok masyarakat inilah yang mempunyai kelas tersendiri, seolah-olah mereka merupakan kelas elite, merasa berada di atas struktur masyarakat biasa. Di antara keempat kelompok masyarakat ini telah terjadi perkawinan campur atau kawin mawin, sehingga kelompok-kelompok inilah yang banyak melahirkan keturunan, terutama di wilayah Bone. Perkawinan campur di antara keempat kelompok sudah terjadi sejak jaman dulu. Pada masa lalu jarang sekali terjadi perkawinan campur antara kelompok bangsawan, pemodal/pengusaha, hulubalang/panglima perang, dan tokoh agama dengan kelompok masyarakat biasa. Seandainya terjadi perkawinan campur di antara keempat kelompok tersebut dengan masyarakat biasa, hal itu harus melalui pertimbangan yang cukup panjang dan prosesnya sangat rumit. Namun,untukmasa sekarang, sudah terjadi pergeseran;

masyarakat biasa banyak yang melakukan perkawinan dengan keempat kelompok masyarakat tersebut, meskipun harus melalui aturan-aturan yang berlaku dikalangan keempat kelompok masyarakat itu.

Terkait dengan lembaga perkawinan, khususnya di kalangan suku Bugis-Makassar, tampaknya memegang peranan penting, bahkan acapkali terkait kepentingan politik. Semakin luas jaringan keluarga, semakin luas pula pengaruh kelompok tersebut. Oleh karena itu, poligami dikalangan bangsawan merupakan salah satu indikator untuk membentuk sebuah jaringan dan dukungan.

Selain itu, poligami mempunyai simbol “keperkasaan” si bangsawan itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang narasumber yang mengatakan bahwa pada masyarakat Sulawesi Selatan terkenal dengan tiga U, yaitu Ujung Pena, Ujung Lidah, dan Ujung untuk kawin-mawin.

Faktor yang ketiga inilah yang menjadikan kebangsawanan seseorang samar sebagai akibat dari adanya perkawinan campur antara masyarakat yang berasal dari keturunan bangsawan dengan masyarakat biasa yang memang sudah banyak terjadi. Akibatnya, masyarakat yang bukan keturunan bangsawan atau masyarakat biasa menjadi ikut-ikutan merasa dirinya berasal dari keturunan bangsawan hanya karena kemampuannya menggunakan Ujung yang ketiga.

Jika dilihat, masyarakat Sulawesi Selatan pada masa kini sudah sangat terbuka dan tidak terlalu ketat lagi dalam tradisi, meskipun masih ada pengaruh-pengaruh dari kelompok atau golongan.

Namun,untuk daerah-daerah tertentu pengaruh-pengaruh tradisi ini sangat kuat. Dapat kita lihat untuk daerah-daerah yang masyarakatnya sudah terbuka, seperti Makassar, Pare-Pare, dan Palopo, sudah mulai lemah dari pangaruh-pengaruh kelompok atau golongan atas dasar sistem feodal karena sudah banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa masyarakat yang mempunyai keturunan bangsawan sudah menyesuaikan dengan kelompok rasional di lingkungan sekitarnya.

Kelompok rasional disini maksudnya adalah mereka yang mencoba mengembangkan diri melalui jalur-jalur birokrasi. Seperti dikota Makassar sendiri bisa dilihat pada beberapa jalur birokrasi tidak

(10)

lagi dipegang atau dikuasai oleh keturunan bangsawan melainkan dari berbagai kalangan atau dari berbagai lapisan masyarakat lainnya.

Kondisi tersebut tampaknya agak berbeda dengan di wilayah Gowa yang peta kekuasaannya masih terpusat ketangan keturunan bangsawan. Perlu diketahui juga bahwa penghargaan terhadap keturunan bangsawandi wilayah Sulawesi Selatan khususnya di kota Makassar relatif masih tinggi tetapi bukan berarti hal itu menjadi faktor kunci, terutama dalam menentukan pemilihan kepala daerah. Diakui pula oleh sebagian masyarakat bahwa ada sekelompok keturunan bangsawan yang mulai ditinggalkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Hal itu menunjukkan indikasi bahwa kekuatan kelompok keturunan bangsawan mulai melemah meskipun bukan berarti hilang sama sekali.

H.J.Friedericy dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1976) oleh Prof. Dr.

Koentjaraningrat mengatakan bahwa pelapisan masyarakat Bugis-Makassar sudah ada sejak jaman sebelum pemerintah kolonial Belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan.

Salah satu sumber yang digunakan untuk melakukan rekonstruksinya adalah buku asli kesusasteraan Bugis-Makassar La Galigo. Pada masa lalu masyarakat Bugis-Makassar memiliki sistem kemasyarakatan atau pelapisan sosial yang terbagi kedalam tiga tingkatan atau yang biasa disebut dengan sebutan “kasta”. Pertama, Ana Karaeng (Makassar), tingkatan kasta ini merupakan tingkatan kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat. Kasta ini merupakan kasta yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan kalangan raja-raja yang mempunyai kekuasaan serta menguasai perekonomian dan pemerintahan. Kedua, Tu Maradeka (Makassar), kasta kedua ini dalam sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar rmerupakan kumpulan masyarakat atau orang-orang yang merdeka (bukan budak atau ata). Pada umumnya masyarakat Bugis- Makassar mayoritas berstatus pada kasta kedua ini. Ketiga, Ata. Kasta ini merupakan kasta yang paling rendah dalam strata sosial masyarakat. Ata atau kasta ini adalah masyarakat yang merupakan budak atau abdi yang biasanya diperintah oleh kasta pertama dan kedua. Pada umumnya mereka menjadi budak lantaran tidak mampu membayar utang, melanggar pantangan adat, dan lain sebagainya.

Dalam usahanya untuk mencari latar belakang terjadinya stratifikasi sosial pada masyarakat Bugis-Makassar, Friedericy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La Galigo dan berkesimpulan bahwa masyarakat Bugis-Makassar itu pada awalnya hanya terdiri dari dua lapisan dan bahwa lapisan Ata merupakan suatu perkembangan kemudian yang terjadi dalam jaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Seiring dengan perkembangan jaman, pelapisan sosial paling bawah, yaitu Ata , mulai hilang, karena ada larangan dari pihak pemerintah kolonial dan desakan agama. Begitu juga dengan Ana Karaeng serta Tu Maradeka secara perlahan-lahan turut hilang karena adanya desakan dan tuntutan perubahan.

Akan tetapi stratifikasi masyarakat Bugis-Makassar sudah mulai luntur seiring dengan perkembangan jaman; sistem kerajaan mulai runtuh dan kekuasaan diganti oleh pemerintahan Belanda. Hal ini merupakan akibat dari larangan pemerintahan Belanda kepada masyarakat Bugis- Makassar untuk menggunakan strata sosial serta desakan agama, terutama agama Islam, yang melarang adanya klasifikasi status sosial berdasarkan kasta. Pengaruh ini terlihat sampai menjelang abad ke-20, terutama pada kasta Ata mulai hilang. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, kasta Ana Karaeng dan Tu Maradeka mulai berangsur-angsur hilang juga dalam

(11)

kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Akan tetapi, penggunaan “Andi”, “Karaeng”, “Petta”, dan “Puang”, memang masih digunakan tetapi terbatas pada kegiatan ritual adat saja dan sebagai sebuah penghormatan.

Dalam ruang lingkup NKRI, ketiga kasta yang ada pada masyarakat Sulawesi Selatan dianggap menjadi penghambat, apalagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi tidak cocok lagi dengan penggunaan sistem kasta tersebut. Oleh karena itu, pemerintah selalu berusaha memberikan penjelasan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Sulawesi Selatan, agar tidak menggunakan tingkatan kasta dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam ruang lingkup pekerjaan, seperti di lingkungan pemerintahan, swasta, dll. Pengunaan kasta ruang lingkupnya dibatasi cukup hanya di lingkungan keluarga saja atau pada upacara-upacara adat yang memang masih dipegang sampai saat ini.

Untuk wilayah Sulawesi Selatan, khususnya dikota Makassar, stratifikasi sosial masyarakatnya sudah tidak terlalu ketat lagi; sudah mulai berubah dan mulai terbuka. Stratifikasi sosial masyarakat yang sudah mulai terbuka dapat dilihat pada tatanan, seperti kalau seseorang yang bukan berasal dari keluarga keturunan bangsawan bisa mendapatkan kekuasaan atau suatu jabatan tertentu maka yang bersangkutan akan diperlakukan seperti bangsawan. Misalnya, seorang bupati atau walikota, meskipun yang bersangkutan jelas-jelas bukan berasal dari keluarga keturunan bangsawan, tetapi diperlakukan seperti keluarga bangsawan. Sebaliknya jika seseorang berasal dari keturunan bangsawan tetapi tidak memiliki kekuasaan maka gelar bangsawan dari orang tersebut hanya diberikan sebatas penghargaan atau penghormatan saja, tetapi bukan berarti menghilangkan asal mula keturunan kebangsawanannya. Hubungan antara keturunan bangsawan dengan masyarakat biasa yang bukan berasal dari keturunan bangsawan yang mempunyai kekuasaan, termasuk dijalur pendidikan, sudah tidak ketat lagi. Oleh karena itu, pada masa sekarang di wilayah Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar, masyarakat yang berasal dari keturunan bangsawan mulai mengaktifkan kembali lembaga-lembaga adat yang sudah ada. Tujuan dari mengaktifkan kembali lembaga adat ini adalah supaya generasi muda yang ada sekarang tidak kehilangan jejak leluhur mereka dari keturunan bangsawan. (Rochmawati, 2017)

Penutup

Stratifikasi sosial yang ada lama kelamaan luntur. Sejak pemerintahan Belanda sebenarnya klasifikasi status sosial berdasarkan kasta sangat tidak disetujui dan dalam ajaran agama Islam dilarang adanya pengkastaan dalam masyarakat. Pada akhirnya, sistem pengkastaan atau pembagian strata mulai hilang. Begitu juga gelar kebangsawanan yang selama ini digunakan yang mulai memudar, sehingga penggunaannya hanya terbatas kepada kegiatan upacara adat atau acara ritual saja. Pemberian gelar kebangsawanan tersebut hanya sebagai penghormatan bahwa mereka memang betul merupakan keturunan bangsawan, tidak lebih dari itu. Status sosial tidak lagi didasarkan pada

keturunan, kasta, maupun stratifikasi sosial seseorang. Begitu juga di lingkungan pekerjaan seperti di pemerintahan. Kini tidak lagi mengutamakan status kebangsawanan seseorang, atau kekayaannya, melainkan ditentukan oleh tingkat pendidikan. Peranan pendidikan lebih dominan

(12)

dan sangat berpengaruh dalam menentukan derajat sosial seseorang. Menurut sejarahnya, stratifikasi sosial masyarakat Bugis Makassar telah memberikan posisi istimewa terhadap keturunan bangsawan sebagai elitestrategis dari masyarakat, sehingga menempatkan mereka sebagai pemimpin tertinggi dalam struktur politik atau struktur kekuasaan. Dewasa ini, hal tersebut sudah jauh berbeda karena semua elemen masyarakat, termasuk masyarakat biasa, mempunyai kesempatan yang sama dalam segala bidang serta memiliki hak dan kewajiban yang sama pula.

Meskipun demikian, stratifikasi sosial berbasis keturunan relatif masih berlaku di daerah-daerah Sulawesi Selatan lainnya. Memudarnya stratifikasi sosial berbasis keturunan yang berlangsung di Kota Makassar belum diikuti oleh daerah-daerah lain di provinsi ini.

Referensi

Ahmadin, A. (2010). Lonceng Kematian Komunitas Urban: Telaah Sosiologi Pusat Pemukiman Etnik di Makassar. Predestinasi: Jurnal Penelitian, Gagasan, Sosiologi, Dan Pengajaran, 3(2), 153–162.

Ahmadin, A. (2013). DIALEKTIKA RUANG DAN PROSES PRODUKSI SOSIAL (Studi Sosiologi Pola Pemukiman Etnik di Makassar). Universitas Hasanuddin.

Ahmadin, A. (2021). Konstruksi Sosial-Budaya dalam Pembangunan Ruang Publik di Kota Makassar: Menatap Pantai Losari Dulu, Kini, dan Masa Mendatang. Jurnal Kajian Sosial Dan Budaya: Tebar Science, 5(1), 14–20.

Ahmadin, M. (2021). Sociology of Bugis Society: An Introduction. Jurnal Kajian Sosial Dan Budaya: Tebar Science, 5(3), 20–27.

Maunah, B. (2015). Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan. Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 19–38.

https://doi.org/10.21274/taalum.2015.3.1.19-38

Rochmawati. (2017). Memudarnya Stratifikasi Sosial Berbasis Keturunan the Dynamics of Socio-Cultural Group in Makassar : the Eclipse of Ancestor-Based Social Stratification.

Jurnal Masyarakat & Budaya, 19(2), 189–202.

Rohmah, N. (2019). Dinamika Sosial dan Budaya. Www.Kompasiana.Com, 1–3.

https://www.kompasiana.com/nur.ar-rohmah/54f75a32a33311d2358b45df/dinamika-sosial- dan-budaya

Sosial, F. I., Universitas, H., & Makassar, N. (n.d.). Reski annasari.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

In this paper, a pitch angle control system for aircraft is designed utilizing liner quadratic Gaussian (LQG) optimal controller technique with a numerical