• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir Tanda dalam Tradisi Nujuh Bulanan Masyarakat Sunda: Kajian Semiotika Charles Sanders Pierce

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Tafsir Tanda dalam Tradisi Nujuh Bulanan Masyarakat Sunda: Kajian Semiotika Charles Sanders Pierce"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Dinamika Sosial Budaya

Vol.25, No.2, Juni 2023, pp. 225 – 242

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524 https://journals.usm.ac.id/index.php/jdsb

■page 225

Tafsir Tanda Dalam Tradisi Nujuh Bulanan Masyarakat Sunda : Kajian Semiotika Charles Sanders Pierce

Adreana Annisa 1*, Dadan Rusmana 2

Sastra Inggris,Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung1,2 [email protected]1 , [email protected]2

ARTICLE INFO

History of the article : Received 07 Desember 2021 Revised 1 Mei 2023 Accepted 30 Mei 2023 Available online 22 June 2023 Keywords:

Tanda; tradisi; nujuh bulanan

* Correspondece:

E-mail:

[email protected]

ABSTRACT

Penelitian dengan judul “Tafsir Tanda dalam Tradisi Nujuh Bulanan Masyarakat Sunda” bertujuan untuk mengetahui dan memahami tafsir tanda yang terkandung dalam tradisi nujuh bulanan masyarakat sunda. Adapun rumusan masalah penelitiannya terdiri dari: (1) tanda yang terkandung dalam nujuh bulanan masyarakat muslim sunda, (2) tafsir tanda dalam tradisi nujuh bulanan masyarakat sunda. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, teori yang digunakan adalah semiotika Triadic yang meliputi sign, object dan interpretant dari Charles Sanders Pierce dengan teori Fungsionalisme dari Bronislaw K. Malinowski yang menjelaskan tentang kegunaan unsur suatu budaya dalam masyarakat.

Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif dengan kajian pustaka berupa jurnal, makalah, artikel dan media skripsi sebagai sumber data. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa setiap tanda yang terkandung dalam tradisi nujuh bulanan ini merupakan pengharapan yang ditujukan pada proses persalinan dan bayi yang masih berada dalam kandungan. Terkait persalinan, tanda dalam tradisi nujuh bulanan melambangkan harapan akan keselamatan, kesehatan dan kelancaran. Sedangkan terkait bayi yang masih berada dalam kandungan, tanda dalam tradisi nujuh bulanan melambangkan harapan agar kelak sang anak memiliki budi pekerti luhur, sifat gagah berani membela kebenaran, rendah hati dan setia, paras yang tampan dan cantik, rezeki yang berlimpah, kebebasan dalam menentukan hidupnya dan dapat mengangkat derajat keluarganya. Adapun menurut prinsip dasar fungsionalisme, tradisi nujuh bulanan yang ditemukan dalam ranah masyarakat sunda merupakan sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang terjalin erat (dalam hal ini telah dibahas tanda yang terkandung dalam tradisi nujuh bulanan, agama dan sosial).

PENDAHULUAN

Budaya merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat atau sekelompok orang dalam wilayah tertentu. Cakupan wilayah ini membuat setiap wilayah memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda. Kebiasaan ini meliputi moral, hukum adat istiadat, kesenian maupun kegiatan keagamaan. Goodenugh dalam menyatakan bahwasanya kebudayaan merupakan suatu kesatuan dari sitem kognitif yang didalamnya memuat kepercayaan, pengetahuan dan nilai-nilai yang terdapat dalam setiap individual masyarakat.

Dengan kata lain, budaya merupakan hasil karya yang berupa pengetahuan, tingkah laku, norma dan kesenian yang diwariskan oleh nenek moyang.

(2)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

Umumnya, budaya dan kebudayaan merupakan suatu kesaatuan yang padu yang berarti dua hal ini tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Namun, Djoko Widagdho (1993) menyatakan bahwa budaya merupakan sebuah daya yang berasal dari budi dan berbentuk cipta, rasa dan krasa. Sedangkan kebudayaan merupakan produk yang dihasilkan dari suatu budaya. Lebih jauhnya, Koentjaraningrat dalam [1] membagi budaya menurut wujud kebudayaannya menjadi tiga jenis, jenis yang pertama yaitu kebudayaan sebagai suatu kompleks dari gagasan, ide, norma, nilai dan peraturan. Jenis kedua yaitu kebudayaan sebagai suatu kompleks dari aktivitet kelakuan berpola yang dihasilkan oleh manusia yang ada dalam lingkup masyarakat. Jenis yang terakhir yaitu kebudayaan sebagai suatu artefak atau produk karya yang dihasilkan.

Budaya dapat diartikan sebagai produk domestik yang memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan letak suatu wilayah dimana budaya itu dilahirkan. Oleh karenaya, tidak heran jika budaya digunakan sebagai penanda atau ciri khas masyarakat tertentu. Adapun bentuk dari sebuah ciri khas itu sendiri dinamakan produk hasil budaya. Salah satu produk hasil budaya adalah tradisi yang merupakan simbol dari warisan nenek moyang. Warisan sendiri memiliki arti sebagai peninggalan yang harus dijaga dan dilestarikan. Cara melestarikan tradisi atau warisan ini adalah dengan tetap mempercayai dan melaksanakan apa yang diwariskan. Pelestarian ini dimaksudkan sebagai simbol ketaatan terhadap orang-orang terdahulu, layaknya ketaatan seorang anak kepada ibunya.

Saat ini banyak masyarakat yang masih percaya akan tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya. Mereka dengan senang hati mengadakan acara untuk memperingati sebuah tradisi yang menjadi kebanggaannya. Salah satu tradisi yang masih dilestarikan sampai saat ini adalah nujuh bulanan. Nujuh dalam bahasa Sunda berarti tujuh dan bulanan berarti bulan, artinya tradisi ini dilakukan tepat saat usia kehamilan dari seorang wanita tengah menginjak tujuh bulan. Tradisi ini merupakan tradisi yang yang menggambarkan wujud syukur atas sebuah kepercayaan dan karunia besar yang telah diberikan. Selain itu, tradisi ini juga merupakan sebuah bentuk pengharapan akan kelancaran, keselamatan dan kesehatan ibu dan anak dalam masa persalinan.

Seperti yang kita ketahui bahwasanya setiap tradisi pasti memiliki makna filosofis tersendiri. Hal ini juga berlaku pada tradisi nujuh bulanan, dimana tradisi nujuh bulanan yang dikenal oleh masyarakat Sunda dengan tradisi tingkeban, berasal dari kata tingkeb yang berarti tutup. Tradisi ini umumnya dilakukan sebagai peringatan kepada suami istri untuk menutup diri mereka agar tidak berhubungan sampai waktu persalinan tiba. Hal ini dimaksudkan menjaga keselamatan dari ibu dan calon bayi yang akan dilahirkan. Selain dari penyusun katanya, makna filosofis yang terkandung dalam tradisi nujuh bulanan dapat ditemukan pada rangkaian prosesinya. Dimana beberapa rangkaian prosesinya memiliki maksud dan tujuan tertentu dengan diutarakan melalui tanda yang terkandung dalam prosesi nujuh bulanan.

Terkait dengan tradisi nujuh bulanan, penulis tertarik untuk menjadikan tradisi nujuh bulanan sebagai objek penelitiannya. Salah satu latar belakang pemilihan objek penelitian ini untuk mengenalkan tradisi nujuh bulanan yang dilakukan masyarakat Sunda kepada khalayak ramai. Dengan pengenalan ini, diharapkan nantinya tradisi nujuh bulanan masyarakat Sunda menjadi lebih eksis dikalangan masyarakat setempat dan menumbuhkan rasa kecintaan tehadap tradisi sekitar. Selain itu latar belakang pemilihan objek ini didasarkan karena adanya rangkaian kegiatan yang menarik dalam acara nujuh bulanan.

Rangkaian kegiatan itu berbentuk tanda-tanda yang tidak sembarang dapat ditafsirkan.

Untuk mengetahui tanda yang ada dalam tradisi nujuh bulanan maka dirumuskan rumusan

(3)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

masalah sebagai berikut; apa saja tanda yang terkandung dalam tradisi tujuh bulanan masyarakat Sunda? dan bagaimana tafsir tanda yang terkandung dalam tradisi nujuh bulanan masyarakat Sunda?

Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan teori semiotika triadic yang mencakup sign, object dan interpretant dari Charles Sanders Peirce dan metode kualitatif deskriptif dengan kajian pustaka yang berupa jurnal, makalah, artikel dan media skripsi lain yang tersedia dalam internet.

Terkait semiotika yang diadopsi dari kata dalam bahasa Yunani yaitu Semion yang secaea terminologi diartikan sebagai suatu ilmu yang mengkaji tanda dalam berbagai peristiwa, objek dan seluruh kebudayaan. Selain itu sobur dalam [2] mengartikan semiotika sebagai suatu ilmu yang memuat metode dalam menganalisi dan mengeksplorasi berbagai tanda. Sejalan dengan itu, Zoest dalam [2] turut menuangkan pendapatnya terkait semiotika yang diartikan sebagai sebuah studi yang mengkaji tanda dan memproduksi makna. Zoest melihat tanda sebagai segala sesuatu yang dapat diamati dan atau dibuat teramati.

Beberapa tokoh turut andil dalam perkembangan semiotika, salah satunya adalah Charles Sanders Pierce yang menyatakan bahwa tiap-tiap tanda adalah berkaitan dengan objek yang menyerupainya dan keberadaannya mempunyai hubungan sebab-sebab dengan atau dikarenakan suatu ikatan konvensional dengan tanda-tanda yang ada. Pierce juga menyatakan bahwa semiotika didasarkann pada logika, karena logika mempelajari bagaimana cara orang untuk bernalar, sedangkan penalaran yang dimaksud oleh Pierce dilakukan lewat tanda-tanda. Dengan kata lain, tanda tanda memberi kemungkinan pada kita untuk berpikir, menjalin hubungan dengan orang lain dan memberi makna terhadap apa yang ditunjukkan oleh alam semesta [2].

Konsep trikotomi dan model triadic yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce terdiri atas:

1. Representamen; memiliki fungsi sebagai tanda dan diartikan sebagai bentuk yang diterima oleh tanda (dinamakan signifier oleh Ferdinand De Saussure). Selain itu istilah sign juga disamakan dengen representamen.

2. Object; diartikan sebagai sesuatu yang merujuk pada suatu tanda. Object ini biasanya dapat berupa pemikiran yang tertanam dalam otak manusia dan dapat juga berupa sesuatu yang bersifat nyata diluar tanda [2] Interpretant; diartikan sebagai sesuatu yang merepresentasikan makna yang terkandung dalam tanda.

Charles Sanders Pierce mempopulerkan model triadic yang juga sering disebut sebagai

“triangle of meaning” atau dalam bahasa diartikan sebagai teori segitiga makna.

Sederhananya teori ini menjelaskan tentang tanda yang memiliki arti sebagai suatu hal atau kapasitas yang terkait dengan seseorang. Tanda dapat menciptakan simbol yang lebih berkembang dalam benak seseorang, adapun terkait tanda yang berhasil diciptakan dinamakan sebagai sebuah interpretant dari tanda pertama dan nantinya tanda tersebut akan menunjukkan suatu objek[3].

1. Sign (tanda)

2. Object (sesuatu yang dirujuk)

3. Interpretant (hasil hubungan sign dengan objek).

(4)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

Charles Sanders Pierce menyatakan bahwa kata-kata merupakan salah satu bentuk tanda.

Adapun 2 syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat digolongkan sebagai tanda antara lain:

1. Dapat dipersepsi, baik dengan pikiran/perasaan atau dengan panca indera.

2. Dapat mewakili sesuatu yang lain dan berfungsi sebagai tanda.

Selain teori semiotika Charles Sanders Pierce, ada teori substansi lain yang turut andil dalam membantu memperkuat analisis yaitu teori fungsionalisme yang dikembangkan oleh Bronislaw K. Malinowski.

Dalam teorinya yang dinamakan fungsionaliseme, Bronislaw K. Malinowski berasumsi bahwasanya seluruh unsur yang ada dalam kebudayaan memiliki manfaat tersendiri bagi masyarakat dimana unsur itu berada. Dengan kata lain, kebudayaan dalam pandangan fungsionalisme menekankan bahwa setiap pola perilaku yang melekat dan menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat dan setiap sikap serta kepercayaan merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan [4].

Adapun asumsi-asumsi dasar terkait teori fungsi dalam studi antropologi yang dikemukakan secara singkat adalah sebagai berikut:

1. Suatu kesatuan sosial dan budaya merupakan satu sistem tersendiri yang terdiri dari unsur dan bagian-bagiannya;

2. Setiap unsur atau bagian tidak serta merta berdiri sendiri, melainkan saling bergantungan;

3. Setiap unsur atau bagian ada karera dibutuhkan;

4. Keadaan saling berkait dan bergantung bukanlah terjadi secara kebetulan, melainkan kehadiran dari keseluruhannya berorientasi terhadap kelangsungan hidup sistem yang dimaksud secara totalitas;

5. Perubahan terhadao suatu unsur atau bagian dapat juga mengakibatkan perubahan serta berpengaruh terhadap keberadaan bagian-bagian lain.

Selain itu, teori fungsionalisme juga memiliki sebuah pendirian yang menekankan bahwasanya segala bentuk aktivitas dari suuatu kebudayaan itu memiliki maksud dan tujuan untuk memuaskan suatu rangkaian dari sebuah kebutuhan mencakup naluriah manusia yang pada dasarnya erat berhubungan dengan keseluruhan dari kehidupannya.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara kerja yang mencakup teknik, prosedur serta alat yang telah ditentukan dalam memulai penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode kualitatif. Menurut Lincoln dan Guba dalam [5] metode kualitatif memiliki tujuan untuk membangun ideografik melalui body of knowledge, oleh karenanya metode ini digunakan tidak untuk menemukan hukum tertentu dan membuat sebuah generalisasi, melainkan

(5)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

digunakan untuk membuat penjelasan secara mendalam atau melakukan ekstrapolasi dari objek yang tengah dikaji. Dalam prosesnya metode penelitian ini memuat tiga tahapan, antara lain:

pengumpulan data, analisis data dan pemaparan hasil analisis data.

Tahap pertama yaitu pengumpulan data, dimana penelitian ini menggunkan kajian pustaka sebagai sumber data untuk bahan penelitian. Kajian pustaka ini dilakukan melalui jurnal, makalah, artikel dan media skripsi yang terdapat dalam internet. Adapun data yang dapat dikumpulkan adalah data yang terkait dengan tradisi nujuh bulanan dan beberapa teori lain yang berkaitan.

Tahap kedua yaitu analisis data, dimana penelitian ini menggunakan teori utama semiotika Triadic dari Charles Sanders Pierce yang membahas sign, object dan interpretant. Nantinya tahap ini akan dipenuhi oleh tabel pendukung yang berisikan oleh sign yang merupakan tradisi nujuh bulan itu sendiri, object yang merupakan manusia sebagai pelaku tradisi nujuh bulanan dan interpretant yang merupakan interpretasi atau pemaknaan dari tradisi nujuh bulanan dan pelaku tradisi tersebut.

Tahap ketiga merupakan tahap terakhir yang berisikan pemaparan dari hasil analisis, tahap ini juga dapat berbentuk kesimpulan yang didalamnya memuat jawaban atas masalah penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan kajian pustaka yang sudah dilakukan melalui jurnal, makalah, artikel dan media skripsi yang ada di internet, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tradisi nujuh bulanan yang dikenal dengan tingkeban umumnya memiliki tiga tahapan (Putra dkk., 2020). Tahap pertama merupakan pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an ini bertujan untuk mengawali acara nujuh bulanan dan dilaksanakan di malam hari sebelum acara utama dilangsungkan (Wahyuni & Neneng, 2014).

Tahapan ini juga merupakan sebuah perwujudan dari permohonan keselamatan kepada Allah SWT.

agar calon ibu dan anak senantiasa selamat saat proses melahirkan. Tahap kedua merupakan acara utama yaitu memandikan yang sedang mengandung diikuti dengan ngirag yang bertujuan untuk memperbaiki letak bayi yang ada di dalam kandungan (Putra dkk., 2020). Umumnya, tahap kedua ini dilaksanakan pada pagi atau sore hari dengan dihadiri oleh kerabat dekat maupun sanak saudara.

Tahap terakhir merupakan acara dengar kata yang bertujuan agar calon anak kelak menjadi pribadi yang patuh dan senantiasa mendengakan perkataan orang tua (Putra dkk., 2020).

Selain dari tiga tahapan pokok diatas, ada beberapa kegiatan lain yang ikut meramaikan prosesi nujuh bulan masyarakat muslim sunda yang terdapat dalam sebuah video [6]diantaranya:

1. Pengajian

Pengajian ini merupakan sebuah kegiatan keagamaan yang turut andil dalam menyempurnakan tradisi masyarakat setempat, termasuk tradisi nujuh bulanan. Tujuan diadakan kegiatan ini dalam tradisi nujuh bulanan tidak lain meminta dan memohon keselamatan, kelancaran dan kebaikan bagi calon orang tua dan anak. Acara ini dimulai dengan siraman rohani dari tokoh agama setempat yang dikhususkan kepada calon orang tua dan para tamu undangan yang hadir[7]. Nantinya, tamu undangan yang hadir dimintai keikhlasan untuk membacakan ayat suci Al-Qur’an. Adapun ayat yang seringkali dibacakan dalam pengajian nujuh bulanan ini antara lain: Surat Yusuf, Surat Maryam, Surat Lukman, Surat Yasin dan Shalawat Kamilah yang ditutup dengan Do’a Nurbu’at dan Waki’ah.

2. Sungkeman

Sungkeman merupakan kegiatan meminta maaf sekaligus meminta restu kepada kedua orang tua untuk kelancaran dan keselamatan dalam persalinan. Sungkeman ini dilakukan dengan cara mencium tangan kedua orang tua sambil berlutut dihadapannya. Calon ayah dan ibu melakukan sungkeman kepada kedua orang tua dari pihak wanita dan kedua orang tua dari pihak pria [8]

(6)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

3. Siraman

Siraman ini merupakan acara utama dalam tradisi nujuh bulanan, tujuannya adalah menyucikan calon ibu dan bayi baik secara lahir maupun batin agar tidak ada moral yang membebani sang anak di masa yang akan datang [8]. Dalam acara ini disediakan sekar setanam yang nantinya digunakan untuk menyiram wanita yang sedang mengandung. Sekar setanam sendiri merupakan air yang berisikan tujuh aneka ragam bunga seperti mawar, kenanga, daun pandan wangi, kantil dan aneka bunga lain yang sekiranya tersedia dilingkungan sekitar [8]. Ragam bunga tujuh rupa ini melambangkan harapan akan budi pekerti baik yang nantinya dimiliki oleh sang anak agar dapat menyenangkan hati banyak orang. Layaknya bunga di suatu taman yang menarik perhatian dan juga dapat menyenangkan hati, begitulah kiranya harapan yang dilambangkan. Adapun penyiraman sekar setanam ini biasanya dilakukan oleh paraji, orang tua dan kerabat dari wanita yang tengah mengandung. Selain itu bunga yang berfungsi sebagai wewangian menggambarkan harapan agar kelak sang anak dapat mengharumkan nama keluarganya.

4. Ganti Kain

Ganti kain merupakan kegiatan mengganti kain yang dilakukan bersamaan dengan siraman dalam acara nujuh bulanan. Pergantian kain ini dilakukan sebanyak tujuh kali mengikuti jumlah siraman. Dalam prosesnya, pergantian kain ini dilakukan di setiap siraman, oleh karenanya tidak heran jika kain tujuh lapis juga menjadi chiri khas utamanya. Calon ibu akan mengganti kain sebanyak tujuh kali dengan kain batik yang memiliki tujuh motif berbeda. Setiap pergantian kain ini akan diiringi dengan pertanyaan “sudah pantas atau belum?” yang ditujukan kepada para tamu undangan. Nantinya tamu undangan akan menjawab “belum pantas” sampai kain terakhir barulah mendapati jawaban “pantas” dan pergantian kain juga turut di hentikan [8]. Mengenai kain tujuh lapis yang digunakan, pada hakikatnya adalah wanita yang tengah mengandung dibalut kain sebanyak tujuh lapis dengan kain berwarna putih sebagai kain dasarnya. Penggunaan kain berwarna putih ini dimaksudkan untuk melambangkan kesucian bayi yang akan lahir ke dunia dengan diiringi keberkahan dari Allah SWT.. Setelahnya, susunan kain ke-satu sampai ke-tujuh diisi dengan motif-motif terbaik dengan harapan di masa yang akan datang sang anak memiliki kebaikan- kebaikan layaknya lambang kebaikan yang tersirat dalam kain [8]. Adapun motif kain yang seringkali digunakan dalam acara ganti kain ini antara lain: Sidomukti, Sidoluhur, Truntun, Parang Kusuma, Semen Rama, Udan Riris, Cakar Ayam, Lasem dan Dringin [7] Pemberian Bingkisan

Pemberian bingkisan merupakan bentuk terimakasih pihak keluarga kepada tamu undangan yang hadir dalam acara nujuh bulanan. Waktu terkait pemberian bingkisan ini dilakukan setelah acara siraman dan ganti kain selesai dilaksanakan. Bingkisan ini ditujukan kepada orang-orang yang sudah menyiram wanita yang tengah mengandung. Biasanya bingkisan ini berupa bebeutian atau hahampangan dan diletakkan di atas piring yang terbuat dari tanah liat. Bebeutian merupakan lambang harapan agar kelak anaknya menjadi rendah hati dan berbudi pekerti baik. Sedangkan, hahampangan juga merupakan lambang harapan agar kelak anaknya dimudahkan dalam segala urusan termasuk rezekinya [7]. Adapun bentuk dari bingkisan ini dapat berupa souvenir seperti sabun, handuk, sisir, cermin, pensil, benang dan jarum yang berjumlah tujuh dan dibungkus dengan plastik kado [9].

5. Brojolan Telur Ayam

Brojolan telur ayam kampung merupakan rangkaian acara dalam tradisi nujuh bulanan yang memiliki makna tersendiri. Dalam prosesnya telur ayam kampung akan dimasukkan ke dalam kain wanita yang tengah mengandung oleh suaninya melalui perut sampai telur itu menggelinding ke bawah dan akhirnya pecah. Acara ini menjadi simbol pengharapan agar nantinya proses persalinan berjalan dengan lancar tanpa ada halangan [8].

(7)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

6. Brojolan Kelapa Gading

Sama halnya dengan brojolan telur ayam kampung, brojolan kelapa gading ini juga dimaksudkan sebagai bentuk pengharapan akan kelancaran dalam persalinan yang akan datang [8]. Biasanya brojolan kelapa gading ini dilakukan oleh calon nenek dari ayah dan ibu.

7. Belah Kelapa

Belah kelapa merupakan kegiatan membelah kelapa gading yang dilakukan oleh suami dari wanita yang tengah mengandung. Sebelum acara belah kelapa ini dilaksanakan, kelapa gading terlebih dahulu digambar dengan gambar Kamaratih dan Kamajaya atau Sumbadra dan Arjuna [10]. Pemilihan tokoh wayang ini didasarkan pada karakter dari setiap tokoh yang menjadi lambang harapan agar kelak anaknya memiliki karakter yang baik seperti tokoh wayang yang sudah dipilih. Ketika anaknya terlahir sebagai laki-laki maka akan memliki wajah yang tampan serupa Kamajaya atau Arjuna dan menjadi pribadi yang gagah berani untuk membela kebenaran, sedangkan ketika anaknya terlahir sebagai perempuan maka akan memiliki wajah yang cantik srupa Kamaratih atau Sumbadra serta mewarisi sifat setia dan murah hati [7].

8. Rurujakan

Rujak dalam tradisi ini bernama rujak kanistren yang isinya terdiri dari tujuh macam buah. Adapun syarat mutlak untuk buah dalam rujak kanistren haruslah memiliki rasa pahit, manis dan asam. Ketiga rasa ini melambangkan pahit manisnya kehidupan yang nantinya akan dialami oleh anaknya di masa yang akan datang (Hadiati, 2016). Setelah rujak kanistren selesai dibuat, barulah pasangan suami istri ini menjajakan rujaknya kepada tamu undangan yang hadir. Selain tamu undangan, anak anak juga diperkenankan untuk membeli rujak kanistren. Permainan menjajakan rujak dengan anak-anak juga menjadi simbol untuk suami dan istri yang sebentar lagi masa bermain mereka akan berakhir dan beralih status menjadi seorang ibu dan bapak dari anak yang akan dilahirkan (Hadiati, 2016). Alat transaksi yang digunakan untuk jual beli rujak ini bukanlah uang, melainkan genting yang sudah dibentuk bundar menyerupai uang koin. Tapi hal itu tidak menutup kemungkinan uang sungguhan tidak digunakan, pasalnya beberapa kerabat dekat kadang membeli rujak kanistren ini dengan uang sungguhan. Uang hasil berdagang rujak ini nantinya akan dikumpulkan menjadi lambang dari banyaknya rezeki yang akan didapatkan oleh anaknya di masa yang akan datang [9]. Setelah terkumpul, uang hasil penjualan rujak ini akan disatukan dengan uang receh sungguhan dan dimasukkan ke dalam kendi. Nantinya suami dari wanita yang tengah mengandung akan membanting kendi dan membuat uangnya berserakan. Uang yang berserakan ini akan dipungut oleh tamu undangan sebagai wujud dari kedermawanan yang diharapkan nantinya akan dimiliki oleh sang anak [7].

9. Memecahkan Jajambaran

Memcahkan jajambaran merupakan kegiatan terakhir dalam tradisi nujuh bulanan.

Jajambaran merupakan tempat air sisa dari siraman yang ditambahkan uang koin. Nantinya jajambaran yang sudah berisi air dan koin ini akan dibawa oleh suami ke simpang tiga atau pertigaan jalan. Tujuannya adalah agar di masa yang akan datang anaknya akan diberikan kebebasan dalam menentukan hidupnya. Adapun uang koin yang dimasukkan ke dalam jajambaran melambangkan harapan agar di masa yang akan datang anaknya diberi rezeki dan berkecukupan serta memiliki sifat dermawan [7]. Kegiatan dalam tradisi nujuh bulanan mengandung tanda dan makna tertentu, adapun tanda yang terdapat dalam prosesi nujuh bulanan antara lain: pengajian, surat yang dibaca ketika pengajian, sekar setanam, bunga tujuh rupa, kain dasar putih, motif kain tujuh lapis (sidomukti, sidoluhur, truntun, parang kusuma, semen rama, udan riris, cakar ayam, lasem dan dringin), telur ayam kampung, kelapa gading, rujak kanistren dan hahampangan.

(8)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

PEMBAHASAN

1.

Sign

Gambar 1. Golok, Kelapa Gading dan Kepingan Koin

Object Sebuah golok, dua buah kelapa yang sudah digambar tokoh wayang dan beberapa keping koin.

Interpretant

Golok akan digunakan untuk membelah kelapa dalam acara nujuh bulanan.

Dua buah kelapa yang masing-masingnya telah digambar dengan dua tokoh wayang yang bernama Kamajaya dan Kamaratih melambangkan karakter tokoh wayang yang diharapkan kelak akan tertanam dalam pribadi sang anak. Kamajaya memiliki wajah tampan dengan sifat yang gagah, berani dan senantiasa membela kebenaran. Sedangkan Kamaratih memiliki wajah yang cantik dengan sifat rendah hati dan setia.

Kepingan koin terbuat dari genting yang dibentuk bulat sebagai pengganti koin sungguhan, nantinya kepingan koin ini akan digunakan dalam acara rurujakan sebagai sebuah alat transaksi ketika pasangan suami-istri sedang menjajakan rujak.

2. Sign

Gambar 2. Sekar Setanam

(9)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

Object Sebuah kendi berukuran besar yang didalamnya berisi air kembang.

Interpretant

Dinamakan sekar setanam, merupakan air yang berisi ragam bunga tujuh rupa seperti mawar, kenanga, kantil, daun pandan wangi dan berbagai bunga lainnya. Sekar setanam ini nantinya akan digunakan dalam acara siraman dan merupakan salah satu rangkaian prosesi nujuh bulanan.

3.

Sign

Gambar 3. Pengajian

Object Ibu-ibu yang tengah membaca ayat Al-Qur’an

Interpretant

Kegiatan ini dinamakan pengajian, isinya tidak lain adalah pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dilakukan oleh tamu undangan yang hadir dalam acara nujuh bulanan. Tujuan diadakannya pengajian dalam tradisi nujuh bulanan adalah memohon keselamatan dan kelancaran kepada Allah SWT.

terkait persalinan yang sebentar lagi akan dilaksanakan.

4.

Sign

Gambar 4. Sungkeman

Object Seorang wanita yang tengah mencium tangan ibunya sambil meneteskan air mata.

Interpretant Ini merupakan kegiatan sungkeman, dimana suami dan istri

akan meminta restu kepada ayah dan ibunya terkait keselamatan

(10)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

dan kelancaran akan persalinannya kelak. Biasanya, kedua belah pihak akan saling berintropeksi dan memaafkan satu sama lain agar menimbulkan keridhoan yang hakiki. Tak heran, dalam gambar diatas menampakkan keharuan sampai meneteskan air mata.

5.

Sign

Gambar 5. Bunga Tujuh Rupa

Object Seorang pria yang tengah menaruh beberapa jenis bunga ke dalam kendi.

Interpretant

Dalam acara nujuh bulanan, bahan yang harus disiapkan salah satunya adalah bunga sebanyak tujuh rupa yang berfungsi sebagai wewangian. Selain sebagai wewangian, bunga tujuh rupa melambangkan harapan untuk sang anak agar di masa yang akan datang dapat mengharumkan diri sendiri dan keluarganya.

6.

Sign

Object Seorang pria yang tengah menyiramkan air kembang kepada seorang wanita.

Interpretant

Kegiatan ini dinamakan siraman, acara ini konon menjadi acara utama dalam prosesi nujuh bulanan.

Siraman dilakukan sebanyak tujuh kali dengan orang

dan kain yang berbeda di setiap siramannya. Alat yang

digunakan untuk acara siraman ini adalah gayung yang

terbuat dari batok Kelapa.

(11)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

Saat ini, merupakan siraman pertama yang dilakukan oleh suami dai wanita yang tengah mengandung.

Pakaian dasar yang digunakan dalam siraman pertama ini adalah rangkaian bunga melati. Adapun warna putih dari bunga melati ini melambangkan kesucian dari calon bayi yang akan dilahirkan.

7.

Sign

Gambar 6. Siraman dengan Motif Kain Sidoluhur

Object Wanita yang mengenakan kain batik tengah disiram dengan air kembang oleh seorang ibu.

Interpretant

Dalam prosesnya, pergantian kain ini dilakukan di setiap siraman. Adapun kain yang dipilih adalah motif-motif terbaik dengan harapan kebaikan yang juga ikut menyertainya. Kali ini wanita yang tengah mengandung dikenakan kain batik dengan motif sidoluhur. Sido yang berarti kejadian dan luhur yang berarti kemuliaan. Motif sidoluhur ini melambangkan harapan agar kelak keturunanya memiliki kemuliaan dan berbudi pekerti luhur.

8.

Sign

Gambar 7. Motif Kain Cakar Ayam

Object Wanita yang mengenakan kain batik tengah disiram air kembang oleh seorang bapak.

Interpretant

Kain yang dikenakan dalam potret di atas dalah motif cakar

ayam. Dinamakan cakar ayam karena motifnya menyerupai

cakar ayam. Kain motif cakar ayam ini juga memiliki makna

(12)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

filosofis tersenidri. Layaknya ayam yang mengais makanan lewat cakarnya, disertai rasa tanggung jawab terhadap anak- anaknya, membuatnya bekerja keras agar kebutuhannya dapat tercukupi. Hal ini juga menjadi suatu harapan besar orang tua kepada anaknya agar kelak anaknya dapat mengais rezeki lewat tanggung jawab yang dimilikinya, sehingga nantinya sang anak akan dengan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya.

9.

Sign

Gambar 8. Motif Kain Parang Kusuma

Object Wanita yang mengenakan kain batik tengah disiram air kembang oleh seorang ibu.

Interpretant

Dalam potret di atas, kain batik yang dikenakan oleh wanita memiliki motif parang. Motif ini menggambarkan sebuah harapan agar kelak kecerdasan sang anak dapat setajam prang dan ketangkasannya bagai parang yang senantisa dimainkan oleh para pesilat. Nantinya diharapkan anak dapat menjunjung harkat dan martabat kedua orang tuanya serta turut andil dalam mengharumkan nama keluarganya.

10.

Sign

Gambar 9. Motif Kain Udan Riris

Object Wanita yang mengenakan kain batik tengah disiram oleh seorang ibu.

Interpretant

Motif kain yang digunakan dalam potret di atas adalah udan

riris yang berarti hujan gerimis. Dalam motif ini pola batik

garis-garis miring yang disebut lereng berfungsi sebagai

(13)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

lambang kemakmuran dan kesuburan. Artinya motif ini melambangkan sebuah pengharapan besar terhadap anaknya agar kelak memiliki kehidupan yang makmur dan menjadi pribadi yang menyenangkan.

11.

Sign

Gambar 10. Motif Kain Sidomukti

Object Wanita yang mengenakan kain batik sedang dicium oleh salah seorang ibu.

Interpretant

Dalam potrek kali ini, motif kain batik yang digunakan adalah sidomukti. Motif ini memiliki makna tersendiri dan menjadi simbol pengharapan agar bayi yang akan dilahirkan menjadi pribadi yang berwibawa, disegani oleh sekitarnya dan hidup berkecukupan.

12.

Sign

Gambar 11. Brojolan Kelapa Gading

Object Seorang ibu yang tengah memasukkan kelapa ke dalam sarung wanita yang tengah mengandung.

Interpretant

Kegiatan ini bernama brojolan kelapa gading, ini dilakukan

sebelum kelapa dibelah. Dalam prosesnya, kelapa gading

dimasukkan ke dalam kain dan digelindingkan sampai ke

bawah. Kelapa yang menggelinding sampai kebawah

merupakan simbol pengharapan dari lancarnya persalinan yang

akan dilaksanakan dua bulan mendatang.

(14)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

13.

Sign

Gambar 12. Belah Kelapa

Object Seorang pria yang tengah membelah kelapa dengan menggunakan golok.

Interpretant

Belah kelapa ini merupakan satu dari beberapa rangkaian acara dalam tradisi nujuh bulanan. Menurut mitosnya, pembelahan kelapa ini dipercaya dapat meramalkan jenis kelamin dari bayi yang ada dalam kandungan. Sebelumnya ada dua kelapa yang sudah digambar dengan kamajaya dan kamaratih. Bilamana belahan kelapanya lebih besar mengarah ke kamajaya, berarti mitosnya bayi yang ada didalam kandungan akan terlahir sebagai seorang laki-laki. Sebaliknya, jika belahan kelapanya lebih besar dan mengarah pada gambar kamaratih, maka mitosnya bayi yang akan dilahirkan berjenis kelamin perempuan.

14.

Sign

Gambar 13. Brojolan Telur Ayam

Object Seorang ibu yang memegang sebuah telur.

Interpretant

Kegiatan ini dinamakan brojolan telur ayam kampung yang

memiliki makna sama dengan brojolan kelapa gading. Melalui

acara ini, diharapkan persalinan yang akan datang menjadi

lancar tanpa adanya halangan.

(15)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

15.

Sign

Gambar 14. Rujak Kanistren

Object Beberapa rujak bebek yang diletakkan di atas tampah.

Interpretant

Rujak ini bernama rujak kanistren yang khusus dibuat dalam tradisi nujuh bulanan. Rujak ini berisi tujuh macam buah yang masing-masingnya memiliki rasa manis, pahit dan asam.

Penggunaan buah dengan tiga rasa ini menggambarkan pahit manisnya kehidupan yang akan dialami oleh anaknya di masa yang akan datang.

16.

Sign

Gambar 15. Menjual Rujak Kanistren

Object Seorang pria yang tengah menjajakan rujak kepada tamu undangan yang hadir.

Interpretant

Suami dan istri bekerja sama untuk menjual rujak kanistren

kepada tamu undangan yang hadir untuk mendapatkan

kepingan koin sebanyak-banyaknya. Kepingan koin ini

menggambarkan rezeki yang nantinya akan didapatkan anaknya

di masa depan. Kegiatan ini juga menjadi simbol pengharapan

agar nantinya sang anak memperoleh rezeki dan hidup

berkecukupan.

(16)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

17.

Sign

Gambar 16. Jajambaran

Object Kendi yang berisikan uang receh dan air.

Interpretant

Kendi yang berisikan uang receh dan air ini dinamakan jajambaran. Dalam acara sebelumnya air sisa siraman dan uang hasil penjualan rujak kanistren dimasukkan ke dalam kendi.

Jajambaran ini juga melambangkan banyaknya rezeki yang berhasil diperoleh.

Sign

Gambar 17. Memecahkan Jajambaran

Object Seorang pria yang tengah menjatuhkan kendi yang berisikan air dan koin.

Interpretant

Memecahkan jajambaran merupakan nama dari kegiatan yang dilakukan. Dalam prosesnya, suami dari wanita yang tengah mengandung membawa jajambaran yang sudah disediakan sebelumnya ke simpang tiga atau pertigaan jalan. Simpang tiga atau pertigaan ini menyimbolkan kebebasan anaknya di masa yang akan datang atas pilihan hidupnya. Orang tua memberikan kebebasan kepada sang anak untuk memilih jalan hidupnya.

Nantinya, orang tua juga harus mensupport apapun yang telah

dipilih oleh anaknya. Selagi itu dalam keadaan baik, maka tidak

masalah untuk memberikan dukungan dan berbagai fasilitas

yang memadai. Namun, orang tua juga berperan sebagai

penengah dikala jalan hidup yang dipilih oleh anaknya

bertentangan dengan agama maupun adat istiadat setempat.

(17)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

Sign

Gambar 18. Saweran

Object Sekumpulan anak kecil yang tengah memungut koin yang berserakan di lantai.

Interpretant

Potret saweran yang merupakan kegiatan terakhir dalam tradisi nujuh bulanan. Tujuan diadakannya saweran ini adalah membagikan sedikit rezeki yang dimiliki kepada tamu undangan yang hadir. Biasanya yang sering berpartisipasi dalam acara saweran ini adalah anak-anak. Namun, tidak menutup kemungkinan orang tua juga ikut meramaikan acara ini.

KESIMPULAN

Tradisi nujuh bulanan merupakan tradisi yang dilakukan saat usia kehamilan menginjak tujuh bulan. Tradisi ini lahir sebagai wujud syukur sekaligus permohonan agar calon ibu dan bayi diberikan keselamatan, kesehatan dan kelancaran dalam proses persalinan. Acara dalam tradisi nujuh bulanan terdiri dari pengajian, sungkeman, siraman, ganti kain, brojolan telur ayam kampung, brojolan kelapa gading, belah kelapa, menjual rujak kanistren, memecahkan jajambaran, dan pemberian bingkisan. Semua acara yang ada dalam tradisi nujuh bulanan tidak serta merta hanya acara biasa, beberapa diantaranya megandung tanda yang memiliki makna tertentu. Tanda tanda itu seperti kelapa gading yang sudah dilukis gambar Kamajaya dan Kamaratih, bunga tujuh rupa, kain batik tujuh lapis dengan motif terbaik, brojolan telur ayam dan kelapa gading, belah kelapa, rurujakan dan memcahkan jajambaran. Semua tanda ditafsirkan melalui kajian semiotika dan menghasilkan tafsir bahwa lukisan Kamajaya dan Kamaratih menjadi lambang harapan agar anak yang dilahirkan menjadi pribadi yang cantik dan tampan serta memiliki sifat rendah hati, gagah, setia dan berani dalam membela kebenaran; bunga tujuh rupa sebagai simbol harapan agar nantinya anak yang dilahirkan dapat mengharumkan nama keluarganya; tujuh lapis kain dengan motif terbaik dimaksudkan agar anaknya dipenuhi dengan kebaikan; brojolan telur ayam kampung dan kelapa gading merupakan harapan lancarnya proses persalinan; rurujakan meupakan gambaran dari pahit manisnya dunia; dan terakhir adalah memecahkan jajambaran sebagai simbol kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya untuk memilih jalan hidupnya.

Adapun menurut prinsip dasar fungsionalisme, tradisi nujuh bulanan yang ditemukan dalam ranah masyarakat sunda merupakan sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang terjalin erat (dalam hal ini telah dibahas tanda yang terkandung dalam tradisi nujuh bulanan, agama dan sosial).

Unsur-unsur tersebut tidak memiliki fungsi atau makna sendiri, melainkan sangat ditentukan oleh hubungan unsur dalam keseluruhan. Fungsi pada tradisi nujuh bulanan ini memiliki fungsi sebagai

(18)

p-ISSN: 1410-9859, e-ISSN: 2580-8524

kegiatan spiritual yang merekatkan hubungan sosial. Pasalnya, tidak dipungkiri dalam tradisi nujuh bulan dalam masyarakan sunda ini berisikan doa doa dan harapan yang senantiasa turut dipanjatkan.

Selain itu, melalui tradisi nujuh bulanan ini adanya kumpul sosial kerabat dan sanak saudara yang mempererat hubungan sosial serta menjadikan bentuk aktivitas sosial terkait berbagi terhadap sesama, baik berupa rasa suka dan juga materi.

REFERENSI

[1] Juwintan, “Analisis Semiotik Pada Adat Nujuh Bulanan di Cirebon,” 2017.

[2] N. Yuwita, “Representasi Nasionalisme dalam Film Rudy Habibie (Studi Semiotika Charles Saanders Pierce),” 2013.

[3] J. Fiske, “Cultural and Communication studies: Sebuah pengantar paling komprehensif.

Jalasutra.,” 2010.

[4] I. Kristianto, “Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Teori Fungsionalisme. 13.,” 2019.

[5] Rukin, “Metodologi Penelitian Kualitatif,” 2019.

[6] R. W. Planner., “Zaskia Gotik Siraman 7 Bulanan RH Wedding Planner Exlucive.,” 2020.

[7] A. Lestari, “Perancangan Media Informasi Buku Upacara Adat Nujuh Bulanan Suku Sunda. Digital library - Perpustakaan Pusat Unikom - Knowledge Center - WELCOME | Powered by GDL4.2 | ELIB UNIKOM.,” 2019.

[8] Y. Saraswati, “Hukum Memperingati Tingkeban (Tujuh Bulanan Kehamilan) Pada Tradisi Masyarakat Jawa Menurut Pandangan Tokoh Nadhatul Ulana dan Tokoh Muhammadiyah (Studi Kasus di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat),” 2018.

[9] M. Intan, “Kepercayaan Masyarakat Sunda terhadap Tradisi Nujuh Bulanan (Sastra Nusantara, Tradisi Lisan). Minimalism.,” 2014.

[10] M. Mustaqim, “Pergeseran Tradisi Mitoni: Persinggungan Antara Budaya dan Agama.

JURNAL PENELITIAN,” 2017.

Referensi

Dokumen terkait