• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan Faktor - Faktor Penyebab Pernikahan Dini di Pacitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Tampilan Faktor - Faktor Penyebab Pernikahan Dini di Pacitan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

177

FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI DI PACITAN Chennora Putri Elva Sevriana1

Shennoraputri8@gmail.com M. Fashihullisan 2 fashihullisan1983@gmail.com

Heru Arif Pianto3 ariefheru84@gmail.com

Abstrak

Pernikahan dini merupakan suatu fenomena sosial yang kurang sehat karena pernikahan dilakukan pada usia dini atau belum matang. Hal tersebut berdampak secara sosial, ekonomi, pendidikan bahkan kesehatan dan masa depan generasi selanjutnya. Terdapat suatu daerah di wilayah Pacitan yang masih banyak terjadi pernikahan dini sehingga diperlukan akar permasalahan agar tidak terus terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor- faktor yang menjadi sebab masih terjadinya pernikahan dini di Pacitan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik studi kasus pada suatu pernikahan dini yang terjadi di Pacitan. Penelitian dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam pada pelaku pernikahan dini. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2023.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu : 1) faktor putus sekolah, 2) faktor pergaulan bebas, 3) dorongan orang tua dan tradisi, 4) rendahnya motivasi untuk maju, 5) perubahan undang-undang pernikahan, 6) kurangnya memahami prinsip agama, dan 7) faktor lingkungan sekitar.

Kata Kunci: pernikahan dini, faktor

1 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, STKIP PGRI Pacitan

2 Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, STKIP PGRI Pacitan

3 Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah, STKIP PGRI Pacitan

(2)

Pendahuluan

Prevalensi (maraknya) pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur sering terjadi di Indonesia4. Pernikahan yang sehat yang memenuhi kriteria usia calon suami dan calon istri adalah yang memenuhi kriteria usia masa reproduksi sehat yaitu 20-35 tahun karena berkaitan dengan kesehatan reproduksi wanita5. Organ reproduksi lebih cepat matang apabila terjadi proses reproduksi, secara psikososial kisaran umur tersebut wanita mempunyai kematangan mental yang cukup memadai. Resiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi perempuan pada perkawinan dini antara lain aborsi, anemia, prematur, kekerasan seksual, kanker servik, selain itu juga dapat beresiko pada ibu melahirkan, kurang siapnya mental dan psikologi juga dapat menimbulkan masalah peningkatan angka perceraian dan berdampak juga pada sosial ekonomi.

Perspektif remaja terhadap pernikahan dini terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku.

Hal ini dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan perkembangan pola pikir masa depan remaja. Masa remaja sebagai masa yang mempunyai pandangan bahwa dunia sebagai sesuatu yang seakan harus sesuai dengan keinginannya meskipun tidak sebagaimana kenyataannya6. Sementara di Indonesia, pernikahan dini sudah menjadi fenomena nasional, budaya menjadi faktor yang berpengaruh besar terhadap pola kehidupan dalam masyarakat, termasuk dalam pernikahan dini.

Pernikahan Dini

Pernikahan anak merupakan masalah sosial ekonomi, yang diperumit dengan adanya tradisi dan budaya. Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dinggap sebagai aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka kejadian pernikahan pada anak. Realitasnya, pernikahan dini akan menimbulkan dampak bagi pelakunya baik dampak negatif, dan hal yang akan mempengaruhi kehidupan pribadi maupun sosial yang melakukannya. Pernikahan dini tidak menutup kemungkinan bahwa tidak mendatangkan

4Febrianti, Pernikahan Dini dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Studi Kasus di Lombok Timur NTB, (Malang : Ahli Media, 2021), hlm.. 5

5 Dai, Anemia Pada Ibu Hamil, (Pekalongan : NEM, 2021) hlm. 61

6Gunarsa, Dari Anak – Anak Sampai Usia Lanjut, (Yogjakarta : BPK Gunung Mulia, 2004) hlm. 266

(3)

kebahagiaan keluarga, sebagaimana tujuan dari pernikahan itu sendiri, tetapi justru akan mendatangkan mudarat atau kesengsaraan bagi yang menjalaninya7.

Pernikahan dini bukanlah suatu hal yang baru untuk diperbincangkan. Masalah ini sangat sering “diangkat” dalam berbagai seminar dan diskusi. Bahkan sering juga dibicarakan oleh media massa, baik media elektronik maupun non elektronik. Sebab masalah ini merupakan suatu tema yang sangat laris untuk di bicarakan. Maka tidak mengherankan apabila masalah tentang pernikahan dini ini sering dibahas dan mendapatkan perhatian khusus dari kalangan remaja8.

Berbagai asumsi masyarakat mengenai menikah di usia dini ini sering bermunculan, sebagian orang menanggapinya dengan positif namun tidak sedikit pula orang yang menanggapinya secara negatif. Fenomena pernikahan dini ini terjadi akibat dorongan seksual remaja yang tinggi akibat pengaruh lingkungan yang mulai terbuka atau tanpa batas.

Ujungnya secara fisik, remaja akan lebih cepat matang dan dewasa. Tetapi apabila dilihat dari segi psikis, religi, ekonomi, sosial, maupun dalam bentuk kemandirian lainnya, suatu pernikahan dini belum tentu mampu membangun suatu komunal baru yang disebut dengan istilah keluarga, karena berbagai aspek pendukung berkeluarga yang belum mumpuni.

Fenomena pernikahan dini memiliki dampak antar generasi. Bayi yang dilahirkan oleh remaja perempuan yang menikah di usia muda berisiko mengalami kelahiran prematur, berat badan bayi yang rendah, stunting, kekurangan gizi, bahkan bayi berisiko memiliki tingkat kematian lebih tinggi. Hal iti terjadi karena remaja putri di saat kehamilan dan persalinannya masih berada di usia yang sangat muda, dan ketika mereka sendiri memiliki tingkat kekurangan gizi yang lebih tinggi dan pertumbuhan tubuh mereka belum matang.

Pernikahan dini tidak hanya mendasari, namun juga mendorong ketidaksetaraan gender dalam masyarakat.

Pernikahan dini di masyarakat telah menjadi kebiasaan atau tradisi yang sulit untuk dihilangkan. Dalam rangka mengatasi pernikahan dini Pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk pendewasaan usia pernikahan. di Pacitan, berbagai macam faktor dapat mempengaruhi pola pokir remaja, baik itu faktor pendidikan, ekonomi, keluarga, dan lingkungan, sehingga remaja terjerumus ke dalam pergaulan bebas.

7 Tampubolon, Permasalahan Perkawinan Dini di Indonesia, Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol 2 No 5, 2021 hal. 5

8 Fitriana, Efektivitas Penerapan Undang – Undang Perlindungan Anak Terhadap Perkara Dispensasi Nikah Dini di Pengadilan Agama Maros Kelas 1 B, Studi Kasus Tahun 2016 – 2018 (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alaudin Makasar, 2019), hlm. 9

(4)

Anak-anak di wilayah pedesaan yang mulai menginjak usia remaja dididik oleh orang tuanya untuk mulai memahami pekerjaan dan cara menghasilkan uang untuk menopang kehidupan dan meningkatkan taraf ekonomi keluarga di samping menjalankan pendidikan formalnya di sekolah, tanpa disadari kondisi ini secara terus-menerus terpatri dalam diri remaja. Pendidikan seolah-olah bukanlah hal utama bagi anak-anak terutama remaja putri, kondisi ekonomi yang tidak terlalu tinggi menjadikan para remaja ini ingin segera bekerja atau bahkan putus sekolah.

Metode Penelitian

Tahapan-tahapan dalam penelitian ini yang dilakukan adalah meliputi: 1) Tahap observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi, 2) Tahap analisis data yaitu tahap yang dilakukan dengan melakukan trianggulasi data dan analisis data.

Penelitian dilakukan di suatu daerah di wilayah Pacitan dalam lingkung kecamatan.

Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan pelaku pernikahan dini, orang-orang di sekitar pelaku pernikahan dini, pejaat KUA (Kantor Urusan Agama) dan tokoh masyarakat. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan teknik studi kasus yaitu studi kasus pernikahan dini. Penelitian dilakukan pada Januari – Mei 2023.

Hasil Penelitian

Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini di Pacitan Putus sekolah

Berdasarkan data dari lapangan menunjukkan bahwa di wilayah pedesaan Pacitan untuk anak-anak yang sudah tidak sekolah atau putus sekolah maka akan cenderung melakukan pernikahan dini. Dorongan pernikahan dini pada remaja perempuan akan terjadi jika ada laki-laki yang mapan dan berkeinginan untuk melamarnya, itu merupakan suatu kesempatan, meskipun perempuan tersebut masih di bawah umur. Pihak keluarga perempuan pun tidak keberatan, mereka akan menyetujuinya dan memperhitungkan hari baik.

Putus sekolah juga berdampak pada rendahnya pendidikan sehingga menjadikan keterbatasan pengetahuan. Oleh karena itulah kurangnya pendidikan seseorang dapat memicu terjadinya pernikahan dini. Pemahaman yang terbatas terkait seksualitas, serta mereka tidak mengetahui konsekuensi apa yang adakan dihadapi saat melakukan seks pra- nikah atau hamil di luar nikah. Seseorang yang memiliki status pendidikan dasar dan

(5)

menengah cenderung melakukan pernikahan dini dibandingkan seseorang yang mengenyam pendidikan tinggi.

Pergaulan bebas

Faktor pernikahan dini yang paling banyak di tempat penelitian adalah disebabkan oleh hamil di luar nikah. Remaja usia 13-18 paling rawan mengalami kasus hamil di luar nikah.

Data menunjukkan bahwa pendaftaran dispensasi pernikahan ke KUA dalam kondisi hamil tua. Akibat pergaulan bebas anak muda di kalangan masyarakat yang menyebabkan timbulnya perzinahan, sehingga pernikahan harus segera dilangsungkan sebelum kedua mempelai cukup umur, sebagai bentuk pertanggung jawaban dari orang yang melakukan zina tersebut. Data tersebut sesuai daengan hasil penelitian Fashihullisan, dimana pergaulan bebas ini yang nantinya akan memicu free sex, narkoba, hamil diluar nikah, putus sekolah, prostitusi, pernikahan dini dan masih banyak lagi dampak buruk lainnya9.

Data penelitian menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Pacitan pernah mengabulkan pernikahan anak usia 13 tahun dan masih duduk di bangku SMP, dengan kasus hamil di luar nikah. Remaja putri berinisial tersebut terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena dihamili oleh teman seusianya, kemudian dinikahkan di KUA. Beberapa minggu setelah pernikahan remaja tersebut sakit dan keguguran. Oleh karena itu, remaja tersebut terpaksa harus menanggung kesedihan dan kerugian yang amat besar dalam hidupnya. Remaja tersebut harus dikeluarkan dari sekolah saat berusia 13 tahun akibat pergaulan bebas dan hamil di luar nikah, menikah dengan teman seusiannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, lalu keguguran karena sakit akibat organ reproduksinya yang belum siap secara matang untuk mengandung.

Wanita muda yang melakukan hubungan seks pranikah cenderung secara emosional bergantung pada lawan jenisnya, sehingga lebih mudah untuk dimanipulasi. Ketergantungan emosional dapat diminimalkan melalui hubungan emosional antara remaja putri dan figur ayah. Peran orang tua dalam pengasuhan juga menjadi faktor penting dalam pola perilaku seksual remaja. Peran orang tua sebagai pengendali gejolak emosi remaja, menanamkan nilai-nilai moral agama dan sosial untuk membimbing remaja dalam berperilaku sehingga dapat mengembangkan kemampuan anak untuk memutuskan perilaku apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

9 Fashihullisan, Pacitan Dalam Badai Perubahan, Analisis Dampak Pembangunan Jalan Lintas Selatan, (Pacitan : LPPM Press, 2018), hlm. 21

(6)

Dorongan Orang Tua dan Tradisi

Dominasi orang tua biasanya masih kuat dalam menentukan perkawinan anak dalam hal ini remaja perempuan. Pernikahan dini yang terjadi antara zaman dahulu dengan zaman sekarang berbeda. Pernikahan dini dahulu dilatarbelakangi oleh perjodohan oleh orang tua, namun bedanya sekarang, pernikahan dini kebanyakan akibat dari pergaulan bebas, dan parahnya hal tersebut diizinkan oleh orang tua. Selain itu, banyak juga remaja putri yang sudah hamil saat masih sekolah dan sudah tidak sekolah sejak lulus SMP.

Peran orang tua sangatlah penting, orang tua harus berupaya memberikan perhatian terutama kepada anak usia remaja, karena di usia tersebut rentan terpapar pengaruh buruk dari pergaulan bebas. Pendidikan akidah, ibadah, dan akhlakul karimah merupakan hal utama yang harus diajarkan secara serius dan konsisten kepada anak. Pengasuhan dan pendidikan agama dalam keluarga meningkatkan kontrol terhadap perilaku sehari hari, termasuk perilaku pergaulan bebas anak.

Keluarga memegang peranan penting sekali dalam pendidikan akhlak untuk anak.

Pendidikan agama dalam keluarga sangat diperlukan untuk mengetahui batasan-batasan baik dan buruk dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama diharapkan akan mendorong setiap manusia untuk mengerjakan sesuatu dengan suara hatinya. Pernikahan dini dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh keluarga dan masyarakat. Norma-norma yang berlaku di masyarakat sering kali mendorong motivasi seseorang.

Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan adanya kepercayaan kuat tentang mitos “perawan tua”. Seorang tokoh masyarkat menyampaikan tentang tradisi masyarakat yang apabila anak perempuannya sudah berusia 16 tahun ke atas tetapi belum segera menikah maka dianggap sebagai “perawan tua”. Berbagai cara dilakukan orang tua agar putrinya segera menikah, mulai dari memaksa perangkat desa untuk menyederhanakan urusan administras bahkan sampai memanipulasi usia anak-anaknya. Hal tersebut terjadi pada seorang gadis kecil berusia 13 tahun, dimana dalam akta nikah menyatakan bahwa dia berusia 16 tahun meskipun menikah ketika dia berusia 13 tahun.

Sebagian masyarakat masih memandang anak perempuan sebagai warga kelas dua sehingga berdampak pada budaya perkawinan anak perempuan. Alasan ekonomi dan sosial, orang tua ingin mempercepat pernikahan karena mereka percaya bahwa pendidikan tidak penting bagi anak perempuan dan karena ada stigma negatif yang melekat pada perawan tua.

Tidak mudah mengubah budaya dalam struktur sosial yang sudah ketinggalan zaman seperti tradisi pernikahan dini.

(7)

Rendahnya Motivasi untuk Maju

Pernikahan dini di tempat penelitian dilatarbelakangi oleh multi faktor, baik faktor struktural maupun faktor yang berasal dari kapasitas individual, komunitas, maupun sosial-budaya.

Berdasarkan wawancara bersama warga setempat, bahwa anak perempuan memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk menjalani perkawinan di usia anak dibandingkan dengan anak laki–laki. Hal tersebut dikarenakan anak perempuan memiliki motivasi yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki.

Generasi muda di wilayah pedesaan tidak cukup berani untuk bermimpi tinggi, banyak memikirkan batasan dalam meraih mimpi, insecure, akses yang sulit untuk dijangkau, pesimis, dan harapan terakakhirnya adalah menikah. Hal ini didukung oleh pandangan konvensional orang tua yang ingin segera menikahkan anaknya karena takut anak perempuannya dijuluki perawan tua. Orang tua terutama pihak ibu akan merasa khawatir apabila di usia 19 tahun anak gadisnya tidak segera menunjukkan menunjukan calon pasangannya, mereka khawatir apabila anak gadisnya dianggap tidak laku.

Pernikahan dianggap sebagai solusi akhir bagi masa depan remaja perempuan, karena anggapan setinggi apapun pendidikan dan karir, akhirnya juga menikah. Oleh karena itulah daripada harus repot-repot untuk menempuh pendidikan tingi dan berkaris, maka dianggap lebih praktis untuk menikah. Hal inilah yang menjadi salah satu hal dalam rendahnya motivasi untuk maju sebagai faktor terjadinya pernikahan dini.

Perubahan Undang-undang Pernikahan

Tingkat efektifitas dari suatu Undang-Undang yang diberlakukan di suatu tempat dapat diketahui melalui sejauh mana aturan Undang-Undang tersebut ditaati10. Data dari tempat penelitian menunjukkan bahwa sejak diberlakukannya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan justru menjadikan kasus pernikahan dini melonjak.

Revisi Undang-Undang pernikahan, membuat pihak Pengadilan Agama Pacitan mengalami kenaikan kasus pernikahan dini yang cukup signifikan. Salah satu penyebab kenaikan perkara dispensasi nikah yaitu akibat adanya perubahan ketentuan batas usia menikah sesuai undang-undang Nomor 16 tahun 2019 yang meningkatkan batas minimal

10 Rahmawati,dkk, Efektifitas Pembatasan Usia Perkawinan Berdasarkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Nol 3 No. 1 Tahun 2018, hlm. 101.

(8)

184

diperbolehkannya menikah, yakni usia 19 tahun. Pergeseran batas usia minimal tersebut berdampak pada peningkatan permohonan dispensasi pernikahan dini atau bahkan terjadi peningkatan kasus pernikahan dini tidak resmi atau di bawah tangan.

Kurangnya Memahami Prinsip Agama

Pengaruh agama sangat kuat dalam penentuan terjadinya pernikahan dini. Tidak sedikit yang salah paham dalam menafsirkan makna agama serta agama tidak menentukan batasan umur minimal dan maksimal dalam melangsungkan pernikahan. Aturan agama yang selama ini disalah pahami seolah memberikan keabsahan pernikahan di dianggap memberikan kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya.

Kesalahan dalam menafsirkan taaruf dan istilah “menikah untuk menghindari zina”

terjadi juga di tempat penelitian. Banyak pasangan yang salah paham terkait istilah

“menikah untuk menghindari zina” sehingga saat pasangan masih sekolah maka mereka memutuskan untuk menikah secara agama atau nikah di bawah tangan. Hal tersebut bertujuan agar pihak sekolah tidak mengetahui mereka sudah menikah, baru kemudian setelah keduanya lulus SMA akan menikah secara resmi.

Lingkungan Sosial

Nilai-nilai sosial yang dianut pada suatu kelompok masyarakat tentu saja akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu keluarga maupun seseoarang. Nilai di lingkungan sosial yang masih banyak terjadi pernikahan dini maka akan menjadi referensi bagi keluarga di lingkungan tersebut ataupun seseorang di lingkungan tersebut. Lingkungan sosial yang banyak terjadi penikahan dini menjadikan seseorang akan merasa tidak berat untuk melakukan pernikahan dini karena sudah dianggap sebagai suatu kejadian yang wajar dan biasa-biasa saja.

Banyaknya fenomena pernikahan dini di tempat penelitian berdampak pada terus berlanjutnya kejadian pernikahan dini. Remaja yang melakukan pernikahan dini merasa mendapatkan pembenar karena terjadi pada banyak kasus dan bahkan terjadi pada lingkungan sosial terdekat seperti misalnya teman atau bahkan keluarga. Hal ini merupakan suatu fenomena lingkaran setan yang harus segera diputus sehingga tidak melanggengkan terjadinya pernikahan dini.

(9)

Penutup

Hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu : 1) faktor putus sekolah, 2) faktor pergaulan bebas, 3) dorongan orang tua dan tradisi, 4) rendahnya motivasi untuk maju, 5) perubahan undang-undang pernikahan, 6) kurangnya memahami prinsip agama, dan 7) faktor lingkungan sekitar. Faktor yang paling dominan sebagai penyebab pernikahan dini adalah faktor pergaulan bebas. Hal tersebut terlihat dari jumlah kasus pernikahan dini yang paling banyak dilatarbelakangi oleh hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Tampubolon, E. P L., 2021. “Permasalahan Perkawinan Dini di Indonesia”. Jurnal Indonesia Sosial Sains”. Vol. 2. No. 5.

Febrianti. 2021. Pernikahan Dini dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Studi Kasus di Lombok Timur NTB. Cet: 1. Malang: Ahlimedia Press. hlm 5.

Fitriani H. S. “Efektivitas Penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak Terhadap Perkara Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama Maros Kelas 1 B Studi Kasus Tahun 2016- 2018.” (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2019) hlm. 3

Dai, N. F. 2021. Anemia Pada Ibu Hamil. Pekalongan: NEM. Halaman 61

Gunarsa, S.D. 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Cet: 1. Yogyakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 266.

Fashihullisan, M. Mukodi. Sugiyono. 2018. “Pacitan Dalam Badai Perubahan, Analisis Dampak Pembangunan Jalan Lintas Selatan”. Pacitan: LPPM Press STKIP PGRI PACITAN.

Rahmawati,M. Widhiyanti, H.N. dan Sumitro, W “Efektivitas Pembatasan Usia Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 3:1 (Juni 2018): 101.

Referensi

Dokumen terkait

1. Faktor yang melatarbelakangi tingginya pernikahan dini di Kecamatan Silo. Tingginya angka pernikahan dini di Kecamatan Silo Kabupaten Jember ternyata dipengaruhi oleh

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pernikahan dini di Indonesia adalah status pernikahan saat berhubungan seksual