• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan PERLINDUNGAN PELAKU USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MELALUI POLA KEMITRAAN, KEAGENAN DAN DISTRIBUSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Tampilan PERLINDUNGAN PELAKU USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MELALUI POLA KEMITRAAN, KEAGENAN DAN DISTRIBUSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

PERLINDUNGAN PELAKU USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH MELALUI POLA KEMITRAAN, KEAGENAN DAN DISTRIBUSI DALAM

PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN U. Sudjana

Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Indonesia Jl. Dipati Ukur Nomor 35, Coblong, Bandung, Jawa Barat 40132

[email protected]

Naskah diterima: 4 Juli; direvisi: 19 Agustus; disetujui: 30 September

ABSTRAK

Pelaku UMKM dalam pola kemitraan tidak memiliki posisi tawar karena klausula perjanjiannya ditentukan sepihak oleh prinsipal, sehingga pelaku UMKM dirugikan.

Karena itu, kajian ini bertujuan menentukan pelindungan terhadap agen dan distributor sebagai pelaku UMKM melalui pola kemitraan dalam perspektif hukum perjanjian. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dengan tahap penelitian studi kepustakaan menggunakan analisis data normatif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik dan hubungan hukum dalam perjanjian keagenan dan distribusi termasuk diantara perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli, sehingga ketentuan umum KUHPerdata dapat diberlakukan terhadap kedua pola kemitraan tersebut selain ketentuan yang bersifat khusus. Pelaku UMKM dalam pola kemitraan keagenan dan distribusi dalam perspektif hukum perjanjian secara normatif telah mendapat pelindungan karena setiap perusahaan perdagangan nasional yang membuat perjanjian dengan prinsipal barang atau jasa produksi luar negeri atau dalam negeri sebagai agen dan distributor wajib didaftarkan di Kementerian Perdagangan untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran.

Kata kunci: Pelindungan, Keagenan, Distributor, Perjanjian.

(2)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

PROTECTION OF MICRO, SMALL AND MEDIUM ENTERPRISES THROUGH PARTNERSHIP, AGENCY AND DISTRIBUTION PATTERNS

IN THE PERSPECTIVE OF THE LEGAL AGREEMENT U. Sudjana

Faculty of Law, University of Padjajaran, Indonesia

Dipati Ukur Street Number 35, Coblong, Bandung, Jawa Barat 40132

ABSTRACT

The micro, small and medium enterprises actors in the partnership pattern do not have a bargaining position because the agreement clause is determined unilaterally by the principal, so that the micro small and medium enterprises players are harmed.

Therefore, this study aims to determine the protection of agents and distributors as micro small and medium enterprises through the partnership pattern in the perspective of agreement law. The research method was carried out with a normative juridical approach to the research phase of library research using qualitative normative data analysis. The results of the study show that the characteristics and legal relationships in the agency and distribution agreements are included between the lease agreement and the sale and purchase agreement, so that the general provisions of the Civil Code can be applied to both patterns of partnership in addition to special provisions. The MSMEs in the agency and distribution partnership pattern in the perspective of a normative agreement have received protection because every national trading company that makes an agreement with the principal of goods or services produced abroad or domestically as an agent and distributor must be registered at the Ministry of Trade to obtain a Registration Certificate.

Keyword: Protection, Agency, Distributor, Agreement.

(3)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽ A. Latar belakang

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (yang selanjutnya disingkat UMKM) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, UMKM adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara. Meskipun UMKM telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal, dalam hal produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi, permodalan, serta iklim usaha. Untuk meningkatkan kesempatan, kemampuan, dan perlindungan UMKM, telah ditetapkan berbagai kebijakan tentang pencadangan usaha, pendanaan, dan pengembangannya namun belum optimal. Hal itu dikarenakan kebijakan tersebut belum dapat memberikan perlindungan, kepastian berusaha, dan fasilitas yang memadai untuk pemberdayaan UMKM. Sehubungan dengan itu UMKM perlu diberdayakan dengan cara: 1.

penumbuhan iklim usaha yang mendukung pengembangan UMKM, dan 2.

pengembangan dan pembinaan UMKM.1

Upaya untuk pengembangan dan pembinaan dunia usaha dilakukan melalui pola kemitraan, yaitu kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku UMKM dengan Usaha Besar.2 Kemitraan antara UMKM dengan Usaha Besar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip kemitraan yaitu prinsip: saling membutuhkan; saling mempercayai; saling memperkuat; dan saling menguntungkan,3 dan menjunjung etika bisnis yang sehat.

Manfaat etika bisnis dalam kelangsungan perusahaan adalah upaya mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan strategis suatu bisnis dengan tuntunan moralitas dan bertugas melakukan perubahan kesadaran masyarakat tentang bisnis dengan memberikan suatu pemahaman yaitu bisnis tidak dapat dipisahkan dari etika.4

Kemitraan dilaksanakan dengan pola:

1. Inti-plasma;

2. Subkontrak;

3. Waralaba;

4. Perdagangan umum;

5. Distribusi dan keagenan; dan

1 Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

2 Ibid, Pasal 1 angka 13.

3 Ibid.

4 Muslich, Mohammad, Manajemen Keuangan Modern, Analisis Perencanaan dan Kebijakan. Cetakan Pertama, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 60-61.

(4)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

6. Bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti: Bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourching).5

Pola kemitraan melalui keagenan dan distribusi, pada dasarnya tunduk pada hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan, tetapi tidak terlepas dengan hukum positif lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah, Peraturan Pelaksanaannya, dan peraturan yang bersifat teknis yang dikeluarkan oleh kementerian terkait. Dengan demikian, keagenan dan distribusi memiliki karakteristik khusus dan dalam praktek, perjanjian keagenan dan distributor sudah ditentukan formatnya oleh prinsipal secara sepihak dalam bentuk perjanjian baku (kontrak standar) sehingga memungkinkan ada klausula-kausula yang berpotensi merugikan UMKM, padahal berdasarkan hukum perjanjian seharusnya para pihak melakukan negosiasi dengan menerapkan keadilan dan kesetaraan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, rumusan masalah dalam kajian ini adalah

1. Bagaimana karakeristik dan hubungan hukum perjanjian keagenan?

2. Bagaimana Pelindungan terhadap Pelaku UMKM dalam Pola Kemitraan Distribusi dan Keagenan Dalam Perspektif Hukum Perjanjian?

C. Tujuan Penulisan

Kemudian tujuan penulisan ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji karakeristik dan hubungan hukum perjanjian keagenan.

2. Untuk meneliti Pelindungan terhadap Pelaku UMKM dalam Pola Kemitraan Distribusi dan Keagenan Dalam Perspektif Hukum Perjanjian.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu menelaah bahan pustaka atau data sekunder6 melalui pendekatan undang-undang (statute approach), seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta pendekatan konsep (conceptual approach)7 yaitu berkaitan dengan makna keagenan atau distribusi.

Tahap penelitian studi kepustakaan melalui telaahan bahan hukum primer (perundang-undangan), bahan hukum sekunder (menjelaskan bahan hukum primer melalui pendapat para akhli), dan bahan hukum tersier (menjelaskan bahan bukum sekunder melalui seperti kamus atau sumber digital). Analisis data normatif kualitatif yaitu menganalisis melalui norma atau kaidah dan asas tidak menggunakan perhitungan atau rumus statistik.

E. Tinjauan Teoretis dan Yuridis

Menurut Kamus bahasa Indonesia, per·lin·dung·an n, (1). Tempat berlindung; (2). Hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Dalam kaitan

5 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

6 E. Saefullah Wiradipradja, Penuntun Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, (Bandung: Keni Media, 2015), hlm. 28.

7 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Jawa Timur: Bayumedia Publising, 2007), hlm. 300.

(5)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

dengan hukum perlindungan dapat diartikan melindungi “perbuatan” sebagai obyek perlindungan dan “subyek” yaitu pelaku (subyek hukum atau pendukung hak dan kewajiban).

Perlindungan hukum menurut Setiono diartikan “tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia”.8 Sedangkan Muchsin berpendapat bahwa perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah- kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.9 Dengan demikian, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur: a. Kepastian hukum (rechtssicherkeit); b. Kemanfaatan hukum (zeweckmassigkeit); c. Keadilan hukum (gerechtigkeit); d. Jaminan hukum (doelmatigkeit).10

Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria:

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah).

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria:

1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.2.500.000.000,00 (Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah).

Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah:

8 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3.

9 http://digilib.unila.ac.id/6225/13/BAB%20II.pdf, diakses pada tanggal 4 Agustus 2018.

10 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 43.

(6)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (Sepuluh Milyar Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,00 (Dua

Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (Lima Puluh Milyar Rupiah).

Kata agen berasal dari bahasa Romawi yaitu kata “ago” yang berarti tindakan (act),11 agere, agens agentis yang berarti pelaku, kekuasaan, kekuatan atau kewenangan (adoer, force, power).12 Agen merupakan bidang kerja atau profesi yang secara umum belum mempunyal aturan yang baku dan seragam dan dalam setiap negara. Hal ini sering menyebabkan pengertian ataupun ruang lingkup yang sedikit mempunyai perbedaan baik dilihat dari segi peraturan maupun dari segi pandangan para ahli.13

Restatement Pasal 2d ayat (1) memberikan definisi agen sebagai “the fiduciary relation wich result from the manifestation of consent by one person to another that the othershall act on his behalf and subject to his control, and consent by other so to act”.14 Sedangkan Redmond memberikan definisi agen sebagai: “a.

person employed to bring hisprincipaiinto contractualrelations with thirdparties.

Agendoes notcontractonhisown behalf, he does not need to possess full contracrual capacity”.15

Ketentuan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa mengatakan “Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai oleh prinsipal yang menunjuknya” disebut prinsipal yaitu perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai. Prinsipal dibedakan menjadi prinsipal produsen dan prinsipal supplier. Prinsipal produsen adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, berstatus sebagai produsen yang menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal untuk melakukan penjualan atas barang hasil produksi dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.16 Prinsipal supplier adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan

11 Myron G. Hiil. Jr. Howard M. Rossen, Wilton 8. Sogg, Agency and Patnership, (New York: Emanuel Law Outlines, 1999), hlm. 3.

12 Harold Gill Reushhiein, William A. Gregory, The Law of Agency and Patnership), Second Edition, (St.

Paul: West Publishing, Co, 1990), hlm. 2-3.

13 Toto Tohir, “Pengertian dan Kedudukan Agen dalam Suatu Hubungan Hukum (Analisis dalam Hukum Eropa Kontinental, Anglo Saxon, dan Hukum Islam)”, Jurnal Hukum, 2002, hlm. 125.

14 Ibid.

15 Sebagaimana dikutip oleh Toto Tohir, Ibid.

16 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

(7)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

hukum yang ditunjuk oleh prinsipal produsen untuk menunjuk badan usaha lain sebagai agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal sesuai kewenangan yang diberikan oleh prinsipal produsen.17

Menurut Alan Giplin:

Distributor is who has been granted by a company, an exclusive or prefertial right to buy and sell a specific range of its good or service in specified markets.18 Dalam Dictionary of Business and Economic”.

Distributor is an individual of firm selling manufactured products.

Distributor is any individual, partnership, corporation. associalion or other legal relationship which stands between the manufacturer and retail seller in purchases, consignments or contract for sale of consumen goods. A wholesaler jobber or other merchant middlemen authorized by a manufacturer or supplier to sell chiefly to retailers and commercial users.19

Ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2006 mengatakan: “Distributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai”.20 Keagenan atau distributor merupakan pola kemitraan, yaitu kerjasama (perjanjian) dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku UMKM dengan Usaha Besar.

Istilah Perjanjian berasal dari overeenskomst (bahasa Belanda), contract, agreement (bahasa Inggris), contract, convention (bahasa Prancis), pacte, conventie, contractus (bahasa Latin), kontrakt, vertrag (bahasa Jerman), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dikenal sebagai “kontrak” atau “perjanjian”.21 KUHPerdata menggunakan istilah “perjanjian” yaitu suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.22 Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam perjanjian paling sedikit 2 (dua) pihak yang mempunyai hak dan kewajiban karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan prestasi yaitu memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, dan Pasal 1355 NBW menyebutkan bahwa “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu.” Hal ini berarti perjanjian menurut namanya

17 Pasal angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

18 Alan Giplin, Dicrionmy of Teras, (London: ButtterWorth & Co, 1977).

19 Henry Campbell Black M.A, Black's Law Dictionary, Abridged Sixth Edition, 8th reprint, (US: West Publishing Company, 1998), hlm. 427.

20 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

21 F. X. Suhardana, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya, 2008), hlm 8. Lihat juga Maulidiazeta Wiriardi, Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Dalam Kesepakatan Para Pihak Yang Bersengketa Atas Permohonan Intervensi Pihak Ketiga Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hlm. 73 tersedia dari file:///C:/Users/kiki/Downloads/263-369-1-SM.pdf, diakses pada tanggal 8 Agustus 2018.

22 Pasal 1313 KUHPerdata.

(8)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

dikategorikan 2 (dua) yaitu: Perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak bernama). Perjanjian keagenan dan perjanjian distributor merupakan perjanjian tidak bernama (innominat) artinya tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tetapi keberadaannya diakui berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya”

Jo. Pasal 1319 KUHPerdata “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum”. Makna “perjanjian yang dibuat secara sah” merujuk pada Pasal 1320 KUHPerdata tentang 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal.

Agus Sardjono mengatakan pedagang perantara yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) antara lain yaitu: Bursa dagang, makelar, kasir, dan komisioner, ekspeditur, dan pengangkut. Sedangkan pedagang perantara yang tidak diatur secara khusus di dalam KUHD antara lain: Agen, distributor, perwakilan dagang, dan yang sejenisnya.23 Agen dan distributor keduanya sama-sama merupakan pedagang perantara yang menghubungkan antara prinsipal dengan pihak ketiga, baik langsung (agen) maupun tidak langsung (distributor).

Dengan demikian agen dan distributor hakikatnya tunduk pada ketentuan tentang perjanjian penyuruhan (penulis: Pemberian kuasa) (lasgeving),24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam Pasal 26 huruf e hanya menyebutkan bahwa: “Kemitraan dilaksanakan dengan pola: Distribusi dan keagenan”. Selanjutnya, Pasal 31 mengatakan: “Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola distribusi dan keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e, Usaha Besar dan/atau Usaha Menengah memberikan hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil”.

F. Hasil Pembahasan

1. Karakteristik dan Hubungan hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi

Berdasarkan kajian teoritis, dapat disimpulkan bahwa unsur esensial perjanjian keagenan adalah: Perintah; barang dan atau jasa milik prinsipal; wilayah tertentu; dan komisi. Karakteristik dan hubungan keagenan mirip dengan distribusi. Menurut Nathan Weinstock25 dalam komentarnya terhadap transaksi “Sole Distributorship Agreement”, konsep distributorship memiliki karakteristik seperti:

a. Membeli dan menjual barang untuk diri sendiri berdasarkan tanggung jawab dan risiko sendiri;

b. Memperoleh keuntungan berdasarkan margin harga jual dan harga beli;

c. Semua biaya yang dikeluarkan merupakan beban tanggung jawab sendiri;

dan

d. Sistem manajemen dan akuntansi keuangan bersifat otonom.

23 Agus Sardjono, Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 111-118.

24 Ibid., hlm 119.

25 Dennis Campbell & Reinhard Proksch, International Business Transactions, Kluwer, (1998) Page A-5 sebagaimana dikutip oleh Ezra Ridel Moniung, loc.cit.

(9)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

Karakteristik perjanjian distribusi tidak murni merupakan hubungan perwakilan atau pemberian kuasa tetapi juga mirip perjanjian jual beli, sehingga hubungan hukum diantara para pihak adalah distributor sebagai pembeli, dan prinsipal adalah penjual. Distributor membeli barang/jasa kepada prinsipal kemudian oleh karena distributor menjadi pemilik barang/jasa tersebut, oleh distributor barang/jasa tersebut dijual kembali kepada konsumen. Namun ketentuan jual-beli tidak dapat sepenuhnya ditetapkan terhadap perjanjian distributor mengingat konteks dari munculnya adalah mencari keuntungan dan bersifat kontinu (secara terus menerus).26 Alasan munculnya perjanjian ini adalah karena prinsipal tidak terlalu menguasai wilayah yang akan menjadi wilayah pemasaran produknya dan/atau prinsipal membutuhkan pihak lain yang memiliki jaringan bisnis yang luas sehingga sasaran dan target pemasaran produknya segera terealisasi.27 Dengan demikian dalam perspektif hukum perjanjian distribusi termasuk “wilayah abu-abu”, diantara perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian jual beli.

Perbedaan antara agen dan distributor, yaitu:28

a. Dalam perjanjian keagenan, agen bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan dalam perjanjian distributor, distributor bertindak untuk dan atas namanya sendiri;

b. Dalam perjanjian keagenan, barang dan/atau jasa ynag dipasarkan oleh agen adalah bukan milik agen, tetapi milik prinsipal. Sedangkan dalam perjanjian distributor, barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh distributor adalah milik distributor sepenuhnya.

c. Dalam perjanjian keagenan, segala tanggung jawab akibat dari perbuatan hukum agen ditanggung oleh dan dibebankan kepada prinsipal.

Sedangkan dalam perjanjian distributor, segala tanggung jawab akibat dari perbuatan hukum distributor sepenuhnya ditanggung oleh pihak distributor.

2. Perlindungan UMKM melalui Pola Kemitraan: Keagenan dan Distributor

Pola kemitraan keagenan dan distribusi merupakan perjanjian antara UMKM dengan prinsipal yaitu perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa yang dimiliki/

dikuasai.29 Perikatan antara prinsipal dengan agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal barang dan/atau jasa produksi luar negeri harus berbentuk perjanjian yang dilegalisir Notary Public dan surat keterangan dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau Pejabat Kantor Perwakilan Republik Indonesia

26 Ibid.

27 Ibid.

28 Iga Purwanti, Perjanjian Keagenan dan Distributor dalam hukum kontrak tersedia dari http://igapurwanti-fh10.web.unair.ac.id/artikel_detail-71455-hukum%20kontrak-Perjanjian%20Ke-agenan%20dan

%20Distributor.html, diakses pada tanggal 7 Agustus 2018.

29 Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa.

(10)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

di negara prinsipal. Perikatan antara prinsipal dengan agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal barang dan/atau jasa produksi dalam negeri harus berbentuk perjanjian yang dilegalisir Notaris. Dengan demikian, keagenan atau distribusi merupakan perjanjian formal karena memerlukan bentuk khusus, tidak hanya kata sepakat saja. Prinsipal dapat membuat perjanjian hanya dengan satu agen tunggal atau distributor tunggal untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dari suatu merek di wilayah pemasaran tertentu untuk jangka waktu tertentu. Prinsipal dapat membuat perjanjian dengan satu atau lebih agen atau distributor untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dari suatu merek di wilayah pemasaran tertentu di luar wilayah pemasaran agen tunggal atau distributor tunggal. Dalam hal prinsipal membuat perjanjian lebih dari satu agen atau distributor, prinsipal wajib menyebutkan nama- nama agen atau distributor yang telah ditunjuk. Apabila terdapat perjanjian lebih dari satu agen tunggal atau distributor tunggal oleh prinsipal untuk jenis barang dan/atau jasa yang sama dari suatu merek dalam wilayah pemasaran tertentu, maka Surat Tanda Pendaftaran (STP) diberikan kepada pemohon pertama.

Dalam perjanjian keagenan adanya wewenang yang dipunyai oleh agen untuk bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang agen, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Dengan perkataan lain, apabila seseorang agen dalam bertindak ternyata melampaui batas wewenangnya maka harus bertanggung jawab secara sendiri atas tindakan-tindakannya.30 di pihak lain, seorang distributor tidak berhak untuk bertindak untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya sebagai distributor (biasanya “supplier”, atau “manufacturer”).

Seorang distributor akan bertindak untuk dan atas nama sendiri. Oleh karena itu, dalam perjanjian distributor biasanya secara tegas dinyatakan misalnya:

“Except as expressly provided for in this Agreement, nothing here in shall be deemed to create an agency, joint venture, partnership or employment relationship or employment between the parties here to, deemed or cons tried as granting to Distributor any right or authority to assume or to create any obligation or responsibility, ex press or implied for on behalf of, or in th e name of X, or to bind X in any way or manner whatsoever”.31

Seorang prinsipal, misalnya, dapat menunjuk seseorang untuk menjadi agennya dengan hanya mengirimkan surat penunjukan (“letter of appointment”) yang hanya berisi beberapa baris kalimat saja. Agen kemudian membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda telah mengetahui dan menerima adanya penunjukan dirinya sebagai agen dari prinsipal. Ada kalanya, antara prinsipal dan agen dibuat suatu perjanjian yang sederhana yang memuat hal-hal pokok tentang hak dan kewajiban para pihak.

Akan tetapi tidak sedikit juga, para pihak menetapkan hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban ke dalam suatu perjanjian keagenan yang memuat ketentuan secara detail

30 Pasal 1797, Pasal 1801 KUHPerdata. Lihat juga Felix Oentoeng Soebagjo, Beberapa Aspek Hukum dari Perjanjian Keagenan dan Distributor, hlm 27.

31 Ibid.

(11)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

dan terperinci.32 Hal yang penting menurut hukumadalah perjanjian tersebut dibuat berdasarka kesepakatan dan memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Setiap perjanjian yang ditulis dalam bahasa asing wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia33 oleh penterjemah tersumpah dan Perjanjian tersebut paling sedikit memuat:

a. Nama dan alamat lengkap pihak-pihak yang membuat perjanjian;

b. Maksud dan tujuan perjanjian;

c. Status keagenan atau kedistributoran;

d. Jenis barang dan/atau jasa yang diperjanjikan;

e. Wilayah pemasaran;

f. Hak dan kewajiban masing-masing pihak;

g. Kewenangan;

h. Jangka waktu perjanjian;

i. Cara-cara pengakhiran perjanjian;

j. Cara-cara penyelesaian perselisihan;

k. Hukum yang dipergunakan;

l. Tenggang waktu penyelesaian.

Perjanjian keagenan atau distribusi antara pelaku UMKM dengan pelaku usaha besar pada umumnya berbentuk perjanjian baku (kontrak standar), yaitu perjanjian yang klausulanya ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha besar. Di dalam pustaka hukum, ada beberapa istilah yang dipakai untuk perjanjian baku. Dalam Bahasa Inggris, perjanjian baku dikenal dengan istilah standartdized agreement, standardized contrct, pad contract, standart contract dan contract of adhesion.

Dalam Bahasa Belanda istilah perjanjian baku dikenal sebagai standaardregeling dan algemeine voorwaarden. Dalam pustaka Jerman, yang digunakan adalah istilah algemeine geschafts bedingun, standaardvertrag dan standaardkonditionen.

Sedangkan dalam Bahasa Jepang memakai istilah Yakkan, Futsu keiyaku jokan dan gyomu yakkan.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah asing yakni ‘standaard contract’34 yaitu: “baku atau standar” memiliki arti sebagai tolak ukur, yakni pedoman atau patokan bagi UMKM dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak pengusaha besar. Dalam hal ini, yang dibakukan adalah model, rumusan dan ukuran. Artinya, tidak dapat diganti atau diubah lagi, karena pelaku usaha besar telah membuat atau mencetaknya dalam bentuk blanko tetap berupa naskah perjanjian lengkap dengan syarat- syarat perjanjian dan syarat- syarat baku yang wajib dipenuhi UMKM.

32 Ibid.

33 Lihat Pasal 31 (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

34 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 56.

(12)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

Abdulkadir Muhammad menyebutkan ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut:35

a. Bentuk perjanjian tertulis;

b. Format perjanjian dibakukan;

c. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha;

d. Konsumen hanya menerima atau menolak;

e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah;

f. Perjanjian baku menguntungkan pengusaha.

Mariam Darus Badrulzaman, ciri-ciri perjanjian baku adalah sebagai berikut:36 a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi)

kuat;

b. Masyarakat sama sekali tidak bersama-sama menentukan isi perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

d. Bentuknya tertentu (tertulis);

e. Disiapkan terlebih dahulu secara massal atau konfektif.

Mariam Darus menyebutkan 3 (tiga) jenis ‘standaard contract’:37

a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu;

b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh Pemerintah terhadap perbuatan- perbuatan hukum tertentu;

c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat bersangkutan.

Bentuk Perjanjian baku dengan syarat-syarat baku umumnya terdiri atas:38 a. Dalam bentuk dokumen Merupakan suatu perjanjian yang konsepnya

telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak. Biasanya memuat persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hak-hal tertentu dan atau berakhirnya perjanjian itu.

b. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan dalam perjanjian Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk lain seperti yang termuat dalam berbagai

35 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 89.

36 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di Indonesia, (Bandung:

Alumni, 1980), hlm. 34.

37 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm.

49. Lihat juga Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cet.2, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 69.

38 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), (Jakarta: Diadit Media, 2002), hlm.

95-96.

(13)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan pengumuman yang diletakkan dalam di ruang penerimaan tamu atau dilapangan secarik kertas tertentu yang termuat dalam kemasan atau pada wadah produk yang bersangkutan.

Permasalahan dalam suatu perjanjian baku adalah terdapatnya beberapa klausula dalam perjanjian tersebut yang memberatkan salah satu pihak yang disebut klausula eksemsi (exemption clause), dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah exoneratie clausule atau klausula eksonerasi. Klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam perjanjian yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.39 Sutan Remy Sjahdeini menyebutnya sebagai klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan karena klausul tersebut bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam kontrak tersebut”.40

Klausula eksonerasi atau klausula eksemsi dapat berwujud, antara lain, yaitu:41 a. Pembebasan dari tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pihak

yang lebih kuat kedudukan atau posisi tawar-menawarnya, jika terjadi ingkar janji (wanprestasi);

b. Pembatasan jumlah dan cara ganti rugi yang dapat dituntut oleh satu pihak yang lebih lemah kedudukan atau posisi tawar menawarnya;

c. Pembatasan waktu bagi pihak yang lebih lemah kedudukan atau posisi tawar-menawarnya, untuk dapat mengajukan gugatan atau menuntut ganti rugi.

KUHPerdata sesungguhnya menjelaskan tentang klausula eksonerasi yaitu pada Pasal 1493 yang menyatakan bahwa kedua belah pihak, dengan persetujuan- persetujuan istimewa boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undangundang ini dan bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung sesuatu apapun.42

Dalam Pasal 1320 Jo. 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: “1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3.

Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal”. Hal tersebut merupakan syarat dari suatu kebebasan berkontrak. Perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar asas tersebut, karena pihak konsumen masih diberikan kesempatan untuk memilih menyetujui atau menolak perjanjian, Namun, dalam Pasal 1337 KUHPerdata juga jelas dinyatakan bahwa setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Ahli hukum Indonesia Mariam Darus

39 Munir Fuady, o.p cit., hlm. 98.

40 Ibid.

41 Ibid.

42 Danty Listiawati, “Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Standar dan Perlindungan Hukum bagi Konsumen,” Jurnal Privat Law, Edisi 7, 2015, hlm. 128.

(14)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

menyatakan bahwa perjanjian baku bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam perjanjian baku kedudukan pelaku usaha terlihat lebih dari kedudukan konsumen. Hal ini dapat menyebabkan peluang bagi pelaku usaha dalam menyalahgunakan

Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan bahkan tidak sedikit yang melimpahkan kewajiban pada konsumen, oleh karenanya hal ini perlu ditertibkan.43 Sedangkan Sutan Remy Sjahdeni berpendapat dalam kenyataannya KUHPerdata sendiri memberi batasan-batasan terhadap asas kebebasan berkontrak. Seperti ketentuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan lain yang dinyatakan dengan undang-undang. KUHPerdata juga menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog). Ketiga alasan ini dimaksudkan sebagai pembatasan atas asas kebebasan berkontrak. Sutan Remy Sjahdeni menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak ini maka diperlukan campur tangan melalui undang-undang dan pengadilan, karena seperti yang disebutkan bahwa perjanjian baku ini bersifat “take it or leave it” sehingga tidak ada tawar-menawar dalam menentukan isi perjanjian. Karenanya menurut Mariam Darus perjanjian baku ini tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 Jo. Pasal 1338.44

Dalam hal ini faktor yang menyebabkan perkembangan perjanjian baku antara lain adalah:45

a. Faktor hukum: Perjanjian baku lazim dipergunakan di dalam praktek.

yakni karena adanya prinsip kebebasan berkontrak dalam perjanjian dan sebagai upaya untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak karena segala sesuatu persyaratan telah ditentukan dalam bentuk klausula-klausula perjanjian;

b. Faktor ekonomi. karena perjanjian baku dapat dikatakan bersifat lebih efisien, lebih ekonomis sebagai upaya untuk menghemat biaya, waktu dan tenaga;

c. Faktor perkembangan teknologi, juga dapat merupakan penyebab dilakukannya perjanjian dalam bentuk standar, yaitu perkembangan industri yang amat pesat dan semakin lancarnya arus transportasi dan komunikasi.

Perjanjian yang masih berlaku, dapat berakhir atas persetujuan dari kedua pihak sesuai kesepakatan dan ketentuan hukum yang berlaku. Perjanjian yang masih berlaku dapat diakhiri oleh salah satu pihak apabila:

a. Perusahaan dibubarkan;

43 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard), Perkembangannya di Indonesia, (Bandung:

Alumni, 1980), hlm. 78.

44 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Banker Indonesia, 1993), hlm. 34.

45 Ari Wahyudi Hertanto, “Aspek-Aspek Hukum Perjanjian Distributor dan Keagenan (Suatu Analisis Keperdataan)”, Jumal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-37 No. 3 Juli-September 2007, hlm 397.

(15)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽ b. Perusahaan menghentikan usaha;

c. Dialihkan hak keagenan/kedistributorannya;

d. Bankrut/pailit; dan

e. Perjanjian tidak diperpanjang.

Dalam praktek, untuk menghindari kesulitan yang mungkin timbul, para pihak akan merumuskan secara jelas apa saja yang merupakan “events of default” yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk memutuskan perjanjian keagenan/distributor. Biasanya, dikategorikan sebagai “events or defaults” antara lain adalah:46

a. Apabila agen distributor lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan/distributor, termasuk diantaranya kewajiban melakukan pembayaran;

b. Apabila agen/distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan;

c. Apabila para pihak jatuh pailit;

d. Keadaan yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah pengaturan yang jelas tentang apa- apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak setelah dilakukannya pemutusan perjanjian dan apakah pihak yang ingin melakukan pemutusan perjanjian (keagenan), misalnya cukup melakukannya dengan mengirimkan pemberitahuan secara lisan atau tertulis ataukah harus dilakukan melalui pengadilan. Ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan bahwa pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. Dengan perkataan lain, prinsipal yang bemaksud memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya, tidak cukup dengan mengirimkan pemberitahuan tertulis. Untuk itu, prinsipal harus mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri yang berwenang dan menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkannya melakukan pemutusan perjanjian keagenan.

Dalam praktek, untuk menghindari prosedur tadi, para pihak dengan tegas menyatakan di dalam salah satu pasal perjanjiannya bahwa untuk maksud perjanjian keagenan, para pihak setuju untuk mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata. Dengan disampingkannya Pasal 1266 KUHPerdata, maka para pihak dalam perjanjian keagenan atau distribusi dapat melakukan pemutusan sesuai dengan perjanjian.47

Apabila pemutusan perjanjian sebagai agen tunggal atau distributor tunggal yang diikuti dengan penunjukan agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal yang baru oleh prinsipal sebelum berakhirnya masa berlaku STP, maka kepada agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal yang baru dapat diberikan STP setelah tercapainya penyelesaian secara tuntas (clean break). Jika pemutusan perjanjian secara sepihak oleh prinsipal tidak diikuti dengan penunjukan

46 Felix Oentoeng Soebagjo, o.p cit., hlm. 30-31.

47 Ibid.

(16)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal yang baru, maka prinsipal wajib terus memasok suku cadang kepada agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal yang lama paling sedikit dua (2) tahun untuk menjaga kontinuitas pelayanan purna jual kepada pemakai barang tersebut. Apabila dalam jangka waktu tiga (3) bulan sejak dilakukan pemutusan perjanjian belum tercapai penyelesaian secara tuntas (clean break), maka sementara penyelesaian secara tuntas tetap diusahakan, STP dinyatakan tidak berlaku dan prinsipal dapat menunjuk agen, agen tunggal, distributor atau distributor tunggal yang baru.

Perselisihan antara kedua pihak dalam melaksanakan perjanjian diselesaikan dengan cara: a. Sesuai dengan isi perjanjian; b. Musyawarah; c. Arbitrase; d.

Pengadilan sesuai hukum yang dipergunakan, atau melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (di luar pengadilan) dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.48

Pembinaan UMKM melalui pola kemitraan keagenan dan distributor mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Menteri dan Menteri Teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan UMKM melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Ketentuan ini bertujuan mendorong pelaku usaha besar untuk berperan aktif, sehingga pola kemitraan berkembang sesuai dengan kebijakan pemerintah, tetapi perlu dinformasikan juga kepada pelaku usaha besar, jenis insentif yang dapat diterima sebagai bentuk penghargaan.

Perjanjian kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang sekurang- kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan. Perjanjian kemitraan dilaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar kemandirian UMKM serta tidak menciptakan ketergantungan UMKM terhadap Usaha Besar.

Ketentuan ini dapat efektif apabila mekanisme pengawasan dari pemangku kepentingan seperti instansi pemerintah terkait, KADIN dan lainnya berjalan secara harmonis.49

Usaha Besar dilarang memiliki dan/atau menguasai UMKM sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan Usaha Menengah dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil mitra usahanya.

Dalam melaksanakan kemitraan para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya posisi dominan, yaitu pengambilalihan atau akuisisi yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menegaskan bahwa: “Pelaku

48 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

49 Penjelasan selengkapnya, lihat Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010.

(17)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Sebagai tindak lanjut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

G. Penutup

1. Kesimpulan

Karakteristik dan hubungan hukum dalam perjanjian keagenan dan distribusi termasuk diantara perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli, sehingga ketentuan umum KUHPerdata dapat diberlakukan terhadap kedua pola kemitraan tersebut selain ketentuan yang bersifat khusus. Pelaku UMKM dalam pola kemitraan keagenan dan distribusi dalam perspektif hukum perjanjian secara normatif telah mendapat perlindungan karena setiap perusahaan perdagangan nasional yang membuat perjanjian dengan prinsipal barang atau jasa produksi luar negeri atau dalam negeri sebagai agen dan distributor wajib didaftarkan di Departemen Perdagangan untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran.

2. Saran

Pemerintah atau instansi terkait perlu mengawasi pelaksanaan pola kemitraan keagenan dan distribusi yang merupakan perjanjian baku karena klausula tersebut berpotensi merugikan pelaku usaha UMKM.

H. Daftar Pustaka 1. Buku

Campbell, Dennis & Reinhard Proksch. International Business Transactions. Kluwer.

1988.

Darus Badrulzaman, Mariam. Aneka Hukum Bisnis. Cet.2. Bandung: Alumni. 2005.

________________.Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

2001.

________________.Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di Indonesia.

Bandung: Alumni. 1980.

Gill Reushhiein, Harold, William A. Gregory. The Law Ofagency And Patbnership.

Second Edition. St.Paul: West Publishing Co. 1990.

Giplin, Alan. “Dicrionmy Of Teras”. London: Buttterworth & Co. London. 1977.

Ibrahim, Johnny. Teori, Metode Dan Penelitian Hukum Normatif. Malang, Jawa Timur: Bayumedia Publising. 2007.

Ishaq. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

Myron G. Hiil. Jr. Howard M. Rossen, Wilton 8. Sogg. Agency And Patnership. New York: Emanuel Law Outlines. 1989.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni. 2006.

___________.Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Jakarta:

PT. Citra Aditya Bakti. 1992.

Muslich, Mohammad, Manajemen Keuangan Modern, Analisis Perencanaan dan Kebijakan. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.

(18)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

M.A., Henry Campbell Black.“Black's Law Dictionary”. Abridged Sixth Edition.

8th Reprint. Us: West Publishing Company. 1998.

Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar). Jakarta: Diadit Media. 2002.

Remy Sjahdeni, Sutan. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Banker Indonesia. 1993.

Sardjono, Agus. Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: Rajawali Pers. 2006.

Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum), Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004.

Wiradipradja, E. Saefullah. Penuntun Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum. Bandung: Keni Media. 2015.

2. Artikel Jurnal

Listiawati, Danty. “Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian Standart dan Perlindungan Hukum bagi Konsumen”. Jurnal Privat Law. Edisi 7. 2015.

Ridel Moniung, Ezra. “Perjanjian Keagenan dan Distributor Dalam Perspektif Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum. Vol.III/No.1/Jan-Mar/2015.

Tohir, Toto. “Pengertian dan Kedudukan Agen dalam Suatu Hubungan Hukum (Analisis dalam Hukum Eropa Kontinental, Anglo Saxon, dan Hukum Islam)”. Jurnal Hukum. 2002.

Wahyudi Hertanto, Ari. “Aspek-Aspek Hukum Perjanjian Distributor dan Keagenan (Suatu Analisis Keperdataan)”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahun ke- 37 No. 3 Juli-September 2007.

3. Perundang-undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. UUD Tahun 1945. Naskah Asli.

________________.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

________________.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

________________.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

________________.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

________________.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

________________.Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 4. Internet

Http://Jhp.Ui.Ac.Id/Index.Php/Home/Article/Viewfile/150/88. Diakses Pada Tanggal 14 Agustus 2018.

Http://Digilib.Unila.Ac.Id/6225/13/Bab%20ii.Pdf. Diakses Pada Tanggal 4 Agustus 2018.

(19)

∽ Volume 4 ∽ Nomor 2 ∽ September 2019 ∽

Https://Media.Neliti.Com/Media/Publications/81685-Id-Pengertian-Dan-Kedudukan- Agen-Dalam-Suat.Pdf. Diakses Pada Tanggal 6 Agustus 2018.

Http://Repository. Usu.Ac.Id/ Bitstream/Handle/ 123456789/44231/

Chapter%20ii.P;Jsessionid=6c148798bf119824c6a789 DDA8A443BD?seque nce=3. Diakses Pada Tanggal 12 Agustus 2018.

Http://Repository.Unpas.Ac.Id/28420/3/BAB%202.pdf. Diakses pada tanggal 13 Agustus 2018.

Wiriardi, Maulidiazeta.“Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Dalam Kesepakatan Para Pihak Yang Bersengketa Atas Permohonan Intervensi Pihak Ketiga Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, file:///C:/Users/kiki/ Downloads/263-369-1-SM.pdf.

Diakses Pada Tanggal 8 Agustus 2018.

Oentoeng Soebagjo, Felix. “Beberapa Aspek Hukum dari Perjanjian Keagenan dan Distributor”. file:///C:/Users/kiki/ Downloads/Beberapa_Aspek_Hukum_dari_

Perjanjian_Keagenan_dan Distributor_.pdf. Diakses Pada Tanggal 10 Agustus 2018.

Purwanti, Iga. “Perjanjian Keagenan dan Distributor Dalam Hukum Kontrak Tersedia”. Http://Igapurwanti-Fh10.Web.Unair.Ac.Id/Artikel_Detail-71455- HukuM%20kontrak-Perjanjian%20keagenan%20dan%20distributor.Html.

Diakses Pada Tanggal 7 Agustus 2018.

Suhardana, F.X. Contract Drafting : Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Teori keagenan adalah hubungan yang mencerminkan struktur keagenan dasar dari prinsipal dan agen yang terlibat dalam perilaku kooperatif, tetapi memiliki tujuan yang berbeda dan

Lectures with video media used by researchers in information processing involve the sense of hearing and the sense of sight.1 The method of health education or health promotion with