• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab 1

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Tanggung Jawab 1"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanggung Jawab

1. Pengertian Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, sehingga bertanggung jawab merupakan berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, atau menanggung segala sesuatunya sebagai kesadaran dan kewajibannya akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja karena adanya kesadaran atas segala perbuatan dan akibatnya atas kepentingan pihak lain. Tanggung jawab timbul karena manusia hidup bermasyarakat dan hidup dalam lingkungan alam yang mengharuskan untuk tidak berbuat semaunya agar terciptanya suatu keselarasan, keseimbangan, keserasian antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Tanggung jawab bersifat kodrati, sifat yang telah menjadi bagian atau telah mendasar dalam diri atau kehidupan manusia.

Setiap individu memiliki sifat ini. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan

(2)

tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.1

2. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.2

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan (pasal 1365 KUH Perdata), dimana ada empat unsur pokok yaitu:

a) adanya perbuatan;

b) adanya unsur kesalahan;

c) adanya kerugian yang diderita.

Maka secara umum, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.

1 https://www.scribd.com/doc/230389314/Pengertian-Tanggung-Jawab/, diakses pada tanggal 8 februari 2018, jam 02.00 wit.

2 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT Grasindo, 2000, hal. 59.

(3)

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat dianggap selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat.3

c. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Biasanya prinsip ini diterapkan karena:

a) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.

b) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, missal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya.4

d. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip ini sangat disegani oleh para pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen jika diterapkan sepihak oleh pelaku usaha. Jika ada pembatasan

3 Ibid, hal. 61.

4https://kuliahade.wordpress.com/.../perlindungan-konsumen-prinsip-tanggung- jawab/diakses pada tanggal 9 februari 2018, jam 03.00 wit

(4)

mutlak, harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.5

B. Pelaku Usaha:

1. Pengertian Pelaku Usaha

Istilah “Pelaku Usaha” terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut:

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sehubungan dengan hal tersebut Az. Nasution dalam bukunya menyatakan bahwa:

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.6

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai

5 Ibid.

6 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001, hal. 13.

(5)

keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak sebagai berikut:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

Selain hak yang dimiliki oleh pelaku usaha, adapun didalam pasal 7 UUPK, pelaku usaha juga dibebankan pula mengenai kewajibannya yaitu sebagai berikut:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahannya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

(6)

Menyangkut kewajiban pelaku usaha yang kedua, informasi yang benar sangat penting terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.7

3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan sebagai berikut:8

Pasal 8

(1).Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut yang sebenarnnya;

7 Ahmadi Miru, prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Surabaya: Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2000, hal. 141

8Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT.

Rajawali Pers, 2011, hal. 63

(7)

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2). Pelaku usaha dilarang memperdangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3). Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar;

(4). Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini hakikatnya menurut Numardjito yaitu:

(8)

Untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya.9

4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya yang berjudul Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa:

Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, mau tidak mau, kita harus berbicara soal ada tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.10

Seorang konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka dapat menggugat atau meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak yang menimbulkan kerugian di sini yaitu bisa produsen, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, tergantung dari pihak yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Berkaitan dengan hal tersebut Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa:

9 Numardjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 18.

10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. 59.

(9)

Seperti telah disinggung dalam Bab I, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas tentang definisi dari jenis barang yang secara hukum dapat dipertanggung- jawabkan, dan sampai seberapa jauh suatu pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi pelaku usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen.

Hal ini erat kaitannya dengan konsep Product Liability yang banyak dianut oleh negara-negara maju.11

Berdasarkan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka setiap penyedia barang dan/atau jasa memiliki tanggung jawab terhadap konsumen. Hal tersebut diatur pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berikut merupakan pasal-pasal yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan ketentuan yang ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:

Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya

11 Ibid.

(10)

tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, juga menyebutkan bahwa:

Pasal 19 mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.12

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

12 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 65-66.

(11)

Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut maka Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, dalam bukunya mengemukakan bahwa:

Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau gugatan konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan konsumen yang bersangkutan.

Tanggung jawab yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung jawab berdasarkan perbuatan melanggar hukum.

Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang menjual barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau apabila pelaku usaha lain yang melakukan transaksi jual beli dengan produsen, tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh produsen, atau produsen yang bersangkutan telah memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya.13

Berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2,) Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani mengemukakan bahwa:

Jika pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut, maka tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya kepada pelaku usaha lain yang telah melakukan perubahan tersebut.14

Selanjutnya, berkaitan dengan dua pasal lainnya Gunawan dan Ahmad Yani menyebutkan bahwa:

Pasal 25 dan pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab

13 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 155-156.

14 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 67.

(12)

sepenuhnya atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyedia suku cadang atau perbaikan.15

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 27 tersebut merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen, sebagaimana disebutkan oleh Gunawan dan Ahmad Yani dalam bukunya yaitu:

Pasal 27 menyatakan secara jelas bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, jika:

b. Barang tersebut terbukti jika seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

c. Cacat barang timbul pada kemudian hari;

d. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

e. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

f. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibelinya atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.16

15 Ibid.

16 Ibid.., hal. 67-68.

(13)

C. KOSMETIK

1. Pengertian Kosmetik Ilegal

Ilegal artinya tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum, barang gelap, liar, ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan.

Jadi Kosmetik Ilegal adalah produk yang tidak memiliki izin edar dari balai pengawas obat dan makanan yang dibuat di Indonesia maupun luar negeri dan tidak sesuai dengan ketentuan baik itu persyaratan mutu, keamanan, kemanfaatan dan dapat merugikan masyarakat.

2. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik a. Pengertian Pengawasan

Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan yang luas, cenderung kompleks, dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku usaha. Peran serta masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan peredaran kosmetik mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenai pengertian pengawasan yaitu berasal dari kata “awas” yang artinya adalah sebagai berikut:

Awas adalah memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan

(14)

kecuali memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi.17

Terdapat berbagai macam pengertian pengawasan menurut pendapat para sarjana. Menurut Prayudi dalam bukunya Hukum Administrasi Negara, mengemukakan pengertian pengawasan yaitu:

Pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperhatikan.18

Selanjutnya, Saiful Anwar dalam bukunya yang berjudul Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, menyatakan bahwa:

Pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan.19

Dilain pihak, menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John Salinderbo menyebutkan bahwa, pengawasan adalah:

Pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur

17 Ibid.

18 Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal. 80.

19 Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press, 2004, hal. 127.

(15)

pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya rencana-rencana.20

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para sarjana di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan adalah proses kegiatan yang terus-menerus dilaksanakan untuk mengetahui pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, kemudian mengkoreksi apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Selain itu, pengawasan merupakan proses pengkoreksian pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dengan kata lain, hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai mana kegiatan tersebut berjalan atau dilakukan, sehingga mencegah secara dini kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan.

b. Jenis-Jenis Pengawasan

Saiful Anwar menyebutkan bahwa berdasarkan terbentuknya pengawasan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Pengawasan internal yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan atau organ yang secara organisatoris/struktural termasuk dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan yang dilakukan pejabat atasan terhadap bawahannya sendri.

20 Jhon Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen, Jakarta: Sinar Grafika, 1998, hal. 39.

(16)

2. Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang seara organisatoris/structural berada di luar pemerintah dalam arti eksekutif.

Misalnya pengawasan keuangan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).21

Selanjutnya, pengawasan juga dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis dengan tinjauan dari beberapa segi, antara lain:

1. Pengawasan dilihat dari segi cara pelaksanaannya dibedakan atas:

a. Pengawasan langsung

Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara mendatangi atau melakukan pemeriksaan di tempat terhadap objek yang diawasi.

b. Pengawasan tidak langsung

Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung, yaitu dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana ataupun sumber lain. Dokumen- dokumen tersebut bisa berupa:

 Laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun laporan insidentil.

 Surat pengaduan dari masyarakat.

 Berita atau artikel dari media massa.

2. Pengawasan dilihat dari segi kewenangan a. Pengawasan formal

Pengawasan formal adalah pengawasan resmi oleh lembaga-lembaga pengawasan maupun oleh aparat pengawasan yang mempunyai legalitas tugas dalam bidang pengawasan.

b. Pengawasan non formal

Pengawasan non formal adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Pengawasan ini sering juga disebut sosial kontrol (social control), misalnya pengawasan

21 Saiful Anwar, Op. Cit, hal. 127.

(17)

melalui surat pengaduan masyarakat melalui berita atau artikel di media massa.22

Pengawasan menurut waktu pelaksanaannya dalam buku Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, disebutkan sebagai berikut:

a. Pengawasan Preventif

Pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dimulai.

Pengawasan ini antara lain dilakukan dengan mengadakan pemeriksaan dan persetujuan rencana kera dan rencana anggarannya, penetapan Petunjuk Operasional (PO), persetujuan atas rancangan peraturan perundangan yang akan ditetapkan oleh pejabat/instansi yang lebih rendah. Pengawasan ini bersifat preventif dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, kesalahan, terjadinya hambatan dan kegagalan.

b. Pengawasan yang dilakukan selama pekerjaan sedang berlangsung

Pengawasan ini dilakukan dengan tujuan membandingkan antara hasil yang nyata-nyata dicapai dengan yang seharusnya telah dan yang harus dicapai dalam waktu selanjutnya. Demikian pentingnya pengawasan ini, sehingga perlu dikembangkan sistem monitoring yang mampu mendeteksi atau mengetahui secara dini kemungkinan-kemungkinan timbulnya penyimpangan-penyimpangan, kesalahan-kesalahan dan kegagalan.

c. Pengawasan Represif

Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan pada akhir kegiatan atau pengawasan yang dilakukan setelah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.23

22 http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/12/01/monitoring, diakses pada tanggal 12 Maret 2018.

23 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Ed ke III, Cet ke IV, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997, hal 162.

(18)

Sebagai langkah awal dari pengawasan tersebut, pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab karena dengan pengawasan yang terarah dapat mencegah kemungkinan buruk yang akan terjadi atau yang tidak diinginkan. Disamping itu juga perlu dikembangkan pengawasan berbagai bidang atau sektor di daerah yang lebih konsisten.

c. Fungsi, Sasaran dan Tujuan Pengawasan

Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan dan kegiatan pelaksanaanya. Kegiatan pengawasan bermaksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah kegiatan tersebut dilaksanakan. Keberhasilan dalam kegiatan pengawasan peredaran kosmetik perlu dipertahankan atau ditingkatkan, sebaliknya setiap kegagalan dalam kegiatan tersebut harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya baik dalam menyusun rencana pengawasan atau pelaksanaannya.

Untuk itulah, fungsi pengawasan dilaksanakan agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat penyimpangan pada kegiatan peredaran kosmetik sebelum menjadi lebih buruk.

Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari pengawasan peredaran kosmetik adalah sesuatu yang telah direncanakan terlebih dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana semula dan apakah

(19)

tujuannya telah tercapai. Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah institusi atau departemen yaitu untuk menilai kinerja suatu institusi atau departemen dan untuk memperbaiki kinerja sebuah institusi atau departemen. Oleh karena itu, dalam setiap institusi atau departemen mutlak, bahkan rutin adanya sistem pengawasan. Dengan demikian, pengawasan merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada suatu instansi atau departemen untuk mencapai tujuannya.

Berbicara mengenai arti pengawasan, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan peran pemerintah. Supaya peredaran kosmetik di masyarakat dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaknya diperlukan pengawasan yang lebih efektif disamping untuk mengendalikan peredaran kosmetik ilegal. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pusat dalam hal melakukan pengawasan di daerah dengan melakukan pelimpahan bidang pengawasan ini kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Balai Pengawas Obat dan Makanan atau dinas-dinas terkait yang ada disetiap daerah.

Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pengawasan, yaitu sebagai berikut:

(20)

(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.

(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan dari Pasal 30 undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

Ayat (2)

Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.

Ayat (3)

Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.

Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan

(21)

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

Ketentuan Pasal 30 tersebut cukup menjanjikan bagi upaya perlindungan konsumen yaitu melalui masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat di samping pemerintah sendiri melalui menteri yang terkait dengan dalam bidangnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa:

Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 undang-undang tersebut, juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya.

Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

(22)

Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.24

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menghubungkan hal tersebut di atas dengan penjelasan Pasal 3 ayat (3), sebagai berikut:

Pengawasan yang dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha tersebut menuntut upaya pemahaman

24 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 185.

(23)

dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang menjadi hak- haknya menjadi sangat penting. Upaya yang dimaksudkan ini, bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat (konsumen) pada umumnya, khususnya tingkat pendidikan yang masih rendah yang sekaligus mempengaruhi tingkat kesadaran hukumnya.25

Hakikat pengawasan itu sendiri menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia yaitu:

Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas- tugas organisasi.26

Selanjutnya disebutkan juga mengenai sasaran pengawasan yaitu sebagai berikut:

Sebagai bagian dari aktivitas dan tanggung jawab pimpinan, sasaran pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi.27

25 Ibid, hal. 185-186.

26 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Op.Cit, hal. 162.

27 Ibid.

(24)

Menurut Sukarno pengawasan tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan.

b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan sesuai dengan instruksi serta asas-asas yang telah diinstruksikan.

c. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan- kelemahan dalam bekerja.

d. Untuk mengetahui segala sesuatu apakah berjalan dengan efisien.

e. Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan kearah perbaikan.28

Berkaitan dengan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengawasan bertujuan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi agar nantinya dapat menjadi pedoman untuk mengambil kebijakan guna mencapai sasaran yang optimal. Mengawasi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan, ketelitian, kepandaian, bahkan harus disertai dengan pengalaman.

28 Sukarno K., Dasar-Dasar Managemen, Jakarta: Miswar, 1999, hal. 105.

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha jasa laundry, untuk mengetahui pertanggungjawaban yang diberikan pelaku