PENDAHULUAN
Rumusan Masalah
Tulisan ini akan fokus pada bagaimana pemikiran al-Ghazālī dan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf, apa pendapat al-Ghazālī dan Ibnu Taimiyyah tentang hukum Islam, apa saja persamaan dan perbedaan pemikiran al-Ghazālī dan Ibnu Taimiyah.
Manfaat Penelitian
Teori Mutakhir
Falsafah,17 dan pendidikan, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Edi Kurnanto dalam karyanya yang bertajuk Pendidikan dalam Pemikiran al-Gazālī.18 Ahli akademik lain mengkaji pemikiran Ibn Taimiyah dari beberapa perspektif, termasuk Qamaruzzaman dari sudut politik dalam karyanya yang bertajuk Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, 19 Fasiha dari sudut ekonomi dalam karyanya yang bertajuk Pemikiran Ekonomi Ibn Taimiyah,20 Wahyu Wibisana dari sudut kewangan awam dalam karyanya yang bertajuk Pendapat Ibn Taimiyah tentang Kewangan Awam.21 Ahli akademik lain telah mengkajinya dari sudut pandangan. hukum Islam sebagaimana dilakukan pengarang Muhammad Syaikhon dalam karyanya bertajuk Pemikiran Hukum Islam Ibu Taimiyah,22 Yasin Jetta dalam karyanya yang berjudul Pemikiran Ibu Taimiyah Mengenai Hukum Islam,23 dan Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata dalam karya mereka yang berjudul Pemikiran Ibn Taimiyah Tentang Syariah. ah sebagai Tujuan Tasawuf.24 Sebahagian ahli akademik mengkaji pemikirannya tentang tasawuf, seperti yang dilakukan oleh Durian dalam karyanya yang bertajuk Pandangan Tasawuf Ibn Taimiyah dalam kitab Al-Tuḥfat Al-Irāqiyyah Fī Al-A'māl Al-Qalbiyyah. 25. 24Izzuddin Washil dan Ahmad Khoirul Fata, "Pemikiran Ibn Taymīyah Mengenai Syariat Sebagai Tujuan Tasawuf," Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 7, no. 25Duriana, "Pandangan Ibn Taimiyah Terhadap Tasawuf dalam Al-Tuḥfah Al-Irāqiyah fī Al-A'mal Al-Qalbiyah," Al-Fikr 17, no.
Metode Penelitian
Sumber Ajaran Tasawuf
Kaum sufi dalam arti tertentu dipengaruhi oleh kehidupan spiritual yang dianut Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan ajaran yang tertulis dalam teks Al-Qur'an. Al-Qur'an mengajak umat manusia untuk hidup dalam asketisme dan berpaling dari glamornya kehidupan duniawi. Selain itu Al-Qur’an juga menyatakan bahwa hakikat kehidupan dunia adalah sebagai permainan dan kesenangan dan akhirat adalah kekal (Ay.
Al-Qur'an menjelaskan berbagai konsep tasawuf, antara lain tata cara zikir, kontemplasi, ibadah dan bangun malam (sholat magrib) dalam (Vs. Al-Imran, konsep ṣabr. Al-Hujurat. Selain itu, berbagai ayat Al-Qur'an menyentuh konsep-konsep tasawuf lainnya antara lain murāqabat, tawbat, khawf, raja', syukur, tawakkal. Dengan demikian materi tasawuf yang merupakan asupan makanan rohani para sahabat berasal dari Al-Qur'an.
Sejarah Perkembangan Tasawuf
Pada fase ini para ahli zuhud masih mengamalkan kehidupan spiritual yang dianut pada abad I-II Hijriah, tanpa adanya sistem yang mengikat dan mempersatukan mereka dalam suatu teori, konsep dan mazhab. Pada fase ini, kaum sufi terbentuk menjadi kelompok-kelompok tarekat yang masing-masing tunduk pada sistem tertentu. Ringkasnya, tasawuf pada abad III-IV Hijriah mempunyai dua ciri khas; Pertama, tasawuf Sunni yang mendasarkan teori dan konsepnya pada Alquran dan Hadits.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa tasawuf beraliran Sunni memenangkan pertarungan gagasan pada masa itu dan menyebar secara masif dalam waktu yang relatif lama.72 Tasawuf pada fase ini muncul sebagai aktivitas para sufi yang diekspresikan dalam bentuk gerakan-gerakan tarekat yang berasal dari Alquran dan hadis yang menekankan aspek asketisme. Seperti namanya, tasawuf pada tahap ini terkontaminasi dengan filsafat-filsafat yang berasal dari Yunani, Persia, India, dan Kristen. Tasawuf muncul pada fase ini sebagai gerakan sosial keagamaan yang berkontribusi dalam menyikapi permasalahan sosial kenegaraan dengan penekanan pada aspek eksoteris.
MENGENAL BIOGRAFI DAN SETING
Ayahnya meninggal dunia ketika Ibn Taimiyah berumur 21 tahun dan dimakamkan di tanah perkuburan ulama sufi. Izz al-Din Ibn 'Abd al-Salām, Ibn Taimiyah dan Muhy al-Din al-Nawawiy. Ibnu Taimiyah pernah dituduh berfahaman mujassimah (meyakini bahawa Tuhan mempunyai tubuh seperti makhluk) dan musyabbihah (meyakini Tuhan itu seperti makhluk).
Hal ini kemudian memposisikan Ibnu Taimiyah sebagai ulama yang dicerca dan dituduh melakukan tuduhan tak berdasar oleh orang-orang yang berbeda pandangan. Hal ini bermula dari diajukannya gugatan oleh beberapa pihak yang mempunyai pendapat berbeda mengenai kepribadian Ibnu Taimiyah. Sebagaimana diutarakan Ibnu Taimiyah: “Ketika bid'ah, kemunafikan dan maksiat merajalela, musuh dengan mudah menguasai umat Islam.”
PEMIKIRAN AL-GAZĀLĪ DAN IBN
Tasawuf dalam Perspektif Ibn Taimiyah
229 Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci. 234 Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah kalian semua, hai orang-orang yang beriman bahwa kalian akan beruntung. Ibnu Taimiyah dengan keras menentang orang-orang yang tidak bisa membedakan antara menyerah dan bermalas-malasan, karena istirahat membuat seseorang tunduk dan tunduk pada takdir dan akibat yang ditimbulkannya.
Ibnu Taimiyah menghimpunkan pendapat orang yang ditimpa musibah kemudian mereka menangis bersama orang yang ditimpa musibah kemudian mereka tidak menangis. Sabar dengan menahan diri dari maksiat adalah kesabaran orang-orang yang bertakwa dan para Wali Allah. Tahap Maḥabbah (cinta) terbahagi kepada dua, pertama, al-Muqtaṣidūn, iaitu tahap orang yang cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain.
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Ibnu Taimiyah memahami mahabbah (cinta) secara luas mencakup seluruh umat beriman. Ibnu Taimiyyah membenarkan hal ini dengan mengatakan bahwa jika orang-orang yang zalim mengetahui ketika mereka melihat azab (di hari kiamat), bahwa segala kekuasaan adalah milik Allah dan Allah sangat keras azabnya (pasti mereka akan bertaubat). Jihad disebutkan dalam Al-Qur'an, sebagaimana difirmankan oleh Allah (Ks.at-Taubah), Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa itu adalah ancaman bagi orang-orang yang mengutamakan keluarga dan harta di atas Allah, Rasul dan jihad.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. . beberapa ibadah) tidak berfaedah. Kedua, ashab al-Jamīn ialah orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah yang wajib. Sekumpulan besar orang terdahulu dan sekumpulan kecil orang terkemudian.
Kemungkinan lainnya adalah orang yang intuitif (seorang sufi dalam proses spiritualnya) melupakan dirinya sendiri dan fokus ingatan serta perhatiannya adalah al-Ḥaqq (Allah) yang Maha Esa. Hal ini juga bisa dijadikan pembenaran bagi orang-orang yang mengaku kenabian atau klaim kebenaran lainnya. Al-Gazālī mengatakan bahwa persatuan hanya dapat timbul dalam hati orang-orang yang dapat memanfaatkan al-Kasyf.
PEMIKIRAN AL-GAZĀLĪ DAN IBN
Al-Ittiḥād
Al-Itihad merupakan pernyataan adanya dua wujud (eksistensi) yang terpisah satu sama lain namun bersatu dalam kesatuan. Al-Ittihad menurut Badawi dalam karyanya Syaṭahāt al-Ṣūfiyah yang dikutip Harun Nasution adalah suatu tingkatan dalam tasawuf dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan; suatu tingkat dimana sang kekasih dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lain dengan kata-kata: Halo Aku.326. Penerapan konsep al-ittihad dalam keimanan adalah meyakini bahwa keberadaan haliq (pencipta) dan makhluk (manusia) adalah terpisah dan berbeda, namun keduanya bersatu dalam satu kesatuan.
Konsep al-ittiḥād diubah dalam pemikiran Islam dan tasawuf melalui peran sebagian pengikut sufi. Aliran al-Ya'qubiyah mengatakan bahwa Allah bercampur dengan al-ittiḥād dan melebur menjadi daging dan darah. Ideologi al-ittiḥād bertentangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur'an dan hadis bahkan bertentangan dengan akal manusia.
Kemudian al-Gazālī menyatakan penolakannya terhadap pendapat tersebut dan akhirnya menyimpulkan bahwa al-ittiḥād adalah ideologi yang tidak logis. Aliran pemikiran ini tentu salah ketika mengatakan bahwa tidak mungkin mendamaikan apa yang tidak ada dengan apa yang ada.328. Secara logika tidak mungkin dikatakan bahwa dua substansi yang berbeda, yaitu substansi Tuhan, menyatu dengan substansi manusia.
Hal ini sama dengan mengatakan bahwa Allah membutuhkan makhluk yang menyatu dengan hakikat-Nya. Pernyataan penyatuan (al-ittiḥād) ini jelas bertentangan dengan Islam karena menyatakan bahwa substansi makhluk adalah substansi Allah atau substansi Allah menyatu dengan substansi makhluk. Terlebih lagi, al-ittiḥād bertentangan dengan ajaran Islam karena makhluk berubah (secara dinamis), terkadang dari kesempurnaan menuju ketidaksempurnaan dan terkadang dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan.
Jika pengikut al-ḥulūl meyakini bahwa makhluk adalah bagian dari khalik (Tuhan menyatu dalam makhluk), maka hal ini sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan itu dinamis, yang pada gilirannya mempunyai arti yang sama dengan mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kesalahan.
Paham Wiḥdat al-Wujūd
Imam Gazālī dalam kitabnya al-Mustasyfā memasukkan maṣlaḥah murlah sebagai asas hukum yang bersifat semu dan tidak dapat dijadikan ḥujjah (tidak mempunyai legalitas hukum). Al-Gazālī dalam al-Mustasyfā membedakan antara maṣlaḥah murlah, yaitu pada tataran ḍarūriyāt (primer) dan hājiyāt (sekunder). Maṣlaḥah murlahah pada tingkat ḍarūriyāt (primer) dapat dijadikan landasan hukum, sedangkan pada tingkat hājiyāt (sekunder) dan taḥsīniyāt (tersier) tidak dapat dijadikan acuan hukum.
Dengan demikian, dalam pandangan al-Gazālī maṣlaḥah murlah, tingkat ḍarūriyat (primer) dapat dijadikan hujjah (memiliki legitimasi hukum) sedangkan tingkat lainnya tidak. Pertama: maṣlaḥah murlahah bukanlah dalil yang berdiri sendiri dari prinsip-prinsip rumusan hukum Islam, karena menurutnya merujuk pada kelestarian tujuan pelaksanaan syrah dan hal ini diketahui oleh Al-Qur'an, Hadits. dan Ijma. Selain merujuk pada sumber-sumber hukum yang telah disebutkan di atas, Ibnu Taimiyah juga menggunakan teori maṣlaḥah murlah sebagai asas hukum Islam.
Pada awalnya, Ibnu Taimiyah ragu-ragu tentang prinsip maṣlaḥah mursalah yang digunakan sebagai sumber hukum. Walau bagaimanapun, dalam aplikasi undang-undang yang digunakan, Ibn Taimiyah nampaknya telah menggunakan banyak maṣlaḥah mursalah sebagai prinsip penggubalan undang-undang Islam. Teori maṣlaḥah mursalah yang dikembangkan oleh Ibn Taimiyah tidak dapat dipisahkan daripada pengaruh pemikiran ulama dan mazhab Islam terdahulu.
Imam Ahmad Ibn Hanbal merupakan salah seorang ulama yang paling banyak menggunakan maṣlaḥah mursalah selepas Imam Malik356. Mereka yang meneliti fiqh Imam Ahmad Ibn Hanbal akan mendapati bahawa fatwa beliau sering merujuk kepada maṣlaḥah mursalah, walaupun beliau tidak menjadikannya sebagai asas perundangan yang berdiri sendiri dalam penggubalan undang-undang syariah. Kami memetik prinsip hukum yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim bahawa Imam Ahmad secara istinbath (penggalian hukum) tidak menyebut konsep maṣlaḥah mursalah.
Bahkan ulama mazhab Hanbali maṣlaḥah mursalah menjadikan salah satu prinsip istinbath dan mengadapnya kepada Imam Ahmad Ibn Hanbal.”360.