1Novitasari, 2Purwati Anggraini
1,2Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Bendungan Sutami No.188, Sumbersari, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
e-mail: [email protected]
Diterima 30 Desember 2020 Direvisi 25 Mei 2021 Disetujui 31 Mei 2021 https://doi.org/10.26499/und.v16i2.3253
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) prasangka tokoh terhadap utusan gubernur dalam novel Si Anak Badai karya Tere Liye, 2) dampak prasangka tokoh terhadap utusan gubernur pada novel Si Anak Badai karya Tere Liye. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan psikologi sastra, dengan sumber datanya novel Si Anak Badai karya Tere Liye. Data berupa satuan cerita yang terwujud dalam dialog, paragraf, maupun narasi yang menjelaskan prasangka tokoh terhadap tokoh lain.
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca catat kemudian dikelompokkan dalam tabel. Analisis data menggunakan langkah reduksi data yang meliputi menyeleksi, meringkas, serta menggolongkan data. Hasil penelitian ini adalah: 1) prasangka tokoh terhadap utusan gubernur yang hendak mendirikan secara paksa pelabuhan di kampung Manowa yang terwujud dalam persepsi, kekhawatiran, bahkan tindakan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Manowa, 2) dampak prasangka tokoh terhadap utusan gubernur yang berwujud kemarahan dan juga kenekatan dalam melancarkan pembangunan pelabuhan tersebut.
Kata Kunci: prasangka, perilaku destruktif, novel Si Anak Badai, psikologi sastra.
Abstract: This study aims to describe 1) the prejudice of the characters on the governor's delegation in Si Anak Badai novel by Tere Liye, 2) The impact of the character's prejudice on the governor's delegation in Si Anak Badai novel by Tere Liye. This research is a descriptive qualitative study with a literary psychology approach. The data source is the novel Si Anak Badai by Tere Liye. Data in the form of story units that are manifested in dialogues, paragraphs, and narratives that explain the character's prejudice about other characters. The data collection technique used the reading and notes technique and then grouped them in a table. Data analysis uses data reduction steps which include selecting, summarizing, and classifying data. The results of this study are 1) the prejudice of the figures regarding the governor's delegation who want to forcibly establish a port in Manowa Village which are manifested in perceptions, worries, and even acts of resistance by the people of Manowa, 2) the impact of the figures' prejudice on the governor's delegation who is angry and impetuous in accelerating the construction of the port.
Keywords: prejudice, destructive behavior, Si Anak Badai novel, literary psychology.
1. PENDAHULUAN
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang menggambarkan kehidupan nyata manusia dengan imbuhan bumbu- bumbu imajinasi yang diberikan oleh pengarang demi menambah cita rasa dan juga menjadi strategi tersendiri
dalam menarik minat baca khalayak umum. Novel mengandung cerita yang runtut dan dapat dimanfaatkan untuk memberikan pesan moral seperti pembentukan karakter (Anggraini, 2018, hlm. 1). Novel juga dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca, dengan
membaca novel pembaca mengetahui apa saja yang ada di dalam kehidupan seperti budaya, tradisi, adat ataupun permasalahan yang ada di seluruh belahan dunia tanpa harus datang langsung di tempat itu (Supratno, 2015, hlm. 58).
Dalam kehidupan pasti terdapat berbagai-bagai persoalan di antaranya pertemanan, percintaan, perlawanan, ketergantungan individu pada individu lain, ketidaksukaan antar individu atau kelompok, dan masih banyak lagi. Persoalan- persoalan kehidupan tersebut dapat tercermin dalam sebuah novel. Salah satu persoalan yang banyak dijadikan permasalahan dalam sebuah novel adalah prasangka individu kepada individu, individu kepada kelompok, kelompok kepada individu, maupun kelompok kepada kelompok.
Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri (Lampe & Anriani, 2017, hlm. 21). Suatu prasangka dapat timbul akibat sifat iri, ketidaksukaan, ataupun adanya masalah terdahulu sehingga muncul prasangka negatif terhadap apa saja yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok tersebut.
Dalam sebuah prasangka terkandung motif-motif kecurigaan yang lahir dari subjektivitas individu maupun kelompok terhadap kelompok lain yang kebanyakan munculnya ditandai dengan rasa superioritas dari kelompok mayoritas yang memandang inferior terhadap kelompok minoritas (Hernawan, 2017, hlm. 78). Prasangka memiliki hubungan erat dengan psikologi seseorang. Psikis individu akan berpengaruh terhadap diri invidu untuk berprasangka baik ataupun
buruk kepada orang lain. Prasangka yang diangkat ke dalam sebuah novel memang merupakan kajian yang sangat menarik.
Dalam kehidupan nyata, prasangka terhadap orang lain dengan berbagai-bagai penyebab tidak dapat dijauhkan dari kehidupan manusia. Dengan demikian secara tidak sadar, psikis seseorang sebagai pembaca akan ikut terpancing dalam emosi yang terdapat pada novel tersebut. Selain itu, prasangka juga dapat menyebabkan seseorang melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum, walaupun belum terbukti kebenarannya. Hal itu yang menjadikan prasangka penting untuk dikaji. Untuk mengkaji ini, diperlukan pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra dapat diartikan sebagai gabungan dari ilmu sastra dan psikologi. Dengan demikian, dalam hal ini, psikologi sastra lebih berkaitan dengan tokoh- tokoh dalam karya sastra, dan psikologi pembaca sastra. Prasangka atau prasangka pasti menimbulkan dampak. Dampak tersebut muncul sebagai tanggapan ataupun respon seseorang yang diprasangkai tersebut.
Salah satu karya sastra yang menyuguhkan banyak prasangka seseorang terhadap orang lain adalah novel Si Anak Badai karya Tere Liye.
Di dalam novel tersebut terdapat prasangka tokoh terhadap utusan gubernur. Prasangka tersebut muncul akibat kekhawatiran masyarakat Manowa apabila kampung mereka didirikan pelabuhan oleh utusan gubernur, hidup mereka akan sengsara. Oleh karena itu, cara demi cara, strategi demi strategi masyarakat Manowa lakukan agar kampung mereka tidak diambil alih oleh pihak gubernur yang
merencanakan pembangunan pelabuhan tanpa adanya meminta persetujuan terlebih dahulu dari mereka. Prasangka yang dimiliki oleh tokoh dalam novel tersebut bukan sekadar prasangka dalam hati, tetapi mereka berani mengungkapkan secara terus terang dan juga melakukan berbagai-bagai cara untuk membuktikan bahwa prasangka mereka kepada pihak gubernur selama ini adalah benar. Prasangka tokoh tersebut tidak menggoyahkan utusan gubernur dalam rencana pembangunan pelabuhan, ia semakin berbuat nekat ketika warga berusaha untuk menghalangi pembangunan tersebut.
Pemilihan novel Si Anak Badai sebagai objek kajian karena selain menarik untuk diteliti dari segi prasangka dan perilaku destruktif, novel tersebut merupakan buku keenam dari Serial Anak Nusantara karya Tere Liye. Novel ini berisi tentang kehidupan anak-anak negeri yang kisahnya dapat dinikmati oleh semua kalangan. Novel ini mengandung kearifan lokal yang menceritakan tentang sebuah kehidupan di kampung Manowa, sebuah kampung yang segala aktivitas bahkan rumah, masjid, sekolah pun semua berada di atas air.
Berdasarkan hasil penelusuran, penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai prasangka dan perilaku destruktif tokoh dalam novel Si Anak Badai belum ditemukan.
Namun, topik kajian lain yang menjadikan novel Si Anak Badai sebagai objek penelitian sudah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Pertama, Zahro (2019) mengusung aspek hegemoni kekuasaan yang dituangkan dalam “Hegemoni
Kekuasaan dalam Novel Si Anak Badai Karya Tere Liye: Pendekatan Teori Hegemoni Gramsci”. Hasil pembahasan merujuk pada struktur kelas sosial antara kelas atas dan kelas bawah, serta bentuk hegemoni yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah terdiri dari otoritarisme, foedalisme, dan kapitalisme. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Afrikah dan Setyorini, (2021) dengan judul “Mekanisme Pertahanan dan Konflik Tokoh dalam Novel Si Anak Badai Karya Tere Liye”. Hasil penelitian berupa mekanisme pertahanan dan konflik yang terdapat dalam novel Si Anak Badai meliputi represi, sublimasi, rasionalisasi, pengalihan, reaksi formasi, dan proyeksi. Ketiga, Pujawati (2020) dalam penelitian yang berjudul
“Konsep Pendidikan Karakter Pada Novel Si Anak Badai Karya Tere Liye” dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter Anak Sekolah Dasar membuktikan bahwa adanya keterkaitan antara karya sastra dengan pendidikan karakter anak.
Hasil pembahasan kajian merujuk pada: 1) Konsep pendidikan karakter dalam novel Si Anak Badai mengandung nilai agama, pancasila, dan tujuan pendidikan nasional. 2) Konsep pendidikan karakter yang terdapat dalam novel tersebut memiliki relevansi dengan pendidikan karakter anak sekolah dasar pada nilai religius, jujur, kreatif, rasa ingin tahu, mandiri, menghargai orang lain, bersahabat, tanggung jawab, dan juga peduli terhadap orang lain. Keempat, penelitian dengan judul “Nilai-nilai Sosial dalam Novel Si Anak Badai Karya Tere Liye dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra Siswa SMA”
yang dilakukan oleh Putri et al., (2021). Penelitian ini menganalisis nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel Si Anak Badai yang meliputi nilai cinta, nilai tanggung jawab, dan nilai harmoni kehidupan, serta pemanfaatan sebagai bahan ajar apresiasi sastra siswa SMA yang berangkat dari analisis kompetensi inti dan kompetensi dasar, perumusan kompetensi dasar, penyusunan materi, dan penyusunan alat evaluasi.
Dengan latar belakang di atas, perbedaan dan keunggulan penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang telah ada terletak pada segi fokus kajian. Penelitian ini mengkaji tentang prasangka dan perilaku destruktif tokoh dalam novel Si Anak Badai Karya Tere Liye. Terkait dengan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mendeskripsikan prasangka tokoh terhadap utusan gubernur yang hendak mendirikan secara paksa pelabuhan di kampung Manowa yang terwujud dalam persepsi, kekhawatiran, bahkan tindakan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Manowa, 2) untuk menggambarkan dampak prasangka tokoh terhadap utusan gubernur yang berwujud kemarahan dan juga kenekatan dalam melancarkan pembangunan pelabuhan tersebut.
2. KERANGKA TEORI
Prasangka merupakan salah satu fenomena yang dapat ditemui dalam kehidupan sosial yang disebabkan oleh adanya kontak- kontak sosial antar berbagai individu dalam suatu masyarakat (Soleman, 2016, hlm. 118). Pendapat lain dinyatakan oleh Jones (dalam Alfandi, 2013, hlm. 118), prasangka adalah
sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Dalam sikap prasangka ini, individu atau kelompok yang mempunyai pandangan sama akan cenderung membandingkan dirinya atau kelompoknya dengan orang lain atau kelompok lain. Dalam hal ini, prasangka muncul pada diri individu yang salah satunya disebabkan oleh pengetahuan yang terbatas, belum mengenal secara mendalam atas objek atau orang lain yang dimaksud, atau dapat juga disebabkan oleh lingkungan yang membentuk pemikiran tersebut.
Prasangka dapat dikaitkan dengan perilaku destruktif. Perasaan dan sikap superior yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap orang lain, dapat menimbulkan perilaku destruktif pada orang atau kelompok orang yang dianggap lebih rendah.
Artinya, prasangka ini akan selalu berdampak negatif sepanjang individu atau kelompok orang yang berprasangka tersebut tidak dapat mengendalikan.
Seseorang atau kelompok orang ketika bertemu dengan orang baru, mempunyai kecenderungan untuk melakukan kategorisasi, apakah seseorang yang baru itu sama dengan dirinya atau tidak, apakah pandangannya sama atau tidak.
Kategorisasi inilah yang kemudian menimbulkan superioritas dan pada akhirnya menimbulkan prasangka.
Namun demikian, ketika individu tersebut dapat memegang nilai yang berlaku, maka sebenarnya prasangka ini dapat dihindari dan akan berubah menjadi dugaan yang baik atau mempunyai perasaan netral.
Sebaliknya, ketika rasa superioritas, gengsi, dan ego individu tersebut
terlalu besar, yang terjadi adalah prasangka yang ada pada dirinya akan menimbulkan perilaku destruktif pada orang lain.
Susanto & Kumala (2019, hlm.
106) menambahkan bahwa adanya faktor ekternal dan internal menyebabkan seseorang kadang- kadang merasa kesulitan untuk menentukan dan memutuskan antara perilaku yang baik atau yang buruk.
Faktor terbentuknya psikis seseorang dan lingkungan yang mempengaruhi orang tersebut dapat membentuk sikap seseorang. Ketika seseorang bersikap, sesungguhnya ia sedang menunjukkan eksistensinya yang sangat berarti baginya. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah sikap yang ditunjukkan haruslah tidak merugikan dirinya, orang lain, maupun lingkungannya.
Dengan demikian, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa perilaku destruktif yang muncul pada diri seseorang juga berasal dari stimulus lingkungan sekitar. Untuk itu, perlu adanya pengendalian situasi dan kondisi agar manusia sebagai individu dan juga sebagai masyarakat dapat mengendalikan sikap agar tercipta kedamaian dan kebersamaan.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif ialah prosedur pemecahan masalah dengan cara menggambarkan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak (Siswantro dalam Sembiring et al., 2018, hlm. 163).
Penelitian ini menggunakan konsep dasar teori psikologi sastra karena mengkaji mengenai prasangka tokoh terhadap tokoh lain dalam novel.
Teori yang digunakan ialah teori prasangka dari Ahmadi yang memecah prasangka seseorang menjadi tiga yaitu prasangka kognitif (sikap yang berkaitan dengan segala hal yang ada dalam pikiran), afektif (proses yang menyangkut suatu perasaan seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipasti, dan sebagainya yang ditujukan kepada suatu objek tertentu), dan konatif (suatu kecendrungan untuk bertindak atau berbuat sesuatu terhadap objek tertentu) (Chairani, 2016, hlm. 14).
Data penelitian ini berupa satuan cerita yang terealisasikan dalam dialog, paragraf, maupun narasi tokoh yang menggambarkan wujud prasangka tokoh terhadap tokoh lain dan juga dampak yang timbul akibat adanya prasangka tokoh tersebut. Sumber data penelitian ini adalah novel Si Anak Badai karya Tere Liye yang diterbitkan oleh Republika dengan jumlah 318 halaman.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik baca catat kemudian dikelompokkan dalam tabel. Analisis data menggunakan langkah reduksi data yang meliputi menyeleksi, meringkas, serta menggolongkan data. Reduksi data merupakan kegiatan perampingan data dengan memilih data penting, menyederhanakannya, dan mengabstraksikan (Setiana, 2017, hlm. 218).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dipaparkan hasil analisis prasangka tokoh terhadap tokoh utusan gubernur yang mendirikan pelabuhan tanpa kesepakatan dari rakyat kampung Manowa yang terwujud dalam tiga jenis prasangka yang
meliputi kognitif, afektif, dan konatif, serta dampak yang terjadi akibat adanya prasangka tersebut menjadikan utusan gubernur marah dan semakin berbuat nekad demi kelancaran pembangunan pelabuhan di kampung Manowa tersebut.
4.1. Prasangka Tokoh pada Utusan Gubernur
4.1.1. Prasangka Kognitif
Prasangka kognitif ialah prasangka yang merujuk pada apa yang dianggap benar, seperti persepsi dan keyakinan. Dalam novel Si Anak Badai karya Tere Liye ini terdapat dua prasangka kognitif, yaitu persepsi dan keyakinan. Berikut penjelasannya.
4.1.1.1. Persepsi
Persepsi merupakan proses yang dilakukan oleh individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan informasi dengan tujuan untuk menciptakan sebuah gambaran yang memiliki arti.
Hal tersebut dapat dilihat pada data berikut.
Ode: “Biasanya begitulah.
Namanya tamu penting, pasti terlambat. Kalau dia sudah datang sejak tadi, jadi tidak penting.”
(Liye, 2018, hlm. 80)
Data tersebut menjelaskan bahwa dalam pertemuan yang diselenggarakan, utusan gubernur yang merupakan tamu penting dalam pertemuan tersebut datang terlambat.
Setelah hampir tiga jam warga menunggu keterlambatannya yang disebabkan terjebak jalanan rusak.
Akibatnya, muncullah ocehan demi ocehan yang dilontarkan warga yang merupakan wujud kekesalan mereka dan salah satunya seperti pada data tersebut. Tokoh Ode memiliki persepsi bahwa memang kebiasaan
orang penting datangnya selalu di akhir. Hal tersebut tidak hanya terjadi di pertemuan tersebut, tetapi sudah menjadi kebiasaan atau dapat pula dikatakan sebagai tradisi yang ada hampir di setiap daerah di Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran pakar komunikasi internasional, Lewis, (Hajar, 2013, hlm. 31) yang beberapa puluh tahun lalu menerbitkan buku: When Cultures Collide. Dalam buku tersebut ia menulis bahwa “waktu” di Indonesia bagaikan “kolam tak berbatas” atau biasa disebut dengan “jam karet”. Ketepatan waktu tidak diutamakan.
Sebuah pertemuan dapat molor satu jam bahkan dapat lebih. Orang Indonesia tidak suka bergelut waktu.
Dari penuturan tersebut, dapat dipahami bahwa hampir seluruh orang Indonesia memiliki persepsi atau pemikiran yang sama mengenai waktu. Meskipun Lewis menulis bukunya sudah beberapa tahun yang lalu, tetapi hingga saat ini kebiasaan molor tersebut masih saja berlangsung. Orang Indonesia umumnya tidak suka memiliki tenggat waktu, tidak suka terburu- buru, dan tidak suka memiliki jam- jam khusus sehingga ia seakan-akan diatur.
Dampak dari keterlambatan kedatangan utusan gubernur dapat merusak rencana kerja yang telah disusun dengan baik sebelumnya.
Banyak waktu warga yang terbuang sia-sia, waktu yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk mencari ikan, memperbaiki jalan, menambal perahu dan lain-lain mereka gunakan untuk menunggu keterlambatan kedatangan utusan gubernur tersebut.
Ode : “Dia sepertinya orang baik,”
(Liye, 2018, hlm. 82)
Data tersebut menjelaskan Ode memiliki persepsi bahwa utusan gubernur tersebut merupakan orang baik karena ia melihat ketika utusan gubernur tersebut sampai di pertemuan, ia menangkupkan tangan di depan dada dan dengan ramah memohon maaf kepada warga atas keterlambatannya dan tanpa segan- segan ia bersalaman dengan warga.
Hal tersebut senada dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Supratno, (2015) bahwa terdapat data yang sama mengenai perbuatan menangkupkan tangan di depan dada sebagai tanda ataupun ciri bahwa orang tersebut merupakan orang yang baik dan menghargai orang lain. Data tersebut berbunyi : “ ... My name is Fahri, jawabku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya. ”Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain istri dan mahramnya”. Aku menjelaskan agar dia tidak salah paham.”
Pak Kapten : “Mereka pintar- pintar, sekolah tinggi, semua buku telah dibaca, entah angin laut dari mana yang membuat hilang semua kepintaran itu. Lenyap tak berbekas.” (Liye, 2018, hlm. 96)
Data tersebut muncul ketika warga Manowa sedang bergotong- royong membuat tangga darurat karena jembatan yang biasa mereka gunakan untuk menghubungkan rumah mereka dengan masjid ambruk akibat rapuhnya tiang-tiang penyangga. Hal tersebut mengakibatkan Pak Kapten mengungkit permasalahan beberapa puluh tahun lalu yang juga berhubungan dengan kekuasaan pihak-pihak gubernur yang mengubah hutan kayu ulin mereka
menjadi perkebunan sawit yang hanya menguntungkan pihak gubernur. Kini dampaknya mulai terasa, ketika jembatan mereka ambruk, mereka harus menggergaji bambu-bambu karena sudah tidak ada kayu ulin yang dapat digunakan, kalaupun ada, mereka harus mengeluarkan uang sebanyak sepuluh juta untuk mendapatkan sekubik kayu ulin. Hal itulah yang menjadikan Pak Kapten memiliki persepsi seperti itu terhadap pihak gubernur dan juga semakin menjadikan beliau lebih kuat dalam menghalangi rencana pembangunan pelabuhan tersebut yang pastinya juga akan menyengsarakan penduduk Manowa.
4.1.1.2. Keyakinan
Keyakinan merupakan suatu sikap yang ditunjukkan individu saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat data berikut.
Ode : “Tidak salah lagi, bapak itu yang melemparkan banyak uang pada kita. Bapak yang membuat Za tiba-tiba pusing dan pulang ke rumah.” (Liye, 2018, hlm. 82)
Data tersebut muncul ketika Ode dan anak-anak lainnya ikut dalam pertemuan warga dengan
utusan gubernur yang
diselenggarakan di kantor kecamatan.
Ketika utusan gubernur tersebut datang, Ode memiliki keyakinan bahwa bapak itu pernah ia temui sebelumnya, yaitu bapak yang melemparkan banyak uang kepada mereka dari atas kapal beberapa hari yang lalu. Daya ingat anak lebih kuat tajam dan bertahan lebih lama bila dibandingkan dengan yang lebih tua
(Sauri dalam Laksana, 2015, hlm. 173).
Dari berdasar kejadian itulah, Ode dengan cepat menyimpulkan bahwa utusan gubernur adalah orang yang baik.
Pak Kapten : “Sekarang orang- orang pintar itu akan membuat pelabuhan di sini. Mereka tidak tahu apa dampaknya bagi kita.
Yang penting pelabuhan itu jadi, yang penting mereka mendapat uang banyak dari pembangunan pelabuhan.” (Liye, 2018, hlm. 98)
Data tersebut merupakan lanjutan dari pembicaraan Pak Kapten dengan warga Manowa saat kerja bakti membuat tangga darurat. Pak Kapten memiliki keyakinan bahwa tujuan dibangunnya pelabuhan
tersebut bukan untuk
mensejahterakan, tetapi justru menyengsarakan warga Manowa.
Keyakinan tersebut muncul sebagai bentuk emosional Pak Kapten mengenai peristiwa yang telah lalu.
Hal tersebut searah dengan pendapat Mu‟arifah (2005, hlm. 104) dalam penelitiannya bahwa “Peristiwa emosional adalah berbagai peristiwa atau pengalaman yang telah lalu, yang mempengaruhi kondisi dan perasaan seseorang, yang berefek pada perilakunya.” Emosi Pak Kapten tersebut muncul akibat kejadian suram beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh pihak utusan gubernur kepada warga Manowa, yaitu merubah hutan kayu ulin menjadi perkebunan sawit yang kini dampaknya warga Manowa kesulitan untuk memperoleh kayu ulin akibat mahalnya harga yang mencapai sepuluh juta hanya untuk mendapat sekubik kayu ulin.
Bapak: “Hasil kajian struktur tanah yang dipegang oleh kepala
pekerja di dermaga memang aspal, asli tapi palsu. Dibuat-buat agar proyek pembangunan dapat dilakukan. Dipaksakan dilakukan.” (Liye, 2018, hlm. 264)
Data tersebut muncul ketika tokoh Zaenal bercerita kepada bapaknya mengenai peristiwa melesaknya buldoser ke sungai saat para pekerja suruhan Gubernur mencoba untuk menurunkan buldoser dari tongkang ke dermaga.
Pada saat itu, kepala pekerja tidak mengetahui jika kajian struktur tanah yang dipegangnya merupakan kajian palsu. Namun, karena dibungkam oleh tebalnya uang, akhirnya Pak Mustar (kepala pekerja) pun bungkam dan tetap melanjutkan proyeknya.
Bapak dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa hasil kajian stuktur yang dipegang oleh Pak Mustar adalah dokumen palsu.
Bapak dapat mengatakan seperti itu karena beliau melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika beliau sedang membersihkan kantor kecamatan, tidak sengaja bapak menemukan hasil kajian struktur yang mana terpampang jelas bahwa kampung Manowa tidak layak dibangun pelabuhan dengan beberapa alasan di antaranya kontur sungai tidak mendukung, kepadatan tanah tidak mendukung, dan alasan lainnya.
Adapun dampak jika pembangunan pelabuhan di kampung Manowa tersebut tetap dilanjutkan biaya untuk menguruk tanah membutuhkan uang yang cukup banyak, juga skala ekonomis pembangunannya pun tidak akan tercapai karena kampung Manowa belum saatnya membutuhkan pelabuhan yang besar.
4.1.2. Prasangka Afektif
Prasangka afektif ialah prasangka yang merujuk pada apa yang disukai atau tidak disukai, seperti kekhawatiran dan kecurigaan.
4.1.2.1. Kekhawatiran
Kekhawatiran adalah perasaan takut/gelisah/cemas pada diri individu terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti kebenarannya. Hal tersebut dapat dilihat pada data berikut.
Pak Kapten : “Lantas rumah kami bagaimana? Sekolah anak-anak kami bagaimana? Mata pencaharian kami juga bagaimana?” (Liye, 2018, hlm. 85)
Data tersebut merupakan bentuk luapan kekhawatiran Pak Kapten akan kelangsungan hidup, sekolah, serta mata pencaharian warga Manowa ketika utusan gubernur selesai menyampaikan tujuan kedatangan mereka dalam pertemuan yang diadakan di kantor kecamatan adalah untuk mendirikan pelabuhan besar di kampung mereka.
Beliau tidak yakin jika kehidupan mereka akan baik-baik saja setelah dibangunnya pelabuhan tersebut karena dari kedatangannya dalam pertemuan saja sudah tidak mencerminkan orang yang disiplin, terlambat beberapa jam yang menjadikan warga harus menunggu lama.
Hal tersebut senada dengan pendapat Yasir (2016, hlm. 63), yang menyatakan bahwa “disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya.” Dengan demikian, jika seseorang tidak mencerminkan sikap disiplin, maka bisa saja orang itu
tidak bisa bertanggung jawab atas perbuatannya.
Wak Tukul : “... Oi, bagaimana ceritanya saya yang sudah tua ini mesti jalan enam kilo dulu baru bisa mendayung perahu. Itu akan sangat melelahkan, Pak Utusan Gubernur.”
(Liye, 2018, hlm. 150)
Data tersebut muncul sebagai bentuk tanggapan dari Wak Tukul yang kurang setuju jikalau ia dan warga Manowa lainnya akan dipindahkan ke kampung Rambas yang letaknya jauh dari pantai dengan posisi sebagian besar warga bermatapencaharian sebagai nelayan yang setiap harinya harus pergi ke pantai. Wak Tukul khawatir jika ia tidak bisa lagi melanjutkan pekerjaannya karena kendala jauhnya jarak dari Rambas ke sungai dengan kondisi usia beliau yang tak lagi muda.
Sanggahan dari Wak Tukul tersebut membuat utusan gubernur berdeham, beliau pun mencoba menawarkan kampung lain, yaitu kampung Banowa. Kampung yang memiliki nama yang hampir sama dengan Manowa namun dapat dikatakan keadaannya lebih memprihatinkan.
Pak Kapten : “Lantas bagaimana dengan kuburan nenek moyang kami? Digusur juga? Atau akan ditimbun dan dibeton begitu saja?” (Liye, 2018, hlm. 150).
Data tersebut merupakan lanjutan dari data sebelumnya, yaitu adu argumentasi antara utusan gubernur dengan warga Manowa mengenai pemindahan tempat tinggal. Dari data tersebut terlihat usaha Pak Kapten dalam mencegah
pembangunan pelabuhan di kampung mereka diwujudkan dengan cara melontarkan pertanyaan- pertanyaan yang menyangkut kesejahteraan warga Manowa beserta makam nenek moyang mereka. Pak Kapten terlihat jelas tidak suka dan sangat tidak setuju jika kuburan nenek moyang mereka harus digusur.
Mendapat pertanyaan seperti itu, utusan gubernur justru menanggapinya dengan sepele.
Menurut utusan gubernur, memindahkan orang yang sudah mati lebih mudah dibandingkan orang yang masih hidup. Jawaban utusan gubernur yang seperti itu justru semakin membuat Pak Kapten dan juga warga Manowa lainnya marah dan benci kepada utusan gubernur.
Salah seorang warga : “ Lantas bagaimana dengan rumah kita, Pak Kapten?” (Liye, 2018, hlm.
209)
Data tersebut muncul ketika Pak Kapten mengumpulkan seluruh warga Manowa untuk menonton bersama sebuah film dokumenter.
Namun sebelum diputarnya film, Pak Kapten menyampaikan bahwa pembangunan pelabuhan semakin dekat, kurang lebih dua-tiga minggu lagi. Hal tersebut jelas mengejutkan dan juga meresahkan seluruh warga Manowa, mereka tertegun ketika Pak Kapten menyatakan pelabuhan sebentar lagi akan dibangun, sedangkan mereka tidak merasa pernah menyetujui hal tersebut.
Kekhawatiran mereka pun muncul, mereka khawatir dimana mereka akan tinggal kemudian jika rumah mereka digusur.
Kekhawatiran itu pasti juga muncul di benak Pak Kapten, karena itu beliau mengadakan acara menonton bersama agar warga
Manowa bisa bersatu dalam melawan pembangunan pelabuhan tersebut.
Berbicara mengenai kekhawatiran, tidak jauh beda dengan kecemasan.
Kecemasan merupakan fungsi ego untuk memperingatkan diri seseorang tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai (Kumbara et al., 2018, hlm. 29).
Ode : “ Lantas kita akan ke mana? Apakah rumah baru kita di kampung Banowa sudah dibuat?”
(Liye, 2018, hlm. 255)
Data tersebut muncul karena Ode dan anak-anak yang lain melihat para pekerja utusan gubernur dan alat-alat berat yang digunakan untuk meratakan semua bangunan yang ada di kampung Manowa sudah tiba. Hal tersebut menjadikan kekhawatiran Ode muncul. Ia khawatir jika rumah mereka dirobohkan lantas dimana mereka akan tinggal. Akankah mereka harus mengalami kejadian yang serupa seperti film dokumenter yang mereka tonton? Sungguh hal tersebut sangat tidak diinginkan warga Manowa.
Karena kekhawatiran tersebut, Ode memiliki rencana untuk membatalkan pekerjaan para pekerja, yaitu dengan cara mencuri peralatan mereka. Namun, hal tersebut tidak mendapat respon yang baik dari teman-temannya, karena rencana itu akan sulit dilakukan karena peralatan yang pekerja gunakan merupakan peralatan berat sedangkan badan mereka kecil.
4.1.2.2. Kecurigaan
Kecurigaan adalah perasaan kurang percaya atau terhadap kebenaran atau kejujuran seseorang karena terlilit oleh rasa takut dikhianati. Berikut data kecurigaan
yang ada dalam novel Si Anak Badai Karya Tere Liye.
Zaenal : “Hari ini mereka merobohkan sekolah, besok-besok merobohkan rumah kita,” (Liye, 2018, hlm. 293)
Data tersebut menjelaskan bahwa saat itu sekolah mereka berhasil dirobohkan oleh pekerja yang diutus oleh pihak gubernur. Dari peristiwa tersebut muncullah kecurigaan dalam benak Zaenal, jika sekolah saja sudah berhasil dirobohkan maka tidak lama lagi rumah mereka juga akan dirobohkan.
Oleh karena itu, sebelum hal tersebut terjadi, Zaenal dan tiga kawannya menyusun siasat untuk menghalangi pembangunan tersebut.
Karena mereka mengetahui perihal kajian struktur tanah yang dipegang oleh Pak Mustar (kepala pekerja) adalah kajian palsu, mereka berencana untuk mencari kajian struktur tanah yang asli. Dengan didapatkannya kajian asli tersebut, pembangunan pelabuhan tersebut bisa dibatalkan.
Mamak : “Itu karena film layar tancap itu. Pejabat di ibu kota tidak terima. Pak Kapten dianggap memprovokasi penduduk. Dia yang paling lantang menolak pembangunan pelabuhan, makanya dicari-carilah kesalahannya yang lain. Termasuk kejadian sepuluh tahun lalu.”
(Liye, 2018, hlm. 219)
Data tersebut muncul ketika keluarga Zaenal sedang sarapan bersama, kemudian tokoh Fatah menanyakan apa yang sebenarnya menjadi sebab Pak Kapten harus ditangkap oleh petugas. Mamakpun beranggapan hal tersebut terjadi karena pemutaran film yang dilakukan oleh Pak Kapten diketahui
oleh pihak gubernur, mereka menganggap Pak Kapten sebagai provokator warga Manowa dalam menentang pembangunan pelabuhan, oleh karena itu Mamak curiga jika pihak utusan gubernur itulah yang melaporkan Pak Kapten dengan membuat tuduhan bahwa Pak Kapten ikut terkait dalam peristiwa meledaknya kapal Maju Sejahtera beberapa tahun silam.
Bapak : “Bisa jadi begitu. Dibujuk baik-baik, Pak Kapten tidak mempan. Dia malah memulai perlawanan, memutar film dokumenter itu. Maka salah satu
jalan adalah dengan
menangkapnya, membuat Pak Kapten tidak lagi di kampung ini.”
(Liye, 2018, hlm. 219)
Data tersebut menjelaskan bahwa bapak juga setuju dengan pendapat mamak, bapak juga menyimpan rasa curiga jika yang menjadi dalang dalam penangkapan Pak Kapten adalah pihak utusan gubernur tersebut. Karena bapak yakin pihak gubernur akan kesulitan dalam mewujudkan pembangunan pelabuhan jika Pak Kapten masih ada di kampung Manowa tersebut karena memang selama ini Pak Kaptenlah yang paling lantang menolak pembangunan pelabuhan tersebut.
4.1.3. Prasangka Konatif
Prasangka konatif ialah prasangka yang merujuk pada kecenderungan seseorang dalam bertindak, seperti menghormati, melawan, dan mencari bukti.
4.1.3.1. Menghormati
Menghormati adalah sikap menaruh rasa hormat terhadap orang lain, sebagaimana yang terdapat pada data berikut.
Wak Tukul : “Maaf Pak Alex yang terhormat.” (Liye, 2018, hlm. 85)
Data tersebut menjelaskan bahwa Wak Tukul tetap memiliki rasa hormat kepada Pak Alex meskipun beliau tidak menyetujui adanya rencana pembangunan pelabuhan.
Beliau menyampaikan sanggahan ataupun pertanyaan kepada Pak Alex dengan sopan santun. Beliau selalu mengawali bicaranya dengan kata
„maaf‟ seperti yang tertera pada data tersebut.
Pagi ini dermaga kayu sudah bersolek habis-habisan. Tarup indah dipasang di atasnya, lengkap dengan kursi-kursi plastik dan panggung kecil di depan.
Ucapan selamat datang pada utusan gubernur telah pula terpasang, tepat di belakang panggung. Umbul-umbul dipasang di pinggir-pinggir dermaga, berkibar-kibar saat ditiup angin (Liye, 2018, hlm. 142)
Data tersebut muncul ketika seluruh warga Manowa sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan utusan gubernur ke kampung mereka. Data tersebut membuktikan bahwa walaupun warga sangat tidak menyetujui jika kampung mereka akan didirikan pelabuhan, tetapi mereka tetap saja dengan ramah menyambut kedatangan utusan gubernur. Menghormati tamu adalah salah satu adat yang ada di kampung mereka yang tidak boleh dihilangkan.
„Selamat datang kami ucapkan pada tamu sekalian. Selamat datang kami haturkan pada undangan yang datang‟ (Liye, 2018, hlm. 144)
Data tersebut merupakan nyanyian dari ibu-ibu grup rebana dalam rangka menyambut
kedatangan utusan gubernur beserta para penjaganya di kampung Manowa yang sudah mereka siapkan sejak jauh-jauh hari. Lagu tersebut mereka nyanyikan ketika mengiringi utusan gubernur beserta para pengawalnya turun dari yacht (kapal mewah) ke dermaga kampung Manowa. Namun, ternyata hal tersebut tidak mendapat respon yang baik dari utusan gubernur. Utusan gubernur tersebut menegaskan bahwa tujuan beliau datang ke Manowa adalah untuk memastikan pembangunan pelabuhan dapat berjalan dengan lancar, bukan untuk mendengarkan nyanyian serta tabuhan rebana ibu-ibu yang dianggapnya kurang penting.
Hal tersebut mengakibatkan sakit hati warga, utamanya ibu-ibu grup rebana yang sudah menyiapkan segala hal mulai dari menjahit kostum sampai pekerjaan rumah tidak terselesaikan dengan baik, latihan rebana tiap hari, latihan menyanyi, dan sebagainya. Mereka menampakkan kekecewaannya dengan mengerutkan dahinya, ada juga yang mengeraskan paras mukanya setelah mendengar ucapan utusan gubernur yang tidak mengenakkan.
4.1.3.2. Melawan
Melawan ialah suatu sikap menentang ketika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat antar individu.
Pak Kapten : “Itulah kenapa kita semua berkumpul malam ini di dermaga. Aku secara khusus meminta petugas layar tancap memutar sebuah film penting untuk kita semua. Agar kita satu suara. Agar kita bersatu menghadapi masalah pelik ini.
Kita tidak bisa melawan mereka
sembarangan, mereka punya kuasa dan uang.” (Liye, 2018, hlm.
209)
Data tersebut muncul saat seluruh warga sudah berkumpul di dermaga memenuhi undangan dari Pak Kapten. Data tersebut menunjukkan bahwa Pak Kapten hendak melakukan perlawanan terhadap utusan gubernur dengan cara memutarkan film dokumenter kepada seluruh warga Manowa dengan tujuan agar mereka memiliki pikiran yang senada dengan beliau, yaitu mempertahankan Kampung Manowa dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan diputarnya film tersebut, Pak Kapten berharap warga Manowa bisa lebih semangat dalam melakukan penolakan dibangunnya pelabuhan.
Namun, dampak yang terjadi setelah pemutaran film tersebut sangat tidak terduga. Keesokan hari setelah pemutaran film tersebut, Pak Kapten dicari dan dibawa oleh petugas ke kantor ibukota provinsi dengan tuduhan yang kurang bisa diterima, yaitu keterkaitan Pak Kapten dalam peristiwa meledaknya kapal Maju Sejahtera sepuluh tahun silam. Akan tetapi, hal itu tidak benar, tuduhan itu merupakan tuduhan yang dibuat-buat oleh utusan gubernur agar ia dapat menyingkirkan Pak Kapten dari Kampung Manowa. Karena utusan Gubernur yakin bahwa Pak Kaptenlah dalang dari semua perlawanan warga Manowa dengan alasan Pak Kapten yang selalu lantang menyuarakan ketidaksetujuan dalam setiap pertemuan.
4.1.3.3. Mencari Bukti
Mencari bukti ialah kegiatan mencari barang bukti atau saksi
bahwa apa yang dikatakannya benar adanya.
Zaenal : “Kita curi saja dokumennya.” (Liye, 2018, hlm.
267)
Data tersebut muncul setelah si Zaenal dan kawan-kawannya mengetahui bahwa dokumen kajian struktur yang dibawa oleh Pak Mustar (kepala pekerja) adalah dokumen palsu. Oleh sebab itu, Zaenal dan kawan-kawan memiliki misi untuk mencuri dokumen asli yang didalamnya terdapat pernyataan bahwa Kampung Manowa tidak layak didirikan pelabuhan. Mereka menyusun strategi demi strategi agar misinya dapat berjalan dengan lancar.
Salah satunya, yaitu dengan menghalalkan tindakan mencuri demi mendapatkan bukti tersebut agar pembangunan pelabuhan dapat dibatalkan dan Pak Kapten bisa keluar dari tahanan utusan gubernur.
Zaenal : “Ini hasil kajian yang palsu. Kita cari yang asli.” (Liye, 2018, hlm. 273)
Data tersebut menjelaskan bahwa Zaenal dan kawan-kawan sudah menjalankan misinya untuk mencuri dokumen asli tersebut.
Ketika mereka sudah mendapati dokumen kajian struktur tanah tersebut, ternyata dokumen yang ada di tangan mereka adalah dokumen yang palsu. Dengan demikian, mereka harus mencari lagi dokumen yang asli karena mereka sangat yakin jika dokumen tersebut ada di dalam kapal.
Zaenal : “Lupakan berkas kajian itu. Kita berhasil medapatkan bukti baru yang tak terbantahkan.”
(Liye, 2018, hlm. 311)
Data tersebut muncul ketika strategi mencuri dokumen kajian strukur tanah yang asli tidak berhasil, ternyata tokoh Zaenal sudah menyiapkan cara lain untuk menguak kebohongan yang selama ini pihak utusan gubernur lakukan. Cara yang dilakukannya, yaitu dengan merekam semua pembicaraan yang dilakukan oleh tokoh Pak Alex, Camat Tiong, utusan gubernur dan beberapa orang lainnya di dalam kapal yang mereka selinapi. Sebelum berangkat menjalankan misi, tokoh Zaenal mampir ke rumah Mutia untuk meminjam tape recorder milik Mutia yang kemudian digunakan sebagai alat untuk membuktikan bahwa Kampung Manowa tidak layak dibangun pelabuhan dan juga untuk membuktikan bahwa Pak Kapten tidak salah dan tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa meledaknya kapal Maju Sejahtera seperti yang dituduhkan utusan gubernur kepada Pak Kapten.
4.2. Dampak Prasangka Tokoh Pada Utusan Gubernur
Dampak yang disebabkan dari adanya prasangka antara lain, kemarahan dan kenekatan.
4.2.1. Kemarahan
Kemarahan ialah suatu sikap yang muncul pada diri seseorang ketika ia tidak dihargai atau dilecehkan. Hal itu dapat dilihat pada data yang sudah tercantum berikut.
Di atas panggung senyum Pak Alex lenyap. Sikap ramahnya berkurang. Kedua tangannya yang tadi sering menangkup di depan dada sekarang berada di pinggang.Pengawalnya mendekat.
(Liye, 2018, hlm. 86-87)
Data tersebut muncul sebagai dampak yang diwujudkan Pak Alex ketika kedatangannya yang bertujuan untuk menyampaikan rencana pembangunan pelabuhan mendapat respon yang tidak sesuai dengan ekspetasinya. Rencana beliau ditolak oleh warga Manowa terutama Pak Kapten. Hal tersebut yang menjadikan sikap ramah Pak Alex berkurang, beliau yang tadinya selalu menangkupkan tangan di depan dada, senantiasa menebar senyuman seketika lenyap ketika mendapati respon warga yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya.
Pak Alex tampak gusar. Dia berjalan menuruni panggung (Liye, 2018, hlm. 87)
Data tersebut muncul sebagai wujud kemarahan dari Pak Alex yang benar-benar sudah tidak dapat menahan amarahnya karena mendengar prasangka-prasangka negatif yang dikemukakan oleh Pak Kapten kepadanya. Ia merasa suasana pertemuan tersebut sudah tidak kondusif. Alhasil, ia memutuskan untuk meninggalkan pertemuan tersebut tanpa pamit.
Utusan gubernur: “Kalau begitu, Bapak telah menghalangi pembangunan pelabuhan di Manowa. Bapak melawan keputusan pemerintah.” (Liye, 2018, hlm. 151)
Data tersebut muncul setelah utusan gubernur mendengar pernyataan Pak Kapten yang terus menentang rencana dibangunnya pelabuhan. Dalam data terlihat bahwa utusan gubernur tak kuasa menahan amarahnya pada Pak Kapten yang terus menghalangi pembangunan pelabuhan di Kampung Manowa tersebut dengan pertanyaan-
pertanyaan serta prasangka- prasangka negatif yang dirasa menyudutkannya.
Utusan Gubernur melonggarkan ikatan dasinya, mengelap mukanya yang mudah banjir keringat. Dia memandangi warga yang masih gaduh. Pertemuan ini sudah tidak terkendali, maka dia memutuskan menuruni podium, segera berjalan keluar tenda, terus menuju yacht di pinggir sungai (Liye, 2018 hlm. 152)
Data tersebut lagi-lagi menjelaskan dampak yang terjadi ketika utusan gubernur tidak kunjung mendapat kata setuju dari warga Manowa. Warga Manowa tetap bersikeras dalam mempertahankan kampungnya. Hal tersebut menjadikan utusan gubernur tak dapat mengendalikan emosinya akibat prasangka-prasangka yang dikemukakan oleh Pak Kapten dan warga lainnya. Karena merasa kondisi pertemuan sudah tidak memungkinkan dan emosi beliau sudah di posisi puncak, akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi pertemuan dengan cara pergi tanpa pamit kepada warga.
4.2.2. Kenekatan
Kenekatan ialah sikap yang muncul pada diri seseorang ketika keberadaannya sudah tidak dianggap sama sekali, seperti yang terlihat pada data berikut.
Utusan Gubernur: “Tentu saja.
Aku bilang juga apa, kuncinya ada pada kakek tua itu.” “Sekali dia dibereskan, pembangunan pelabuhan akan lancar tanpa hambatan.” (Liye, 2018, hlm. 308- 309)
Data tersebut merupakan dampak dari perlawanan yang dilakukan oleh Pak Kapten dan warga Manowa lainnya. Karena hingga saat itu mereka tak kunjung mendapat respon yang baik dari warga Manowa, pihak utusan gubernur merasa jenuh dan mencoba untuk menggunakan cara yang nekat. Pihak utusan gubernur akhirnya memutuskan untuk menangkap Pak Kapten karena mereka menganggap Pak Kapten sebagai provokator dalam penolakan pembangunan pelabuhan.
Pak Kapten ditangkap dengan tuduhan yang dibuat oleh mereka yang seolah-olah benar adanya.
Mereka menyuruh petugas untuk menangkap Pak Kapten dengan tuduhan keterkaitan Pak Kapten dalam peristiwa meledaknya kapal Maju Sejahtera. Dengan ditangkapnya Pak Kapten, rencana pembangunan pelabuhan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Begitu menurut mereka.
Pak Alex : “Kau benar, Kakek tua itu pikir dirinya hebat, menghinaku dengan memanggil
„Pak Alex saja‟, sekarang lihat siapa yang hebat. Dia tidak akan lolos. Besok hukuman berat pasti dijatuhkan. Saksi-saksi sudah dibeli, alat-alat bukti sudah dibuat.
Tidak ada celah baginya untuk lepas dari hukuman. Bukan begitu, Pak Gubernur?” (Liye, 2018, hlm.
309)
Data tersebut menunjukkan bahwa Pak Alex beserta rekan- rekannya sudah berhasil menyingkirkan Pak Kapten. Mereka berbuat nekat, yaitu membeli saksi dan membuat alat bukti palsu dengan maksud agar Pak Kapten selamanya menetap dalam tahanan dan rencana
pembangunan pelabuhan mereka dapat berjalan dengan lancar. Mereka melakukan hal tersebut karena semenjak pertama kali mereka berkunjung ke Kampung Manowa untuk menyampaikan rencana, Pak Kaptenlah yang selalu menjadi nomor satu dalam menolak apa-apa yang disampaikan oleh utusan gubernur maupun Pak Alex. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menangkap Pak Kapten demi kelancaran pembangunan tersebut.
Perilaku destruktif cenderung dilakukan oleh pihak yang berkuasa.
Ketika sebuah keinginan penguasa ditentang atau ditolak oleh masyarakat, penguasa cenderung untuk melakukan sesuatu yang sifatnya lebih keras dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak berdaya dan tunduk pada penguasa. Perilaku destruktif yang dilakukan penguasa diduga merupakan perilaku agresi. Perilaku destruktif dilakukan penguasa karena mereka mempunyai seperangkat alat atau kekuatan untuk menekan masyarakat yang tidak sependapat dengan pendapat penguasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dampak prasangka adalah perilaku destruktif yang mengarah pada agresi dan dapat juga mengarah pada hegemoni.
5. PENUTUP Simpulan
Dari seluruh analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa gambaran wujud prasangka atau prasangka tokoh terhadap utusan gubernur tidak hanya berupa anggapan benar atau tidak, tetapi juga berwujud dari rasa suka atau tidaknya terhadap sesuatu, serta tindakan untuk
membuktikan prasangka tersebut benar atau tidak. Prasangka tokoh tersebut tentunya berdampak terhadap sikap serta perilaku utusan gubernur (orang yang diprasangkai) yang semula datang dengan hormat dan sopan berubah menjadi kejam bahkan nekat untuk melancarkan rencana pembangunan pelabuhan di Kampung Manowa. Sikap destruktif yang dilakukan oleh penguasa mengarah pada perilaku agresi dan dapat juga menunjukkan kekuasaan atau hegemoni pada masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Afrikah, A. N., & Setyorini, R. (2021).
Mekanisme Pertahanan dan Konflik Tokoh dalam Novel Si Anak Badai Karya Tere Liye.
Deiksis, 13(1), 1–11.
https://doi.org/10.30998/deiksi s.v13i1.5459
Alfandi, M. (2013). Prasangka: Potensi Pemicu Konflik Internal Umat Islam. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 21(1), 113–140.
https://doi.org/10.21580/ws.20 13.21.1.239
Anggraini, P. (2018). Representasi Karakter Cinta Indonesia Dalam Novel Kaki Langit Talumae Dan Pengembangannya Sebagai
Media Pembelajaran
(Representation of Nationalism in Novel Kaki Langit Talumae and Its Development As a Learning Media). Jurnal Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya, 8(1), 1–14.
https://doi.org/10.20527/jbsp.v 8i1.4808
Chairani, L. (2016). Hubungan Konflik Dengan Prasangka Kelompok Pada
Siswa Pesantren Mawaridussalam Batang Kuis, Kab. Deli Serddang.
Hajar, S. L. (2013). Jam Karet dan Tradisi yang Membudaya.
LORONG: Media Pengkajian Sosial Budaya, 3(1), 29–40.
Hernawan, W. (2017). Prasangka Sosial Dalam Pluralitas Keberagamaan Di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Sosiohumaniora, 19(1), 77–85.
https://doi.org/10.24198/sosioh umaniora.v19i1.9543
KUMBARA, H., METRA, Y., &
ILHAM, Z. (2018). Analisis Tingkat Kecemasan (Anxiety)
Dalam Menghadapi
Pertandingan Atlet Sepak Bola Kabupaten Banyuasin Pada Porprov 2017. Jurnal Ilmu Keolahragaan, 17(2), 28–35.
https://doi.org/10.24114/jik.v17 i2.12299
Laksana, S. D. (2015). Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa Di Sekolah. Muaddib, 05(01), 167–
184.
https://journal.stitaf.ac.id/index .php/cendekia/article/view/19 Lampe, I., & Anriani, H. B. (2017).
Stereotipe , Prasangka Dan Dinamika Antaretnik. Penelitian
Pers Dan Komunikasi
Pembangunan, 20(1), 17–32.
Liye, T. (2018). Si Anak Badai.
Republika.
Mu‟arifah, A. (2005). Hubungan Kecemasan dan Agresivitas.
Humanitas, 2(2), 102–111.
Pujawati, I. (2020). Konsep Pendidikan Karakter Pada Novel “Si Anak Badai” Karya Tere Liye dan Relevansinya dengan Pendidikan
Karakter Anak Sekolah Dasar.
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo.
Putri, T. S., Yulianeta, &
Agustiningsih, D. D. (2021).
Nilai-Nilai Sosial dalam Novel Si Anak Badai Karya Tere Liye dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra Siswa SMA.
OJS @rtikulasi, 1(1), 65–74.
Sembiring, R. H., Herlina, & Attas, S.
G. (2018). Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Negeri Para Bedebah Karya Tere Liye Kajian Psikoanalisis Carl Gustav Jung.
Transformatika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 2(2), 157–172.
https://doi.org/10.31002/transf ormatika.v2i2.788
Setiana, L. N. (2017). Analisis Struktur Aspek Tokoh dan Penokohan Pada Novel La Barka dalam Perspektif Islam. Transformatika:
Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 1(2), 211-226.
Soleman, A. (2016). Prasangka Sosial Dan Aksi Demontrasi Masyarakat. Potret Pemikiran,
20(2), 16–30.
https://doi.org/10.30984/pp.v2 0i2.752
Supratno, H. (2015). Multikultural dalam Perspektif Islam: Studi Kasus Novel Ayat-Ayat Cinta dan
Bumi Cinta Karya
Habiburrahman El Shirazy.
Jurnal Pena Indonesia, 1(1), 50–78.
Susanto, E. F., & Kumala, A. (2019).
Sikap Toleransi Antaretnis.
TAZKIYA: Journal of Psychology,
7(2), 105–111.
https://doi.org/10.15408/tazkiy a.v7i2.13462
Yasir, A. (2016). Efektivitas Penerapan Disiplin Pegawai dalam Meningkatkan Kinerja Pelayanan Publik. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Tribhuwana Tunggadewi, 5(1), 62–
66.
Zahro, S. F. (2019). Hegemoni Kekuasaan Dalam Novel Si Anak Badai Karya Tere Liye : Pendekatan Teori Hegemoni Gramsci. 3(2), 935–
943.