• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terkait dalam hal ini, Mesir yang mendasari studi Islam lebih tegas berorientasi Islam

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Terkait dalam hal ini, Mesir yang mendasari studi Islam lebih tegas berorientasi Islam"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN STUDI ISLAM DI MESIR DAN AMERIKA Noorazmah Hidayati

Abstract:

Studying the study of Islam in Egypt and America is an interesting thing to do considering the two countries have their own characteristics, especially regarding the cultural philosophy adopted by each of these countries.

Likewise, the philosophy of education adopted also influences the organization of Islamic studies, such as the form, curriculum system, and direction of Islamic studies. Studying Islamic studies in the two countries above can be used as a comparison material to examine the conditions for conducting Islamic studies in Indonesia.

Keywords: Islamic studies, forms, and contents of Islamic studies

Penulis adalah dosen tetap Prodi PAI STAI Rakha Amuntai, Email: noorazmahhidayati@gmail.com

A. Pendahuluan

Mengkaji studi Islam, terutama terkait dalam hal perbandingan di negara Mesir dan Amerika tentu tidaklah mudah. Hal ini di antaranya karena terdapat perbedaan mendasar dalam filsafat pendidikan atau cara pandang (world- view) terhadap studi Islam, yang kemudian akan menentukan bentuk, sistem kurikulum, dan arah studi Islam di tiap-tiap negara tersebut. Terkait dalam hal ini, Mesir yang mendasari studi Islam lebih tegas berorientasi Islam. Di Amerika, filsafat yang menjadi titik tolak pendidikan adalah liberalisme, pragmatisme.1 Adapun Indonesia mendasarkan pendidikan, termasuk studi Islam pada filsafat Pancasila.2

Perbedaan di antara negara tersebut di atas juga terdapat pada kemampuan dalam penyelenggaraan studi Islam. Mesir dan Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi hambatan finansial yang memengaruhi kemampuan dalam penyediaan prasarana. Keterbatasan dana, menurut Azyumardi Azra bukan hanya mengakibatkan sulitnya pembinaan tenaga ahli, tetapi juga membuat kurang berjalannya pengkajian

1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 283

2 M. Sukardjo & Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan:

Konsep & Aplikasinya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hal.

(2)

mendalam, riset, penerbitan jurnal ilmiah, konferensi para pakar, dan hal yang terkait dalam pengembangan studi Islam.

Bertolak belakang dengan keadaan negara di atas, dengan kemampuan ekonominya, Amerika bukan hanya mampu menyediakan perangkat keras dan lunak dengan kecanggihan yang tinggi di lingkungan universitas namun juga mampu menghadirkan berbagai sarana pendukung keilmuan.3

Mesir diakui secara luas sebagai pusat budaya dan politikal utama di wilayah Arab danTimur Tengah.4 Adapun Amerika merupakan negara adikuasa di Barat yang menguasai teknologi. Beberapa perbedaan terkait studi Islam di negara Mesir dan Amerika di atas menjadi hal yang menarik untuk ditelaah karena masing-masing negara memiliki karaktersitik studi Islam yang khas. Karena kajian ini memiliki cakupan yang luas, maka makalah ini difokuskan pada lembaga pendidikan di jalur formal dengan jenjang perguruan tinggi, di samping juga karena keterbatasan sumber referensi yang menjadi kendala.

3 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 284

4 Dharwanto, Perbandingan Pendidikan di Mesir dan di Indonesia, http://dharwanto.blogspot.com/2011/12/perbandingan- pendidikan-di-mesir-dan-di.html,diakses pada 17 Desember 2012

B. Studi Islam

Studi Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan kata lain, studi Islam merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah, maupun praktek-praktek pelaksanaan- nya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.5

Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam, yakni teologis dan sejarah agama-agama.

Kajian teologis pada umumnya banyak dikaji oleh sarjana Timur yang kemudian diartikulasikan menjadi sistem teologi, hukum, dan ibadah, dengan dominan menggunakan metode filologi. Adapun studi Islam di Barat atau Eropa lebih cenderung mengkaji sejarah agama-agama, terutama terkait dengan sistem praktik keagamaan.6

Studi Islam tingkat tinggi di Mesir telah berlangsung sangat lama, bahkan al-Azhar merupakan universitas tertua di

5Apipah, Tinjauan Teoretis tentang Studi Islam,

http://diaryapipah.blogspot.com/.../ilmu-kalam-tinjauan-teoritis, diakses tanggal 17 Desember 2012

6Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 272

(3)

dunia yang didirikan pada 359 H/970 M. Dengan demikian, al- Azhar telah berusia lebih dari 11 milenium. Panglima Besar Juhari al-Siqili pada tahun 362 H/972 M membangun Perguruan Tinggi al-Azhar dengan kurikulum berdasarkan ajaran sekte Syiah. Pada masa pemerintahan al-Hakim Biamrillah khalifah keenam dari Daulat Fathimiah, ia pun membangun perpustakaan terbesar di al-Qahira untuk mendampingi Perguruan tinggi al-Azhar, yang diberi nama Bait al hikmat (Balai Ilmu Pengetahuan).

Pada tahun 567 H/1171 M daulat Fathimiah ditumbangkan oleh Sultan Salahuddin al-Ayyubi yang mendirikan Daulat al-Ayyubiah (1171-1269 M) dan menyatakan tunduk kembali kepada Daulat Abbasiyah di Baghdad. Kurikulum pada Perguruan Tinggi al-Azhar lantas mengalami perombakan total, dari aliran Syiah kepada aliran Sunni. Ternyata Perguruan Tinggi al-Azhar ini mampu hidup terus sampai sekarang, yakni sejak abad ke-10 M sampai abad ke-20 dan tampaknya eksistensinya akan tetap berlangsung.

Universitas al-Azhar dapat dibedakan menjadi dua periode:

pertama, periode sebelum tahun 1961 dan kedua, periode setelah tahun 1961. Pada periode pertama, fakultas-fakultas yang ada sama dengan fakultas-fakultas di IAIN, sedangkan

setelah tahun 1961 di universitas ini diselenggarakan fakultas- fakultas umum di samping fakultas agama.7

Al-Azhar sejak awal dibangunnya menjadi pusat kegiatan Islam dengan tujuan pengembangan dakwah Islam.

Dengan usia yang demikian berumur, al-Azhar ditilik dari sejarahnya telah menempuh pasang naik dan turun dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan. Semula, ia merupakan lembaga pendidikan dan politik untuk penyebaran paham Syiah, kemudian sejak masa Dinasti Ayyubiyah menjadi pusat ortodoksi pemikiran Islam dan Arab, dan pencetak kader dakwah. Syekh al-Azhar (Rektor) selain merupakan jabatan akademis juga merupakan kedudukan politis berwibawa dalam kekuasaan politik. Namun, sejak Presiden Gamal Abdel Nasser menasionalisasikan al-Azhar pada awal 1960-an membuat merosotnya peran dan wibawa al-Azhar, terutama dalam hubungan dengan kekuasaan politik.8

Sejak 1961 Universitas al-Azhar selain memiliki fakultas agama juga memiliki fakultas umum, seperti kedokteran, pendidikan, bisnis, ekonomi, sains, dan pertanian.

7Suparno, Sejarah Perkembangan Studi Islam, http://noexs.blogspot.com/2009/11/sejarah-perkembangan-studi- islam_1046.html diakses pada 17 Desember 2012

8 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 285

(4)

Usaha tersebut dinyatakan sebagai integrasi bidang agama dengan bidang sekuler. Namun, menurut Azyumardi Azra sampai sejauh mana tujuan tersebut tercapai tentu dianggap patut dipertanyakan, mengingat kompartementalisasi terus berlanjut antara ilmu agama dan ilmu umum, serta dampak eksistensi fakultas umum terhadap reputasi tradisional al- Azhar sebagai perguruan tinggi agama.9

Indonesia mempunyai lembaga studi Islam jauh lebih muda bila dibandingkan dengan al-Azhar. Perguruan tinggi Islam pertama muncul di Yogyakarta setelah kemerdekaan dengan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 1947, yang kemudian menjadi Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia (UII), yang selanjutnya menjadi cikal bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN). IAIN didirikan oleh pemerintah bertujuan pokok menghasilkan ahli agama Islam untuk mengisi berbagai posisi di dalam Departemen Agama, selain juga untuk memenuhi keperluan masyarakat muslim. Akan tetapi, karena daya tampung departemen agama terbatas, maka tidak sedikit alumni IAIN yang bekerja di departeman yang bukan bidang mereka, seperti departeman luar negeri, pertanian, organisasi masyarakat, pers, lembaga swadaya masyarakat. Jadi, pada awalnya IAIN didirikan untuk menyiapkan para birokrat atau fungsionaris keagamaan

9Azyumardi Azra, 2012, Ibid, hal. 286

umumnya, sehingga pada awalnya bukan sebagai lembaga pendidikan tinggi untuk melakukan studi mendalam tentang Islam, atau pusat pengembangan pemikiran Islam. Dengan demikian, IAIN lebih berfungsi sebagai pusat pengajaran dari pada pusat penelitian dan pemikiran.10

Kontras dengan tradisi IAIN dan al-Azhar yang terkait banyak dengan dakwah dan politik, universitas tertua dan terkenal sampai saat ini seperti Harvard, Colombia, Yale, Cornell, Princeton yang kesemuanya di Amerika Serikat dan McGill di Kanada yang didirikan pertengahan abad ke-18, sepenuhnya adalah universitas swasta. Adapun universitas negeri berdiri jauh di belakang dan dari segi mutu pendidikan dan prestis sosial. Studi Islam di Amerika lazimnya terdapat pada universitas besar di atas.

Tradisi studi Islam di Amerika mulai berkembang sejak paruh terakhir abad ke-19. Universitas swasta tersebut di atas mengambil prakarsa mendirikan berbagai bentuk kelembagaan dan tingkat studi Islam. Pembentukan pusat studi Islam tersebut berkaitan dengan upaya kalangan akademis dan pemerintah Amerika untuk lebih memahami Islam dan masyarakat muslim. Jadi, pandangan sebagian orang Amerika

10Azyumardi Azra, 2012, Ibid, hal. 285

(5)

terhadap Islam yang sebelumnya negatif mulai bergeser.11 Bagi Amerika yang tengah menanjak the rising power dalam geo-politik dunia, keperluan akan ahli-ahli Islam terasa kian mendesak. Berbeda dengan tradisi studi Islam di Eropa, terutama di Jerman, Inggris, Perancis yang lebih bersifat orientalistik murni yang juga digunakan untuk kepentingan kolonialisme, maka tradisi studi Islam di Amerika di Amerika lebih liberal. Hal ini karena campur tangan pemerintah dalam pendidikan tinggi sangat minimal, maka studi Islam tampaknya lebih bersifat akademis dan ilmiah dari pada politis.12

C. Bentuk dan Isi Studi Islam

Dengan landasan filsafat dan tujuan khas studi Islam dapat dipahami tentang perbedaan dalam corak, bentuk, dan isi studi Islam di antara negara Mesir dan Amerika, begitu juga dengan Indonesia.

Al-Azhar menerapkan strata kefalkutasan dan perjurusan yang pada dasarnya menurut Azyumardi Azra sama

11M. Atho Mudzhar, Belajar Islam di Amerika, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), hal. 112.

12Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012),hal. 287

dengan IAIN, walaupun tentu terdapat perbedaan dalam kurikulum dan metodologi pengajaran. Untuk tingkat S1, al- Azhar masih berpegang kuat dengan sistem naik tingkat. Pada jenjang S2 sistem naik tingkat justru lebih ketat lagi.

Akibatnya, tidak jarang program satu tingkat diselesaikan lama, memerlukan beberapa tahun lebih lama dari yang tidak menganut sistem tersebut, seperti di IAIN. Atau lebih fatal lagi, kegagalan pada beberapa mata kuliah pada tingkat S2 bermakna harus mengulang keseluruhan mata kuliah yang telah lulus pada tingkat yang ditempuh.13

Di Amerika pendidikan masih dianggap sebagai tanggung jawab negara bagian, karena tidak disebutkan dalam konstitusi.14 Pengawasan pendidikan dilakukan oleh 3 pihak, yaitu federal, state, dan local control. Di tingkat lokal, pengawasan dilakukan oleh dewan sekolah, pengawas, sekolah kabupaten, orang tua, dan masyarakat. Tiap state atau negara bagian memiliki sistem pendidikan tersendiri, sehingga ada 50 macam sistem pendidikan di AS sesuai dengan jumlah negara bagian. Masing-masing mendelegasikan kekuasaannya kepada

13Azyumardi Azra, 2012, Ibid, hal. 288

14I.N. Thut & Don Adams, Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer; Seri Pendidikan Perbandingan, alih bahasa:

SPA Teamwork, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 362

(6)

dewan sekolah. Karena itu kontrol pendidikan terletak pada sekolah dan masyarakat di kabupaten.15

Studi Islam di Amerika merupakan program yang liberal. Kurikulum atau mata kuliah yang ditempuh ditentukan oleh mahasiswa sendiri. Untuk tingkat S1, setidaknya pada dua tahun pertama tidak dikenal dengan adanya kefalkutasan, terlebih penjurusan. Setiap mahasiswa hanya diharuskan mengambil beberapa mata kuliah pokok, terutama di bidang umum, yang merupakan pengantar pemahaman keilmuan secara menyeluruh. Pada tahun ketiga dan keempat mahasiswa mulai mengambil jurusan, termasuk studi Islam, yang mencakup bahasa, sejarah, syariah, filsafat/kalam, politik.

Mata kuliah dipilih sendiri oleh mahasiswa sesuai minatnya.

Secara kelembagaan studi Islam di Amerika umumnya termasuk ke dalam studi kawasan, atau terintegrasi ke dalam departemen/ jurusan, dimana Islam menjadi objek kajian.

Misalnya, Departemen Midle Eastern/ Near Eastern Languages and Cultures. Departemen di atas memusatkan perhatiannya kepada studi aspek bahasa, kebudayaan, dan

15Ahmed Machfudh, Sistem Pendidikan di Amerika Serikat, http://www.pendidikanislam.net/index.php/untuk-guru-a-dosen/38- umum/98-sekilas-model-pendidikan-di-amerika-serikat-1, diakses pada 17 Desember 2012

peradaban Islam, yang tidak hanya mengkaji di kawasan Timur Tengah tetapi juga di Asia Tenggara dan Asia Selatan.16 IAIN adalah perguruan tinggi khusus agama yang terpisah dari universitas umum. Namun, sebagai pusat studi Islam subjek yang diajarkan di IAIN tidak terbatas pada ilmu Islam, tetapi juga mencakup bidang umum. Karena pemerintah berperan sebagai pemegang kebijaksanaan pendidikan, maka kurikulum IAIN pun merupakan refleksi dari keinginan pemerintah terhadap studi Islam. Oleh karena itu, dalam kurikulumnya terdapat subyek yang bersifat ideologis, seperti Pancasila dan Kewiraan, dimana subyek ideologis tersebut tampaknya tidak ditemukan di al-Azhar, terlebih di Amerika.17

Jenjang (strata) studi Islam di IAIN adalah S1, S2, dan S3. Sejak dari S1 studi Islam telah dibagi atas berbagai fakultas dan jurusan. Menjelang pertengahan dekade 1980 IAIN tidak lagi menganut sistem naik tingkat, tetapi Sistem Kredit Semester (SKS), yang memberi peluang kepada mahasiswa untuk lebih cepat menyelesaikan programnya.

IAIN dan al-Azhar menganut semacam sistem paket dalam studi Islam. Paket perkuliahan relatif berat, rata-rata

16Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 288-289

17Azyumardi Azra, 2012, Ibid, hal. 287

(7)

lebih 10 mata kuliah per tahun di al-Azhar, atau per semseter di IAIN. Di al-Azhar pengkajian pada satu subyek cenderung terbatas pada kitab mukarrar atau buku teks, dan kuliah kebanyakannya menganut sistem ceramah. Adapun di IAIN satu subyek tidak jarang menggunakan beberapa buku wajib dan anjuran. Perkuliahan selain menggunakan metode ceramah juga memakai metode diskusi, seminar, dan penulisan paper.

Terlepas dari perbedaan seperti di atas sistem studi Islam baik di IAIN dan al-Azhar, khususnya pada tingkat S1, cenderung mengkompartementalisasikan Islam berupa pembagian kefalkutasan dan penjurusan yang cukup rinci.

Konsekuensi sistem ini adalah terjadinya pemusatan studi Islam sesuai dengan kefalkutasan dan jurusan. Visi, persepsi, dan pemahaman mahasiswa cenderung terbatas pada bidang mereka masing-masing. Apresiasi dan pemahaman pada bidang lain dapat dikatakan cenderung superfisial atau dangkal. Dengan demikian, mahasiswa Fakultas Syariah misalnya tidak tahu banyak tentang tarikh atau kalam. Begitu pula mahasiswa Fakultas Tarbiyah atau Fakultas Ushuluddin kurang apresiatif dan banyak mengerti tentang syariah, tarikh, dan adab. Konsekuensi kondisi ini adalah pemahaman dan persepsi mahasiswa tentang Islam tidak menyatu dan

menyeluruh, karena terlalu bertitik tekan pada satu bidang tertentu dan cenderung mengabaikan bidang lain.18

Adapun studi Islam di Amerika tampaknya diusahakan agar mahasiswa memahami keseluruhan aspek Islam. Pada tingkat advanced, barulah spesialisasi yang biasa disebut major field diadakan, dengan diimbangi suatu minor fieldtertentu. Bahkan, untuk memperoleh gelar pada semua tingkat atau jenjang dirumuskan semacam persentase, seperti setiap mahasiswa harus mengambil sekitar 40% perkuliahan tentang berbagai aspek Islam atau tentang ajaran Islam, dan 60% menyangkut spesialisasi. Pada tahun terakhir S1 dan keseluruhan program S2 dan S3 mahasiswa hampir tidak lagi mengambil perkuliahan selain subyek keislaman. Dengan demikian, dapat dilakukan pendalaman terhadap subyek studi tanpa diberati beban tambahan yang tidak terlalu relevan dengan studi Islam itu sendiri, dan mahasiswa dapat mempelajari sendiri subyek tambahan tanpa harus dibebani ujian atau kredit.19

Pada program S1 kebanyakan subyek diberikan secara ceramah dengan beban reading puluhan buku dan penulisan paper yang lebih bersifat analitis daripada deskriptif, meskipun pada tahun keempat harus mengambil beberapa colloqium

18Azyumardi Azra, 2012, Ibid, hal. 289

19Azyumardi Azra, 2012, Ibid, hal. 290

(8)

(seminar). Di IAIN ujian terdiri dari midterm exam (in class atau take home). Ujian final sebagian besar juga dilengkapi dengan term-paper. Setiap semester atau kuartal mahasiswa umumnya mengambil tiga sampai lima subyek yang masing- masing berbobot 2-4 kredit. Program atau kursus tentang Islam yang diambil setiap term disusun dan dipilih sendiri oleh mahasiswa berdasarkan minat mereka atas dasar ketentuan umum yang menggariskan batas minimal kursus yang harus diambil setiap mahasiswa.

Beberapa perbedaan mendasar terdapat pada program lanjutan (S2 dan S3). Dalam hal ini, sistem di IAIN lebih mirip sistem Amerika dari pada al-Azhar. Sebagaimana juga pada program magister di al-Azhar program magister di IAIN umumnya diselesaikan di atas dua tahun, sedangkan di Amerika dapat ditempuh antara 18 bulan atau lebih. Umumnya mahasiswa harus menulis tesis atau risalah setelah menyelesaikan program perkuliahan. Di al-Azhar mahasiswa cukup menguasai bahasa Arab, sedangkan di IAIN mahasiswa harus lulus bahasa Arab dan bahasa Inggris, bahkan di Amerika selain menguasai bahasa Inggris dan Arab, mereka disyaratkan menguasai dua bahasa riset. Lulusan program studi Islam lanjutan di Amerika dipersyaratkan mampu membaca, menggali, dan membandingkan sumber dari berbagai tradisi Islam dan Barat. Dengan demikian, mahasiswa

diharapkan mampu berpikir secara lebih komparatif dan analitik.

Program Ph.D atau Doktor di Amerika dan IAIN dimulai dengan mengikuti perkuliahan dan seminar selama dua tahun. Di Amerika disusul dengan independent study atau reading selama satu tahun, yang kemudian diikuti ujian komprehensif dalam bentuk tulisan dan lisan pada major (bidang keahlian pokok) dan minor (bidang keahlian tambahan). Bila lulus, maka mahasiswa dapat mengajukan proposal disertasi yang disidangkan oleh sebuah komite disertasi. Adapun di al-Azhar setelah menyelesaikan program magister, mahasiswa tinggal mengajukan judul disertasi tanpa harus menempuh perkuliahan lagi, ujian komprehensif, atau memenuhi persyaratan bahasa.20

D. Peningkatan Apresiasi

Studi Islam di negara Mesir, Amerika, dan Indonesia terus berusaha mengembangkan kualitas masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Peter Ferdinand Drucker yang mengemukakan bahwa masyarakat bukan lagi masyarakat kapitalis atau sosialis, melainkan masyarakat pengetahuan, yakni masyarakat yang berbasiskan

20Azyumardi Azra, 2012, Ibid, hal. 291

(9)

pengetahuan.21 Dalam usaha itu, terjadi peningkatan apresiasi terhadap tradisi yang ada satu sama lain. Univesitas al-Azhar sendiri seiring dengan upaya pembaruan dan pengembangan kualitas pendidikan Islam, sejak awal abad ke-20 mulai mengapresiasi studi Islam di kalangan Barat. Karya kaum orientalis mulai diperhatikan. Pengiriman alumni dilakukan dalam beberapa gelombang yang dimulai sejak 1931 hingga sekarang untuk melanjutkan studi Islam di Barat, termasuk di Amerika.

IAIN dalam hal ini tampaknya jauh tertinggal dibanding al-Azhar, sebab pada 1970-an baru mengirim alumninya belajar ke Barat. Pengiriman pertama ke McGill pada awal 1970an, dan dilanjutkan kembali pada 1985 ke Amerika Serikat dan Kanada, Belanda, Inggris, dan Jerman.

Selain ke Barat, terdapat pula alumni IAIN yang melanjutkan studi ke Timur Tengah, yakni Mesir, Saudi, dan Turki.

Di Barat, studi Islam juga terus mengalami perubahan.

Pusat studi Islam di Barat menyajikan kajian lebih obyektif dan menyeluruh tentang Islam, yakni kajian tidak lagi terlalu western oriented, atau hanya menyajikan visi dan persepsi ahli Barat tentang Islam, tetapi juga Islam sebagaimana dipandang para ahli muslim sendiri. Karena itu, pusat studi Islam di Barat

21 Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan Strategi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 23

terdapat pakar muslim yang memberikan kuliah tentang Islam.

Dengan begitu, mahasiswa Barat khususnya dapat mengikuti penyajian Islam secara lebih berimbang dan obyektif.22

E. Penutup

Dalam mengkaji studi Islam di negara Mesir dan Amerika terdapat perbedaan di antara keduanya karena di antaranya filsafat pendidikan yang dijadikan landasan berpijak juga memiliki perbedaan. Namun, bila dibandingkan dengan studi Islam di Indonesia maka akan diperoleh beberapa persamaan dan perbedaan dengan dua negara tersebut.

Studi Islam di Mesir memiliki persamaan dengan Indonesia dimana pada awal didirkan lembaga pendidikan Islam yakni IAIN dan universitas al-Azhar dirancang terkait dengan dakwah dan terkait pula dengan politik, namun berbeda dengan universitas di Amerika, terutama swasta, karena eksistensinya sangat minim dengan campur tangan pemerintah dan lebih bersifat akademis dan ilmiah.

Dari segi bentuk dan isi studi Islam, al-Azhar dan IAIN menganut semacam sistem paket yang hampir sama yakni mahasiswa dibebani 10 mata kuliah lebih pertahun, khususnya untuk tingkat S1, meskipun terdapat pula beberapa perbedaan

22Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 292

(10)

dalam hal metodologi pembelajaran.Sistem studi Islam pada IAIN dan al-Azhar dipisahkan pada pembagian kefakultasan dan penjurusan yang cukup rinci, yang sangat kontras dengan Amerika yang tampaknya diusahakan agar mahasiswa memahami keseluruhan aspek Islam. Pada tingkat advanced, barulah spesialisasi yang biasa disebut major field diadakan, dengan diimbangi suatu minor field tertentu.

Pada program lanjutan (S2 dan S3) sistem di IAIN lebih mirip sistem Amerika dari pada al-Azhar.Umumnya mahasiswa harus menulis tesis atau risalah setelah menyelesaikan program perkuliahan. Di al-Azhar mahasiswa cukup menguasai bahasa Arab, sedangkan di IAIN mahasiswa harus lulus bahasa Arab dan bahasa Inggris, bahkan di Amerika selain menguasai bahasa Inggris dan Arab, mereka disyaratkan menguasai dua bahasa riset. Lulusan program studi Islam lanjutan di Amerika dipersyaratkan mampu membaca, menggali, dan membandingkan sumber dari berbagai tradisi Islam dan Barat.

Program Ph.D atau Doktor di Amerika dan IAIN dimulai dengan mengikuti perkuliahan dan seminar selama dua tahun. Di Amerika disusul dengan independent study atau reading selama satu tahun, yang kemudian diikuti ujian komprehensif dalam bentuk tulisan dan lisan pada major (bidang keahlian pokok) dan minor (bidang keahlian tambahan). Bila lulus, maka mahasiswa dapat mengajukan

proposal disertasi yang disidangkan oleh sebuah komite disertasi. Adapun di al-Azhar setelah menyelesaikan program magister, mahasiswa tinggal mengajukan judul disertasi tanpa harus menempuh perkuliahan lagi, ujian komprehensif, atau memenuhi persyaratan bahasa

Dari kajian tersebut, meskipun dengan banyak keterbatasan di dalamnya, kiranya tidak salahnya menjadi bahan pertimbangan untuk mensinergikan dua hal yang memiliki perbedaan tersebut, yakni studi Islam di Mesir dan Amerika untuk diaplikasikan pada studi Islam di tanah air yang tentu saja merupakan upaya yang tidak ringan tetapi tidak dapat juga dikatakan tidak baik sebagai ikhtiar untuk melahirkan pakar muslim yang mumpuni dalam melihat, memahami, dan menjelaskan Islam dengan berbagai aspeknya guna menjawab keperluan dunia global dan modern.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Machfudh, Sistem Pendidikan di Amerika Serikat, http://www.pendidikanislam.net/index.php/untuk-guru- a-dosen/38-umum/98-sekilas-model-pendidikan-di- amerika-serikat-1, diakses pada 17 Desember 2012 Apipah, Tinjauan Teoretis tentang Studi Islam,

http://diaryapipah.blogspot.com/.../ilmu-kalam- tinjauan-teoritis, diakses tanggal 17 Desember 2012 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi

di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012

Dharwanto, Perbandingan Pendidikan di Mesir dan di Indonesia,

http://dharwanto.blogspot.com/2011/12/perbandingan- pendidikan-di-mesir-dan-di.html, diakses pada 17 Desember 2012

I.N. Thut & Don Adams, Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer; Seri Pendidikan Perbandingan, alih bahasa: SPA Teamwork, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

M. Atho Mudzhar, Belajar Islam di Amerika, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991

M. Sukardjo & Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan:

Konsep & Aplikasinya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009

Riant Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan Strategi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Suparno, Sejarah Perkembangan Studi Islam, http://noexs.blogspot.com/2009/11/sejarah-

perkembangan-studi-islam_1046.html diakses pada 17 Desember 2012

Referensi

Dokumen terkait

ON RELIGIOUS DRESS Sacred Congregation for Religious and Secular Institutes This Sacred Congregation has been receiving reports from various countries that religious men and women, in