BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Pemerkosaan
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaarfeit) adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawaban atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Jadi D. Simons menyimpulkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan pidana (criminal act) maka disana haruslah ada kesalahan (schuld) dalam arti luas yang meliputi kesengajaan (dolus) dan culpa late (alpa dan kelalaian) serta orang yang melakukan perbuatan pidana itu dapat dimintai pertanggungjawaban (criminal liability).14
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemerkosaan disebutkan sebagai
“menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi....”
Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.15 Tindak pidana pemerkosaan dalam KUHP di atur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP, walaupun kata pemerkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP, pasal-pasal lainnya menggunakan
14 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Pt Refika Aditama Bandung, 2009, Hal. 6
15 Kamus besar bahasa indonesia
rumusan bersetubuh. Menurut Wirjono Prodjodikoro (2003 : 119), kata pemerkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya dalam bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda istilah verkarachting sudah berarti pemerkosaan untuk bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata pemerkosaan saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian pemerkosaan untuk bersetubuh.16
Maka sehubungan dengan penelitian ini penulis merujuk kepada pengertian yang terdapat pada UU SPPA. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan anak dalam Pasal 1 menentukan sebagai berikut17 :
1. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, anak menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
2. Anak berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapanbelas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
3. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagaianak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yangmengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yangdisebabkan oleh tindak pidana.
4. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
16Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pt Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Hal. 182
17 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dalam Pasal 1
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaimnya sendiri.
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang dilakukan anak diatur di dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut : (1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa unsur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun. Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang selanjutnya disingkat UUPA tentang Perlindungan Anak maka pada Pasal 1 butir 1dinyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak menjadi batasan umur anak yaitu yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun. 18
Berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual terhadap anak akan dianalisis lebih lanjut dengan pembahasan sebagai berikut19 :
a. Bentuk – bentuk perbuatan yang dilarang, pasal 81 menyatakan bahwa:
18 Andi Sofyan Dan Nur Azisa, Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, 2016, Hal. 100
19 Saryono Hanadi dan Muhamad Budi Setyadi, “Model Peradilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Anak” Purwokerto ; 2009, Hal. 18
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
b. Unsur – unsur yang harus dipenuhi, berdasarkan rumusan Pasal 81 maka unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menerapkan kekerasan seksual terhadap anak adalah20 :
1. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.
2. Adanya tipu muslihat
3. Adanya serangkaian kebohongan.
4. Adanya bujukan
5. Adanya persetubuhan dengan seorang anak.
Jika dibandingkan dengan rumusan yang dikemukakan dalam Pasal 287 KUHP maka cara-cara yang dilarang dalam Pasal 81 ini jauh lebih lengkap karena merumuskan beberapa perbuatan selain kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai cara untuk memaksa seseorang anak bersetubuh, yaitu dengan mengakui adanya cara-cara lain yang dapat digunakan seperti melalui tipu muslihat, serangkaian kebohongan ataupun bujuk rayu. Bahwa apabila salah satu dari cara-
20 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung PT. Adika aditama, 2016, hal. 63
cara tersebut unsurnya terpenuhi dan anak yang dipaksa untuk bersetubuh masih berumur 18 tahun, maka kepada pelaku dapat dijerat dengan Pasal 81 ini.21
c. Akibat
ada pasal 81 yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, tidak merumuskan dengan tegas apa yang diperkirakan menjadi akibat dari kekerasan yang dialami korban, yang juga berkaitan dengan tiadanya pemberatan hukuman/sanksi terhadap kondisi atau akibat- akibat tertentu dari kekerasan seksual terhadap anak tersebut. Tidak adanya pengaturan mengenai akibat yang ditimbulkan dari kekerasan seksual tersebut terhadap anak tentunya sangat merugikan bagi anak yang menjadi korban. Apapun bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, apakah dengan kekerasan atau dengan bujukan tetap menimbulkan akibat gangguan fisik, seksual dan psikis bagi anak yang menjadi korban.22
d. Pelaku
Ketentuan mengenai pelaku sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 ini, menggunakan istilah “setiap orang” yang dapat merujuk pada kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini dimungkinkan karena dalam konteks korban adalah anak, maka perempuan juga mungkin untuk menjadi pelaku bagi anak laki-laki yang belum memahami dengan benar mengenai hubungan seksual dan mudah untuk diintimidasi dengan kekerasan, tipu muslihat atau dibujuk oleh
21 Ibid, hal. 65
22 Ibid, hal. 66
orang yang lebih dewasa. Laki-laki dan atau perempuan juga dapat menjadi pelaku dalam bentuk kekerasan seksual berupa pemaksaan bersetubuh dengan orang lain.23
e. Korban
Dalam kaitannya dengan UUPA, maka yang dapat menjadi korban adalah anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Untuk tindak pidana kekerasan berdasarkan undang-undang ini tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Dengan asumsi bahwa anak-anak baik laki-laki maupun perempuan belum memahami tentang hubungan seksual, cara dan akibatnya. Maka anak-anak baik laki-laki maupun perempuan berpeluang untuk menjadi korban kekerasan seksual. Ketentuan ini dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan perkosaan terhadap laki-laki, karena di dalam KUHP hal tersebut tidak diatur dengan tegas.24
f. Jenis tindak pidana
Jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 KUHP yang membedakan jenis tindak pidana berdasarkan batasan umurnya, dengan ketentuan bahwa jika perempuan korban adalah anak yang berumur dibawah 12 tahun, maka merupakan tindak pidana biasa, sedangkan jika perempuan korban berumur 12 tahun sampai dengan 15 tahun atau diketahui belum masanya untuk kawin maka merupakan tindak pidana aduan.25
g. Ketentuan pidana
23 Ibid, hal. 67
24 Ibid, hal. 68
25 Ibid, hal. 69
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000.- (enam puluh juta rupiah).
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.26
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas telah mengatur secara lebih spesifik tentang pemerkosaan terhadap anak dengan sanksi yang jauh lebih berat daripada yang ditetapkan dalam Pasal 287 KUHP adalah penting untuk memberikan perlindungan khusus terhadap perempuan yang belum dewasa, sehingga setiap laki- laki yang berniat untuk bersetubuh dengan perempuan tersebut akan mengetahui dan memahami resiko yang lebih besar.27
B. Pertimbangan Hukum Hakim
Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti Pengadilan. Berhakim artinya minta perkaranya;
mengahakimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, ada kalanya istilah hakim dipakai oleh orang budiman, ahli dan orang bijaksana. Dengan demikian fungsi seorang hakim
26 Ibid, hal. 70
27 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Kuhp) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia-Bogor, Hal. 249
adalah seorang yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan, seperti yang diatur dalam pokok-pokok kekuasaan kehakiman tercantum pada Pasal 1 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-Undang.28
Dalam tugas dan wewenang Hakim, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan. ia tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukumnya atau aturan hukumnya kurang jelas.
Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui hukum Curialus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum., jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya.29 Hakim sebagai pejabat negara dan penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seoarng hakim anggota, jaksa advokat, atau panitera.30
28 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya. Citra Adtya Bakti : Bandung 2010, hal. 125
29 Ibid, hal. 126
30Ibid, hal. 127
Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi. Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hukum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut. Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus kasus.31
Menurut Rusli Muhammad dalam melakukan pertimbangan hakim ada dua macam yaitu pertimbangan secara yuridis dan pertimbangan non-yuridis32 :
a. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal - hal yang dimaksud tersebut antara lain:
1. Dakwaan Penuntut Umum 2. Keterangan Terdakwa 3. Keterangan Saksi 4. Barang – Barang Bukti
5. Pasal – Pasal Dalam Peraturan Hukum Pidana
b. Pertimbangan non-yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, serta berdasarkan hati nurani dari hakim itu. Pertimbangan yuridis saja
31Ibid, hal. 128
32 Nanda Agung Dewantara, 1987, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangangi Suatu Masalah Perkara Pidana, Jakarta, Aksara Persada, hal. 51
tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan anak dibawah umur, Pertimbangan non-yuridis oleh hakim dibutuhkan oleh karena itu, masalah tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh terdakwa umur tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada segi normatif, visi kerugiannya saja, tetapi faktor intern dan ekstern anak yang melatarbelakangi anak dalam melakukan kejahatan juga harus ikut dipertimbangkan secara arif oleh hakim yang mengadili
Hal - hal yang dimaksud tersebut antara lain : 1. Latar Belakang Terdakwa
2. Akibat Perbuatan Terdakwa 3. Kondisi Diri Terdakwa 4. Agama Terdakwa
Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau ditetrapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.33
33 Made Agus Indra Diandika dan I Ketut Sudantra, 2013, Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Penjara Terhadap Anak, hal. 3
Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu kasus, yaitu sebagai berikut34:
a. Teori Keseimbangan, yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang- undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan kasus yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban dan kepentingan pihak penggugat dan tergugat.
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam kasus perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berkasus yaitu penggugat dan tergugat (dalam kasus perdata), pihak terdakwa atau penuntut umum dalam kasus pidana. Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.
c. Teori Pendekatan Keilmuwan, titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-
34 Opcit, Ahmad Rifai, Hal. 105-106
putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.
d. Teori Ratio Decindendi, teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok kasus yang disengketakan kemudian mencari peraturan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok kasus yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berkasus.
e. Teori Kebijaksanaan, aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh hakim juga memuat hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal ini memang sudah ditentukan dalam Pasal 197 Ayat (1) KUHAP yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Hal-hal yang Memberatkan, KUHP hanya mengatur hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana yaitu35 :
a. Jabatan
35 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978, Hal.
90
b. Pengulangan (Recidive) c. Penggabungan (Concursus)
Hal-hal yang meringankan, Menurut KUHP alasan-alasan yang meringankan pidana adalah:
a. Percobaan (Pasal 53 Ayat (2 dan 3).
b. Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 Ayat (1 dan 2)).
c. Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47).
Menurut J. E. Sahetapy, hal-hal meringankan dalam persidangan adalah36: 1. Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap pengadilan, dan
pengakuan terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan.
2. Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang berhubungan dengan latar belakang publik.
3. Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan penyesalan atas perbuatannya.
4. Terdakwa tidak terbukti ikut usaha percobaan beberapa oknum yang akan dengan kekerasan melarikan diri dari penjara.
5. Terdakwa belum pernah dihukum tersangkut perkara kriminal.
C. Disparitas Pidana
Menurut Muladi, disparitas adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.37 Dari
36 Ibid, hal. 90
37 Muladi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1984, Hal. 54
pengertian ini dapat kita ketahui bahwa disparitas itu timbul adanya penjatuhan suatu hukuman terhadap tindak pidana yang sejenis.
Menurut Molly Cheang, disparitas pidana adalah bahwa penerapan pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak- tindak pidana yang sifatnya bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pertimbangan yang jelas.38
Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo, disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu39:
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama,
2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama,
3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim,
4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, disparitas pidana ini sebenarnya sah-sah saja, karena hukum sendiri telah memberikan kewenangan mengambil keputusan yang luar biasa kepada hakim. Namun demikian, dalam rangka memerhatikan kepentingan korban sebaiknya hakim dengan sungguh-sungguh menjadikan kesalahan sebagai batas pengenaan pidana, sehingga disparitas pidana dapat dihindari.40
38 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung:Alumni, 2008, Hal. 119
39 Harkristuti Harkrsnowo, Rekontruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi Dan Pemidanaan Di Indonesia, April 2003, Hal. 28
40 Hairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, Hal. 151
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit, kedua ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda.
bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan. maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proposi tersebut adalah ketidakadilan. Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yanghendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalamhukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.41
Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan kasus- kasus yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi juga berdimensikan moral justice dan moral justice. Akan tetapi, dalam praktik seringkali dijumpai para pencari keadilan merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerja hakim yang dianggap tidak bersikap mandiri dan tidak profesional.
Banyaknya intervensi dan tekanan pihak luar terhadap hakim, terkadang membuat kinerja hakim tidak lagi optimal atau bahkan memilih bersikap oportunis. Tidak semua hakim dapat mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah
41 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Busamedis, 2004. hal. 239
salah. Kondisi ini memunculkan “mafia peradilan” yang menghalalkan segala cara seperti jual beli kasus yang semakin menambah coreng moreng dunia peradilan.42
Oleh karena itu keadilan sangat penting dan determinan dalam menegakkan hukum melalui putusan-putusannya sehingga para pencari keadilan puas dan efek disparitas tidak timbul dalam setiap putusan hakim.
42 Sudikno Mertokusumo Dan Pitlo, 1993, Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Adiya Bakti, hal. 5-6